Tidak ada kekurangan museum di Indonesia, namun Museum Multatuli, yang dibuka pada bulan Februari 2018, merupakan sesuatu yang spesial. Mengadopsi nama pena dari seorang mantan pegawai administrasi dan seorang penulis Eduard Douwes Dekker (alias Multatuli), pengarang novel satiris (sindiran) Max Haveelar: Atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda, pembukaan museum baru ini merupakan museum anti-kolonial yang pertama di tanah air.

Terletak di Rangkasbitung di Provinsi Banten Jawa—dimana Multatuli pernah tinggal dan berkerja, memberikan dia bahan tulisan untuk novelnya—museum ini memamerkan barang-barang pribadi si penulis, salinan edisi pertama Max Haveelar yang ditulis dalam bahasa Perancis, dan koleksi surat-surat yang telah dikirim Multatuli kepada Pemerintah Belanda perihal administrasi Kabupaten Rangkasbitung dan Lebak selama dia menghabiskan waktunya disana.

Bagi ratusan orang yang menghadiri acara peresmian museum tersebut, Museum Multatulli telah lama dinantikan. Indonesia memiliki sejarah kolonial yang panjang—Belanda pertama kali mendirikan Perusahaan Hindia Timur Belanda pada tahun 1602, dan baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, empat tahun setelah Sukarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945—tetapi masyarakat Indonesia memiliki peluang yang terbatas untuk melakukan penelusuran menyeluruh tentang masa lalu mereka. Selain Belanda, Indonesia juga secara keseluruhan atau sebagiannya diduduki oleh Portugis, Inggris, dan Jepang. Pendirian museum tersebut dimaksudkan agar menjadi sumber yang kuat untuk pendidikan sejarah.

Max Havelaar, “buku yang membunuh kolonialisme”

Bukan kebetulan bahwasa museum tersebut begitu mereferensikan Multatuli. Max Havelaar, terbitannya yang paling terkenal, ditulis untuk membongkar penyimpangan administrasi kolonial di Hindia Belanda. Sebagai bagian dari upaya mereka untuk meningkatkan pendapatan, Belanda mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia, mewajibkan petani lokal untuk membudidayakan tanaman komersial seperti gula dan kopi ketimbang bahan makanan pokok seperti beras. Jumlah pembagian yang menindas dan sering tidak realistis diberlakukan, menyebabkan kekurangan gizi dan kelaparan dikalangan penduduk lokal, dan adanya kesenjangan yang besar antara pajabat dan petani. Douwes Dekker memilih nama pena “Multatuli”—yang berarti “Saya telah banyak menderita” dalam bahasa Latin—sebagai komentar terhadap ketidakadilan yang dia saksikan.

Novel tersebut sangat kontroversial, tetapi juga sangat berdampak. Menurut Bonnie Triyana, seorang kurator museum yang berbicara kepada BBC pada tahun 2017, beberapa orang di Hindia Belanda bahkan tidak menganggap bahwa diri mereka di bawah kekuasaan kolonial sampai mereka membaca realita gamblang yang diceritakan di dalam buku tersebut. Mark Haveelar menunjuk ke jantung kolonialisme Eropa dan digunakan oleh para reformis untuk memalukan pemerintahan Belanda dalam membuat perubahan. Perubahan ini akhirnya datang dalam bentuk Kebijakan Etis Belanda, di mana Belanda membuat lebih banyak ketentuan untuk pengembangan infrastruktur dan pendidikan bagi subyek kolonial mereka. Contohnya termasuk pendirian institusi pendidikan tinggi seperti Opleiding van Inlandsche Artsen—sekarang dikenal dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1913 dan Technische Hoogeschool te Bandoeng, atau Institut Teknologi Bandung, di tahun 1920. Kebijakan Etis Belanda juga membolehkan beberapa orang Indonesia untuk belajar di Belanda; banyak yang kembali dan berkontribusi pada pergerakan kemerdekaan Indonesia. Namun kebijakan tersebut juga memiliki keterbatasan; sebagian besarnya hanya menguntungkan para elit, khususnya keturunan bangsawan setempat.

Bahkan setelah 72 tahun kemerdekaan, bisa dikatakan bahwa sisa-sisa kekuasaan kolonial masih tertinggal dalam masyarakat Indonesia

Dampak Max Haveelar tidak hanya sebatas di Eropa. Bukunya juga dibaca oleh banyak tokoh-tokoh pemikir Indonesia seperti penulis wanita, Kartini, dan Tirto Adhi Soerjo, sering digambarkan sebagai bapak pendiri jurnalisme Indonesia. Para intelektual publik ini menekankan pentingnya dorongan untuk kemerdekaan Indonesia; Tiro Adhi Soerjo; sebagai contohnya, dikenal karena kritikannya terhadap kebijakan pemerintahan kolonial. Seperi dikatakan Triyana, buku tersebut menciptakan efek bola salju: “Walaupun tidak secara langsung mengubah sejarah, tapi Max Havelaar telah menjadi simbol inspirasi gerakan pembebasan di negeri terjajah.”

Begitu pentingnya Max Haveelar hingga penulis ternama Pramoedya Ananta Toer menjelaskan novel tersebut dalam kutipan tahun 1999 untuk The New York Times Magazine sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”.

Peter Carey, seorang sejarawan yang khusus di bidang sejarah modern Indonesia di University of Oxford, yang hadir di pembukaan museum, menunjukkan bahwa kolonialisme bisa memiliki dampak signifikan terhadap pola pikir suatu bekas koloni. “Kekuasaan bahwa para penjajah selalu datang dengan cara menguasi arus informasi; bentuk kekuasaan lembut. Mereka menulis cerita tentang bangsa-bangsa yang mereka jajah dan membuat para pribumi percaya bahwa bangsa mereka belum berkembang.”

Hal ini juga dikuatkan oleh Franz Fanon dalam karya seminalnya The Wretched of the Earth, yang mencatat bahwa penjajahan memiliki konsekuensi serius bagi jiwa orang-orang yang dijajah, yang terhalang oleh rasa yang tertanam kuat mengenai degradasi dan inferioritas. “Kekuasaan kolonial telah mencuci otak bangsa Indonesia,” kata Carey. Bahkan setelah 72 tahun kemerdekaan, bisa dikatakan bahwa sisa-sisa kekuasaan kolonial masih tertinggal dalam masyarakat Indonesia.

Hangover kolonial

Max Havelaar telah memudar, namun pengawasan kritis terhadap masa lalu kolonial Indonesia sama pentingnya seperti saat sebelumnya.

Menulis di surat kabar Kompas pada bulan Maret tahun ini, penulis Ignas Kleden, berpendapat bahwa sikap diskriminatif selama era Hindia Belanda telah membentuk bagaimana masyarakat mempersepsikan ras dan golongan hari ini. Pemikiran mengenai keunggulan kulit putih, contohnya, terus ada di Indonesia, seperti halnya terjadi di banyak bekas koloni lainnya di dalam kawasan ini.

Membongkar pola pikir tentang keunggulan kulit putih, “Barat melawan Timur” dan “penjajah melawan yang dijajah” bukanlah hal mudah. “Hangover kolonial adalah sebuah judul yang luas. Ini menunjukkan bahwa kita harus mengkritisi supremasi kulit putih yang ditinggalkan oleh kebijakan diskriminatif era Hindia Belanda, tetapi bukan hanya tentang itu,” kata peneliti asal Indonesia Eunike G Setiadarma, menambahkan bahwa diskriminasi rasial antara berbagai etnis lokal di Indonesia juga bisa ditelusuri kembali pada kebijakan dan pola pikir yang ditanamkan selama era kolonial.

Pemikiran dekolonisasi

Telah menjadi perdebatan bahwa sebuah bangsa mendeklarasikan kemerdekaannya dari bekas penguasa kolonial hanya setengah dari dekolonisasi—yang lainnya datang dari dekolonisasi pemikiran dari mantan subyeknya. Ini paruh kedua yang bisa membuktikan secara jauh lebih menantang ketimbang perjuangan yang datang sebelumnya.

“Dekolonisasi bukan cuma sentimen dari penolakan narasi kolonial, namun bagaimana kita bereaksi dan memposisikan diri kita dalam cerita tersebut,” kata Perdana Roswaldy, seorang peneliti pada departemen sosiologi di Northwestern University. Tanpa kemampuan untuk merenungkan dan mendiskusikan masa lalu seseorang dalam konteksnya, akan menjadi sulit bagi suatu populasi untuk terlibat dengan sejarahnya kolonialnya dan banyak masalah yang harus ditangani dalam proses pemikiran dekolonisasi.

Museum Multatuli - New Naratif
The Museum Multatuli seeks to provide a more humanistic perspective of Indonesia’s past. Credit: Gladhys Elliona

Dalam karyanya yang terkenal, African Philosophy and the Post-Colonial: Some Misleading Abstractions about ‘Identity’, filsuf asal Kenya D.A Masolo menegaskan itu setelah muncul dari peraturan kolonial, banyak masyarakat yang baru merdeka berusaha untuk membangun rasa historis dan identitas nasional yang cenderung mengaburkan masa kolonial. Dalam narasi nasional baru ini, ceritanya dibuat seolah-olah mereka tidak pernah menjajah sama sekali. Logika seperti itu, menurutnya, membatasi wacana nasional, karena pengakuan masa lalu kolonial merupkan sesuatu yang penting untuk transformasi jangka panjang.

Keputusan untuk dekolonisasi pemikiran juga berdampak penting kepada lebih dari sekedar budaya. Sebagai contoh, pilihan Bahasa Melayu Indonesia (dikodifikasikan sebagai Bahasa Indonesia) dikarenakan bahasa nasionalnya telah jauh mengarah kepada bangunan sebuah identitas nasional hingga negara dengan lebih dari 700 bahasa. Bahasa Melayu merupakan bahasa kedua yang tersebar luar melalui perdagangan regional. Memilih Bahasa Melayu, ketimbang Belanda (bekas bahasa kolonial) atau Bahasa Jawa (bahasa pribumi dari proporsi terbesar Indonesia) sebagai bahasa pergaulan membuat pesan yang jelas tentang sifat inklusif dari republik Indonesia dan posisinya di dunia. Novelis dan ahli teori pasca kolonial asal Kenya Ngũgĩ wa Thiong’o, dalam Decolonising the Mind: the Politics of Language in African Literature, berpendapat bahwa bahasa membawa budaya, dan budaya membawa, khususnya melalui oraturasi dan literatur, seluruh tubuh pada nilai-nilai yang mana kita bisa melihat diri dan tempat kita di dunia. Dia menganjurkan untuk dekolonisasi linguistik: penolakan terhadap bahasa kolonial, untuk membebaskan diri kita dari nilai-nilai dan asumsi yang menjajah, mendukung perkembangan bahasa dan sastra pribumi, dan melalui hal tersebut membebaskan budaya pribumi dari pengaruh kolonial. Hari ini, Indonesia tampil sebagai negara yang lebih percaya diri, terutama ketika dibandingkan dengan tetangganya Malaysia, Singapura, Filipina, dan Timor Leste, yang mana semuanya tetap didominasi oleh bahasa kolonial mereka.

Dekolonisasi pemikiran seseorang membutuhkan kemampuan untuk memahami sejarah tentang struktur kekuasaan dan hubungan serta dampak berkelanjutannya pada masyarakat moderen

Tetepi bahasa seperti Bahasa Inggris dan Portugis memiliki utilitas yang tidak usah dipertanyakan lagi sebagai bahasa global, meningkatkan dan mempermudah perdagangan, perniagaan, dan kolaborasi internasional. Bahasa kolonial dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang sebelumnya dijajah. Mungkin bukan kebetulan bahwa Malaysia, Singapura dan Filipina menghasilkan proporsi yang lebih tinggi pada GDP mereka melalui perdagangan ketimbang yang dimiliki Indonesia. Fasih dalam bahasa kolonial bukanlah sebuah solusi untuk berkembang, namun tentu saja membuatnya lebih mudah untuk berbisnis dan ikut serta dalam perdagangan.

Dekolonisasi pemikiran seseorang membutuhkan kemampuan untuk memahami sejarah tentang struktur kekuasaan dan hubungan serta dampak berkelanjutannya pada masyarakat moderen, dan untuk menentukan pilihan jangka panjang yang sulit tentang kesejahteraan fisik dan spritual negara bangsa tersebut. Di sinilah Museum Multatuli hadir. Alih-alih mengagungkan eksistensi kolonialisme, museum ini berusaha memberikan perspektif yang lebih manusiawi tentang masa lalu Indonesia. Tidak seperti banyak museum di Indonesia yang fokus utamanya pada kepahlawanan lokal, museum ini menghadirkan perspektif seseorang, seperti Multatuli sendiri, yang bekerja untuk pemerintahan kolonial. Pembukaan semacam ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan historis anak muda Indonesia, dan mengubah pembicaraan mengenai bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga masa depan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Madito Mahardika atas keterlibatannya dalam proses penulisan, dan Petrik Matanasi untuk rekomendasi sumber daya.

Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.