Hello!

Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.

* indicates required

Menjauh dari perkotaan, Ating pindah untuk hidup dekat dengan hutan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Kehidupannya pun berubah sejak delapan tahun terakhir, mulai dari berteman dengan babirusa, hingga berhadapan dengan pembalak liar.

“Hari ini, cuaca bagus, kapal pasti berangkat.” Seorang petugas loket memberi ketenangan kepada calon penumpang dari pelabuhan Labuan, Tojo Una-Una menuju Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Sabtu pagi, 21 November 2022, saya berada di tengah kerumunan penumpang karena ingin berlayar ke Pulau Papan di kepulauan tersebut. Perjalanan ke Kepulauan Togean memang tak bisa dilakukan setiap hari; cuaca yang tak menentu membuat kapal berlayar menjadi tak aman.

Saya berlayar ke Pulau Papan untuk mendatangi kediaman dokter Ating Solihin yang berada di Desa Malenge, Talatakoh, Tojo Una-una. Salah satu pemandangan yang teringat dalam perjalanan menuju Pulau Papan adalah sejumlah bukit yang telah gundul. Pohon-pohon ditebang. Hanya tandus yang tersisa.

Sesampainya di Pulau Papan, butuh waktu sekitar 20 menit menggunakan perahu kecil untuk sampai ke rumah Ating. Ating telah memilih berjauhan dari hiruk-pikuk perkotaan selama delapan tahun ke belakang. Dia tinggal di Malenge untuk mendedikasikan hidupnya kepada dunia konservasi.  

Selama tinggal di sana, Ating melihat bagaimana puluhan satwa liar dan endemik Togean yang tinggal di pedalaman hutan Malange terancam hilang. Dua faktor utama kepunahan mereka adalah perburuan oleh masyarakat lokal serta kerusakan habitat akibat masifnya pembalakan liar.  Bagi Ating, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah dengan merawat dan melestarikan satwa-satwa liar yang terancam pergi dari rumah mereka sendiri. 

Togean telah lama menjadi rumah dan habitat flora dan fauna seperti kuskus (famili Phalangeridae), tarsius (Tarsius spectrum palengensis), monyet Togean (Macaca togeanus), babirusa (Babyrousa togeanensis), beserta ratusan spesies tanaman dan puluhan spesies mangrove yang telah lama bermukim di dalamnya. Pada 2004, status Togean pun ditingkatkan menjadi Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Penetapan sebagai taman nasional berarti status Togean berubah menjadi kawasan konservasi yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. 

Taman nasional berfungsi sebagai kawasan pelestarian alami, baik di daratan maupun perairan, yang di dalamnya terkandung ekosistem yang asli. Taman nasional hanya bisa dimanfaatkan dalam kegiatan penelitan, pendidikan, kebudayaan, budidaya, ilmu pengetahuan, serta pariwisata.

Kepulauan Togean, Tojo Una-una, juga ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer dunia ke-16 pada tahun 2019 di Paris, Perancis. 

Kini, Togean telah menjadi rumah bagi Ating dan istrinya, Medi, serta kedua ekor anjing kesayangan mereka, Maya dan Hoki. Mereka menyambut kedatangan saya tepat di halaman rumahnya.

Di belakang mereka terdapat tiga bangunan. Di sisi kiri terdapat rumah beratapkan rumbia, berlantai dan berdindingkan bambu. Rumah tersebut disediakan bagi para tamu yang ingin menginap. Di bagian tengah terdapat bangunan yang didesain sebagai tempat belajar dan perpustakaan untuk anak-anak desa yang ingin belajar soal alam, flora, dan fauna. Medi dan Ating kerap menjadi pembimbing anak-anak tersebut.

A library at Medi and Ating Solihin’s home. Every Sunday, Medi teaches children from Malenge Village and Kadoda Village in the library.
Perpustakaan di samping rumah Medi dan Ating Solihin. Setiap hari Minggu, Medi mengajar anak-anak dari Desa Malange dan Desa Kadoda di perpustakaan ini. Foto dipotret oleh Zulkifli Mangkau.

Di sisi kanan terdapat rumah dengan dinding kayu dan atap seng yang menjadi kediaman mereka sejak 2014. Untuk mencukupi kebutuhan listrik, mereka menggunakan panel surya. Mereka juga menggunakan air hujan untuk kebutuhan air minum sehari-hari. Ating dan Medi menggantungkan hidup mereka dari alam. 

Selain dari kedua anjingnya, Ating dan Medi juga hidup bersama Makaki dan Coco yang mereka anggap sebagai teman setia. Makaki adalah seekor monyet Togean. Sekalipun, menurut Ating, ia berbeda, ia belum diklasifikasikan menjadi spesies tersendiri. 

“Makaki baru saja dari sini. Mereka makan pisang yang telah kami sediakan,” kata Medi, membuka pembicaraan yang hangat sore itu. 

Ating menjelaskan bahwa Makaki merupakan endemik di Togean dengan nama Makaki tonkeana. Makaki tonkeana kerap kali masih disamakan dengan Macaca tonkeana (monyet jambul), tetapi, menurut Ating, keduanya sangat berbeda.

“Tujuh puluh persen populasi makaki yang ada di Togean hanya ada di Malenge. Dan belum ada yang mendaftarkannya,” kata Ating.

Sementara Coco adalah seekor babirusa yang juga merupakan hewan endemik Pulau Togean. “[Tadi] pagi dia sempat ke sini,” ujar Ating.

Kecintaan Ating terhadap hutan, satwa, dan isu konservasi telah lama ia geluti. Hal tersebut kini menjerumuskannya menjadi seorang yang dianggap konservasionis.

Ating bercerita, sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia sudah terlibat dalam kegiatan di alam dengan pramuka. Ia selalu bersemangat mengikuti aktivitas di hutan dan alam terbuka. 

Atas keinginan orangtuanya, Ating lanjut mengikuti studi kedokteran di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1984. 

Setelah lulus, Ating mulai menelusuri hutan-hutan di pedalaman Indonesia, dari Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, hingga akhirnya memutuskan menetap di Malenge.

Awal Pertemuan

Dengan posisi rumahnya yang berdekatan dengan hutan, Ating sempat menghabiskan hari-hari dengan kegelisahan pada tahun 2019 lalu. Ating kerap terbangun di malam hari selepas mendengar suara-suara janggal yang berasal dari belakang rumahnya. Suara-suara tersebut terdengar familiar, tetapi ia tak mampu menebak asalnya.

Suatu malam, ia keluar melihat sumber suara. Tak menemukan sumbernya, Ating justru mendapati sejumlah buah kelapa telah hilang dari pohon kelapa di pekarangannya. Dugaannya, seseorang telah mencuri kelapa-kelapa tersebut. 

Sebelumnya, Ating tak pernah memasang kamera pengintai untuk menjaga rumahnya. Ia begitu percaya pada lingkungan tempat tinggalnya, selalu merasa aman dan nyaman. Namun, sejak rangkaian malam dipenuhi suara-suara asing dan kelapa yang tiba-tiba hilang, ia mulai merasa ada yang janggal. Ating pun mulai memasang sejumlah kamera pengintai di sejumlah sudut di kediamannya.

“Hasilnya saya temukan, memang ada [yang] mengambil kelapa,” ungkap Ating. 

Ternyata suara tersebut berasal dari seekor babirusa yang kini telah menjadi teman dekatnya.

“Kami bersepakat memberi namanya Coco. Karena suka makan kelapa.” Ating tertawa.

Selepas mengetahuinya, Ating justru dengan sengaja menambah jumlah kelapa di pekarangannya. 

“Kelapa yang diambil digunakan untuk bertahan hidup. Dia makan lalu pergi. Hanya menyisakan batoknya saja,” kisah Ating.

Ating juga menanami beberapa sayuran, umbi-umbian, dan pisang di kebunnya. Namun Coco justru merusaknya.

Secara perlahan, Ating mencoba mendekatinya, walau ia menyadari bahwa Coco mungkin menganggapnya sebagai ancaman. Namun, pada akhirnya, Ating pun berhasil mendekati Coco.

Ating memberi sentuhan pertama tepat di kepala Coco. Selepas itu, ia terus mengulanginya setiap bertemu. Lama kelamaan, Coco pun mulai percaya dengan Ating, hingga kini Ating kerap memeluknya.

“Banyak orang yang bilang, butuh trik dan bantuan kecanggihan teknologi hanya untuk melihatnya saja. Itu pun harus berjarak dan menyamar. Tapi, di sini, saya sudah berteman dengannya, sangat dekat sekali,” kata Ating.

Pertemanan antara Ating, Medi, dan Coco sudah berjalan selama tiga tahun. Namun, keberadaan babirusa tak sepenuhnya aman. Masih banyak yang melihat mereka sebagai ancaman, sehingga mereka rentan diburu. Babirusa seringkali masih dianggap hama oleh masyarakat lokal. 

Ating menyampaikan bahwa memang tak semua babirusa mudah untuk ditangani oleh manusia. Hanya terdapat beberapa babirusa yang benar-benar bisa diajak untuk berinteraksi dengan manusia, salah satunya adalah Coco.

“Saya mungkin berjodoh dengan dia,” kata Ating.

Ating is playing with Coco at his yard.
Ating Solihin sedang bermain dengan Coco di halaman rumahnya. Foto dipotret oleh Zulkifli Mangkau.

Selain babirusa, Ating juga menemukan banyak spesies lainnya selama delapan tahun tinggal di Malange. Ia menemukan berbagai macam flora dan fauna. Sebagian menghadapi ancaman serius yang sama terhadap keberlangsungan hidup mereka di alam. 

Official Journal of the European Union mencatatkan bahwa babirusa adalah hewan yang harus dilindungi karena populasi mereka yang terus berkurang. Beberapa jenis di antaranya adalah Babirusa Sulawesi (Babyrousa celebensis), Babirusa Togean (Babyrousa togeanensis) atau dikenal Babirusa Malenge, Babirusa Buru (Babyrousa babyrussa) yang ada di Pulau Buru, serta Babirusa Bolabatu (Babyrousa bolabatuensis) yang sudah punah. 

Babirusa juga termasuk hewan yang dilindungi di Indonesia. Pemerintah menjaganya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang diubah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018. Aturan tersebut mempertegas posisi hewan dengan genus Babyrousa merupakan satwa yang dilindungi oleh peraturan perundangan-undangan Indonesia.

Satwa liar ini juga sudah termasuk dalam daftar hewan yang terancam hidupnya oleh lembaga pemerhati konservasi dunia International Union for Conservation of Nature’s (IUCN). IUCN memasukkan babirusa ke dalam Red List, yang artinya terancam punah dalam kategori rentan. 

Selain IUCN, babirusa juga masuk dalam The Conservation of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Appendix I. Artinya, hewan ini dilindungi secara penuh dan tidak bisa diperdagangkan, baik dalam keadaan hidup atau mati, serta tak dapat dijadikan sebagai produk olahan.

Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi (2020) yang ditulis oleh Abdul Haris Mustari menyebutkan bahwa hewan ini merupakan satwa endemik Wallacea, yang mana persebaran babirusa dan fauna lainnya seperti anoa, kuskus, dan tarsius hanya ditemukan di beberapa bagian wilayah Sulawesi dan Maluku, serta tidak ada di tempat lain di Indonesia. Hewan endemik ini juga telah tercatat dalam catatan perjalanan Alfred Russel Wallace ke Nusantara. Ia menamakan kawasan biogeografis tersebut sebagai Wallacea, wilayah yang ia lihat kaya akan flora dan faunanya. 

Populasi alami babirusa bisa ditemui di beberapa daerah, seperti Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara. Umumnya, babirusa menyukai dataran rendah di kawasan hutan hujan. Haris juga menulis bahwa babirusa adalah hewan yang suka jalan sendiri atau berkelompok kecil. Mereka juga menyukai kubangan mandi

Ating menjelajahi hampir seluruh pedalaman hutan Togean untuk mencari keberadaan Babyrousa togeanensis. Ia memasang jebakan kamera di setiap tempat yang ia datangi. Ia pun menemukan babirusa yang terpantau dari kamera tersebut tersebar di Batudaka, Kadidiri, dan di pulau-pulau kecil tempat di Malenge.

Habitat Terancam

Perkenalannya dengan Coco mendorongnya semakin sibuk mencari tahu soal keberadaan babirusa di hutan Togean.

“Dari jumlah yang ratusan ekor, sekarang ini sisa puluhan ekor saja. Apalagi yang ada di Malenge ini. Kehidupan mereka semakin terancam karena ulah manusia sendiri,” ungkap Ating.

Memasuki 2020, suara gergaji mesin pun semakin sering terdengar dari kediaman Ating.

“Saya pikir, [suara itu] bukan [berasal dari] menebang pohon. Pas dicek, ternyata benar,” lanjutnya.

Suara tersebut berasal dari pembalakan liar.

“Jaraknya tidak jauh dari rumah. Mereka saya suruh menjauh dari area tanah saya. Sedih dan marah melihat hal itu terjadi!”

Kata Ating, pembalakan liar memang kerap terjadi di pedalaman hutan Togean, apalagi di Malenge. Tutupan hutan dan tegakan pohon terus berkurang setiap tahunnya. Ada yang menjual kayunya dan ada yang mengubah kawasan hutan menjadi ladang perkebunan masyarakat lokal.

The view along the way to Togean Islands shows the signs of logging.
Pemandangan dalam perjalanan menuju Kepulauan Togean yang menunjukkan adanya penebangan pepohonan. Foto dipotret oleh Zulkifli Mangkau.

“Banyak orang yang tahu, tapi mereka diam. Mereka menyaksikan dengan mata telanjang.”

Pagi yang sangat buta, saya menjelajahi hutan Malenge. Di belakang rumah Ating terdapat hutan belantara yang padat. Vegetasinya masih rapat. Banyak pohon yang menjulang dengan diameter yang beragam.

Hanya tiga kilometer dari belakang rumah Ating, tampak banyak bekas pohon yang ditebang dan dibiarkan begitu saja. Terdapat sejumlah papan kayu yang telah diiris persegi yang kemungkinan hasil penebangan pohon di sini. Papan-papan tersebut sudah diselimuti lumut dan ditumbuhi jamur. Warnanya pun telah berubah menjadi hitam. Botol oli pelumas berserakan di samping pepohonan.

“Peristiwa itu terjadi dua tahun lalu dan banyak orang yang tahu.” Ating tampak geram.

Aktivis lingkungan Ampana, Sulawesi Tengah, Abdul Haris Balango, membenarkan persoalan pembalakan liar terus terjadi di Togean. 

Menurutnya, tingginya pembalakan liar yang terjadi di Togean bukan hanya mengancam satwa yang ada tetapi juga akan berdampak pada ekosistemnya. Terlebih, Kepulauan Togean dikenal sebagai daerah wisata bagi turis dalam hingga luar negeri.

Hilangnya tutupan hutan akibat maraknya pohon ditebang, kata Abdul, akan berdampak pada laju perubahan iklim Puncaknya, krisis iklim akan mendatangkan bencana hebat yang harus dihadapi oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk Togean.

Menurut Ating, kurangnya patroli pengawasan yang dilakukan secara ketat oleh pihak berwajib menjadi salah satu faktor terus terjadinya pembalakan secara masif. Ating khawatir, jika penebangan pohon terus dilakukan di hutan Malenge, maka masa depan keberlanjutan keanekaragaman hayati yang ada di Togean, khususnya di Malenge, akan semakin terancam. 

“Selama saya memantau babirusa, [saya melihat telah] terjadi penurunan populasi. Dari ratusan ekor, sekarang hanya ada lima puluhan ekor terpantau di kamera trap,” katanya. 

Selain penebangan liar, Ating menilai aktivitas perburuan yang tinggi terhadap babirusa mengancam populasinya akan semakin menurun. 

Sardin Mattorang (41), seorang warga Desa Kadoda, juga membenarkan terkait perburuan terhadap babirusa di Togean. “[Jika] mereka (babirusa) berjalan melewati kebun masyarakat, dan pasti dirusak [kebunnya]. Makanya, mereka selalu dianggap hama oleh warga,” ungkapnya.

Ating menyampaikan sebagian orang juga memburu babirusa untuk memakannya. Penelitian H.J. Kiroh dari Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado (2020) menunjukan rantai pasok perdagangan daging babirusa yang masih marak turut memberi dampak terhadap populasinya. 

“Daging babirusa masih beredar dan diperdagangkan di beberapa pasar tradisional di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Pemasoknya paling banyak dari Sulawesi Tengah,” tulisnya.

Penelitian tersebut juga membagi tiga daerah utama pemasok daging babirusa di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara. Daerah tersebut adalah Sulawesi Tengah (58%), Gorontalo (25%), dan Bolaang Mongondow (17%).

Saat saya mencoba mengkonfirmasi permasalahan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mereka tak memberikan respon hingga naskah ini terbit.

Rumah Bersama

Keputusan Ating membeli tanah seluas 2 hektar lebih di Malenge tak lain adalah bentuk kampanye tentang perlindungan Babyrousa togeanensis yang semakin terancam hidupnya. Ating berpikir bahwa membeli tanah adalah satu-satunya cara menjaga keberadaan mereka tanpa mengubah bentuk alamiahnya. Ating pun terinspirasi dari pelaku konservasi dunia, seperti primatolog asal Inggris Jane Goodall, yang selalu berbagi informasi terkait aktivitas yang ia lakukan. 

“Ini tempat mereka. Saya hanya pendatang di sini,” ujar Ating

“Kalau rumah mereka di atas (hutan) rusak, mereka lari ke mana lagi? Pasti lari ke sini (daerah rumahnya yang dekat dengan laut). Karena di sini satu-satunya tempat [di mana] mereka merasa aman dan dapat hidup dengan lama,” lanjutnya.

Ating menyadari bahwa posisinya yang mampu melihat Babyrousa togeanensis secara langsung merupakan keistimewaan tersendiri.

“Jika kita baik terhadap sesama makhluk dan mencintainya, kita bisa saling berbagi hidup dan saling menjaga,” ujarnya.

Ating berharap, keanekaragaman hayati TNKT diperhatikan semua orang. Menurutnya, pemerintah daerah, pihak kepolisian, dan pemerintah desa seharusnya berkoordinasi dengan lebih baik dalam membangun komitmen menjaga kawasan TNKT dari tangan-tangan orang tidak bertanggung jawab. 

Akibat keramahan Ating kepada Coco, kini rumahannya mulai dikunjungi banyak satwa lainnya.

“Sekarang ada Makaki. Mereka mulai banyak ke sini. Mereka suka makan pisang masak. Kalau mentah, tidak mau dimakan. Padahal kalau di hutan sana, banyak pisang mentah, mereka makan.” Ating tertawa.

Ating Solihin is opening a dried coconut for Coco.
Ating Solihin sedang mengupas kelapa kering untuk Coco. Foto dipotret oleh Zulkifli Mangkau.

Memasuki sore hari, Ating pun mulai menaruh pisang di beberapa titik untuk memancing Makaki, serta menjejerkan kangkung, kelapa, dan umbi jalar untuk memanggil Coco.

“Mereka sangat suka ini dan pasti akan datang. Kita tunggu saja,” ujarnya. 

Ating hanya berharap keberadaan satwa liar yang ada di Togean, baik babirusa, makaki, tarsius, maupun kuskus yang pernah ia temui, kelak akan diperhatikan oleh banyak orang.

“Karena satwa liar ini memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem dan keseimbangan alam,” tegas Ating. “Tempat ini adalah rumah bersama satwa yang ingin hidup.”

Apa Selanjutnya?

Dalam kesehariannya, Ating masih sibuk untuk mengkampanyekan perlindungan satwa yang menggantungkan seluruh hidup mereka di hutan Togean. Apabila kamu tertarik untuk membantu, Ating juga membuka ruang untuk berdonasi bagi siapa saja yang tertarik mendukung kegiatan konservasinya di Togean. Kamu bisa menghubunginya lewat website maupun Facebook. Kamu juga bisa berkontribusi dengan membantu menyebarkan tulisan ini ke orang-orang sekitarmu.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *