Di bulan Juli, kami mengundang para pembaca untuk mengirimkan tulisan yang berisi khayalan tentang bagaimana Anda membayangkan kembali Asia Tenggara, dalam bentuk fiksi sepanjang 300-500 kata. Kami meminta Anda untuk membayangkan: Jika Anda tidak terkekang oleh berbagai kekuatiran dan kondisi politis yang mengungkung Anda hari ini, Asia Tenggara seperti apa yang ingin Anda lihat?
Kami menerima lebih dari 50 cerita, masing-masing mempersembahkan visi kreatif para pembaca tentang sudut kecil dunia ini yang kita sebut rumah. Walau kami tidak dapat merespon setiap kiriman, kami membaca semuanya dengan seksama. Banyak yang membuat kami terharu, dan lebih banyak lagi yang membuat kami terkesan.
Setelah berbagai pertimbangan yang rumit, kami memilih delapan cerita yang selanjutnya menjalani proses pengembangan, penyuntingan, dan penerjemahan selama bulan-bulan belakangan. Kedelapan cerita tersebut, disebutkan tanpa urutan tertentu, adalah:

[Re:] #302: Selamat Ulang Tahun! (6)
Pychita Julinanda
Ketika mengajukan tema “Membayangkan Kembali Asia Tenggara”, kami sengaja tidak memberikan batasan atas khayalan para pengirim cerita. Kami terpukau ketika Pychita Julinanda menyuguhkan cerita yang meleburkan rancang semesta fiksi ilmiah dengan hangatnya kehidupan sehari-hari. Seperti apakah Asia Tenggara pasca-revolusi, pasca-krisis iklim, ketika kecerdasan buatan dan kedaulatan pangan di luar kapitalisme menjadi realitas kita sehari-hari?

KTP
Annisa Dinda Mawarni
Di sisi lain, kami mendapatkan sebuah cerita yang membayangkan kembali masa kini—sesuatu yang bisa terjadi, saat ini, sekarang. Cerita pendek “KTP” oleh Annisa Dinda Mawarni begitu menyentuh dengan kesederhanaannya yang indah. Terkadang, yang kita inginkan hanyalah agar aparat negara tidak mencampuri urusan pribadi kita, terutama dalam urusan agama—seperti apakah kita mau mengenakan hijab atau tidak. Andai saja berdamai dengan negara terkait dengan keputusan hidup kita bisa semudah ini.

Tunas
Inez Kriya
Membicarakan keputusan hidup, membesarkan anak, mengejar karir dalam bidang inovasi ilmu pengetahuan, dan aktif di komunitas sosial terlihat seperti tuntutan yang terlalu berat bagi seorang perempuan. Namun, dalam karya Inez Kriya, semua peran ini terjalin dengan apik dalam sebuah komunitas yang berkedaulatan pangan tanpa diskriminasi gender. Betapa indahnya jika semua perempuan dapat mengakses peran seperti ini di masyarakat kita.

Setelah Tanda Tanya
K. Biru
Dari cerita seorang ibu, kita beralih ke cerita seorang remaja. Cerita yang ditulis oleh K. Biru memotret bahwa setiap pergerakan dunia bermula dengan keyakinan bahwa perubahan bisa terjadi. Dalam “Setelah Tanda Tanya”, utusan dari langit meyakinkan seorang gadis queer bahwa dunia yang lebih baik itu mungkin terjadi, di negara ini. Sebuah mimpi yang sederhana namun begitu kuat.

Menerjemahkan Masa Depan Melalui Keintiman Queer
Himas Nur
Satu lagi cerita yang terkait dengan kehidupan queer, cerita ini membawa kami ke tataran yang menyakitkan namun juga penuh harap. Karya Himas Nur menggaris bawahi hal yang begitu dekat, begitu nyata, namun tetap asing bagi banyak orang: bagaimana solidaritas dan keintiman queer bisa menjadi daya yang begitu dahsyat dan membebaskan. Terkadang, hanya itulah yang kita butuhkan adalah untuk menciptakan suatu rumah yang hangat dan ramah di Asia Tenggara.

Mimpi yang Jauh
Agatha Celia
Tentu saja, rumah yang hangat dan ramah harus tersedia bagi semuanya, terlepas dari status ekonomi mereka. Bagi para tenaga kerja asing, memiliki hak, kesempatan, dan kesejahteraan yang setara dengan anggota masyarakat lainnya seharusnya sudah merupakan hal yang wajar untuk diminta. Karya Agatha Celia, elegan dan sederhana, membuat kita merenung mengapa mimpi ini masih terasa begitu jauh.

Jeruk
Ida Bondoc Palo
Satu lagi mimpi yang begitu sederhana namun amat radikal: bahwa suatu hari masyarakat adat akan mendapatkan tanah mereka kembali. Diceritakan lewat obrolan dua bocah, Ida berhasil menggarisbawahi kepolosan gagasan ini.

apakah utopia hanya angan-angan?
Adania Saraswati
Akhirnya, kita duduk terpekur dalam perenungan akan semua khayalan ini. Cerita Adania Saraswati—yang sengaja ditulis dengan huruf kecil sepenuhnya—begitu cantik dengan imaji puitis dan ambiguitasnya. Judulnya menawarkan sebuah pertanyaan yang kita semua miliki, dan mungkin tidak akan pernah mampu kita jawab. Namun, kita terus berjalan maju.
Khayalan adalah alat yang begitu kuat. Bagi kami, kedelapan cerita ini telah memantik kegembiraan dan membangkitkan harapan tentang bagaimana kita melihat tanah kita. Beberapa di antara mereka memperlihatkan dunia yang begitu dekat, sementara yang lain begitu jauh, namun semuanya terikat dengan satu benang merah: merajut dunia yang lebih baik. Dan mengutip tokoh K dari cerita K. Biru:
Di sini. Itu mungkin.
K
Seluruh ilustrasi proyek ini merupakan karya Azisa Noor.