Satu lagi eksplorasi elemen tradisional, karya Korionto menggambarkan dunia pasca-apokalips. Dalam cerita ini, candi-candi yang tertinggal ternyata mengandung sel-sel pembangkit tenaga listrik, sementara menari bisa mengisi daya baterai. Namun, sebenarnya bukan kegiatan berjogetnya yang memberikan energi, tapi kepedulian kolektif yang diperlihatkan orang queer satu sama lain, kepedulian untuk dapat mengatasi transfobia yang bercokol dalam diri mereka sendiri serta prasangka-prasangka lain, memperbolehkan mereka untuk mencintai diri mereka sendiri secara utuh.

“Pernah kepikiran untuk tidak usah menari dalam lingkaran buat ngecas sepedaku?”

“Pernah kepikiran soal efisiensi waktu?”

“Aku paham.” Sang Kurir menangkupkan jemarinya, pura-pura bijak. “Makanya, gimana kalau aku curi sel listrik yang lain dari candi-candi Wat kosong di tepi desa?”

“Silakan saja.” kekasihnya menjawab, tak acuh. “Agak kurang sesuai ajaran dharma untuk ukuran mantan biksu ya.”

Satthavuthi berdeham dan berbaring di matrasnya. “Kamu saja tidak percaya Dharma.”

Selachey menyesap sedikit anggur. “Tapi aku percaya pada integritas artistik. Candi-candi itu penting bagi mereka yang mengerahkan darah dan keringat untuk membangunnya. Kamu tidak perlu mengambil lebih dari yang kamu butuhkan, terutama karena bateraimu bisa dicas.”

Dasar penari,” Satthavuthi bergumam. “Oke, baiklah. Aku coba dengan caramu.”

“Bagus! Kita bisa mulai ketika Soma kembali,” Selachey menjawab dengan ceria. 

Satthavuthi menenggelamkan wajahnya ke bantal.


“Kau ingin menari?” Soma hampir menjatuhkan gelasnya. 

Ingin adalah kata yang terlalu kuat untuk perkara ini,” Satthavuthi menyambar.

“Aku harus ngecas baterai sepedaku supaya bisa mengantar kebutuhan minggu ini ke Bibiku. Kekasih kita yang luar biasa itu—” Selachey mengedip. “—membuatku merasa bersalah kalau mencuri dari tempat-tempat ibadah yang sudah kosong.”

“Aku—baiklah. Kita bisa membuat lingkaran di luar sekarang, kalau mau.” Soma perlahan meletakkan gelasnya ke meja. 

“Boleh juga.” 

“Baiklah. Kamu ambil kayu untuk bikin api unggun dan Selachey bisa siapkan kapur untuk menggambar sirkuit listrik. Aku siapkan pemutar musiknya.” 


Kiri, kanan. Ketuk kaki sesuai ketukan drum, Satthavuthi membatin. Telapak tangan begini, pergelangan tangan begitu. Konsentrasi pada drum, gunakan lingkaran tarian untuk memanggil energi dari sekeliling kita…

Sementara ia meliukkan pergelangannya, ia memperhatikan tangannya. Ia meringis, berusaha mengabaikan pemandangan itu—tangan yang kuat, lebih cocok terkepal untuk melayangkan bogem mentah daripada melambai gemulai dalam tarian yang lembut. Tidak anggun. Kasar. Mengganggu.

Tentu saja, menari adalah untuk siapapun tidak peduli gendernya. Maskulinitas bukan halangan—Selachey, seorang maestro dan bintang tari, akan membuktikannya dengan gembira. Tidak, untuk Satthavuthi, masalahnya adalah bahwa ia—seorang perempuan—maskulin. Ia tercekam rasa takut ia tidak pantas menarikan tarian yang indah itu.

Ia mencoba mengalihkan perhatian dari tangannya, namun angin memutuskan untuk berhembus pada punggungnya. Angin melilit tubuhnya yang bongsor, seakan-akan meledek badannya yang kaku dan kasar. Seakan-akan menyatakan bahwa ia terbuat dari batu, lebih baik ditinggalkan dalam gelap—seperti Wat yang kosong.

Namun seperti yang Soma selalu bilang, candi-candi Wat itu adalah rumah bagi patung-patung batu perempuan—para dewi, yang diwujudkan bukan hanya lewat cetakan atau imaji, namun juga lewat iman dari mereka yang percaya. Para penyembah dari zaman ke zaman tidak hanya mencari keanggunan, namun juga keteguhan. Tenaga.

Tapi, keindahan patung-patung itu bukanlah miliknya. Tidak bisa. Ia tidak bisa jadi seperti mereka—

Tidak, Satthavuthi berhenti.

Selachey, yang hangat dan lembut, tidak akan menginginkan ini. Selachey yang memandunya dari belakang, sama hangatnya dengan hembusan angin selatan. Dan Soma yang teguh dan kuat akan menegurnya jika tahu ia berpikiran buruk tentang kekasihnya, orang yang menjadi curahan waktu dan kepercayaannya.

Inilah tubuh yang dapat menciptakan keindahan. Inilah tubuh yang dicintai dan dipelihara oleh Soma dan Selachey. Ini giliranku untuk memeliharanya.

Satthavuthi menyerahkan diri pada angin dan menari dengan kelenturan baru, sementara sirkuit energi di bawahnya makin terang dan makin terang. Ia tidak menyadari senyum yang kini menghiasi wajahnya.


Satthavuthi duduk bersandar pada dinding, menatap baterainya yang kini penuh. Soma duduk di sebelahnya dan bersandar pada bahunya, tangan Soma merangkul bahunya sementara jemarinya dikaitkan pada jemari Sattavuthi.

“Terima kasih,” bisik Satthavuthi.

“Jangan lupa bahwa yang menjadi segalanya bagimu adalah segalanya bagi kami juga,” kata Soma lembut.

Selachey memilih untuk memasuki ruangan saat itu juga. “Kubilang juga apa.” Ia tidak berusaha menyembunyikan cengirannya.

Satthavuthi menjulurkan lidah padanya.


Baca cerita-cerita lainnya di season ini:

Korionto is a Khmer American writer, graduate student, and aspiring librarian. She spends most of her time writing fanfiction, but will occasionally step out of her den to talk about Southeast Asian history, languages, or tomatoes.

Jes and Cin Wibowo are twin Indonesian writers and artists for comics. They're currently working on a queer Indonesian middle grade graphic novel, Lunar Boy, to be published in the US.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *