Kita berada di dunia yang sama, tapi kita menempati ruang-ruang yang berbeda
Kamu di sebelah sana, dan aku di sebelah sini
Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain saling mengingat satu sama lain
Ingatan tentang kamu dan aku menggantung seperti poster
Barisan sajak di atas diambil dari kumpulan puisi berjudul Pocket 2 karya Zakir Hossain Khokan. Lewat karya ini, Ia menang Lomba Puisi Pekerja Migran pada 2014. Ilham untuk membuat puisi ini muncul pada suatu malam, saat Ia sedang naik bus menuju asrama. Saat itu, Ia merindukan istrinya.
“Langit yang gelap dan suram membuatku kangen akan suaranya, kehangatannya dan apalagi sentuhannya,” katanya. Pikirannya melayang pada suatu ketika: Ia dan istrinya mengunjungi sebuah pameran buku nasional di Bangladesh. Mereka berdua melewati kios penjaja bunga dari Shahbag, sementara itu becak-becak berlalu lalang di jalanan. Nostalgia itu telah mendorongnya untuk mengambil sebuah pena dan Ia pun mulai menulis.
Lomba Puisi Pekerja Migran
Tiga tahun setelah kemenangan Zakir, Lomba Puisi Pekerja Migran tahun 2017 diadakan di Galeri Nasional Singapura, dihadiri oleh pengunjung yang rata-rata adalah pekerja migran, warga Singapura, penduduk setempat (PRs atau Permanent Residents), dan bahkan ‘ekspatriat’. Acara itu sangat menyenangkan dan merupakan sebuah kesempatan, menurut sang penggagas dan koordinator acara Shivaji Das, untuk mengubah persepsi pekerja migran di negara yang dijuluki ‘Kota Singa’ ini.
Das menyadari ada perubahan pada sikap pada para pekerja bahkan sejak lomba digelar pertama pada 2014 lalu. Ia mengamati para penyair yang juga pekerja migran itu terheran-heran. Mereka heran bahwa penonton ternyata tertarik untuk mendengarkan karya mereka. “Banyak kontestan meminta untuk berfoto bersama dengan para penonton,” katanya.
Tapi kini penyair yang juga pekerja migran itu tidak lagi melakukan hal tersebut (berfoto dengan penonton), mereka justru telah menjadi bintang dari pertunjukan tersebut. Penonton adalah mereka yang benar-benar menghargai karya para pekerja migran. Kini, para pekerja migran ini telah mahir di panggung untuk melafalkan sajak puisi dengan gaya memesona dan mengundang decak kagum penonton.

Pekerja migran—istilah yang sebenarnya membedakan mereka dari para ‘ekspatriat’ yang seakan memiliki hak lebih istimewa—berasal dari negara berkembang di kawasan terdekat seperti Filipina, Indonesia, India, dan Bangladesh untuk mengadu nasib di Singapura. Hingga Desember 2017, Singapura adalah rumah bagi 246.800 pekerja migran dan domestik, serta 284.900 pekerja konstruksi atau bangunan. Total, jumlah pekerja migran baik laki-laki dan perempuan adalah lebih dari setengah juta jiwa; jumlah yang cukup signifikan bagi sebuah negara yang populasinya kira-kira hanya 5.5 juta jiwa saja.
Meski jumlah mereka besar, tapi mereka sering disebut sebagai “pekerja tidak terampil”. Mereka kerap dikerdilkan seperti ponsel dan paspor mereka disita majikan agar atasannya tersebut dapat mengendalikan durasi waktu istirahat.
Sentimen tentang hal ini sebelumnya telah disinggung dalam puisi karya Rolinda Onates Espanola berjudul “Ceritaku”, yang menjadi juara pertama Lomba Puisi Pekerja Migran pada 2016. Dalam puisi tersebut, Espanola menuturkan:
Tidak boleh ponsel, tidak boleh mandi setiap hari, bahkan sikat gigi juga
Tidak boleh bicara pada siapapun, bahkan pada rekanku seorang Filipina
Yang paling buruk dari kehilangan harga diri ini, mie dan potongan roti menjadi satu-satunya makananku
Atas nama keimanan, berikanlah aku kekuatan dan ketabahan
Untuk penggalan sajak ini, Espanola terinspirasi dari kasus-kasus penganiayaan yang dialami para pekerja rumah tangga. Seperti kasus Thelma Gawidan yang pernah naik daun, dimana majikannya dihukum dan dipenjara pada 2017 lalu karena telah dengan sengaja membuatnya menderita kelaparan. Berat badan Gawidan sampai turun drastis hingga 20 kg selama jangka waktu 15 bulan saja, dan Ia kehilangan kira-kira 40% dari massa tubuhnya. (Ini karena) Ia diharuskan meminta izin sebelum minum air, dan dilarang menggunakan kamar mandi di dalam rumah—Ia akhirnya terpaksa menggunakan kamar mandi pengunjung di kompleks kondominium tempat kerjanya itu.
Mitos “Tidak Terampil”
Sebuah mitos umum yang berkembang di masyarakat Singapura kerap menyebut bahwa para pekerja ini, yang datang dari negara dengan sedikit peluang bekerja, sangat beruntung karena dapat memperoleh kesempatan untuk bekerja di sebuah kota metropolis yang berkembang pesat seperti Singapura. Pola pikir seperti ini hanya memperkuat anggapan bahwa para pekerja migran tidak lebih dari unit-unit kerja saja; Komentar-komentar seperti ini sangat umum dijumpai secara online, bahwa mereka [pekerja migran] hanya berada di Singapura “untuk bekerja”, yang seakan-akan aspek hidup dapat dipisahkan ke dalam ‘silo-silo’ (Silo di sini dimaksudkan untuk menjelaskan pandangan yang ambigu yang tak utuh dan terpisah dari kesatuan maksud yang menyeluruh dari suatu masalah).
Namun penampilan pekerja migran sebagai penyair telah menjelma menjadi kritik atas stereotip dan bias ini. “Kesan dan pesan dari para penonton [pada awalnya] adalah bahwa mereka tidak menyangka penyair pekerja migran ternyata punya bakat. Para penonton memberikan apresiasi yang lebih besar karena mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh penyair ini dalam kehidupan sehari-hari mereka,” kata Das.
Sebagian besar puisi yang mereka tampilkan berkisar tentang pengalaman para pekerja migran di Singapura; seperti seputar kerinduan akan kampung halaman, kerinduan pada anak dan orang tua yang mereka tinggalkan, dan tantangan yang harus mereka hadapi di negara tempat mereka merantau. Dengan menonton pertunjukan ini, wawasan penonton tentang kehidupan para pekerja migran bertambah dan mendorong mereka untuk lebih welas asih.
“Singapura telah memberi kami sebuah wadah dimana kami bisa mempertunjukkan bakat kami”
Sebelumnya, Espanola selalu menghindari setiap percakapan, terutama bila ia pikir percakapan tersebut berisi komentar yang menyinggung perasaan pekerja migran. Namun, semenjak mengikuti lomba puisi, Ia mendapati bahwa ternyata anak-anak muda Singapura itu penuh kasih dan humanis. “Singapura telah memberi kami sebuah wadah dimana kami bisa mempertunjukkan bakat kami. Kini, masyarakat lebih sadar akan [kehadiran] kami [para pekerja migran] dan bahwa kami bukan hanya pekerja. Kami insan manusia, kami berbakat.”
Mereka yang tidak hadir di antara para penonton sama pentingnya dengan mereka yang hadir. Walau Das memperkirakan bahwa 20% dari para penonton acara lomba puisi adalah pengunjung baru—mereka cenderung muda dan bersahabat, dengan pengalaman pernah berpergian atau pernah tinggal di luar negeri. Tantangan pertunjukan ini di masa depan adalah merambah daerah pinggiran di Singapura dan sedapat mungkin (menarik minat menonton) warga Singapura yang berumur 50 tahun ke atas.
Perkumpulan dan Komunitas
Singapura merupakan tempat tujuan yang menarik bagi pekerja migran dimana mereka berharap dapat bekerja untuk menopang ekonomi keluarga mereka di rumah. Namun pada kenyataannya, beberapa dari mereka mendapati kota ini tidak seramah yang mereka harapkan. Ada banyak cerita tentang penganiayaan terhadap pekerja migran—dari awal sejak tiba di Singapura mereka sudah punya tanggungan utang setara gaji mereka beberapa bulan, hingga hidup dalam kondisi kurang ideal, serta batasan-batasan untuk berhubungan dengan kawan dan keluarga, belum lagi tidak diterima atau bahkan tidak dapat bergabung dengan komunitas.
Perasaan terisolasi ini—diperparah oleh tekanan seperti krisis keuangan, jam kerja yang lebih lama dari seharusnya, dan lebih sedikit waktu untuk berhubungan dengan orang-orang yang mereka cintai—dapat memicu timbulnya masalah dengan kesehatan mental mereka. Sebuah survei yang dilakukan oleh Organisasi Kemanusiaan untuk Ekonomi Migrasi (Humanitarian Organisation for Migration Economics atau HOME) menyebut bahwa faktor-faktor seperti persepsi mengenai integrasi, kepribadian, dan martabat telah berdampak pada “tingkat stress mental yang tinggi dan menyeluruh” para pekerja domestik migran. Dari 91 responden survei, 47% diantaranya mengatakan bahwa mereka tidak merasa menyatu dengan keluarga tempat mereka bekerja. Ia membuat mereka merasa terisolasi dan rentan di kota yang serba asing ini.

Rasa kesepian dan perasaan terasing serupa juga dialami kaum (pekerja migran) laki-laki. Zakir contohnya, saat pertama tiba di Singapura pada 2003, (karena kesepian), Ia mencari-cari sebuah komunitas puisi seperti yang ada di tempat asalnya, Bangladesh, di koran-koran (lokal Singapura).
“Di luar jam kerja saya, saya ingin tahu lebih banyak tentang Singapura, terutama tentang sastra dan persyairannya. Jadi, selama berbulan-bulan saya membeli koran The Straits Times dengan harapan menemukan puisi di halaman-halamannya,” katanya. “(Kalau) di Bangladesh, ada banyak puisi yang dicetak di buku dan koran, namun saya tidak menemukan puisi di koran Singapura manapun, walau sudah mencari dengan keras.” Zakir meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan lepas di Dhaka untuk menjadi pengawas proyek bangunan di Singapura.
Setelah pencarian panjang, pada akhirnya, Ia menemukan orang-orang yang punya minat sama dengannya di Amrakajona, sebuah kelompok peminat puisi. Amrakajona berarti “kita” dalam Bahasa Benggala.
“Setelah enam hari kerja, kami sering bertemu di hari Minggu untuk bertukar wawasan dan membagikan karya kreatif baru kami,” katanya. “Menenggelamkan diri saya dalam puisi Benggala telah mengurangi tingkat kelelahan dan kerinduan akan rumah saya. Membagi minat dengan sesama anggota membuat saya merasa bahwa saya tidak sendirian.”
Aktivitas seperti lokakarya dan kelas menulis kreatif terbukti telah membantu para pekerja migran menemukan komunitas mereka dan membuka jalan persahabatan, selain juga memberi kesempatan untuk mengekspresikan diri di sebuah negara dimana orang-orang tidak selalu mendengarkan mereka. Lokakarya ini juga telah membuka jalan bagi para pekerja migran untuk berhubungan dengan komunitas yang berbeda (di luar) dari komunitas mereka sendiri. Eli Nur Fadilah, seorang pekerja rumah tangga dari Indonesia contohnya, Ia mengatakan bahwa dengan menghadiri sebuah lokakarya, prasangkanya terhadap pekerja migran dari Bangladesh telah berubah karena “dulunya saya sangat takut sama mereka karena mendengar cerita-cerita buruk. Namun setelah mengenal mereka, saya tidak begitu takut lagi.”
Menghapus Hambatan
Walaupun Singapura sering dilihat sebagai melting pot atau titik pertemuan [berbagai suku dan latar belakang], akan tetapi upaya segregasi masih terjadi pada para pekerja migran yang berpenghasilan-rendah ini. Semisal, jika pekerja rumah tangga tinggal di tempat kerja mereka, pekerja bangunan harus tinggal di asrama, yang lokasinya seringkali cukup jauh dari kawasan pemukiman warga Singapura pada umumnya. Bahkan kondisi [asrama] disebut cukup mengerikan. Baru-baru ini, sebuah perusahaan konstruksi didenda karena menempatkan 60 pekerja migran di sebuah asrama yang dipenuhi dengan tikus.
Ini adalah pola pikir fisik (di Singapura) yang diturun-temurunkan secara terus-menerus bahwa pekerja migran adalah orang lain, yang berbeda dan terpisah dari semua orang yang tinggal dan bekerja di negara ini. Namun, dengan semakin ‘tersohornya’ penyair yang juga pekerja migran di kota ini, batasan itu akhirnya mulai kabur.
“Menenggelamkan diri saya dalam puisi Benggala telah mengurangi tingkat kelelahan dan kerinduan akan rumah saya”
Para pekerja menjadi lebih produktif dan bersemangat. Kolaborasi antologi puisi telah berjasa mengangkat profil mereka. Pada 2016, sebuah penerbit lokal bernama Ethos Books menerbitkan kumpulan puisi dari Md Mukul Hussine berjudul Aku, Migran. Puncaknya, pekerja migran juga telah tampil di Festival Penulis Singapura (Singapore Writers Festival).
Acara-acara seperti Karnaval Puisi, yang mempertemukan warga Singapura dengan pekerja migran, terus meruntuhkan batas-batas tersebut—di pertemuan seperti ini tidak ada “mereka” atau “kami, hanya sekumpulan tukang kata.
“Penyair pekerja migran terlibat dalam acara-acara sepanjang minggu, dan setiap minggu ada acara puisi dimana penyair pekerja migran dan penyair Singapura tampil di panggung yang sama,” jelas Das, walaupun ia memperhatikan bahwa interaksi ini sebagian besar hanya terjadi di antara komunitas seni, dan belum di komunitas yang lebih luas.
“Bagi penyair lainnya, baik warga Singapura atau mereka yang bukan pekerja migran, pintu Karnaval Puisi selalu terbuka untuk mereka. Kami percaya tidak ada penghalang, pembatas atau percabangan dalam berpuisi,” kata Zakir.
Acara lainnya seperti Human Library SG, dimana peserta secara sukarela menjadi “buku” dengan menceritakan kisah mereka kepada “pembaca”, juga menjadi wadah bagi pekerja migran untuk bertemu dengan warga Singapura.
“Menjadi buku di Human Library membantu saya belajar banyak hal, terutama tentang generasi muda di Singapura. Mereka penuh kasih sayang, dan dengan menceritakan pengalaman-pengalaman saya, semoga suatu hari saat mereka mempekerjakan seorang pekerja rumah tangga asing, mereka memiliki empati untuk pembantu mereka,” kata Espanola.
Hak istimewa dan hak asasi
Meski skema ini tampak menjanjikan, harus dicatat bahwa para penyair yang berpartisipasi di kelompok menulis dan lomba adalah mereka yang beruntung. Kesanggupan mereka untuk menampilkan karya mereka di acara ini berarti mereka mendapat cuti dari pekerjaan mereka, dan majikan mendukung mereka atau setidaknya majikan mereka tidak terlalu ketat. Sementara bagi sebagian besar pekerja rumah tangga di Singapura atau mereka yang tinggal di asrama, kesempatan untuk bergabung dengan komunitas, berhubungan (dengan dunia luar), dan punya peluang untuk mengembangkan bakat adalah sebuah kemewahan.
Tapi mendapatkan perlindungan institusi yang lebih baik serta hak para pekerja migran sesungguhnya adalah tujuan jangka panjang bagi kelompok pekerja migran. Paling tidak kini ada sedikit upaya dari akar rumput untuk menjangkau pekerja migran.

Zakir sendiri memulai proyek “Satu Tas, Satu Buku” untuk mendorong pekerja migran agar lebih giat membaca. Idenya sangat sederhana: membiasakan para pekerja untuk membawa sebuah buku di dalam tas mereka ke manapun mereka pergi, dan mereka akan membaca paling tidak satu buku dalam satu tahun. Zakir benar-benar melakukannya: saat pulang ke Bangladesh, Ia memborong 250 buku dengan merogoh koceknya sendiri, dan kemudian membagikannya saat kembali ke Singapura. Kadang, ia juga menerima sumbangan buku bahasa Inggris, yang dapat Ia gunakan untuk proyek ini.
“Karena buku-buku ini dalam bahasa ibu mereka, membaca buku ini menghubungkan mereka ke tanah air [tempat mereka berasal]. Ini juga merupakan sebuah kegiatan yang santai yang dapat meringankan stress dan meningkatkan produktifitas kerja,” jelas Zakir.
Entah membaca atau menulis puisi, pada intinya ada kebutuhan manusiawi untuk memiliki sebuah ikatan, kemampuan untuk memahami apa yang orang lain alami. Namun, yang tidak kalah penting adalah kerelaan untuk mendengar—hanya dengan begitu ikatan tersebut bisa terasa lengkap.
Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52/tahun (US $1/minggu)!