Para pengungsi luar negeri perempuan berharap Indonesia bisa jadi tempat tinggal sementara yang lebih nyaman dibanding negara asal mereka. Sayang, harapan itu belum terwujud karena kekerasan berbasis gender masih terjadi. Dan, sistem hukum di negara ini belum mampu melindungi para korban.
Peringatan: Artikel ini meliputi isu kekerasan berbasis gender
Tujuh tahun lalu, Nimo meninggalkan kampung halamannya di Somalia. Waktu itu ia berusia awal 20-an.
“Di Somalia, kekerasan domestik sudah jadi keseharian. […] Nggak ada yang menghentikan itu,” kata Nimo. Dia merupakan salah satu pendiri komunitas Sisterhood, sebuah komunitas yang mengadvokasi para pengungsi luar negeri (selanjutnya disebut pengungsi) perempuan di Indonesia.
Ia merasa keamanannya sebagai perempuan muda lajang sangat terancam bila tetap tinggal di Somalia.
Setidaknya selama satu dekade terakhir, kondisi keamanan di Somalia belum kunjung kondusif. Serangan dari kelompok-kelompok ekstrimis yang berasal dari wilayah separatis masih terus terjadi. Kekacauan tersebut berdampak terhadap krisis kemanusiaan dan prospek ekonomi yang suram.
Laporan dari United Nations Population Fund (UNFPA) dan Plan International menyebut para perempuan di Somalia masih jadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan berbasis gender.
Indonesia adalah negara transit, atau tempat tinggal sementara bagi para pengungsi dan pencari suaka sebelum mereka mendapatkan keputusan dari negara yang akan menerima mereka sebagai warga negara baru. Namun tidak ada yang bisa memastikan berapa lama para pengungsi harus tinggal di negara transit sampai ada keputusan dari negara ketiga. Rata-rata pengungsi di Indonesia butuh waktu lebih dari 8-10 tahun. Sejauh ini, persentase penerimaan pengungsi ke negara ketiga kurang dari 1%.
Ketika tiba di Jakarta, Nimo berjumpa dan berkawan dengan sejumlah pengungsi yang berasal dari negara lainnya, seperti Afghanistan, Irak, Myanmar, dan Sudan. Ia pikir hidup di Indonesia bisa membuat hari-harinya lebih tenteram. Nyatanya tidak demikian.
Kasus kekerasan berbasis gender di kalangan pengungsi perempuan masih terjadi. Mayoritas pelakunya adalah sesama pengungsi. Lingkup kekerasan terjadi di ranah domestik, relasi romantis, dan relasi pertemanan.
Hal ini sulit diatasi karena Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia tidak mengatur perlindungan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap pengungsi perempuan.
Di samping itu, Indonesia belum menandatangani konvensi 1951 soal pengungsi sehingga para pengungsi tidak mendapat perlindungan, akses, dan hak yang sama seperti warga negara Indonesia. Mereka bahkan tidak diperkenankan untuk bekerja.
Penanganan kasus kekerasan berbasis gender pengungsi luar negeri di Indonesia menjadi tanggung jawab bersama antara badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization on Migration (IOM). Mereka juga bermitra dengan organisasi kemanusiaan, seperti Church World Service (CWS), Catholic Relief Service (CRS), dan Jesuit Refugee Service (JRS).
Lembaga-lembaga tersebut berkolaborasi dengan pemerintah daerah, sejumlah kementerian, lembaga bantuan hukum, dan layanan penyedia rumah aman dalam penanganan kasus kekerasan terhadap pengungsi perempuan. Layanan ini cenderung lebih berjalan di kota besar, seperti Jakarta.
Nimo teringat salah satu peristiwa yang cukup membekas. Satu malam pada Desember 2021, seorang pengungsi perempuan mendatangi tempat tinggalnya untuk meminta pertolongan.
Tubuh perempuan itu luka-luka akibat dipukul suaminya. Dia kabur dari rumah untuk mencari tempat aman. Nimo mempersilakan perempuan tersebut tinggal sementara di tempatnya. Ia memberinya makan, minum, dan kamar layak untuk beristirahat.
“Aku sudah hubungi lembaga yang seharusnya memberi rumah aman dan menangani kasus ini, tapi tidak ada respons walau sudah dihubungi selama dua minggu,” katanya.
Akhirnya, si suami mengetahui lokasi perempuan tersebut. Si suami mendatanginya dan berjanji tidak akan melakukan kekerasan lagi. Perempuan tersebut pun percaya dan ikut suaminya pulang. Nimo menyesali keputusan tersebut, tanpa bisa berbuat apapun.
Itu bukan satu-satunya kejadian. Nimo berkali-kali didatangi oleh pengungsi perempuan yang meminta pertolongan setelah menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Nimo ingat pengalaman pertamanya membantu menangani kasus kekerasan berbasis gender di kalangan pengungsi di tahun 2017. Ia butuh waktu berbulan-bulan sampai kasus ditangani. Pengalaman tersebut pun menjadi pembuka perjalanan Nimo menjadi pendamping kekerasan berbasis gender pada pengungsi perempuan.
“Sampai sekarang, ini jadi hal yang aku dengar sehari-hari. Paling tidak sepekan dua kali aku bertemu dan mendengar aduan soal kekerasan yang dialami korban perempuan.”

Sejauh pengamatan Nimo, para korban mengalami kekerasan fisik, mental, dan seksual.
“Ada juga yang kusebut kekerasan tradisi. Contohnya, saat perempuan memutuskan mengubah penampilannya dengan melepas hijab, dia bisa dipermalukan oleh komunitas, akun media sosialnya diisi dengan komentar buruk. [Ia] dianggap hina,” lanjut Nimo.
Nimo menjelaskan bahwa faktor budaya juga menjadi salah satu pemicu kekerasan berbasis gender. Ia menceritakan bahwa ia dan beberapa teman pengungsinya dari Somalia, Afghanistan, dan Iran tumbuh dalam budaya di mana perempuan dilarang berpacaran. Bila perempuan ketahuan berpacaran dengan laki-laki lebih dari tiga bulan tapi tak kunjung menikah, maka perempuan tersebut akan dianggap hina oleh komunitasnya.
Sebagian korban ingin melaporkan kasusnya. Ada pula yang memilih diam.
Para korban yang melapor, jelas Nimo, berharap UNHCR bisa memberi bantuan berupa rumah aman, finansial, dan kepastian pemberangkatan ke negara ketiga.
Ada pula yang berharap membawa kasus ke pengadilan. Namun, menurut Nimo, ini sulit. “Negara ini tidak memasukkan pengungsi luar negeri perempuan di dalam sistem hukum.”
“Yang terburuk adalah komunikasi,” kata Nimo, menyebutkan tantangan utama penanganan kasus kekerasan berbasis gender di kalangan pengungsi di Indonesia.
“Selama empat tahun belakangan, para korban selalu bilang nomor hotline [UNHCR] kasus kekerasan nggak dijawab. Andai dijawab, mereka menyediakan penerjemah laki-laki. Bagi korban, menceritakan kasus kekerasan ke laki-laki itu tabu,” keluh Nimo.
Di samping itu, ada sebagian korban yang merasa skeptis. “Mereka pikir, kalau aku menceritakan kisahku, apakah ada jaminan bahwa hidupku akan aman? Nggak ada yang bisa menjamin itu.”
Para korban yang enggan melaporkan kasus meminta Nimo membantu menyediakan rumah aman dan bicara pada UNHCR agar bisa menolong mereka dengan lebih baik.
Kerumitan alur penanganan kasus
Menurut UNHCR per November 2022, ada 12.616 pengungsi yang terdaftar di Indonesia. 27% diantaranya adalah perempuan. Mereka tersebar di berbagai kota, seperti Jakarta, Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Makassar.
Para pengungsi tinggal di berbagai macam tempat. Ada yang tinggal di rumah penampungan yang disediakan oleh IOM; kawasan tertentu yang banyak ditinggali pengungsi; gedung kosong yang disediakan pemerintah; dan di berbagai jenis pemukiman di perkotaan.
UNHCR dan IOM memberi uang santunan bulanan kepada para pengungsi. Bagi yang sudah berkeluarga, uang santunan diberikan untuk keluarga. Bagi yang belum berkeluarga, uang santunan diberikan pada individu.
Sampai saat ini, Dyah Fariani, Senior Protection Assistant (Community-based protection) UNHCR, menyampaikan bahwa UNHCR tidak bisa menginformasikan data perihal kasus kekerasan yang dialami pengungsi perempuan.
“Ini sensitif sekali. Bahkan di internal kami pun sangat dirahasiakan,” kata Dyah.
Informasi yang bisa dibagikan oleh UNCHR adalah jenis bantuan yang diberikan bagi para korban yang hendak melaporkan kasus. UNHCR bekerjasama dengan CRS dalam membuat hotline aduan kasus kekerasan berbasis gender. CRS menjadi pihak yang menerima aduan, melakukan asesmen kasus, serta melaporkan hasilnya kepada tim UNHCR. Kemudian, tim UNHCR memberi rekomendasi langkah penanganan sesuai kebutuhan korban melalui staf CRS.
Sebagai pintu utama dalam penerimaan aduan, Griselda, Protection and Community Mobilization Assistant, CRS, menyampaikan bahwa CRS juga bertanggungjawab menyediakan penerjemah dan melakukan pendampingan.
“Memang kami belum bisa merespon aduan dari hotline dengan cepat karena keterbatasan sumber daya manusia. Too much to handle,” ujar Griselda.
Sejak membuka divisi khusus penanganan kasus KBG pada 2019, dalam satu bulan setidaknya ada satu kasus yang masuk dan ditangani staf CRS. Satu orang ditugaskan menangani kasus yang sedang berjalan sekaligus aduan yang masuk dan juga kasus darurat, yaitu kasus yang perlu penanganan segera.
Tantangan selanjutnya adalah birokrasi. Ketika korban membutuhkan layanan rumah aman, CRS tidak bisa serta merta memberikan akses.
“Kami harus mengajukan dulu ke UNHCR. Ada prosedur-prosedur yang harus dilewati. Jadi ketika terjadi kasus darurat, pihak yang sebetulnya bisa paling cepat membantu adalah orang sekitar mereka,” lanjut Griselda.
Namun hal tersebut juga jadi tantangan lain karena pengetahuan para pengungsi perempuan soal kekerasan berbasis gender masih terbatas. Dan belum semua pengungsi tahu cara melapor bila terjadi kasus kekerasan.

Kemudian terdapat sejumlah lembaga lain yang juga bertanggung jawab atas kebutuhan korban. CWS menangani kebutuhan korban terhadap layanan psikososial dan medis. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan jadi rujukan bagi korban yang membutuhkan layanan bantuan hukum. Bila korban membutuhkan rumah aman, UNHCR akan merujuk ke LPSK atau Rumah Bulan.
Tantangan besar juga dialami oleh LBH APIK Jakarta dalam penanganan kasus. Sejak 2018, setiap tahun, lembaga tersebut menerima 5-10 aduan kasus kekerasan berbasis gender dari kalangan pengungsi. Sebagian besar kasus tersebut adalah hasil rujukan dari CRS dan IOM.
Jenis kekerasan yang terjadi diantaranya kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender online. Kendala sudah terjadi sejak korban menginjakkan kaki di kantor LBH APIK Jakarta.
“Kendala bahasa. CRS dan IOM bisa saja datang dengan penerjemah, tapi ini menerjemahkan beberapa bahasa, Inggris-Farsi-Indonesia. Proses menjadi lama. Belum lagi bila ada pengungsi yang langsung datang sendiri,” kata Husna, pengacara LBH APIK Jakarta yang menangani kasus kekerasan di kalangan pengungsi.
Kendala komunikasi masih ditambah dengan kendala dari sisi proses hukum yang lama. Sepengalaman Husna, proses penanganan kasus bisa memakan waktu hingga dua tahun, dan sangat jarang yang bisa sampai di pengadilan.
Bila ada yang mau mengajukan kasus ke pengadilan, maka dibutuhkan dorongan yang lebih besar dari beberapa lembaga lain, termasuk Komnas Perempuan, agar kasus bisa diproses. Seringnya, penanganan kasus para pengungsi berhenti di tengah jalan.
Alasannya berbagai macam: Polisi menganggap alat bukti tidak kuat, minimnya saksi, hasil visum psikologis korban tidak dianggap valid, dan seterusnya.
“Jadi panjang dan melelahkan. Korban mesti bolak-balik ke kantor polisi, ke rumah sakit, ke psikolog. Ini perlu waktu dan juga biaya, minimal transportasi. Dan para pengungsi luar negeri tidak termasuk sebagai orang yang berhak atas layanan bantuan hukum (yang biaya penanganan kasusnya bisa ditanggung pemerintah),” kata Husna.
Bagi para pengungsi, keberadaan bersama dengan komunitas sesama pengungsi jadi hal yang sangat penting. Ini akhirnya berdampak pula pada proses pemulihan korban saat berada di rumah aman.
Mitsalina, pendiri Rumah Bulan, rumah aman yang telah dijadikan rujukan sejak 2021, mengisahkan bahwa ia sempat kehabisan cara untuk melarang korban menerima kunjungan dari kerabat dan keluarga selama berada di rumah aman. Kunjungan tersebut bisa sangat berisiko karena informasi lokasi rumah aman bisa sampai pada pelaku kekerasan. Kekerasan bisa kembali terjadi dan berdampak negatif untuk penghuni rumah aman yang lain.
“Kami sering kebobolan. Saya merasa sangat kecewa. Saya pikir CRS dan UNHCR sudah memberi edukasi soal ketentuan tinggal di rumah aman,” kata Mitsalina.
Terlepas dari sejumlah tantangan yang masih ada, Nimo menjelaskan bahwa para pengungsi perempuan sebetulnya ingin menjadi lebih independen secara finansial agar bisa bebas dan berada jauh dari pelaku kekerasan. Mereka perlu bantuan finansial yang lebih besar nominalnya, layanan kesehatan yang efektif, dan rumah aman yang memadai.
Keinginan itu sulit diwujudkan. UNHCR sudah punya sistem yang pasti soal bantuan finansial. Mereka tidak bisa mengeluarkan dana lebih bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan istri perlu keluar dari rumah.
Ketersediaan rumah aman juga masih terbatas. Selain Rumah Bulan, pihak yang dirujuk UNHCR untuk rumah aman adalah LPSK. Namun, menurut Dyah, persyaratan administrasi kerap kali menghambat para pengungsi untuk mendapat fasilitas rumah aman dari LPSK.
Tantangan-tantangan yang ada dalam sistem penanganan kekerasan berbasis gender, pada akhirnya, membuat Nimo berupaya menciptakan sistem perlindungan bagi komunitas mereka.
Upaya memberdayakan komunitas
“Ini semua menghancurkan mental saya. Saya tidak bisa tidur, tidak bisa berhenti berpikir, bagaimana saya bisa membantu para korban?” kata Nimo.
Perjalanan Nimo mendampingi kasus mengantarkan dirinya dan dua temannya dari Iran dan Afghanistan untuk membentuk komunitas Sisterhood pada 2018.
Di komunitas tersebut, Sisterhood merancang 13 jenis kelas yang bisa membantu para pengungsi perempuan menjaga kesehatan mental dan melindungi dirinya.
Beberapa kelas tersebut di antaranya adalah melukis, literasi digital, film dan buku, public speaking, menyulam, membuat perhiasan, dan merajut. Dan tentu, kelas bahasa Indonesia dan Inggris. Di samping itu, Sisterhood menyelenggarakan berbagai webinar tentang kesehatan mental dan kesehatan reproduksi. Ada pula edukasi soal kekerasan berbasis gender.
“Berawal dari yang paling sederhana, mereka harus paham mana kekerasan, mana yang bukan.”
Dalam perjalanannya, Sisterhood terus mencari dan mendapat dukungan dari pihak luar. Pada 2021, mereka mendapat bantuan dana dari Women’s Fund Asia. Dana tersebut digunakan untuk melakukan kerjasama dengan sejumlah lembaga seperti LBH Apik dan SUAKA dalam melakukan perlindungan terhadap kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada pengungsi perempuan.
Sepanjang 2022, ada 275 pengungsi perempuan yang ikut serta dalam berbagai aktivitas yang diselenggarakan Sisterhood. Pada 2023, Sisterhood hendak memperbanyak aktivitas yang bisa mendukung para korban kekerasan berbasis gender. Sisterhood juga berharap bisa mendapatkan bantuan untuk darurat kekerasan berbasis gender, termasuk bantuan dana, rumah aman, dan fasilitas kesehatan yang bisa diakses langsung sesaat setelah korban melaporkan kasusnya.
“Sebisa mungkin, kami mengajak teman-teman untuk jadi self-sufficient. Kami ingin membantu para Ibu untuk menjaga well-being mereka dengan kelas-kelas yang ada,” tutur Nimo.
Ia sadar bahwa hal tersebut masih jauh dari ideal. Nimo merasa perlu ada sistem yang solid dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender di kalangan pengungsi.
“Idealnya, setiap korban bisa mengakses hotline dengan mudah dan mendapat layanan yang baik. Idealnya, mereka bisa datang ke rumah sakit terdekat atau mendapat layanan yang semestinya tanpa harus menunggu lama,” kata Nimo.
Ke depannya, Nimo berharap agar Sisterhood bisa menjalin kerjasama dengan sejumlah pengacara dan praktisi kesehatan mental agar komunitas tersebut bisa lebih optimal dalam membantu para pengungsi perempuan korban kekerasan.
Nimo mengisi hari-hari dengan merancang kelas untuk Sisterhood dan juga menyusun proposal guna mencari dana bantuan dari lembaga internasional agar Sisterhood tetap bisa berjalan. Ia pun turut memotivasi para pengungsi luar negeri perempuan untuk mengikuti kelas yang ada.
“Aku menyibukkan diri karena kalau fokus ke realitas, aku bisa selalu depresi,” tutur Nimo.
Sisterhood berupaya menjalin mitra dengan lembaga-lembaga, seperti JRS dan LBH APIK, untuk memberi edukasi dan perlindungan terhadap aksi kekerasan berbasis gender.
Gading Gumilang, Senior Legal Services Officer JRS, berkata bahwa sampai saat ini penanganan kasus kekerasan berbasis gender di kalangan pengungsi perempuan tidak pernah tuntas.
“Yang paling realistis dalam konteks kekerasan berbasis gender adalah izinkan para pengungsi perempuan untuk masuk dalam sistem yang sudah ada. Ketika melapor, tidak usah dilihat bahwa mereka pengungsi atau bukan. Pandang mereka sebagai korban,” tutur Gading.
Perjalanan menuju sistem penanganan kasus kekerasan berbasis gender yang solid masih menjadi hal yang terus diupayakan bersama. Nimo berharap, “Pemerintah Indonesia memasukkan pengungsi luar negeri perempuan ke sistem hukum yang ada di negara ini.”
Pembaca Dapat Segera Bertindak:
- Dukung komunitas pengungsi perempuan Sisterhood dengan mengunjungi website dan akun Instagram @sisterhood_community_center. Anda pun bisa menjadi bagian dari komunitas Sisterhood dengan memberi berbagai pengajaran kepada mereka maupun donasi lewat website resminya.
- Beri dukungan pada Rumah Bulan agar senantiasa bisa menjadi rumah aman dengan memberi donasi via Kitabisa. Bila ada orang di sekitar Anda yang membutuhkan fasilitas rumah aman, bisa hubungi Rumah Bulan via email rumahbulan.id@gmail.com. Untuk kabar terkini terkait Rumah Bulan bisa dilihat di laman Twitter @BulanRumah.
- Beri dukungan pada LBH APIK Jakarta dengan membeli merchandise via laman Tokopedia LBH APIK.
- Bagikan artikel ini dengan teman dan keluargamu dan diskusikan kekhawatiranmu dengan mereka.
- Hadiri acara-acara New Naratif untuk mendiskusikan isu ini serta berjejaring dengan orang-orang lain yang ingin berjuang demi perubahan.