Hello!

Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.

* indicates required

Dalam cerita berbingkai ini, Bageur mengisahkan eksplorasi ekologi queer yang lain dalam budaya asli dengan caranya yang unik untuk menceritakan dongeng Indonesia, Timun Mas. Cerita ini sendiri begitu indah, namun dengan bingkai cerita ayah gay yang mendongengkan kisah ini ke anaknya—dan terutama konteksnya—membuat cerita ini bagai guratan pena seorang jenius.

Cup, cup, cup… tenang, tenang. Sekarang Mas tidur dulu, ya? Waktu kamu buka mata nanti, pasti Ayah dan Papa sudah kembali.

Apa? Kamu mau dibacakan cerita? Hmm, sebentar. Keong Mas? Aduh, Ayah nggak hafal. Timun Mas saja, ya? Biar Ayah ceritakan kisah yang betulan. 

Jadi begini—iya, cerita dari sekolah itu sudah diubah-ubah. Yang sebenarnya, Srini dan Raksasa saling jatuh cinta.

Mereka mau menikah, tapi ditentang semua warga. Dulu, Srini juga sempat menggemparkan desa karena dia mengaku bukan perempuan. Tapi dia juga bukan laki-laki. Jangan gila! Terus kamu apa? Para warga heran.

Srini, jawabnya. Aku Srini.

Sinting! Warga kompak menghujatnya. Waktu Srini mau menikah dengan Raksasa, hujatan warga semakin banyak: Menyimpang. Nggak normal. Bikin marah Tuhan. Kayak pernikahan Ayah sama Papa dulu. Tapi akhirnya, mereka menikah juga.

Raksasa suka sekali berkebun. Makanya dia tinggi, besar, hijau—kayak pohon! Srini belajar berkebun dari dia, makanya halaman rumah mereka serba subur. Depan dan belakang penuh sayur, buah, bunga-bunga. Tanah kosong dekat rumah juga mereka bikin jadi sawah. Iya, persis rumah kita.

Warga-warga desa yang tadinya menghina tiba-tiba jadi baik ke Srini dan Raksasa. Mereka beli hasil kebun dan sawah, terus penasaran mau bercocok tanam juga. Srini dan Raksasa beritahu caranya, terus desa yang gersang jadi hijau banget akhirnya!

Bertahun-tahun mereka hidup damai. Sampai suatu pagi, ada timun besar sekali di halaman depan rumah Srini dan Raksasa. Waktu dibelah pelan-pelan, ternyata berisi bayi. Lucu, gemas. Mereka kasih nama “Timun Mas”.

Kabar Timun Mas tersebar. Warga marah besar. Menyalahi kodrat Tuhan. Nggak normal. Sekeluarga halal dibinasakan. Selama bertahun-tahun, Srini, Raksasa, dan Timun Mas dicaci maki sekaligus diancam mati.

Puncaknya di ulang tahun Timun Mas yang ketujuh. Waktu dia lagi panen kebun bareng Srini dan Raksasa, tiba-tiba warga menyerbu mereka. Kebun timun di halaman depan diinjak, dikoyak, dibakar! Timun Mas sekeluarga harus pergi dari desa.

Raksasa membawa Srini dan Timun Mas di tangan kanan. Dia berlari sekuat macan. Warga yang kesetanan langsung mengejar dan membakar semua yang menghalangi di sepanjang jalan.

Saat warga-warga mulai lelah, di depan mereka terbentang hamparan hutan bambu. Artinya, laut semakin dekat! Mereka makin semangat karena Raksasa nggak bakal bisa lari dan selamat.

Mereka tebang setiap pohon bambu; mereka lempar ke Raksasa satu per satu. Untungnya, dia kuat! Dia terus lari dan lari sampai tiba di depan lautan.

Dia tengok Srini dan Timun Mas untuk meminta kekuatan. Srini dan Timun Mas yang kecil cuma bisa peluk jempol Raksasa, sama kayak kamu yang cuma bisa pegang jempol Ayah dan Papa waktu masih bayi, tapi sudah sangat menguatkan.

Raksasa tengok ke belakang. Dia lihat semua warga tertawa menghina. Akhirnya, dia lompat ke samudra. Byur! Air menciprat ke mana-mana. Semakin jauh langkahnya, semakin besar cipratan airnya. Menghujani warga, membanjiri desa. Laut akhirnya pasang dan menenggelamkan sebagian warga.

Warga-warga yang selamat pun pulang. Mereka kaget karena desa sudah porak-poranda. Lumpur ada di mana-mana; kebun, sawah, semuanya rata! Mau nggak mau, mereka akhirnya pindah ke desa sebelah.

Di sana, mereka cerita tentang Srini, Raksasa, dan Timun Mas. Tapi ceritanya bohong semua, Mas, kayak cerita dari sekolah kamu itu. Mereka bilang Raksasa jahat dan mau mengambil Timun Mas untuk dimakan. Mereka bilang Timun Mas kabur dan menjebak Raksasa dengan kebun timun, hutan bambu, air laut, sampai dia mati tenggelam dalam lumpur panas. Padahal kan nggak kayak gitu. Makanya, sekarang Ayah ceritakan yang benar.

Ayo, waktunya tidur! Kasihan Papa di ruang tamu sama bapak-bapak polisi. Kamu tidur duluan, terus Ayah temani Papa biar nggak sendirian. 

Mas takut gara-gara mereka tadi dobrak-dobrak pintu, ya? Nggak apa-apa, mereka cuma mau ajak Ayah dan Papa ke kantor mereka sebentar. Nggak, kok, nggak dipenjara.

Mereka sekalian mau tanya-tanya kenapa Ayah dan Papa mengajak warga menolak tambang. Betul, nanti desa jadi nggak hijau-hijau lagi, kebun kita juga jadi nggak subur lagi. Jenius banget anak Ayah sama Papa!

Waduh, Ayah dipanggil lagi, Mas. Kamu tidur sendiri dulu nggak apa-apa, ya? Waktu kamu buka mata nanti, pasti Ayah dan Papa sudah kembali. Ayah janji.


Baca cerita-cerita lainnya di season ini:

Bageur Al Ikhsan

Bageur Al Ikhsan is a proud full-time brother of six siblings. Bageur's fondness of art makes it easy for people to find him in museums, art galleries, or even hop from one park to another only to write and paint by himself. You can greet him through his Instagram and Twitter account, @bersemesta.

Jes & Cin Wibowo

Jes and Cin Wibowo are twin Indonesian writers and artists for comics. They're currently working on a queer Indonesian middle grade graphic novel, Lunar Boy, to be published in the US.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *