Secangkir kopi memiliki sejarahnya sendiri, yang bermula dari tanah. Setiap biji kopi tumbuh, dipetik, kemudian diproses oleh tangan-tangan yang jarang terpetakan dalam rantai industri.

Kendati telah menjadi komoditas primadona sejak masa kolonialisme kuno, kehidupan orang-orang yang menyediakan biji kopi selalu tenggelam dalam anonimitas. Publik Eropa pada umumnya tidak mengetahui nasib tragis para petani dan pekerja industri kopi di Hindia Belanda akibat Cultuurstelsel, atau aturan tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19.

Memetik red cherry, atau biji kopi merah..

Pada 1830, Belanda menerapkan aturan yang mewajibkan 20% dari seluruh tanah pedesaan digunakan untuk budidaya tanaman ekspor seperti kopi, tebu, karet dan nila; apabila tidak, para petani desa wajib bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 60 hari dalam satu tahun. Untuk memastikan sistem ini berjalan dengan baik, pemerintah kolonial bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan kepala daerah setempat—memberi mereka imbalan berupa insentif dan bonus dari hasil dagang.

Members only

Log in or

Join New Naratif as a member to continue reading


We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.