Tidak hanya manusia yang dapat merasakan kehilangan dan kerinduan akibat kematian mendadak. Karya Jing Ying mengeksplorasi dampak emosional kematian manusia pada binatang, membalik stereotip lawas yang menganggap alam akan lebih baik tanpa manusia. Dalam karya yang indah ini, si bebek kecil merasakan duka akibat kematian sahabat manusianya. Mengapa? Alasannya menjadi pekerjaan rumah pembaca untuk mengartikannya sendiri.

Kegairahan menggantung di udara dengan keriuhan acara istimewa ini. Orang-orang mengirim berbagai barang dengan perahu dari ladang ke rumah mereka—hasil panen yang biasa, batang pisang, dan daun pisang. Di satu titik di sepanjang jalan air di antara ladang dan desa tersebut terdapat sebuah kolam kecil, di mana seekor bebek kecil asyik sendiri berenang-renang ke sana kemari.

Si bebek kecil mengintip dari kolam ke jalan air yang ribut. Ia terpaku beberapa detik mengawasi bagian-bagian pohon pisang yang dihanyutkan sebelum kembali ke kesibukannya berenang-renang.

Wajah si bebek kecil memperlihatkan kegembiraan yang meluap-luap. Ia, seperti banyak makhluk lain, menantikan apa yang akan dibawa orang-orang ke kolam nanti malam, ketika bulan bulat purnama, dan lilin-lilin berlomba-lomba memancarkan sinar melawan cahaya bulan. Hari ini adalah perayaan Loy Krathong, di mana orang menghiasi potongan-potongan batang pisang dan melarungnya bersama mimpi dan harapan mereka.

Namun si bebek kecil paling menantikan pertemuan dengan sahabatnya. Sahabatnya, bagian dari keluarganya, akan datang untuk menyapanya. Sahabatnya adalah benang yang menghubungkannya kepada dunia, yang membuatnya tetap hidup, karena kerabat adalah kerabat, dan kehadirannya tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Akhirnya, sahabatnya datang dengan krathong-nya. Si bebek kecil bergegas mengayuh kakinya yang berselaput ke tepi kolam, membuatnya nyaris terjatuh dalam kegirangannya. Sahabatnya tergelak. Seperti tahun lalu, sahabat manusianya itu mencabut satu bulu dari si bebek, membuatnya meleter kaget. Namun itu semua hanya bercanda. Ia tahu ini penting. Akhirnya, sahabatnya menambahkan rambutnya sendiri dan bulu bebek ke krathong-nya yang berbentuk teratai.

Ia menyalakan krathong-nya dan perlahan menghanyutkannya ke permukaan air. Si bebek kemudian kembali ke air, berenang mengiringi krathong yang hanyut. Ia bersumpah ia tidak akan pernah mengganggu laju hanyutnya lentera tersebut. Namun sesekali ia dorong lentera itu ke depan, menuju ke lautan yang penuh cahaya lentera krathong. 


Tidak ada Loy Krathong selanjutnya untuk kami. Si bebek kecil tahu ini akan terjadi, namun terbangun di sebelah tubuh sahabatnya yang telah dingin ternyata lebih menyakitkan dari yang ia kira.

Ia merindukan sentuhan hangat sahabatnya, gelak tawanya, keberadaannya yang menenangkan. Ia menutup matanya dan berusaha membayangkan sahabatnya berenang di sana bersama si bebek kecil.

Kegairahan menggantung di udara dengan keriuhan acara istimewa ini.


Baca cerita-cerita lainnya di season ini:

Jing Ying Yeo is a recent graduate from Yale-NUS college where they majored in Environmental Studies and minored in Philosophy. As a queer Singaporean who finds neither their Chinese nor Thai identity very salient, they are trying to reconnect with their roots and ancestry in a bid to also better understand their queer self/community. They are familiar with various academic disciplines in both the humanities and sciences, and enjoy studying the subject they love, the ocean, from these various disciplines. Nowadays, they explore their interest in the humanities outside of their day job in the sciences, but hope to marry them in their life’s work.

Jes and Cin Wibowo are twin Indonesian writers and artists for comics. They're currently working on a queer Indonesian middle grade graphic novel, Lunar Boy, to be published in the US.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *