Dalam pidato Kenegaraaan pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2015, Joko Widodo menyatakan komitmen pemerintahannya untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu agar “generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah”. Namun di tahun berikutnya, ia malah melantik eks Panglima ABRI Wiranto—yang diduga keras melakukan kejahatan kemanusiaan—untuk memimpin Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan yang mengawasi perkara HAM.
Untuk memahami bagaimana militer mempengaruhi wacana seputar HAM di Indonesia, kita dapat menilik kembali ketika pemerintah mengadakan Simposium Nasional 65 pada April 2016. Tujuan simposium ini adalah untuk “[mengungkap] kebenaran untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang latar belakang terjadinya tragedi 1965” yang diduga menewaskan 500 ribu jiwa. Mengumpulkan penyintas, akademisi, dan pejabat pemerintahan, simposium tersebut berakhir dengan kesimpulan akan adanya keterlibatan Negara dalam tragedi 65. Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, membacakan kesimpulan akhir tersebut: “Kita mengakui aksi horizontal dalam tragedi 1965, namun demikian kita harus mengakui keterlibatan Negara”. Setelah bertahun-tahun Negara bungkam, pernyataan langka tersebut memberi harapan bahwa keadilan bagi korban tragedi 65 dapat benar-benar tercapai.
Hanya saja, harapan ini tidak bertahan lama.
Members only
Log in or
Join New Naratif as a member to continue reading
We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.
