Hello!

Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.

* indicates required

Butuh waktu lama untuk sampai di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Indonesia—yang jaraknya hampir lima jam dari ibukota Medan. Kami harus melewati jalanan yang berliku: Persawahan, perkebunan kelapa sawit, serta hamparan pohon karet yang berwarna hijau seperti zamrud. Kota tersebut merupakan salah satu pelabuhan utama di Sumatera Utara, yang menghubungkan Malaysia dan Singapura ke Indonesia. Seperti kota-kota pelabuhan lainnya, sebagian besar penduduk di Tanjung Balai mencari penghidupan dari laut.

Tak terkecuali, Meiliana, seorang warga Tionghoa beragama Budha. Ia telah tinggal di Jalan Karya Kota Tanjung Balai selama delapan tahun terakhir, memiliki sebuah toko sederhana tempat ia dan suaminya, Atui, menjual ikan asin. Namun pada Juli 2016, kehidupan Meiliana seketika kacau-balau. Selanjutnya pada Agustus 2018, ia dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara karena dituduh menista agama oleh Pengadilan Negeri Medan.

Bagaimana semuanya terjadi

Semua berawal dari sebuah komentar iseng.   

Pada Juli 2016, Meiliana menyeberang ke depan rumahnya yang kecil yang terletak di Jalan Karya yang sepi untuk membeli sarapan roti dari Kasini, tetangganya yang berumur 51 tahun, seorang Jawa-muslim, pemilik kios mungil yang menjual berbagai jajanan. Ini adalah kebiasaan Meiliana setiap pagi.  

Kasini dan Meiliana bukanlah teman dekat, tapi hubungan mereka cukup baik. Saat hari raya Idul Fitri, setelah bulan puasa berakhir bagi umat Islam, Meiliana membuat kue dan membawanya ke rumah Kasini.

Pada pagi hari sebelum kejadian, sesaat setelah Meiliana membayar rotinya, ia mengajukan sebuah permohonan kepada Kasini. “Tolong bilang ma Wak untuk mengecilkan suara speaker masjid. Sakit kupingku.” Masjid yang dimaksud adalah Al Ma’shum, tempat di mana ayah Kasini—Kasidik, 75—menjadi pengurus sejak 2007.

Lima kali dalam sehari, Kasidik mengurus masjid tersebut, yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumah yang ditempatinya bersama Kasini serta anaknya, untuk memutar kaset dengan tape yang sudah kuno. Kemudian suara adzan terdengar di sepanjang Jalan Karya, mengingatkan para muslim untuk shalat.

Kasini tidak terlalu memikirkan komentar Meiliana. Yang ada di benaknya: Mengapa ia terganggu oleh suara adzan, walau sudah tinggal di dekatnya—10 langkah saja—selama delapan tahun?

“Saya pikir, kenapa dia mengatakan ini pada saya?” katanya kepada New Naratif. Namun suasana hatinya saat itu sedang tenang, dan Kasini menyampaikan permintaan Meiliana tersebut kepada ayahnya, Kasidik. Kemudian Kasidik memberitahu pengurus yang lain, yang kemudian menyampaikan hal tersebut kepada imam masjid.

Komentar itu, pertama kali disampaikan saat membeli roti untuk sarapan, kemudian mulai berbuntut panjang.

Kasini - New Naratif
Kasini agak terkejut dengan komentar Meiliana, namun merasa tidak ada salahnya menyampaikan pesannya tersebut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa permintaan tersebut akan berbuntut panjang. Credit: Teguh Harahap

Hanya selang beberapa hari kemudian, Kasini dan Kasidik mendapati jalanan di depan rumah Meiliana tiba-tiba dipenuhi dengan mobil dan sepeda motor. Orang-orang mulai berdatangan setiap waktu, mulai dari siang hingga malam. Kasini dan Kasidik kadang mendengar teriakan. Pada saat itu, menurut Kasini, ia mendengar anak laki-laki tertua Meiliana berteriak, “Sama-sama dewasa aja kita! Apa maksud kalian?”

Komentar Meiliana soal pengeras suara masjid tersebar mulai dari tetangga hingga ke ayahnya, ayahnya ke rekannya, rekannya ke tetangga-tetangga lain, yang pada akhirnya sampai ke media sosial. Pesan lantas menjadi tak lengkap karena penyampaiannya telah melalui banyak orang. Pada akhirnya, orang-orang mengatakan Meiliana telah melarang adzan dan menghina agama Islam. Ia dituduh melanggar undang-undang penistaan agama (Pasal 156A KUHP), yang mana seseorang bisa diancam hukuman penjara maksimal lima tahun.

Beberapa hari kemudian, Atui, suami Meiliana, pergi ke masjid untuk meminta maaf secara terbuka atas komentar istrinya. Meiliana mungkin terlalu takut atau terlalu keras kepala karena ia tidak ikut bersama suaminya. Namun akhirnya, itu tidak menjadi persoalan, permintaan maaf dari Atui pada akhirnya gagal untuk melindung Meiliana dari apa yang terjadi selanjutnya.

Organisasi Islam terkemuka, seperti Front Umat Islam (FUI), berhasil menekan polisi saat mengajukan laporan hukum. Pada 2017, Majelis Ulama Indonesia (MUI), salah satu organisasi muslim terbesar di negara ini, menerbitkan fatwa terhadap Meiliana. Massa mulai melakukan rusuh. Mereka melempari rumah Meiliana dengan batu dan botol. Mereka kemudian mulai membakar klenteng umat Budha di Tanjung Balai.

Kasini mengklaim bahwa sebenarnya Meiliana ditahan untuk “perlindungan dirinya”, karena pihak berwenang khawatir ia akan diamuk massa jika ia tetap di rumah. Namun bukannya melindunginya, pihak berwenang menuduh Meiliana telah melakukan penistaan agama.

Menurut salah satu pengacara Meiliana, Ranto Sibarani, proses pengadilan memberatkan satu pihak saja.

Jaksa menunjukkan fatwa dan pernyataan tertulis dari seorang saksi yang berada di depan rumah Meiliana  saat kerusuhan sedang terjadi sebagai bukti. Ranto mengklaim bahwa kasus tersebut sebagian besar berdasarkan kabar angin; tidak ada rekaman dari komentar yang asli diberikan. “Mereka membawa amplifier (pengeras suara) masjid sebagai barang bukti,” kata Ranto kepada New Naratif. “Para petugas menyambut para perusuh dengan tangan terbuka. Kasus tersebut sangat dipengaruhi oleh intervensi dari massa.”

Rasa tidak percaya atas legitimasi terhadap kasus Meiliana menyelimuti jalannya proses hukum. “Ia tidak melakukan penistaan agama. Apa yang ia lakukan merupakan hanyalah sebuah keluhan sebagai tetangga, dan itu bukanlah menghina Islam,” kata Ismail Hasani, direktur pengamat untuk kelompok advokasi hak Setara Institute, kepada The Washington Post. “Lebih umum, kami percaya bahwa undang-undang penistaan agama telah melampaui kapasitas apapun untuk membatasi kemerdekaan beragama di Indonesia.”

Khusus untuk kasus Meiliana, ada perdebatan mengenai volume adzan, dan apakah permintaan untuk lebih mengurangi volumenya bisa dikategorikan sebagai penistaan agama. Pada 1978, Kementerian Agama Indonesia merilis tata cara bagaimana mengatur volume suara dari pengeras suara masjid dengan baik, memprioritaskan alunan daripada kenyaringan; wakil presiden Indonesia saat ini, Jusuf Kalla, juga telah menyarankan masjid-mesjid di Indonesia agar memperhatikan volume pengeras suara mereka, dan menggunakan teknisi untuk membantu memperbaiki pengeras suara yang buruk.

Cerita Meiliana merupakan salah satu peristiwa yang menguras tenaga bagi siapa saja yang mencoba untuk mengikuti lika-liku perkembangan undang-undang penistaan agama yang tidak jelas dan kabur

Kasini mengatakan ia merasakan “penat” karena kasus itu. Ia harus pergi ke kantor polisi berkali-kali untuk memberikan kesaksiannya terkait komentar Meiliana, dan satu kali menghadiri persidangan di Medan untuk memberikan bukti. Ia mengatakan bahwa ketika ia memberikan pernyataan kepada hakim, Meiliana tidak hadir di sana untuk mendengar kesaksian yang memberatkannya, sehingga kedua bekas tetangga tersebut tidak harus bertatap muka.

Ketika ditanya apakah ia percaya Meiliana melakukan penistaan agama, Kasini mengangkat bahunya dan tampak bingung. “Saya tidak mengetahui apapun mengenai undang-undang untuk penistaan agama, jadi saya serahkan saja kepada hakim. Iaa pasti sudah tahu apa yang dia lakukan,” katanya.

Bukan hanya Kasini yang lelah.

Kisah Meiliana merupakan salah satu kisah yang menguras tenaga bagi siapa pun yang telah berusaha mengikuti lika-liku perkembangan dari undang-undang penistaan agama yang tidak jelas dan buram di Indonesia, dan banyak sekali kasus yang terbengkalai selama bertahun-bertahun, selalu mengikuti pola yang sama.

Siklus lantas berlanjut: proses pengadilan yang sembrono yang seakan mengamini massa yang tersinggung dan dimobilisasi; ketidakmampuan presiden “untuk campur tangan dalam proses hukum”, lalu ramai-ramai memberi dukungan tanda tangan lewat sebuah petisi online; sikap politik yang acuh tak acuh.

Undang-undang penistaan agama di Indonesia dibangun di atas hal-hal tersebut – ini merupakan cerita bagaimana pelaksanaan, perkembangannya, dan bagaimana undang-undang itu masih bertahan hingga hari ini.

Klausul tentang penistaan agama Indonesia

Sejarah undang-undang penistaan bermula sejak era Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia. Undang-undang mulai diberlakukan oleh Sukarno pada 1965, undang-undang tersebut awalnya dimaksudkan untuk “mengakomodasi permintaan dari organisasi Islam yang menentang pengakuan terhadap kepercayaan orang adat.” Dan kemudian digunakan oleh Suharto, presiden Indonesia kedua yang dikenal otoriter, untuk mengadili siapa saja yang mengkritik pemerintahannya.

Berbagai upaya telah ditempuh untuk mencabut undang-undang tersebut, tapi selalu gagal. Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid – yang menulis sebuah artikel pada 1982 di Majalah Tempo berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” – pernah ikut meluncurkan sebuah petisi untuk mencabut undang-undang penistaan agama, tapi tidak berhasil. Pada Juli 2018, sebuah petisi diluncurkan oleh komunitas Muslim Ahmadiyah di Indonesia, yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut menghambat kebebasan beragama mereka, namun juga ditolak.

Siapa pun yang dituduh melakukan penistaan agama di Indonesia juga menghadapi pertarungan hukum yang sulit dan sedikit peluang untuk bebas.

“Sejak 2004, belum ada permohonan banding yang dikabulkan oleh pengadilan,” kata Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch, kepada New Naratif. “Dari 89 kasus [dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono], 125 orang divonis. Dan dari 20 kasus, 22 divonis di pemerintahan Presiden Joko Widodo.”

Salah satu kasus penistaan agama terbaru melibatkan mantan gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang dijatuhi hukuman dua tahun penjara berdasarkan undang-undang penistaan agama. Ia dituduh menghina Islam karena telah mengutip Al-Quran dalam kampanyenya menjelang pemilihan gubernur Jakarta 2017. Ribuan demonstran turun ke jalan, menyerukan Ahok agar dipenjara.

Meskipun skala kasus Ahok jauh lebih besar, pola yang terjadi dalam kasus Meiliana mencerminkan kasus yang dialaminya.

Rentetan kasus intoleransi beragama

Inti dari kasus Meiliana—dan semua kasus-kasus lain sebelumnya—adalah intoleransi yang berbasis agama.

Tanjung Balai dikenal dengan populasi warga Tionghoa yang cukup besar; para pedagang Cina yang datang melalui laut, mulai bermukim di area tersebut pada 1800-an. Menurut catatan resmi, kota ini memiliki 185.000 penduduk, 157.000 diantaranya beragama Islam dan 11.000 diantaranya beragama Budha. Dalam sejarah,  ketegangan antar komunitas berbeda pernah berkobar di Tanjung Balai.

Pada 2009, Tanjung Balai menjadi saksi pemindahan patung Budha Mahayana. “Berdirinya patung Budha yang menimbulkan reaksi keras dari para pemimpin Islam. Para pemimpin Wahabi di bawah Gerakan Islam Bersatu (GIB) mengorganisir unjuk rasa dan melakukan protes pada bulan Mei dan Juni tahun lalu, menyerukan agar patung Budha tersebut diturunkan. Mereka berpendapat bahwa patung tersebut mencoreng citra Tanjung Balai sebagai kota Islam,” seperti ditulis Human Rights Watch dalam laporannya.

Menyusul komentar Meiliana tahun 2016, massa menghancurkan kota dan menargetkan beberapa klenteng dari total 16 rumah ibadah umat Budha di kota tersebut.

Pecahnya kekerasan di Tanjung Balai yang terjadi pada saat ini, dianggap menjadi salah satu contoh terburuk “peradilan”  massa yang termotivasi isu rasial di Indonesia sejak 1998. Pada tahun itu, para perusuh menyerang komunitas terutama masyarakat Tionghoa di Medan, menjarah toko-toko dan menyerang penduduk setempat. Kerusuhan tersebut kemudian meluas ke seluruh negeri, menewaskan sekitar 1.000 orang.

Atu - New Naratif
Atu telah menjadi pengurus Klenteng umat Budha Tiau Hau Biao selama 10 tahun. Klenteng itu merupakan satu dari 16 rumah ibadah umat Budha yang dibakar di Tanjung Balai. Credit: Teguh Harahap

Atu, 68, merupakan salah seorang pengurus Klenteng umat Budha Tiau Hau Biao, yang terletak di muara Sungai Asahan di Tanjung Balai. Udara di klenteng penuh dengan aroma ikan yang sedang dijemur, dan para nelayan duduk di depan klenteng tersebut dan menebarkan jaring di bawah bayang-bayang atap klenteng yang berwana merah tua.

Atu telah bekerja sebagai pengurus klenteng tersebut selama 10 tahun, sejak pertama kali dibangun, ia bekerja dari pukul 5 pagi hingga pukul 8 malam, tujuh hari dalam seminggu. Pekerjaan utamanya termasuk menyapu lantai dan mengisi dupa. Pada 2016, saat klenteng diserang pada tengah malam, ia sedang di rumah. Ketika ia tiba di pagi hari, bangunan tersebut masih terbakar.

“Saya tidak tahu berapa banyak bensin yang mereka bawa, tetapi mereka benar-benar menggunakan setiap tetesnya,” katanya pada New Naratif. Atu dan masyarakat setempat yang datang untuk membantu, menyiapkan perangkat pompa dan mengalirkan air dari sungai untuk memadamkan api.

Butuh waktu lebih dari satu jam untuk memadamkan apinya.

Setelah api mulai padam, Atu melihat bahwa atap klenteng tersebut telah hancur. Patung-patung telah dibakar. Ubin lantai hancur.

Perbaikan klenteng tersebut menjadi seperti semula memakan waktu berbulan-bulan. Menurut Atu, uang yang dijanjikan pemerintah untuk membiayai kerusakan klenteng tidak pernah terealisasi. Malahan perbaikan yang telah dilakukan datang dari sumbangan masyarakat.

19 pelaku pembakaran akhirnya tertangkap. Menurut berita, “Delapan orang didakwa dengan perampasan, sembilan orang dengan kejahatan perusakan properti dan dua orang dengan dakwaan pemicu kekerasan”. Semuanya dijatuhi hukuman mulai dari satu hingga empat bulan kurungan penjara. Meskipun telah menjarah rumah ibadah resmi, tidak satupun dari para perusuh yang dituduh melakukan penistaan agama, karena tidak ada yang membuat laporan hukum terhadap mereka—salah satu ketentuan agar seseorang diadili secara hukum.

Atu tertawa dan menggelengkan kepalanya ketika ditanya tentang hal tersebut. “Tidak adil, tidak adil. Seharusnya mereka dapat hukuman yang lebih lama.”

Ia juga mengatakan bahwa kasus tersebut menunjukkan kecenderungan atas meningkatnya intoleransi di Tanjung Balai. “Kami dulunya lebih bersatu, tetapi sekarang kelompok agama yang berbeda sudah mulai tercerai-berai,” jelasnya. “Selama empat tahun saya melaut sebagai nelayan dan meninggalkan keluarga di rumah. Tapi saya tidak pernah merasa khawatir.”

Hingga hari ini, ia tidak bisa melupakan pemandangan klenteng tercintanya terbakar di pagi yang cerah.

Penyerangan terhadap klenteng-klenteng di Tanjung Balai tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengulangan terhadap kerusuhan ras pada 1998 yang membuat masyarakat Tionghoa trauma.

Sirojuddin Abbas, seorang pengamat di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), mengatakan bahwa kasus Meiliana menunjukkan bagaimana undang-undang penistaan agama diterapkan untuk menghukum kelompok minoritas. “Korbannya selalu dari kelompok minoritas. “Di lingkungan yang plural, meskipun hanya satu orang, harus diakui bahwa dia warga negara, tidak boleh atas dasar mayoritas menghormati hak hak asasi warga negara, hanya karena dia minoritas,” katanya kepada New Naratif.

“Kami dulunya satu, tetapi sekarang kelompok agama yang berbeda sudah mulai tercerai-berai”

Atu menolak pendapat bahwa orang yang menyerang beberapa klenteng adalah para preman bayaran, dibawa untuk memicu kerusuhan rasial. Pada 1998, ada anggapan bahwa anggota militer Indonesia sengaja melakukan hal tersebut untuk memicu kerusuhan yang lebih meluas dan mengalihkan perhatian atas gagalnya pemerintahan, yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto setelah 32 tahun berkuasa. Tetapi—terlepas dari fakta bahwa serangan di Tanjung Balai ini tampaknya kurang terorganisir dan bermotif politik—hal itu tidak membuat Atu yakin.

“Saya mendengar para perusuh itu beragam” kata dia. “Beberapa orang luar. Tapi pasti ada juga yang berasal dari sini. Orang yang berasal dari Tanjung Balai.”

Setelah berita tentang kebakaran di klenteng menyebar, Atu mengatakan penduduk setempat mulai datang berbondong-bondong untuk memeriksa kerusakan. Festival umat Budha digelar setiap bulan Januari dan Oktober, dan merupakan acara yang cukup populer bagi masyarakat setempat. Umat Islam juga datang untuk melihat festival yang penuh warna tersebut.

Atu mengatakan, ia berharap akan ada lebih banyak orang yang datang ketimbang biasanya pada Oktober mendatang, setelah Tanjung Balai menjadi sorotan karena kasus penistaan agama tersebut— yang sebenarnya juga telah membuat klenteng tersebut lebih dikenal khalayak luas. Ia merasa bahwa kerumunan penonton yang banyak dan beragam akan menjadi pertanda yang baik, dan bahwasanya umat Islam setempat dapat melihat budaya umat Buddha. Ini akan membantu meningkatkan hubungan antar komunitas yang berbeda sekali lagi.

“Tapi tahun ini, polisi akan mengawal kita,” tambahnya.

Politik penistaan agama

Meningkatnya intoleransi beragama merupakan satu cara saja melihat kasus Meiliana. Tapi masih ada cara lain. Salah satunya berkaitan dengan pertanyaan apakah intoleransi agama hanyalah manifestasi dari kebijakan politik.

Pada April 2019, pemilih Indonesia akan mencoblos untuk memilih presiden. Kedua kandidat, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, tampaknya terlihat ingin menarik perhatian pemilih muslim di Indonesia, negara dimana 87% dari populasinya beragama Islam. Karena itu mengubah undang-undang penistaan agama bisa menjadi langkah berisiko yang bisa menimbulkan reaksi balasan dari kelompok yang lebih konservatif dari komunitas Islam.

Sebagaimana Savic Ali, seorang aktivis dengan Jaringan Gusdurian Muslim progresif, mengatakan, “Saya sih enggak yakin keduanya akan mengangkat UU [Penistaan Agama] dalam konteks kampanye. Jokowi dengan posisi aman tidak menimbulkan kontroversi pemilih umat Islam, Prabowo juga lah.”

Dan itu adalah tentang lebih dari sekedar pemilih individu.

Savic selanjutnya mengatakan bahwa dua dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tidak akan membiarkan adanya kemungkinan undang-undang penistaan agama dicabut sepenuhnya dalam waktu dekat, karena keduanya percaya itu bisa menjadi prinsip penting dalam hukum Islam. Pada pemilihan presiden di 2019, kemungkinan Jokowi maupun Prabowo akan berhati-hati terhadap pemilih yang berafiliasi dengan salah satu organisasi—atau organisasi mereka sendiri,  atau memegang kekuatan politik yang signifikan di Indonesia.

“Kemungkinan Jokowi dan Prabowo akan berhati-hati terhadap pemilih yang berafiliasi baik itu dengan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah”

Pertanda lain adalah penunjukan Ma’ruf Amin sebagai pasangan Jokowi sebagai wakilnya. Ma’ruf—ketua MUI dan dikenal karena pandangan konservatifnya terhadap hukum Islam—mengatakan bahwa ia menyesalkan kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai setelah kasus komentar Meiliana. Tetapi, ini tidak menghentikan cabang organisasi tersebut di Sumatera Utara yang mengeluarkan fatwa terhadap Meiliana pada awal tahun 2017.

Ma’ruf juga telah memberi dukungannya pada kasus-kasus penistaan agama skala besar di masa lalu, serta memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada politik dan proses hukum. “Dia tokoh terpenting membawa orang ke penjara, kayak Ahok,” kata Andreas, mengacu pada pernyataan Ma’ruf terhadap mantan gubernur Jakarta tersebut, yang secara luas dianggap sebagai salah satu kekuatan pendorong di balik hukuman tersebut.  

Contoh lain tentang bagaimana politik dan undang-undang penistaan agama saling bertautan adalah dalam kasus Meiliana, tambahan jika anda menganggap yang menimpa keluarganya sebagai kerusakan yang merupakan imbas dari peristiwa itu. Ranto mengatakan kepada New Naratif bahwa putra Meiliana masih “takut dengan keramaian” setelah kerusuhan yang terjadi di depan rumahnya. Jokowi sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa campur tangan dalam kasus hukum atau dalam banding yang diajukan Meiliana, namun ada orang-orang yang berpikir bahwa ia bisa menunjukkan niat baik melalui cara yang lain.

“Harus menyerukan keluarganya bisa direhabilitasi secara sosial, secara psikologis.”

Sepatah, dua patah kata dari presiden mungkin bisa sangat membantu empat anak Meiliana pulih—namun tetap saja, Jokowi memilih diam, kemungkinan ia tidak ingin menyinggung pendukungnya yang konservatif.

Politik telah mengubah undang-undang penistaan agama menjadi alat yang mendatangkan manfaat bagi mereka yang sibuk berebut kekuasaan

Tampaknya lagi, politik telah mengubah undang-undang penistaan agama menjadi alat yang mendatangkan manfaat bagi mereka yang sibuk berebut kekuasaan. Penolakan politisi di Indonesia untuk terlibat dalam diskusi tentang undang-undang penistaan agama berakibat serius, dan mengaburkan alasan pentingnya itu dilakukan.

Sementara pencabutan tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat, UU yang sekarang pun banyak kekurangan dan mudah disalahgunakan. Tidak semuanya dapat atau harus berada di bawah istilah payung “penistaan agama”, dan salah satu kritikan utama terhadap versi undang-undang saat ini adalah bahwa hal tersebut terlalu luas, mencakup berbagai masalah lain seperti ujaran kebencian.

Savic mengatakan bahwa, untuk situasi serius yang bisa ditafsirkan sebagai hujatan, seperti buang air kecil pada Alkitab, sebagai contoh, maka bagian tersebut perlu direvisi, bukan dicabut. Namun untuk kasus lainnya, seperti pengaduan soal volume pengeras suara masjid, undang-undang harus jelas tentang makna sebenar-benarnya dari istilah “penistaan”. “Poin-poinnya harus dijelaskan—apa yang [menjadi] definisi penistaan agama. Mengencingi kitab suci, ya pokoknya undang undang jelas,” kata Savic.

Sebagaimana yang terjadi saat ini, satu-satunya jelas bahwa inti dari “penistaan”—dan apa yang mencakup di dalamnya—merupakan sesuatu yang keliru dan membingungkan di Indonesia. Serta kurangnya kehendak politik untuk mendiskusikan potensi perubahan UU tersebut berarti bahwa ketidakjelasan konsep penistaan masih kabur.

Pada akhirnya, apakah ada orang yang benar-benar pantas dihukum berdasarkan undang-undang penistaan agama di Indonesia?

Bagi orang seperti Andreas, pertanyaan ini langsung menjawab inti permasalahan. “Enggak ada dong, gimana cara mewawancarai Tuhan?” katanya.

Berharap untuk perubahan undang-undang?

Politisi mungkin tidak ingin ‘memecah gelombang’, namun mungkin ada secercah terkait hal ini.

Sejak menjalani hukuman, Meiliana mendapatkan berbagai dukungan yang luar biasa dari beberapa kalangan.

Selain sebuah petisi dari Change.org dengan lebih dari 202.000 tanda tangan, anggota-anggota dari Muhammadiyah dan NU telah mengkritik hukuman untuk Meiliana – meskipun ini bukan tentang undang-undang penistaan agama itu sendiri, melainkan mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai untuk digunakan dalam kasus ini. Namun, “kedua pernyataan ini unprecedented [belum terjadi sebelumnya],” kata Andreas. Di Twitter, menteri agama Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan bahwa ia bersedia untuk menjadi saksi jika ia diperlukan di pengadilan.

Harus diakui bahwa situasi saat ini “suram” dan alasan elektoral kemungkinan akan menghalangi seorang calon presiden yang ingin melakukan reformasi, tapi Abbas mengatakan bahwa dukungan publik untuk Meiliana membuatnya optimis.

Ranto mengatakan kepada New Naratif bahwa kuasa hukum Meiliana berencana untuk mengajukan banding. Ini akan menambah babak lain dalam kasusnya, dan jika berhasil, bisa berdampak ke seluruh Indonesia. Jika berjalan, kata Ranto, “mudah mudahan ini salah satu terobosan hukum juga.”

Hingga saatnya nanti, bekas rumah Meiliana akan tetap ditutup.

Seorang tetangga memberitahu New Naratif bahwa suami Meiliana dipaksa pindah. Beberapa anggota dari komunitas Tionghoa di Jalan Karya memintanya untuk pindah, karena mereka takut jika mereka juga bisa menjadi korban pembalasan serta kekerasan—dicap sebagai “anti-Islam”. Tetangga juga mengatakan bahwa pasangan tersebut harus menutup penjualan ikan asinnya di Jalan Asahan karena mereka kehilangan izin untuk usaha di bangunan tersebut sebagai akibat dari protes atas kasus tersebut. Tidak jelas siapa yang memerintahkan hal tersebut.

Atui sekarang telah pindah ke kota Medan, lebih dekat dengan penjara di mana Meiliana ditahan. Ia sedang berupaya merintis kehidupan baru.

Ketika ditanya bagaimana tanggapannya tentang hal tersebut, Kasini tampak sedih. Ia sebenarnya bukanlah orang yang berkomentar soal pengeras suara masjid. Jika ia tidak menyampaikan permintaan Meiliana kepada ayahnya, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi.

Apakah ia berpikir bahwa Meiliana benar-benar melakukan penistaan agama dan mendapatkan layak mendapat hukuman?

Masjid Al Ma'shum - New Naratif
Masjid Al Ma’shum di Tanjung Balai merupakan lokasi kejadian kasus penistaan agama terakhir yang kasusnya kemudian diketahui seluruh Indonesia. Credit: Teguh Harahap

Kasini kehilangan kata-katanya. “Memang…kenapa dia membeli rumah yang dekat masjid?” katanya. “Dan kenapa dia tinggal di sini selama delapan tahun tanpa ada masalah? Bahkan walaupun kita mengecilkan suaranya, dia masih bisa mendengar suara azan.”

Setelah didesak lagi, dan ditanya apakah ini adil dan apakah dia merasa bertanggung jawab terhadap nasib Meiliana, dagu Kasini mulai bergetar dan matanya berkaca-kaca. Ia terlihat benar-benar kewalahan oleh malapetaka yang disebabkan oleh kasus ini—dan telah menghabiskan waktunya selama lebih dari dua tahun.

Ia bersikeras bahwa ia hanya menyampaikan pesan, meskipun ia menyampaikan perkataan yang berujung dengan dipenjaranya seorang wanita serta keluarganya yang kemudian tercerai-berai.

Ia menengadah, menghadapkan wajahnya ke langit-langit.

“Kalau saya tahu ini akan terjadi…” katanya, “Mungkin saya tidak mau mengatakan apa-apa.”

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.