Menjelang akhir 2022, kami mengundang para penulis untuk mengirimkan karyanya dalam rangka musim ketiga kompilasi Flash Fiction New Naratif. Setelah memperingati Trans Day of Remembrance kami menyadari bahwa dampak queerfobia mempengaruhi akses queer pada kebutuhan dasar, bahkan respon bantuan bencana. Amatlah jelas bahwa keadilan SOGIESC dan keadilan ekologi adalah perjuangan yang berhubungan.

Maka, untuk mempersenjatai kami dengan empati dan imajinasi, kami meminta para penulis membayangkan: Bagaimana perjuangan queer dan ekologi bersinggungan serta mempengaruhi satu sama lain? Ini adalah apa yang kami ingin terbitkan di bawah tema Ekologi Queer. Tema ini cukup kompleks dan menantang, namun komunitas New Naratif memenuhi ekspektasi kami. Kami menerima hampir dua lusin kiriman, dari mana kami memilih delapan karya untuk dikembangkan.

Penasaran dengan cerita-cerita ini? Berikut adalah rinciannya:

An illustration of a hand holding a cockroach.

Yang Kuat Yang Bertahan

Ara Tirta

Ditulis dalam bentuk skenario drama, karya Ara menggambarkan esensi ekologi queer seperti yang diteorikan oleh Timothy Morton. Seperti yang disuarakan oleh karakter kecoa dia, “Penguin gay, tupai lesbian, lumba-lumba biseksual, ikan yang berganti jenis kelamin… semua itu ada di sana. Alam tidak memberi label pada hal-hal seperti itu.”Siapa yang bisa berkata tidak pada kecoa yang ahli filsafat?

BACA DI SINI

An illustration of two young girls holding hands facing each other in a river.

Taman Rainbow Adalah Rumahku

Violacea Low

Dari drama sureal dengan kecoa yang bisa berbicara, kita menggali narasi personal bersama buaya yang berenang-renang di selokan. Ditulis dengan gaya seperti buku harian, cerita Vio memancarkan kehangatan nostalgia sekaligus ketabahan. Sebuah karya yang amat indah yang tidak boleh kamu lewatkan.

BACA DI SINI

An illustration of a person and various animals running into the embrace of an indigenous goddess.

Miliknya

Audris Candra

Dari kehangatan yang lembut ke panas yang membara, cerita Audris ditulis dalam amarah yang berkobar-kobar sembari menelusuri ide ekologi queer dengan keaslian Sunda. Saat konsep gender dipaksakan dalam kerangka sempit laki-laki dan perempuan, alam dieksploitasi habis-habisan. Semesta pun memuntahkan murka untuk membalaskan dendam.

BACA DI SINI

A man and a woman guides a trans woman to dance. In front, we can see a motorbike.

Baterai

Korionto

Satu lagi eksplorasi elemen tradisional, karya Korionto menggambarkan dunia pasca-apokalips. Dalam cerita ini, candi-candi yang tertinggal ternyata mengandung sel-sel pembangkit tenaga listrik, sementara menari bisa mengisi daya baterai. Namun, sebenarnya bukan kegiatan berjogetnya yang memberikan energi, tapi kepedulian kolektif yang diperlihatkan orang queer satu sama lain, kepedulian untuk dapat mengatasi transfobia yang bercokol dalam diri mereka sendiri serta prasangka-prasangka lain, memperbolehkan mereka untuk mencintai diri mereka sendiri secara utuh.

BACA DI SINI

Srini and the Giant holding a baby Timun Mas.

Kisah Timun Mas yang Disembunyikan

Bageur Al Ikhsan

Dalam cerita berbingkai ini, Bageur mengisahkan eksplorasi ekologi queer yang lain dalam budaya asli dengan caranya yang unik untuk menceritakan dongeng Indonesia, Timun Mas. Cerita ini sendiri begitu indah, namun dengan bingkai cerita ayah gay yang mendongengkan kisah ini ke anaknya—dan terutama konteksnya—membuat cerita ini bagai guratan pena seorang jenius.

BACA DI SINI

A person in visible in a train window. Flames engulf the environment behind them.

Laju

Himas Nur

Berbicara tentang pasangan gay yang harus menempuh jalan berat berliku, Himas memotret cerita yang amat indah tentang cinta, kehilangan, dan kerinduan. Sementara karyanya sebelumnya memotret dunia yang penuh potensi kebebasan di tengah berbagai tantangan, ceritanya kali ini mengisahkan tentang kehilangan dan kesepian yang harus ditanggung orang queer yang tidak punya banyak sumber daya.  Seperti kejahatan kebencian dan dampak eksploitasi lingkungan dalam keseharian mereka.

BACA DI SINI

A duck and a human watch a krathong in the river.

Kerinduan Si Bebek Kecil

Jing Ying Yeo

Tidak hanya manusia yang dapat merasakan kehilangan dan kerinduan akibat kematian mendadak. Karya Jing Ying mengeksplorasi dampak emosional kematian manusia pada binatang, membalik stereotip lawas yang menganggap alam akan lebih baik tanpa manusia. Dalam karya yang indah ini, si bebek kecil merasakan duka akibat kematian sahabat manusianya. Mengapa? Alasannya menjadi pekerjaan rumah pembaca untuk mengartikannya sendiri.

BACA DI SINI

A monstrous feminine figure emerges from the ocean. A large ship sits on top of her head.

Pengerukan

Choo Yi Feng

Akhirnya, kita mengakhiri season ini dengan karya sureal tentang kerusakan lingkungan seiring imaji monster, kebobrokan ekonomi, borosnya penggunaan hasil alam, guilty pleasures, dan sedikit petanda tentang queerphobia terinternalisasi, semua dimampatkan dalam horor kosmik yang puitis. Walau tidak dengan jelas memotret elemen yang bisa diidentifikasi sebagai elemen queer atau ekologi, karya Yi Feng mampu menangkap nuansa asing seputar ekologi queer dalam atmosfer ini.

BACA DI SINI

Masing-masing dari delapan cerita ini menyajikan dirinya dengan keunikan tersendiri dalam mendekati isu ekologi queer, dari yang penuh harap hingga yang penuh amarah, dari yang nostalgia personal hingga horor kosmik. Harapan kami, berbagai perspektif yang telah kami kurasi dan kembangkan ini dapat menguatkan rasa empati dan solidaritas terhadap sifat-sifat multi-dimensional yang meliputi keadilan lingkungan dan kesetaraan LGBTQIA+. Seperti kata Audre Lorde,

“Kita kuat karena kita bertahan, dan itulah yang penting—bertahan dan bertumbuh.”

Semua ilustrasi untuk proyek ini dibuat oleh Jes & Cin Wibowo.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *