Jumat 18 Mei 2018. Siang itu, gerimis yang baru saja membasahi jalanan di kawasan Sukaria, Kelurahan Tamamaung, Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa orang terlihat bergerak membawa jualan takjil. Pisang ijo, jalangkote, lemper, es buah, dan bakwan. Mereka menentengnya menuju jalan-jalan utama yang ramai dilalui pengendara.

Hujan siang itu membuat langit lebih gelap. Dari arah Jalan Abdullah Daeng Sirua, saya berkendara melewati kelokan kecil dan berhenti di dekat masjid. Di sini, saya menemui Sri Dewi Permai, remaja berumur 15 tahun, yang rencana pernikahannya pada Januari 2018 lalu, batal digelar. Bukan karena ia menolak, tapi keluarga pihak laki-laki tak muncul saat upacara pernikahan akan digelar. “Jadi saya diam-diam mi juga. Tapi syukur karena ndak jadi nikah,” katanya.

Ia beruntung bisa ‘kabur’. Tapi kisah pernikahan anak adalah cerita sehari-hari di daerah ini.

Members only

Log in or

Join New Naratif as a member to continue reading


We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.