
Hello!
Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.
Karya Himas Nur menggaris bawahi hal yang begitu dekat, begitu nyata, namun tetap asing bagi banyak orang: bagaimana solidaritas dan keintiman queer bisa menjadi daya yang begitu dahsyat dan membebaskan. Terkadang, hanya itulah yang kita butuhkan adalah untuk menciptakan suatu rumah yang hangat dan ramah di Asia Tenggara.
Kayak gimana ya masa depan? Bingung. Soalnya, kami nggak bisa diseriusin nih di sini.
Rain, questioning, 21 tahun, Bandar Lampung
Rain mengakhiri jawabannya. Apa yang Rain sampaikan memang merepresentasikan kegelisahan yang kerap kami rasakan.
Rain adalah satu dari lima kawan yang membantuku menyelesaikan tugas akhir mata kuliah “mengimajinasikan masa depan”. Aku cukup kelimpungan mengerjakannya. Daripada kian hilang akal, akhirnya kusiasati dengan mencari pertolongan ke mereka yang mungkin sama-sama kebingungan ketika disodori “masa depan”.
Membayangkannya dalam imaji saja susah mampus –huh.
Saya tidak mau berpikir terlalu jauh, sementara kadang-kadang saya mengabaikan sekarang. Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana membuat diri saya bahagia, happy dengan proses hari ini.
Rianti, transpuan, 31 tahun, Mataram Nusa Tenggara Barat
Sudah beberapa tahun ini, Rianti lebih percaya diri. Terlebih, selepas ia menetap di Mataram—kota di mana ia memiliki komunitas yang memeluknya secara utuh, dan membantunya terus bertumbuh. Aku belajar darinya: bukan toxic positivity, melainkan perkara bahwa kami semua memang sebenar-benarnya berhak bahagia.
Meski internalisasi kebencian lebih sering menghampiri. Kadang sampai bising sekali.
Kenapa aku susah keluar dari suicidal thoughts-ku? Sebenernya, di dalam depresi nggak ada meaning apa pun. Justru ketika ada arti, aku bisa tetap bergerak—melanjutkan kehidupan—even mungkin hari ini aku ‘cuma’ melakukan hal-hal basic doang, tapi bisa get up dari bed itu aja udah ‘yeay prestasi’ dan tidak menyerah, tidak memilih untuk mati sebelum waktunya. Aku gunakan diriku untuk lebih fokus ke diriku, solitude, vibing, flowing, healing, self-care.
Nadiya, genderqueer, 27 tahun, Yogyakarta
Aku menangis ketika kali pertama dan kedua dan ketiga dan… Membaca ulang transkrip wawancaraku dengannya.
Sangat dekat. Sangat pekat. Dan Nadiya penyelamat.
Aku benar-benar merasa tidak sendiri.
Masa depan itu ya hari ini. Huhuhu.
Masa depan yang ideal bagiku adalah di mana aku bisa hidup dengan jujur. Kesuksesan itu menjalani hidup yang fulfilling, sehat lahir batin, dan membawa dampak baik bagi sesama dan diri sendiri.
B. Chandra, nonbinary, 19 tahun, Semarang
Jujur ajur—pepatah dalam bahasa Jawa bernada satir di mana seseorang yang berlaku jujur justru dekat dengan kehancuran. Sepertinya aku mesti mengesampingkan idiom itu dan membuangnya jauh-jauh. Tapi susah juga bila representasi yang ada di sekeliling adalah begitu.
Beruntung aku punya mereka.
Setidaknya aku bisa perlahan berani jujur.
Menulis sesuka hatiku. Menulis jati diriku.
Di masa depan, aku pengen lebih jujur pada diriku tentang segala perasaan dan kondisinya. Kalau bahagia ya bahagia, kalau sakit ya sakit, kalau capek ya capek. Aku lebih ingin memeluk diriku sehangat yang aku bisa, apa pun kondisinya. Karena pada akhirnya, aku akan hidup bersama diriku sendiri. I just wanna be the authentic me. Apapun bentuk keautentikan itu, aku ingin membersamai diriku.
Ipw, agender, 26 tahun, Ambarawa
Dan Ipw adalah pelukan paling hangat kesekian dan ingin kuulang-ulang. Aku mau berkawan dengan Ipw selama-lamanya.
Masa depanku mungkin adalah kawan-kawanku ini.
Dan itu sudah cukup.
kemudian kita merupa laut, yang di dalamnya tumbuh beribu: leburan ‘aku’ yang terus melaju