Pancasila, ideologi yang menjadi dasar didirikannya Indonesia dikukuhkan kembali. Setelah hampir dua tahun tidak disinggung, akhirnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo kini senantiasa mereferensikan Pancasila, sebagai lima asas yang membentuk dasar identitas nasional Indonesia sebagaimana dikumandangkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1945. Alasan utama di balik  antusiasme baru ini adalah: Jokowi harus mengendalikan kelompok Islam kanan dan isu lain yang mengancam kursi kepresidenannya menjelang pemilihan umum presiden yang akan digelar tahun depan.

Gerakan Ini dimulai tahun 2017, pasca kekalahan yang mengejutkan dan berlanjut dengan vonis penjara mantan gubernur Jakarta yang juga merupakan sekutu Jokowi, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Kampanye melawan Ahok telah didominasi oleh retorika rasis dan anti-Kristen. Dalam sebuah pidato pada 1 Juni 2017, Jokowi menyatakan secara tegas bahwa Pancasila sedang berada di bawah ancaman organisasi keagamaan Islam sayap kanan, dan menyerukan kepada seluruh warga negara untuk bersatu dalam menjaga prinsip dasar dan semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”.

“Pemilihan Gubernur Jakarta membuat kita sadar bahwa kita benar-benar merindukan Pancasila,” kata Novan Dwi Andhika dari Global Peace Foundation, merupakan sebuah organisasi yang mengkampanyekan visi Pancasila di seluruh Indonesia.

“Kami tidak ingin tragedi 1998 atau Ambon terjadi lagi di negara ini,” ia menambahkan, mengacu pada kerusuhan anti-Cina tahun 1998 dan ketegangan antara Muslim dan Kristen yang mengguncang Maluku di awal tahun 2000-an.

Beberapa bulan ke depan kemudian, Jokowi menindaklanjuti kata-katanya dengan tindakan: dia membubarkan salah satu organisasi Islam yang paling terkenal di negara tersebut, Hizb ut-Tahrir, kemudian menyusul ketua Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab. Rizieq yang ‘melarikan diri’ dari Indonesia ke Arab Saudi; meskipun polisi sudah menghentikan investigasinya di bulan Mei 2018, dia masih di Arab Saudi dan belum kembali ke Indonesia.

“Melarang organisasi apapun semata-mata atas dasar ideologis, termasuk Pancasila, merupakan tindakan kejam yang merusak hak kemerdekaan berserikat dan berekspresi yang telah diperjuangkan oleh orang-orang Indonesia sejak berakhirnya kediktatoran Suharto di tahun 1998”

Jokowi juga telah mengarahkan instansi pemerintahan untuk memburu organisasi yang diduga “anti-Pancasila” dan membuat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Di atas semua itu, terdapat beberapa usulan agar Pancasila dijadikan mata pelajaran tersendiri di sekolah. Sementara itu beberapa pihak menyambut baik langkah tersebut, sedangkan pihak yang lain merasa khawatir jika strategi bisa menjadi bumerang karena mereka memberikan kewenangan terlalu besar kepada pemerintah untuk menentukan siapa atau apa saja yang bertentangan terhadap asas pendirian.

“Melarang organisasi apapun semata-mata atas dasar ideologis, termasuk Pancasila, merupakan tindakan kejam yang merusak hak kemerdekaan berserikat dan berekspresi yang telah diperjuangkan oleh orang-orang Indonesia sejak berakhirnya kediktatoran Suharto di tahun 1998,” kata Andreas Harsono, seorang peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch.

Penggunaan Pancasila oleh Jokowi menunjukkan kekuatan dan ketahanan yang mengejutkan dari ideologi Indonesia yang unik ini, yang di masa lalu telah digunakan untuk memperkuat kewenangan yang cenderung otoriter oleh Sukarno dan, yang jauh lebih keras, Rezim Orde Baru Jenderal Suharto. Terlepas dari sejarahnya yang beragam, Pancasila saat ini tetap relevan di masa transisi demokrasi Indonesia.

“Indonesia, dalam arti penting merupakan salah satu negara bangsa yang benar-benar modern, berdasarkan gagasan pada nasionalisme kewarganegaraan yang didukung oleh sentimen yang bersifat melindungi dari lima asas tersebut,” kata Robert Elson, yang merupakan seorang akademis dan penulis beberapa buku tentang sejarah Indonesia.



Memahami Pancasila

Indonesia bisa disebut sebagai salah satu negara pasca kolonial yang paling kompleks. Berdasarkan keanekaragaman yang dimiliki secara geografis, Indonesia memiliki lebih dari 10.000 pulau, masyarakatnya bertutur dalam ratusan bahasa yang berbeda, dan menganut berbagai macam kepercayaan. Sebelum Belanda menyeragamkan Indonesia menjadi ‘satu’, riwayat sejarah pra kolonial sebagai sebuah entitas kesatuan ini masih minim. Itulah mengapa Jakarta hingga saat ini masih khawatir terhadap ancaman disintegrasi dan regionalisme.

“Sejak berdirinya pada tahun 1945, pemimpin Indonesia telah merasa ketakutan mengenai pembagian internal dalam bentuk apa pun, yang kemudian mendapatkan bahwa Pancasila sebagai suatu strategi  yang berguna untuk memudarkan rasa identitas lokal ataupun identitas agama dan menekankan keutuhan Indonesia,” kata Elson.

Sebenarnya, Indonesia awalnya dibayangkan sebagai sebuah negara federal, kadang disebut “United States of Indonesia”, yang dengan masing-masing provinsi dapat menggunakan kewenangan yang  signifikan. Tidak lama setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan Indonesia, dan hanya beberapa bulan sebelum negara tersebut memperoleh pengakuan dari Perserikatan Bangsa Bangsa, Sukarno melakukan konsolidasi untuk menggalang kekuatan dan mengubah negara tersebut menjadi negara kesatuan.

“Pemimpin Indonesia telah merasa ketakutan mengenai pembagian internal dalam bentuk apa pun, yang kemudian mendapatkan bahwa Pancasila sebagai suatu strategi  yang berguna untuk memudarkan rasa identitas lokal ataupun identitas agama dan menekankan keutuhan Indonesia”

Persatuan telah lama ada di Indonesia, bersama  konsep dari Pancasila—terjemahan Jawa Kuno atas Lima Asas—yang menjadi intinya. Hal tersebut dilambangkan dalam simbol nasional negara Indonesia, Garuda Pancasila.

“Secara formal, Pancasila bukanlah sebuah pemikiran yang dijadikan ideologi,” kata Elson. “Dan memang itu seharusnya bukan ideologi, berbeda halnya dengan komunis, Islam, dan sebagainya. Pancasila lebih tepatnya diartikan sebuah filosofis nasional atau dasar konseptual untuk negara ini.”

Pancasila - New Naratif

Pemerintahan orde lama di bawah Sukarno digambarkan sebagai orde yang ‘kacauan dan tidak stabil’. Semua anggapan tersebut berubah ketika rezim Suharto berkuasa pasca kudeta pada 1965. Orde Baru lebih brutal dalam banyak hal. Orde ini bertanggung jawab atas banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di seluruh nusantara. Di orde baru ini, pemerintah lebih fokus pada kekuasaan dan sumber daya alam dibanding orde sebelumnya. Terlepas dari hubungannya dengan Sukarno, Suharto memang mengakui Pancasila, tapi  saat berkuasa, Ia mengesampingkan dua asas yang terakhir dari Pancasila yaitu demokrasi dan keadilan sosial.

“Suharto sangat mengukuhkan gagasannya pada Pancasila, karenanya dia bahkan lebih tertarik ketimbang Sukarno yang gagasannya mengarah kepada persatuan nasional, yang secara khusus prihatin terhadap kecenderungan memecah belah “ideologi” seperti komunis dan Islam serta kerusakan apa yang mereka akan lakukan terhadap multi etnis, multi agama yang terdapat di negara Indonesia,” kata Elson.

Di bawah Suharto, upacara memperingati hari Pancasila merupakan bagian dari mata pelajaran nasional tentang ideologi negara, dan pegawai pemerintah, mahasiswa dan kelompok lainnya diwajibkan untuk menghadiri kelas. Pancasila juga digunakan sebagai alat untuk menghukum para pembangkang yang menentang Suharto, kroni-kroninya ataupun sistem korup yang menopang Orde Baru di Indonesia. Hanya dengan Dituduh sebagai anti-Pancasila sudah cukup untuk mengeluarkan seseorang dari jabatan ataupun kekuasaannya, atau bahkan, dijebloskan ke penjara.



Masa depan Pancasila

Setelah jatuhnya Suharto, banyak aspek yang berasal dari Orde Baru disingkirkan mulai dari kewajiban menonton  sebuah film yang sangat fiksi tentang upaya kudeta Komunis di tahun 1965, menghapus hari libur yang dikenal sebagai hari Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang merayakan pemindahan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto, dan larangan terhadap penggunaan bahasa dan praktik budaya Cina—Aspek-aspek yang  menyimpang dari pemahaman yang sebenarnya dari Pancasila dan nasionalisme Indonesia yang melandasinya.

“Sebelum reformasi tahun 1998… orang-orang menganggap Pancasila hanya sebuah alat politik untuk pemerintahannya. Akibatnya, setelah reformasi, hampir semua masyarakat menjadi trauma dengan Pancasila dan tidak ingin menggunakannya,” kata Novan.

Tapi sekarang keadaan telah  berubah. Meskipun Jokowi kerap dikritik karena langkah yang Ia ambil disinyalir hanya untuk tujuan politis, Novan dan yang lain masih percaya bahwa Pancasila memiliki banyak hal yang bisa ditawarkan kepada dunia modern, di mana ketegangan antar agama dan etnis terjadi, bukan di Indonesia, tetapi juga berkembang di beberapa negara tetangga seperti Myanmar, Malaysia, dan India.

Jokowi - New Naratif
Indonesian president Joko “Jokowi” Widodo at a festival in Sulawesi in 2015. Credit: fiki j bhayangkara / Shutterstock.com

“Kami percaya bahwa Pancasila merupakan jawaban untuk semua bangsa menghadapi tantangan seperti meningkatnya inteloransi, ekstrimisme, ketidaksetaraan ataupun diskriminasi,” kata Novan. Salah satu figur panutan masyarakat Indonesia terkait Pancasila  adalah mantan Presiden Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan Gus Dur, yang selama kepemimpinan jangka pendeknya antara tahun 1999 dan 2001 membuat langkah-langkah untuk membesarkan multikulturalisme, terutama sekali dengan mencabut larangan tentang kebudayaan dan perayaan Tahun Baru Cina. Gus Dur juga merupakan seorang penasehat bagi kelompok Islam moderat untuk periode yang lama, sebuah peninggalan yang sampai sekarang diteruskan oleh putrinya, Yenny Wahid.

Indonesia telah berevolusi semenjak kemerdekaan, tetapi tekanan yang sama dalam mempertahankan keharmonisan di di tengah kebhinekaan Indonesia masih ada. Itulah kenapa, 63 tahun setelah disuarakan oleh Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945 – sebuah hari yang Jokowi buat sebagai libur nasional—Pancasila tetap menjadi perekat yang membuat Indonesia tetap bersatu. Bagi Jokowi, yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengikat dirinya sendiri kepada Pancasila yang memungkinkan dia untuk melawan kekuatan Islam yang meningkat  sambil tetap mempertahankan citra nasionalis yang kuat.

Pancasila itu sendiri tidak selalu inklusif seperti yang dimaksud. Penjelasannya tentang Tuhan tidak mengabaikan ateis, dan telah digunakan untuk menyasar aktivis LGBTQ, atau bahkan wartawan yang memberitakan tentang persoalan tersebut.

Pertanyaannya adalah: akankah masa depan Pancasila mencerminkan idealisme sejati dari ke lima asas aslinya, mungkin bahkan bisa dikembangkan untuk mencakup komunitas warga Indonesia yang lain? Atau akankah ini hanya dijadikan sebuah alat politik untuk melanggengkan kekuasaan sebagaimana yang terjadi di era Suharto? Pancasila, seperti Indonesia akan terus berkembang, sejalan dengan  Indonesia yang sedang mencari tahu jati diri.

Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.