Hello!

Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.

* indicates required

Sementara pemerintah Indonesia terseok-seok dengan buruknya komunikasi publik, para jurnalis mempertaruhkan nyawa untuk mengabarkan kegawatan pandemi Covid-19. Namun, sensor pemerintah membuat tugas berat ini hampir mustahil dilakukan.

Catatan penerjemah: Di tahun ketiga pandemi, masyarakat Indonesia perlahan kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Horor kolektif COVID-19 kini menjadi cerita yang bisa kita bicarakan sambil duduk nyaman di saat yang aman dan tenang. Pertanyaannya: apakah pemerintah akan kembali membungkam dan menumbalkan para jurnalis ketika ada ancaman baru yang muncul dan membahayakan masyarakat? Yang mana yang lebih penting? Kekuasaan mereka atau nyawa rakyat?

Sabtu, 14 Maret, Kinan* menghabiskan waktu luangnya menonton drama Korea Age of Youth secara maraton. Kinan adalah seorang reporter yang bekerja untuk salah satu kantor berita nasional Indonesia—sebuah profesi yang membuatnya hanya memiliki sedikit waktu luang. Akhir pekan yang santai hanya datang jarang-jarang. Malam itu, telepon genggamnya tiba-tiba berdering. Atasannya—seorang editor—menelepon.

“Kinan, cek WhatsApp,” katanya tanpa penjelasan lebih lanjut. Ternyata, grup WhatsApp kantornya sudah kebanjiran pesan. Nama Kinan berulang kali disebutkan dalam obrolan yang sedang berlangsung—termasuk oleh koordinator lapangannya yang terus menerus bertanya: Kapan terakhir kali kamu bertemu langsung dengan Menteri Perhubungan Budi Karya?

“Aku scroll lagi ke atas. Ternyata ada tautan berita yang bilang Menteri Perhubungan  positif di-diagnosa terkena virus COVID-19. Sumpah aku kaget,,” ujarnya kepada New Naratif. 

“Namaku disebut banyak orang, ‘Tuh, Kinan sering ketemu.’ Ya aku tambah panik..”

Kinan memang ditugaskan untuk fokus di isu transportasi, yang menyebabkan ia harus sering menghadiri kegiatan-kegiatan Kementerian Perhubungan dan bertemu Budi Karya secara langsung. Kinan mewawancarainya baru-baru ini dalam sebuah acara tentang insentif pariwisata dan jadwal penerbangan yang terpengaruhi wabah Covid-19 pada 26 Februari.

Pada saat itu, pemerintah juga telah mengkonfirmasi kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Akan tetapi, komunikasi langsung antara jurnalis dan pejabat negara masih mengikuti protokol standar. Kehidupan masyarakat masih berjalan kurang lebih sama saja, seakan-akan tidak ada yang terjadi.

Sebelum sesi doorstop ramai-ramai [dengan jurnalis lain], aku sempat maju sendirian untuk wawancara dengan Menhub. Kami sempat saling berhadapan, meski hanya kurang dari semenit” ingatnya.

“Nanti ya, saya lanjutkan,” ujarnya sambil berlalu pergi.

Sesi wawancara doorstop dilakukan seperti biasa—tanpa mikrofon maupun pengeras suara, maka wartawan harus berada sedekat mungkin dengan orang yang diwawancarai untuk mendapatkan komentar Pak Menteri dalam rekaman suara yang cukup baik.

Di akhir Januari, bandara telah memindai penumpang menggunakan pemindai suhu, sementara peringatan perjalanan ke Tiongkok telah diterbitkan. Pada pertengahan Februari, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyebutkan bahwa pemerintah tengah merancang sebuah paket stimulus demi menjaga aliran turis asing ke Indonesia—bahkan memberi mereka diskon 30 persen untuk tiket pesawat ke 10 destinasi wisata.

Satu setengah bulan kemudian, ada 1.677 pasien Covid-19 di seluruh Indonesia dan 157 kematian terkait penyakit pernapasan. Akan tetapi, Jokowi masih enggan memberlakukan lockdown dan malah menyatakan status darurat sipil. Kebijakan ini ditertawakan oleh berbagai kelompok advokasi yang menilai kebijakan ini lebih pantas diberlakukan untuk ancaman keamanan, seperti pemberontakan bersenjata, yang memang pernah menghasilkan pelanggaran HAM berat di sejarah Indonesia.

“Sama sekali tidak ada perubahan [cara] liputan di lapangan. Paling cuma dihimbau untuk pakai masker atau pembersih tangan (hand sanitizer). Kantor memang menyediakan masker N-95, tapi itu hanya untuk reporter yang diprioritaskan. Misalnya untuk yang liputan langsung ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI), karena dua orang pasien yang pertama kali positif dirawat di sana,” jelas Kinan. 

Setelah acara di mana ia diwawancara oleh Kinan, Budi Karya jarang terlihat di depan publik, walau ia sempat mampir di Bandara Internasional Kartajati di Majalengka, Jawa Barat pada 2 Maret untuk memastikan bandara provinsi tersebut siap untuk menerima pesawat berisi 68 WNI yang menjadi awak kapal pesiar Jepang, Diamond Princess, yang penumpangnya terjangkit Covid-19. 

“Setelah itu, aku nggak bertemu Budi Karya lagi. Dia juga tidak datang ke agenda-agenda Kementerian yang biasanya dihadiri langsung oleh Menhub. Dari situ, beredar isu [di kalangan jurnalis] kalau Budi Karya jatuh sakit,” ujar Kinan. “Lalu kami [para jurnalis] pun berpikir, ‘Waduh, dia kan baru dari Majalengka. Apa jangan-jangan dia terjangkit virus Corona?’”

Curiga atas absen panjang Pak Menteri, para jurnalis mempertanyakan hal tersebut kepada Divisi Humas Kemenhub. Juru bicara kementerian, Adita Irawati, mengatakan pada jurnalis pada 10 Maret bahwa Budi Karya mengalami gejala tipes dan sedang “beristirahat di rumah.”

Tidak butuh waktu lama untuk kebenaran akhirnya terungkap: Empat hari kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengkonfirmasi bahwa Budi Karya positif Covid-19. 

Para jurnalis seperti Kinan lah yang menjadi orang-orang pertama yang menyadari ada hal aneh yang terjadi di balik layar. Namun, suasana yang melingkupi peliputan menyebabkan amat sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang wabah Covid-19. Saat ini, pemerintah pusat mengklaim bahwa pemerintah lah satu-satunya pemegang wewenang untuk mengeluarkan informasi terkait perkembangan krisis coronavirus di Indonesia—dan hal ini membuat publik bergantung pada transparansi dan kualitas komunikasi publik pemerintah.

Sayangnya, pemerintah terus menerus membuktikan dirinya tidak bisa dijadikan sumber yang terpercaya.

Rahasia Umum

Status Budi Karya sebagai pasien coronavirus adalah sebuah ironi: tak lama sebelumnya, ia menyatakan orang Indonesia punya imun lebih kuat dari Covid-19 karena orang Indonesia senang makan nasi kucing—hidangan murah yang didagangkan di gerobak jalanan, terdiri dari segumpal nasi dibungkus daun pisang dengan sejumput tumis tempe, sambal teri, atau mie goreng. Terdengar lezat—dan memang lezat—namun Budi Karya mengimplikasikan bahwa pesan ini jelas: orang Indonesia punya imun lebih kuat karena kita terbiasa dengan tingkat kesejahteraan rendah.

Pernyataan ini jelas-jelas dilontarkan sebagai guyonan, sebuah guyonan tidak lucu yang dilontarkan di saat yang salah. Yang makin mengkhawatirkan adalah bahwa Budi Karya bukan satu-satunya pejabat yang memilih untuk melontarkan pernyataan ceroboh untuk merespon pandemi. Kita bisa membuat daftar yang amat panjang berisi pernyataan-pernyataan bodoh yang dilontarkan pejabat.

Di bulan Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto merespon studi awal di Universitas Harvard, yang menyatakan bahwa mungkin nihilnya kasus Covid-19 di Indonesia disebabkan Indonesia tidak memiliki kapasitas tes yang memadai, dengan menantang para peneliti untuk “datang dan membuktikan sendiri” dan bersikeras bahwa “tidak ada yang ditutupi [oleh pemerintah].”

Sungguh mengkhawatirkan ketika Menteri Kesehatan memperlihatkan sikap meremehkan ketika dihadapkan dengan hasil penelitian ilmiah. Pernyataan Terawan yang terkesan defensif pun berkontribusi kepada kecurigaan publik yang telah makin berkembang bahwa pemerintah tidak mampu—atau sedikitnya, tidak cukup serius—dalam menghadapi pandemi. Antipati ini terdengar lebih beralasan ketika pemerintah pusat, di awal tahun ini malah terus memprioritaskan proyek-proyek berskala besar, seperti memindahkan ibukota ke Kalimantan.

“Menurut saya, komunikasi publik [pemerintah] kita masuk dalam kategori buruk. Mungkin ini disebabkan masalah paling dasarnya, yakni pemerintah cenderung meremehkan bahaya dari COVID-19,” ujar direktur Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Abdul Manan. Menurutnya, masalah komunikasi ini berhubungan dengan bagaimana pemerintah menyampaikan informasi ke publik, serta isu transparansi.

“Ketika COVID-19 tengah ramai di Wuhan, pemerintah cenderung mengabaikan dengan mengklaim bahwa Indonesia bebas dari virus Corona, padahal belum ada tes yang dilakukan. Sementara itu, pernyataan sejumlah pejabat bahwa kita terbebas dari Corona karena banyak berdoa, misalnya, jelas menunjukkan sikap meremehkan ini,” ujarnya.

Skeptisisme terhadap pemerintah adalah hal wajar. Ketika dilanda pandemi, publik amat sulit membayangkan variabel atau informasi yang bisa digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam menangani krisis—juga, bagaimana dengan sebaran rumah sakit di seluruh negeri? Yang terakhir adalah pertanyaan yang amat penting, karena Indonesia adalah negara yang besar dengan persebaran populasi yang tidak merata.

Sejarah mencatat, kondisi ini telah menghasilkan sentralisasi informasi, di mana media nasional menyiarkan informasi dari Jakarta ke penyimak di seluruh Indonesia. Hal ini membuat penerima berita tidak mendapatkan informasi relevan tentang kota atau distriknya sendiri, padahal pandemi Covid-19 bukan hanya ancaman bagi orang-orang di ibukota.

Jurnalis televisi yang tinggal di Bali, Dewi Agung Ayu, menceritakan kepada New Naratif bagaimana peliputan Covid-19 di kotanya menjadi amat sulit karena semua informasi harus dikoordinasikan dahulu dengan pemerintah pusat. Mekanisme ini ditulis dalam Protokol Komunikasi Publik terkait Penanganan Covid-19 yang dirilis oleh Kantor Staf Presiden (KSP)—bahwa pemerintah daerah hanya dapat merilis informasi tentang Covid-19 di daerahnya sendiri setelah mereka mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Protokol ini juga mengharuskan bahwa dalam laporannya jurnalis mencantumkan “narasi resmi”, yakni: “Pemerintah serius, siap, dan mampu untuk menangani Covid-19”; “Masyarakat harus tetap tenang dan waspada”; dan “COVID-19 bisa sembuh”.

“Kami prihatin mengingat masyarakat butuh informasi yang akurat dan cepat. Namun, keterbatasan informasi dari sumber [di daerah] membuat kami kesulitan. Belum lagi kami [jurnalis] harus berlomba dengan hoaks yang tersebar di media sosial,,” ujar Dewi.

Aliran komunikasi tersentralisasi ini membuat jurnalis tidak bisa mendapatkan informasi yang relevan bagi komunitas lokalnya. Alexander, seorang jurnalis online di Provinsi Bengkulu, Sumatra, menjelaskan bahwa pemerintah lokalnya makin enggan buka mulut di depan awak media terkait Covid-19.

“Mereka jadi lebih menutup diri, sih. Lantas bagaimana mau meliput kalau pemerintahnya sendiri tidak ada kegiatan? Padahal, yang biasanya kami liput adalah agenda rutin pemerintah. Sekarang mereka mengisolasi diri dan bekerja di rumah. Ini yang membuat sulit,” katanya.

Dewi juga mengalami kesulitan yang sama dalam usahanya mendapatkan sepatah dua patah kata dari Pemerintah Provinsi Bali: “Kini, konferensi pers dilakukan via streaming, sementara pertanyaan-pertanyaan dikirim lewat WhatsApp. Pejabat bisa kelewatan beberapa pertanyaan penting, atau malah mengabaikannya sama sekali,” katanya.

Di sisi lain, Abdul, dari AJI, berargumen bahwa informasi terpusat di kala pandemi tidak melulu menjadi hal buruk—namun bisa jadi demikian jika koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah tidak berjalan baik. Setiap daerah harus mengungkapkan area mana yang memiliki pasien positif Covid-19, sehingga komunitas lokal dapat memahami seberapa genting situasi mereka.

“Selama ini, yang membuat kita salah persepsi adalah penambahan pasien yang positif di level daerah, tapi tidak muncul di dalam hitungan akhir pemerintah pusat. Sebenarnya berapa banyak orang yang sudah jadi korban? Ini menimbulkan kebingungan publik,” ujar Abdul.

Yang jelas, kegagalan komunikasi publik akan membawa dampak langsung kepada kepercayaan publik. Hingga hari ini, tidak ada blunder komunikasi publik yang lebih parah daripada pernyataan yang datang dari juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, yang menyerukan solidaritas antar-kelas dengan berkata, “Yang kaya membantu yang miskin supaya mereka bisa hidup dengan layak, [sementara] yang miskin membantu melindungi yang kaya dengan tidak menularkan penyakit mereka.” Setelahnya, ia mengklarifikasi pernyataannya dengan mengacu tentang bagaimana beberapa startup dan institusi memberikan bantuan sosial supaya orang miskin tidak perlu keluar dari rumahnya untuk bekerja—namun tidak mencabut pernyataan aslinya bahwa orang miskin adalah pembawa penyakit yang mengancam orang kaya.

Ada berbagai alasan mengapa pemerintah terus menerus gagal menyampaikan informasi penting kepada publik. Mereka mungkin menggunakan relasi paternalistik untuk berkomunikasi: menuntut kepercayaan penuh tanpa syarat dari rakyatnya, menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya otoritas yang mengetahui apa yang harus dilakukan, atau sekedar mencegah kepanikan massal. Di sisi lain, amat mungkin bahwa pemerintah gagal menyampaikan informasi yang amat dibutuhkan publik karena kurangnya sistem untuk mengumpulkan dan memproses data yang amat besar.

Akan tetapi, komunikasi publik dari pemerintah sejauh ini hanya membuat publik menyadari bahwa pemerintah kesulitan menangani pandemi dengan berbagai permasalahannya—namun tidak menjelaskan apa saja permasalahan ini.

Namun menunjukkan apa saja permasalahan ini adalah apa yang harusnya disampaikan oleh jurnalisme. Dan walaupun berbagai departemen pemerintah memilih untuk diam, masih ada banyak borok yang terlihat: majalah investigatif Tempo, contohnya, mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan menolak alat-alat tes untuk mendeteksi Covid-19 yang ditawarkan oleh Kedutaan Singapura di bulan Februari akibat kecurigaan adanya motif bisnis terselubung. Pengungkapan ini menyulut kemarahan publik karena pemerintah masih memperhitungkan untung-rugi ketika nyawa rakyat sudah menjadi taruhan.

Maka, para jurnalis memiliki peran penting untuk mengurangi korban sepanjang pandemi. Banyak di antara mereka tidak mampu menikmati mewahnya bekerja dari rumah karena mereka harus mengejar narasumber di lapangan, misalnya dari rumah sakit dan gedung-gedung pemerintahan—menempatkan mereka pada posisi berbahaya dengan resiko tinggi tertular penyakit.

Hal ini membawa kita kembali ke kisah Kinan.

Di Garda Depan, di dalam Gelap

Setelah mengetahui bahwa Menhub terjangkit Covid-19, terjadi pro kontra untuk menambahkan nama Kinan pada daftar jurnalis yang harus menjalani tes Covid-19. Para atasannya berkata pertemuan terakhir Kinan dan Budi Karya terjadi lebih dari 14 hari yang lalu—yang mana saat itu dipercaya sebagai periode maksimum inkubasi virus.

“Terus aku bilang aku sering ke [gedung] Kementerian Perhubungan, terakhir tanggal 13 Maret. Barulah aku diikutsertakan dalam daftar reporter yang ikut tes,” ujar Kinan.

Pagi berikutnya, Kinan pergi ke RS Persahabatan di Jakarta Timur. Dari total 50 jurnalis yang dites, kebanyakan dari mereka sering ditempatkan di Istana Presiden. Ternyata, Budi Karya juga bertemu dengan mereka setelah menghadiri Rapat Terbatas Kabinet pada 11 Maret, yang dipimpin langsung oleh Jokowi. Sebuah foto yang diterbitkan oleh akun resmi Sekretaris Kabinet Indonesia menunjukkan Budi Karya duduk di antara Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto. Rapat juga dihadiri oleh pejabat tingkat tinggi lainnya seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.

“Karena RS Persahabatan memang salah satu rumah sakit rujukan untuk COVID-19, kami pikir sudah ada komunikasi antara direksi media dan perwakilan rumah sakit. Jadi kami tenang, sebab harusnya hanya tinggal tes,” ungkap Kinan. “Tapi, sewaktu kami menemui dokter [di RS Persahabatan], ia menjelaskan bahwa fasilitasnya  ternyata belum siap, karena perintah untuk tesnya mendadak,” kata Kinan.

Pada akhirnya, hanya ada beberapa jurnalis yang dites di RS Persahabatan hari itu. Jurnalis yang diprioritaskan untuk dites adalah mereka yang secara langsung bertemu Budi Karya setelah Rapat Kabinet di Istana Presiden dan telah mulai menunjukkan gejala Covid-19. Kinan terdepak dari daftar jurnalis yang layak dites karena ia tidak bertemu Budi Karya di Istana. Ia memutuskan untuk pulang saja pada pukul 1 siang setelah tidak mendapatkan kejelasan dari pihak rumah sakit. Beberapa jurnalis memutuskan untuk pergi ke RS lain dengan harapan bisa mendapatkan tes di sana, sementara yang lain bertahan di RS Persahabatan, berharap tetap mendapatkan jatah tes di situ.

Esoknya, para jurnalis yang tidak dites termasuk Kinan, diarahkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) di Jakarta Utara. Di sini pun mereka mendapatkan pengalaman buruk.

“Sewaktu sampai di sana, ternyata tesnya itu bukan tes COVID-19, tapi medical check up atau MCU. Jadinya tes darah, rontgen bagian dada, cek tekanan darah, juga tes imun dengan menyenter tenggorokan,” ujar Kinan. Hasilnya tidak menyebutkan apakah ia positif atau negatif Covid-19. Ia hanya dilabeli “sehat”.

“Perawatnya hanya bilang kalau ini memang bukan tes untuk deteksi Corona, tapi tes kesehatan biasa. Aku marah mendengarnya,” ujarnya dengan nada kesal.

Selepas tes, suhu badan Kinan naik beberapa kali. Ia menjadi gelisah karena ada kemungkinan ia terjangkit virus bukan karena meliput di Kementerian Perhubungan, namun karena ia menghabiskan dua hari di RS yang menangani Covid-19. Bahkan hingga sekarang, ia masih melakukan karantina mandiri di kamarnya dan bekerja dari jauh.

““Aku tidak tahu prosedur yang benarnya seperti apa, tapi yang mengganjal adalah kenapa tidak tes dahak. Semua orang sudah tahu kalau virusnya belum tentu memunculkan simtom yang bisa dilihat lewat rontgen. Ini membuat virusnya bisa jadi tidak terpantau,” ujarnya.

Idealnya, ada sistem yang menjamin keamanan jurnalis ketika meliput kasus Covid-19 di lapangan, walaupun sistem tersebut tidak dapat mengurangi kemungkinan transmisi sama sekali. Namun, pemerintah tidak menganggap jurnalis sebagai profesi yang penting dalam memerangi pandemi, tidak seperti profesi lain seperti petugas kesehatan, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Kinan.

Meraup Keuntungan dari Krisis

Walaupun mereka mengemban tugas penting untuk menyiarkan berita kepada publik, para jurnalis juga patut dipersalahkan ketika terbit peliputan yang tidak bertanggungjawab terkait Covid-19. Wisnu Prasetya Utomo, seorang peneliti dan pengajar studi media di Fakultas Komunikasi, Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan bahwa banyak organisasi media Indonesia meremehkan kemungkinan terjadinya pandemi.

“Aku tidak bicara soal [media] hari ini, tapi sekitar bulan Januari atau Februari, di mana mereka belum memiliki sense of crisis. Bahwa COVID-19 ini kasus yang sama sekali berbeda dengan kasus-kasus lain, setidaknya di era modern,” jelas Wisnu. “Gaya pemberitaannya masih seperti berita sehari-hari. Sebagai contoh, masih banyak media yang mewawancarai pendapat artis seputar COVID-19, padahal opini mereka tidak relevan. Ini praktik yang sering terjadi di situasi normal. Tetapi ini menunjukkan bahwa media menganggap kita masih berada di situasi normal, bukan krisis..”

Wisnu menekankan bahwa memilih sumber yang reliabel bukan soal etika jurnalistik, melainkan karena hal ini bisa berujung konsekuensi yang membawa malapetaka. Salah satu contohnya adalah bagaimana media meliput status Instagram mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, yang mengajak umat Muslim untuk tetap sholat berjamaah di masjid. Gatot menyebutkan bahwa Covid-19 “berasal dari Cina, [negara] yang menganut paham komunis dan sebagian besar tidak beragama”.

Ia menambahkan bahwa “…di negeri mayoritas Muslim, mereka beramai-ramai menggaungkan fobia dengan masjid, seakan-akan masjid adalah sumber penularan COVID-19..” Hampir semua elemen populisme Islamis Indonesia muncul dalam pernyataan ini: dari kebencian terhadap etnis Tiongkok ke komunisme, menyiratkan bahwa umat Muslim adalah korban di tanah mereka sendiri.

“Tentu saja kita bisa menyalahkan Gatot. Namun ketika status Gatot diliput menjadi berita [tanpa dikritik], maka media patut disalahkan juga,” ujar Wisnu. “Di sisi lain, cara paling gampang untuk media ikut andil melawan pandemi adalah dengan menganggap pandemi sesuatu yang serius sehingga pembacanya akan menganggapnya serius juga. Dan itu artinya kita tidak bisa berlaku biasa saja seperti di waktu normal.”

Amatlah mudah untuk “berlaku biasa saja”: para politisi meraup keuntungan dengan melontarkan pernyataan kontroversial, kemudian media melaporkan pernyataan-pernyataan ini tanpa kritik karena mereka membutuhkan konten populer untuk mendongkrak jumlah pembaca. Di satu sisi, media bergantung pada konflik internet dan kutipan-kutipan gurih dari sumber konten mereka—membuat ranah digital menjadi medan pertarungan ide pertama sebelum disuguhkan kepada komunitas yang lebih luas.

Ini juga mengapa industri buzzer muncul: di Indonesia, istilah “buzzer” mengacu pada akun media sosial yang dibuat untuk mendongkrak agenda politik serta mendukung ideologi politik dan menyerang oposisi. Beberapa buzzer ini—biasanya mereka yang punya ratusan ribu pengikut—tidak malu-malu mengungkapkan identitas mereka, walau beberapa di antaranya adalah bots yang digunakan untuk mendorong tagar yang mereka mulai supaya menjadi trend. Masalah utama dari buzzer adalah mereka melanggengkan politik partisan. Tadinya hanya dianggap strategi kampanye selama pemilu, buzzer pro-Jokowi telah mengadaptasi peran mereka untuk membela kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti revisi UU Tipikor yang amat kontroversial

Ternyata, logika partisan ini berujung konsekuensi yang amat spesifik selama pandemi. Bukannya membela kebijakan-kebijakan pemerintah seperti biasa, buzzer kini harus membela diri atas tiadanya kebijakan pemerintah, seperti menolak memberlakukan lockdown di seluruh negeri untuk “meratakan kurva”. Sementara beberapa pemimpin daerah memberlakukan lockdown di daerah mereka, ada upaya-upaya untuk membingkai mereka sebagai antagonis yang hanya mencari keuntungan dan popularitas, karena hukum Indonesia memandatkan pemerintah pusat untuk menanggung kebutuhan dasar rakyatnya ketika ada situasi karantina daerah yang disebabkan masalah kesehatan.

Urusan hidup dan mati diletakkan di bangku belakang demi merawat relasi kuasa. Hal ini membuat kita berpikir: apakah perang digital ini membuat kita berjarak dari horor yang sebenarnya terjadi di dalam UGD di seluruh negeri.

Untuk kali ini, ranah daring terasa seperti satu-satunya medan perang karena orang-orang mengurung diri di rumah. Baik media mainstream maupun media sosial tidak menuntun masyarakat ke mana-mana, sementara politisi terus menggunakan kanal-kanal ini untuk mengeruk keuntungan sendiri.

Pertanyaan yang lebih mendesak adalah bagaimana caranya kita mengoptimalkan perubahan politik secara digital—dan bagaimana pandemi meninggalkan kita tanpa pilihan kecuali untuk bergantung pada upaya-upaya ini untuk saat ini.

* Nama asli Kinan disembunyikan demi keamanan identitasnya.

Artikel ini ditulis dalam kolaborasi dengan The Initium. Kunjungi situs mereka untuk versi Tradisional Tiongkok.

Fadiyah Alaidrus

Fadiyah Alaidrus bekerja sebagai English Language Content Editor untuk New Naratif. Tulisannya juga pernah dipublikasikan di Wall Street Journal, Mongabay, Coconuts Jakarta, Project Multatuli, Tirto, Tempo, dan lain-lain. Mayoritas tulisannya tentang lingkungan, gender, dan hak asasi manusia.

Eduard Lazarus - New Naratif

Eduard Lazarus

Eduard Lazarus is a writer and editor living in Jakarta covering media and political movements. His past work encompasses editing for Remotivi, a Jakarta-based independent media studies publication, and writing on cultural policy for Indonesia Arts Coalition.