Hello!

Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.

* indicates required

Ketika mengajukan tema “Membayangkan Kembali Asia Tenggara”, kami sengaja tidak memberikan batasan atas khayalan para pengirim cerita. Kami terpukau ketika Pychita Julinanda menyuguhkan cerita yang meleburkan rancang semesta fiksi ilmiah dengan hangatnya kehidupan sehari-hari. Seperti apakah Asia Tenggara pasca-revolusi, pasca-krisis iklim, ketika kecerdasan buatan dan kedaulatan pangan di luar kapitalisme menjadi realitas kita sehari-hari?

Tanggal rekaman: 16 Juli 2047

Ayah,

Hari ini ulang tahun Samudra!

Tadi Uta kesiangan—Uta bangun karena Eucalyptus mendarat di perut Uta. Aduh, dasar kucing rese. Memangnya nggak sakit ditimpa tangan logamnya itu? Uta ingin kesal, tapi kalau bukan karenanya, mungkin ulang tahun Uta tak semenyenangkan ini.

Ecus membangunkan Uta karena ternyata Angkasa sudah menunggu di ruang tamu. Ayah Ingat Angkasa, yang Uta ceritakan di rekaman sebelumnya? Kami janjian hari ini untuk piknik di pinggir sungai. Tak terlalu spesial, memang, tapi mungkin justru itu yang membuatnya menyenangkan. 

Uta juga kangen Ayah bukan karena momen-momen spesial, tapi momen sehari-hari. Rasanya aneh tak memasak buat Ayah, atau tak dimasaki Ayah. Rasanya aneh tak ada yang mengomeli Uta karena simulator cuaca untuk ladang Kolepang Tiga rusak lagi—meski belum tentu karena Uta. Melli, keponakan Jeng Mintu, juga tukang merusak barang! Rasanya aneh mendengar cerita-cerita sebelum revolusi dari Om Celeng sembari menggarap ladang, bukan dari Ayah. Rasanya aneh memperbaiki prompter Ecus atau mengganti oli persendian kakinya, karena biasanya itu pekerjaan Ayah. Uta selalu bikin prompter Ecus terlalu cempreng, atau terlalu banyak menuang oli persendian Ecus sampai ia terjengkang kalau jalan.

[jeda beberapa detik]

[berdeham] Sepertinya Ayah akan suka dengan Asa. Asa manis sekali! Tidak seperti Rasi, pacarnya Melli. Programming Rasi membuatku stress—semua harus direncanakan betul-betul. Ia akan ‘korslet’ kalau ada detail minor yang melenceng. Aku juga bingung kenapa Melli betah dengan Rasi; Melli saja tak bisa bangun sebelum jam satu siang.

Asa jauh lebih manis, seperti bocah polos, membuatku gemas. Ia banyak bertanya, tapi juga banyak mendengar. Kalau sedang memproses informasi, ia akan melihat kejauhan, seperti sedang merenung. Ia pandai melucu! Meski aku kadang tidak mengerti karena sangat referensial. Kalau aku bertanya referensinya, ia menjelaskan dengan antusias. Memorinya sepertinya sangat besar jika ia bisa menampung referensi sebanyak itu hanya untuk lelucon.

Asa kemudian mengantarku pulang. Tapi ternyata, Om Celeng dan suaminya masih mengurusi cabai-cabai di ladang. Aku menepuk jidatku sebelum semuanya terjadi: Om Celeng melihat kami, lalu memanggilku dan mengomeliku, “Kok kamu pagi ini main kabur-kabur aja? Kami kan sudah siapin kejutan!”

Lalu Asa bertanya kejutan apa, dan Om Celeng dengan mulut ember bocornya itu langsung menceritakan bagaimana seluruh warga kediaman kolektif Kolepang Tiga telah menyediakan hadiah kejutan ulang tahunku, bla bla bla… aku dan Ecus sudah kabur… sedih sekali… ah, aku tak lagi memperhatikan. Lalu Asa bertanya, “Hari ini kamu ulang tahun? Kenapa nggak bilang?”

Mungkin Ayah juga bertanya hal yang sama, tapi… [berdecak] rasanya hari ini Uta hanya ingin menikmati hari biasa tanpa tekanan. Aku tak yakin Asa pun mengerti perasaan ‘tekanan’ yang kumaksud, tapi kupikir ia punya cukup data input untuk membayangkannya, meski mungkin tidak ‘merasakan’. Mungkin.

Ya, seperti yang Ayah bisa tangkap, Jalan Kolepang Nomer Tiga masih baik-baik saja. Semua ladang terurus. Mesin dan perangkat berkebun tak selalu bekerja, tapi kami selalu berhasil memperbaikinya. Kami semua tak selalu akur, tapi kami selalu berbaikan pada akhirnya. Kami selalu berbagi hasil panen dengan tetangga, seperti layaknya tetangga selalu berbagi dengan kami. Banyutaring masih utuh dan tak diporak-porandakan iklim yang kacau seperti kekhawatiran Ayah. Aku masih tak mengerti bagaimana iklim bisa kacau, tapi mungkin situasi sebelum revolusi memang sekacau itu.

Begitulah hari ulang tahun Uta. Tetap saja, yang paling Uta tunggu-tunggu adalah menonton rekaman Ayah dan membuka hadiah yang Ayah simpan untuk Uta.

Dadah, Ayah. Aku kangen Ayah selalu.


Baca kisah lainnya dalam musim ini:

Pychita Julinanda

Pychita Julinanda

Julie is a neurodivergent genderfluid working class mainly labouring as a media and cultural worker. His involvement circles in the Indonesian art scene, media environment, and social movement.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *