“Orang Mandailing tidak mau disebut Batak karena Mandailing itu memang bukan Batak. Tidak ada hubungan antara keduanya,” kata Paruhuman Sah Alam Lubis, ketua dari Himpunan Keluarga Besar Mandailing (HIKMA), di Medan.

Mandailing, merupakan satu dari beberapa kelompok etnisdi Sumatera Utara, yang biasanya disebut sebagai Batak, suatu istilah perwalian bagi sejumlah kelompok etnis di Sumatera Utara mencakup Batak Mandailing, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Karo. Meskipun dikelompokkan di bawah label etnis yang sama dari Batak, sub dari masing-masing kelompok ini berbicara dengan logat yang berbeda, memiliki tradisi budaya berbeda dan juga awalnya berasal dari berbagai bagian daerah yang berbeda. Sekitar 44% dari populasi di Sumatera Utara diklasifikasikan sebagai Batak.

Label tersebutlah yang menurut HIKMA tidak tepat secara historis. Perkumpulan ini membuat berbagai acara di berbagai daerah bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang adanya perbedaan antara “Mandailing” dan “Batak”.  Suatu perkara yang sebagian Mandailing sudah memperjuangkannya dari tahun 1922, namun persoalan yang sudah sangat tua tersebut, sekarang menjadi perhatian menarik berkat sebuah pernikahan selebriti yang melibatkan Presiden Indonesia.

Pernikahan selebriti dan sejarah kelam

Pertanyaan apakah Mandailing harus digolongkan sebagai Batak telah menjadi tema pembicaraan beberapa kelompok Mandailing itu sendiri, atau dijadikan bahan pergunjingan di kedai kopi Mandailing. Namun pernikahan Kahiyang Ayu, putri dari Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo, dengan seorang pria bersuku Batak Mandailing, Bobby Nasution, bagaimanapun juga telah membawa persoalan tersebut untuk ke depannya.

Pesta pernikahan tersebut menampilkan berbagai adat Batak tradisional, mulai dari pakaian hingga tarian ditampilkan. Ini juga menyoroti kebingungan dalam penggunaan istilah “Mandailing” dan “Batak Mandailing”; bahkan Presiden sendiri ikut tercengang. “Pada awalnya Jokowi tidak mengetahui posisi kami, karena saat dia mengadakan pertemuan dengan orang-orang pada waktu persiapan resepsi pernikahan, dia terus mengatakan “Batak Mandailing” sehingga dia dikomplain oleh orang-oran yang tahu sejarah Mandailing yang hadir,” Lubis menjelaskan. “Awalnya dia terkejut dan merasa bingung. Namun setelah dia mendapatkan penjelasan dan juga ditunjukkan beberapa referensi tentang sejarah Mandailing oleh para ketua-ketua adat, baru kemudian dia mengerti bahwasanya Mandailing itu bukan bagian dari kelompok Batak.”

Indonesia dibangun di atas slogan nasional “Bhinneka Tunggal Ika”; terdapat lebih dari 300 kelompok etnis diseluruh nusantara

Indonesia dibangun di atas slogan nasional “Bhinneka Tunggal Ika”; terdapat lebih dari 300 kelompok etnis diseluruh nusantara. Walaupun rasa persatuan nasional merupakan pusat landasan utama masyarakat Indonesia, masalah penegasan identitas etnis seseorang juga sama pentingnya. Dan HIKMA  sejak lama berkecimpung dalam hal ini: di mana merupakan sebuah perhimpunan yang didirikan pada tanggal 4 Mei 1986, dan di dalamnya berisikan orang-orang etnis Mandailing yang telah mengambil posisi menjadi garda terdepan untuk memisahkan Budaya Batak dan Mandailing.

“Orang Mandailing tidak akan pernah mengakui bahwa mereka orang adalah Batak. Kalaupun ada, paling hanya beberapa orang Mandailing yang tidak keberatan dipanggil orang Batak, dan mereka hanya sebagian kecil dari populasi.” klaim Lubis. “Faktanya [bahwa] kami menganggap Mandailing itu lebih seperti sebuah bangsa ketimbang menjadi bagian dari kelompok suatu etnis.”

Paruhuman Sah Alam Lubis adalah ketua dari Himpunan Keluarga Besar Mandailing (HIKMA), di Medan. Credit: Teguh Harahap

Menurut bendahara HIKMA Ahmad Raja, penolakan Mandailing terhadap pengkategorian sebagai Batak, sebagian besarnya karenakan penolakan terhadap pengkategorian yang dilakukan penjajah Belanda yang menguasai Indonesia dari tahun 1800an hingga 1945: “Ketika orang Belanda masuk ke Indonesia, mereka melihat orang-orang di daerah Toba sering berpindah-pindah, jadi mereka menyebutnya ‘Batak’ atau ‘liar’. Orang Belanda kemudian menggunakan istilah Batak tersebut untuk mengartikan sebuah budaya atau suku.”

Namun persoalan tersebut memang tidak begitu jelas. Meskipun benar bahwa orang Belanda yang menggunakan istilah tersebut, tapi istilah tersebut kemungkinan sudah ada sebelum kedatangan mereka. Di kutip dari sumber lainnya seperti Encyclopaedia Britannica,yang menyebutkan bahwa istilah tersebut “kemungkinan dibuat pada waktu sebelum penjajah yaitu oleh orang luar penduduk asli (seperti, orang Melayu) yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.” Naskah-naskah yang ada sebelum penjajahan seperti milik Zhao Rugua dari abad ke-13, Description of the Barbarous Peopleyang menjadi referensi penggunaan istilah ‘Ba-ta’ terhadap Kerajaan Sriwijaya, sementara Suma Oriental dari abad ke-15 menjelaskan tentang sebuah kerajaan yang di ketahui sebagai ‘Bata’.

Penolakan terus berlanjut, bersamaan dengan pertimbangan dari para ahli. Pada tanggal 23 Oktober 2017, diadakan diskusi kelompok di Medan mengenai persoalan ini yang dihadiri oleh banyak peserta, termasuk  peneliti dan sejarahwan Phil Ichwan Azhari, antropolog Usman Pelly, dan Erron Damanik, seorang peneliti dari Universitas Medan (UNIMED). Dalam acara tersebut, Pelly menyatakan bahwa kata “Batak” tidak ditemukan dalam naskah Indonesia kuno. “Sebagai contoh, dalam stempel kebesaran dari Raja Sisingamangaraja XII yang disitu hanya tertulis Ahu Si Raja Toba, tidak ada ‘Raja Batak’, kata dia. “Batak memang tidak ada, apalagi Batak Mandailing.”

Menurut Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan, Syahian Zukhri Nasution, persoalan ini hanya tentang masalah persepsi. “Jika anda lihat pada pakaian adat tradisional Mandailing selalu menggunakan pernak-pernik yang terbuat dari emas, apakah anda masih berpikir bahwa Mandailing seharusnya milik suku Batak yang diartikan “manusia liar?” tanya dia. “Pencitraan sebagai bagaian dari Batak merugikan Mandailing.”

Peluang emas

HIKMA melihat istilah “Batak” sebagai bentuk penghinaan, sebuah istilah yang digunakan oleh orang Belanda melukiskan para penduduk asli yang liar dan tidak beradab. Istilah yang mereka ingin jauhkan secepat mungkin, dan juga pernikahan Kahiyang Ayu yang telah memberikan mereka “jalan langsung” kepada presiden dalam lobi kepentingan mereka. Ini merupakan kesempatan langka dalam usaha menempatkan persoalan mereka ke permukaan di dalam sebuah negara besar, di mana komunitas etnis yang lebih kecil sering tidak didengar.

Indonesian merupakan sebuah negara kepulauan yang luas, dengan sekitar 13,000 pulau yang berisi ratusan dari berbagai kelompok etnis, yang semuanya berbicara dengan bahasa berbeda dan juga memiliki banyak sekali tradisi. Meskipun demikian, kekuatan politik di Indonesia sering dianggap lebih terfokus di Jawa atau, bahkan lebih sempitnya lagi Jakarta Pusat. Hampir seluruh mantan presiden merupakan suku Jawa –  bahkan Bacharuddin Jusuf Habibie yang lahir di Sulawesi, setengahnya adalah Jawa – memberikan kontribusi merasakan bahwa kepentingan Jawa selalu menjadi yang pertama di negara Indonesia. HIKMA sekarang melihat bahwa Mandailing memiliki peluang untuk lebih menonjol dan menampilkan diri mereka dari kelompok Batak lainnya. Dan semuanya terjadi di saat momentum yang tepat.

YouTube video

Momeng pernikahan spesial tersebut bersamaan dengan saat dimana dana dari Jakarta mengalir ke Sumatera Utara dengan jumlah nominal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah telah berencana meningkatkan jumlah wisatawan untuk daerah Danau Toba hingga sampai 1 juta di tahun 2019; sebuah lompatan besar dari 300,000 wisatawan yang berkunjung pada tahun 2017. Bandara Silangit di Siborong-Borong diubah menjadi bandara internasional pada bulan Oktober 2017 dan juga menjadikan bagian-bagian lain provinsi tersebut menjadi lebih menarik bagi wisatawan. Jokowi juga merupakan Presiden Indonesia yang pertama kali dalam 72 tahun sejarah republik Indonesia yang mengunjungi kawasan Batak seperti Danau Toba, sehingga meningkatkan visibilitas nasional wilayah tersebut.

Ketika uang mengalir masuk, Mandailing menggunakan sejarah mereka untuk membesarkan nama mereka sendiri – secara harfiah. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya mengklaim apa yang menjadi hak mereka selama berabad-abad. HIKMA berharap semuanya ini akan memberikan hasil berupa pengakuan yang lebih besar terhadap budaya Mandailing (dan dana untuk mempromosikannya), yang pada gilirannya nanti akan membuka peluang politik yang lebih besar bagi kandidate Mandailing dalam pemilihan daerah. Putri Jokowi telah diberikan nama keluarga tradisional Mandailing, atau marga yaitu Siregar, dengan tujuan agar  memperkuat hubungan antara sub kelompok etnis dan juga mereka yang berada di puncak politik Indonesia.

“Ini semua tentang cara memobilisasi ide-ide mengenai kependuduk aslian dan keaslian sebagai sarana untuk mendapatkan hal-hal yang orang lain tidak bisa dapatkan”

Menurut Ian Wilson, seorang peneliti di Asia Research Centre dari Murdoch University, menjelaskn bahwa ini merupakan praktik yang umum terjadi di Indonesia. “Ada banyak contoh dari hal ini. Misalnya, di Jakarta, kelompok ‘Betawi’ mencoba  menggunakan status penduduk asli mereka sebagai modal sosial dan politik, dan banyak politisi yang memahaminya.

Sebagaimana Wilson menjelaskan, bahwa jika kelompok penduduk asli bisa memperoleh telinga simpati dari para politisi di Indonesia dengan menghandalkan warisan penduduk asli mereka, yang kemudian bisa menjadi beberapa keuntungan. “Hak eksklusif, hak perwakilan atau hak akses, yang semuanya itu merupakan sumber daya dicari oleh kelompok penduduk asli. Ini semua tentang cara memobilisasi ide-ide mengenai kependuduk aslian dan keaslian sebagai sarana untuk mendapatkan hal-hal yang orang lain tidak bisa dapatkan.”

Ini bukanlah pertama kali kelompok penduduk asli Batak mencoba mendapatkan sesuatu dari politisi karena alasan ekonomi dan politik. Salah satu kandidat untuk gubernur Sumatera Utara 2018 saat ini, Edy Rahmayadi – berasal dari Sabang di Aceh – dianugerahi marga Ginting saat dia mengunjungi Kabupaten Karo pada tahun 2017. Ini, kelihatannya sebagai balasan rasa hormat atas cintanya kepada Batak Karo dan bantuannya kepada masyarakat desa yang dievakuasi dari sekitar Gunung Sinabung, sebuah gunung berapi aktif. Menariknya, marga tersebut diberikan kepada Rahmayadi oleh Himpunan Masyarakat Karo Indonesia (HIKMI), saudara dari perhimpunan HIKMA yang didirikan oleh Batak Karo.

Lili Ginting, ketua dari cabang wanita HIKMI, dengan cepat menjelaskan alasan momen bahagia tersebut, yang juga bertepatan dengan rencana diadakannya konser Bon Jovi di Kabupaten Karo. “Kami berharap konser Bon Jovi akan membuka pintu bagi wisatawan asing untuk mengunjungi Berastagi [sebuah kota di Kabupaten Karo] yang sejalan dengan rencana Edi Rahmayadi agar Berastagi dijadikan tujuan wisatawan dunia,” dia mengatakannya kepada wartawan.

Kandidat gubernur lainnya yang berasal dari luar daerah juga telah diklaim dan diberikan marga oleh kelompok penduduk asli Batak. Djarot Saiful Hidayat, mantan gubernur Jakarta, diberi marga Nababan – marga khas Batak Toba – pada bulan Januari 2018 dalam sebuah upacara tradisional.

Rencana ke depan

Saat ini HIKMA berjalan di tingkat provinsi di Sumatera Utara, tetapi memiliki rencana untuk memperkuat kehadirannya di propinsi seluruh Indonesia. Perkumpulan ini melibatkan diri dalam bidang kegiatan agama dan budaya di seluruh Sumatera Utara bertujuan menyampaikan pesan mereka kepada sebanyak orang mungkin. “Kami telah mengadakan berbagai acara seperti berbuka puasa bersama di bulan Ramadhan dan kami juga telah mengadakan turnamen olahraga sepak bola, serta menghadiri berbagai kegiatan budaya seperti berpartisipasi dalam perayaan tahunan Provinsi Sumatera Utara,” kata Lubis. “Dan, tentu saja kami juga menghadiri pesta pernikahan putri Presiden.’

Namun meskipun adanya penolakan dari Mandailing, tidak adanya kesepakatan di antara kelompok etnis lainnya yang juga terbagi dalam kategori Batak. Sebagaimana Erron Damanik menjelaskan dalam forum diskusi kelompok, Mandailing telah menolak istilah ‘Batak’ mulai dari tahun 1922, namun kelompok lainnnya seperti Batak Toba dan Batak Angkola masih merasa nyaman menggunakan istilah tersebut, dan masih berpedoman kepada bukti tentang isitilah tersebut yang sudah ada sebelum masa penjajahan.

Menurut mantan jurnalis Budi Hutasuhut, seorang Batak Angkola, Mandailing bersikeras memisahkan diri dari kelompok perwalian, sementara masih mengikuti adat istiadat Batak tradisional. Dia juga merujuk pesta pernikahan tersebut, yang tampaknya telah menjadi titik nyala untuk terjadinya konflik baru karena persoalan ini.

“Dari perspetif budaya tradisional, orang Mandailing tidak bisa mengatakan mereka bukan orang Batak,” kata dia dalam sebuah wawancaradi bulan November tahun lalu. “Lihat pernikahan putri Jokowi dengan Bobby Nasution,. Nasution adalah Mandailing. Jadi kenapa mereka mengenakan ulos dari Batak Angkola? Pakaian adat Angkola. Tari Angkola. Angkola itu Batak. Jika Mandailing bukan Batak maka mereka harus melepaskan semua adat tradisional Batak seperti pakaian dan semuanya yang lain.”

Jika Mandailing tidak ingin dikenal sebagai Batak, Hutasuhut menambahkan, maka mereka harus melakukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan kejelasan perbedaan antara kedua istiah tersebut; argumen mereka tidak bisa hanya berputar pada asumsi bahwa  kata “Batak” didasarkan pada bias kolonial.

HIKMA berlatih untuk persiapan untuk menampilkan musik tradisional Mandailing di Sumatera Utara. Credit: Teguh Harahap

Mengenai kritikan itu Syahian Zukhri Nasution tetap bersikeras pada pendapatnya. Bagi dia, persoalan tersebut sudah jelas dan bagi mereka yang tidak setuju, mereka hanya salah informasi. “Biarkan mereka menolaknya jika mereka mau. Mereka hanya bisa berbicara saja, karena mereka tidak mempunyai bukti apapun ataupun petunjuk kuat lainnya yang mendukung pemikiran mereka,” kata dia.

Ketegangan antara kelompok-kelompok ini hanya menunjukkan betapa berbelit-belitnya sejarah Batak selama bertahun-tahun; terdapat detail dan spesifik yang tidak dapat disepakati oleh seorangpun. Namun Mandailing tidak akan melepaskan hubungan dekat mereka yang baru dengan pemimpin negara; yang mana bagi kelompok kecil etnis minority, peluang ini akan berpengaruh sampai ke tingkat politik nasional dan memang terlalu bagus untuk dilewatkan.

Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.