Menjadi pejalan kaki di Indonesia merupakan kegiatan yang sangat melelahkan. Hambatan sehari-hari yang dijumpai dimulai ketika anda melangkah keluar pintu: tiang-tiang dan rantai besi yang berserakan di atas trotoar, penjual kaki lima, ada sopir ojek yang menutupi ruang jalan satu-satunya, apalagi anda sering menjumpai lebih banyak jalan yang berlubang ketimbang trotoar yang layak. Dan itu pun jika terdapat trotoar, di banyak perkotaan, bahkan di tengah-tengah Ibukota Jakarta, tidak ada trotoar. Pejalan kaki dipaksa untuk menyelinap di sekitar kendaraan yang diparkir, serta berbagai rintangan lainnya.

Bahkan akan menjadi lebih sulit jika orang tersebut memiliki disabilitas; tantangan mobilitas terkadang tidak bisa diatasi. Tak jarang trotoar melandai ke jalan, dan kalaupun ada, terdapat palang yang diletakkan di jalan masuk untuk menjaga sepeda motor tidak keluar, yang secara bersamaan akan membuat trotoar tidak dapat diakses bagi yang menggunakan kursi roda. Trotoar yang berwarna kuning bagi orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan, sering ditempatkan di posisi kurang baik, seperti bertujuan untuk menghias jalan daripada membantu pengguna trotoar—sering ada kejadian di mana jalan trotoar berwarna kuning tiba-tiba menghilang menuju sungai dan jalan raya, atau mengarah menuju tiang-tiang lampu dan pepohonan.

Hal ini bukan hanya memengaruhi mobilitas para penyandang disabilitas, tapi juga memengaruhi kebebasan mereka. Dengan begitu banyak hambatan, orang yang mempunyai batasan akan dirugikan dalam berbagai aktivitas sehari-hari.

Menurut Badan Pusat Statistik, sekitar 12% dari populasi di Indonesia adalah penyandang disabilitas sedang atau berat- 45% dari jumlah tersebut tidak pernah menyelesaikan sekolah dasar, sangat jauh berbeda dengan tingkat ketidaklulusan 13% warga Indonesia pada umumnya. (Penyandang disabilitas sedang artinya bahwa individu tersebut membutuhkan beberapa bantuan, sedangkan orang yang status penyandang disabilitas berat membutuhkan bantuan secara konstan).

Kerugian ini semakin diperparah dikarenakan tingkat pendidikan rendah yang menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi. Di tahun 2016, Universitas Indonesia menemukan bahwa 51% dari penyandang disabilitas memiliki pekerjaan, dibandingkan dengan 70% masyarakat bukan penyandang disabilitas. Hanya 20% dari mereka, penyandang disabilitas berat yang saat ini bekerja. Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia bekerja dalam bidang informal—bekerja di warung atau penatu kiloan misalnya, atau menjual kartu SIM ponsel di kios depan rumah mereka—membuat situasi finansialnya kurang stabil serta tidak memberikan perlindungan hukum.

Dengan begitu banyak hambatan, penyandang disabilitas akan dirugikan dalam berbagai aktivitas sehari-hari

Beberapa daerah kota besar telah mencoba untuk meningkatkan pelayanan mereka—Surabaya dan Jakarta sebagai contoh, keduanya telah mengalokasikan dana ratusan miliar rupiah dalam beberapa tahun terakhir untuk memperbaiki trotoar. Pada 2017, Kota Jakarta Utara sendiri mendedikasikan Rp 42 miliar memperbaiki trotoar di lima kecamatan.

“Pemerintah Provinsi DKI mulai mengimplementasikan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dengan membuat layanan publik menjadi lebih mudah diakses,” kata seorang juru bicara kepada New Naratif. “Ini termasuk memastikan bangunan-bangunan dilengkapi dengan jalur yang melandai dan blok pemandu, pintu masuk ke bangunan yang cukup lebar untuk kursi roda; lift, jalur yang melandai, dan informasi audio visual yang tersedia; dan blok pemandu yang dipasang dengan sesuai di trotoar. Kami juga melibatkan para penyandang disabilitas untuk mencoba beberapa perbaikan ini. Bukan hanya itu, Pemerintah Provinsi juga bekerja lintas departemen untuk membangun fasilitas olahraga dan pusat komunikasi bagi para penyandang disabilitas. Kami menargetkan pembangunan ini selesai pada akhir 2018.”

Namun sebagaimana Fajri Nursyamsi, seorang peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, mengatakan kepada Tirto.id di 2016, membuat kota-kota di Indonesia ramah terhadap penyandang disabilitas tidak melulu memerlukan anggaran tambahan.

“Kita sebenarnya tidak perlu menunggu anggaran,” kata Nursyamsi, menepis fakta bahwa uang adalah masalahnya. “Kita bisa melekatkan pada program-program yang sedang berjalan saat ini… Memang dibutuhkan cara pandang yang baru.”

Apa yang dimaksudkan Nursyamsi bahwasanya untuk melakukan itu, membuat fasilitas publik yang mudah diakses, tidak harus mahal; banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan melalui pengembangan dan pemeliharaan rutin. Sebagai contoh, pihak berwenang bisa memulai memasang jalur yang landai, alih-alih tangga, saat membangun jembatan pejalan kaki yang baru, atau mengikutsertakan dalam proses untuk memastikan bahwa hal-hal seperti penutup lubang tidak menonjol dari tanah saat melakukan pekerjaan rutin pada trotoar.

Sejumlah contoh yang bagus diperkenalkan oleh mantan Gubernur Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama di tahun 2016. Ahok memasang portal berbentuk huruf S ketimbang bollard agar menghentikan sepeda motor menggunakan trotoar, tapi masih bisa dilewati pengguna kursi roda. Ia juga memastikan bahwa semua trotoar yang baru dikembangkan atau diperbarui dengan benar menggunakan blok pemandu berwarna kuning, dan sering menunjuk Tokyo sebagai standarnya yang harus dicapai oleh Jakarta.

“Setiap hari, lutut saya sakit”

Ashila Amriyani, 20, telah menggunakan kursi roda sejak pertama memulai kuliah. “Sejak kecil, saya mempunyai masalah dengan mobilitas, dan kondisi saya semakin memburuk setiap tahunnya,” jelasnya. “Saya tidak selalu menggunakan kursi roda saya, karena saya juga bisa berjalan dengan menggunakan lutut saya. Saya melakukannya selama SMP dan SMA.”

Amriyani belajar di sebuah universitas swasta di Jakarta Pusat, di mana ia adalah satu-satunya yang menggunakan kursi roda. Ia mengatakan, berkeliling kampus merupakan tantangan; meskipun pihak universitas telah membuat langkah-langkah yang bertujuan ramah terhadap penyandang disabilitas, pelaksanaannya bersifat macam-macam.

“Sekarang ada akses jalur landai [bagi pengguna kursi roda], namun penurunannya terlalu curam [terjal],” katanya kepada New Naratif. “Ada banyak tangga juga, dan walaupun ada beberapa eskalator, tetapi sering rusak. Saya sering terpaksa jalan dengan menggunakan lutut saya, karena saya menggunakan kursi roda, saya tidak bisa berkeliling kampus. Setiap hari lutut saya terasa sakit.”

Amriyani mengatakan bahwa dia sangat bergantung kepada teman-temannya untuk menolongnya berkeliling kampus. “Saya tidak suka bergantung kepada mereka,” katanya sambil menghela nafas. “Jadi saya sering membatalkan rencana untuk menghadiri acara di kampus jika saya mengetahui aksesibilitasnya akan menjadi masalah. Saya tidak suka merepotkan orang lain; makanya lebih baik saya tidak datang.”

“Saya sering membatalkan rencana untuk menghadiri acara di kampus jika saya tahu aksesibilitasnya akan menjadi masalah. Saya tidak suka merepotkan orang lain; makanya lebih baik saya tidak datang”

Salah satu pengalaman Amriyani yang paling buruk adalah di tahun 2013, saat Ia mencoba menghadiri pertandingan sepak bola di Gelora Bung Karno (GBK), stadium terbesar di Jakarta; “Pada saat itu GBK sama sekali tidak bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Saat itu merupakan pertama kali bagi saya di sana. Saya sangat bersemangat untuk menghadiri permainannya meskipun juga merasa frustrasi terhadap aksesibilitasnya. Pada waktu itu, situasinya sangat ramai, semua orang berebut mencoba untuk masuk.

Amriyani merasa takut kalau sampai jatuh dan tertindih, tapi beruntung, beberapa penjaga keamanan melihatnya. “Penjaga keamanan beserta beberapa penonton membawa saya ke depan dan membiarkan saya masuk ke dalam. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada diri saya jika mereka tidak membantu saya.”

Di luar Jakarta

Para penyandang disabilitas di kota-kota lainnya di seluruh Indonesia juga mengalami masalah serupa. Desta Ariyana, pengguna kursi roda dari Yogyakarta, mengatakan bahwa kotanya jauh dari kata ramah terhadap mobilitas.

“Saya bukan orang yang mandiri karena saya selalu meminta seseorang ikut bersama saya ketika saya pergi ke tempat umum,” kata Ariyana. “Jika saya meminta bantuan dari petugas keamanan atau petugas fasilitas, mereka tidak tahu bagaimana membantu saya dan takut jika mereka membuat saya tidak nyaman. Bahkan saat menggunakan taksi, saya pernah mendapat sopir yang menolak membantu saya turun dari taksi.”

Seperti Amriyani, Ariyana mengalami kesulitan mengakses bangunan. “Kebanyakan bangunan di sini masih menggunakan tangga atau anak tangga,” Ariyana menjelaskan. “Beberapa sekarang sudah ditambahkan jalur landai untuk kursi roda, tetapi terlalu curam, sehingga saya tidak bisa menggunakannya saat saya sedang sendirian.”

Ini merupakan masalah umum yang diangkat oleh mereka yang berbicara kepada New Naratif; walaupun para pemilik bangunan semakin sadar akan perlunya akses jalur landai, mereka kurang memiliki pengetahuan bagaimana untuk merancang ataupun membangunnya. Jalur landai seringkali terlalu pendek dan curam, sehingga mustahil bagi pengguna kursi roda, bahkan dengan bantuan.

Tantangan mobilitas di transportasi umum

Transportasi umum Indonesia juga gagal dalam melayani orang-orang yang memiliki persoalan mobilitas. Askoer Koerdiansyah, seorang warga Bandung berumur 55 tahun, kehilangan kaki kanannya setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pada 2006 lalu. Ia menggunakan kaki prostetik untuk berjalan, tetapi tetap menemui banyak hambatan saat menggunakan transportasi umum.

“Bandung tidak mengerti kebutuhan para penyandang disabilitas,” kata Koediansyah. “Transportasi umum kami sulit digunakan: pintu masuk kendaraannya terlalu tinggi [di atas tanah], sehingga akan sangat sulit untuk naik dan turun, dan juga tidak ada tempat duduk khusus untuk penyandang disabilitas.”

Di Jakarta, Amriyani juga memiliki masalah menggunakan layanan bus. Tempat pemberhentian bus Trans-Jakarta dan bus-bus itu sendiri sangat luar biasa, sangat ramah disabilitas,” katanya. Tetapi, ia menyebut, halte bus umumnya terletak di tengah jalan raya, hanya bisa diakses setelah menaiki dua anak tangga untuk menyeberang jembatan untuk pejalan kaki. “Ini menunjukkan bahwa implementasinya baru setengah jalan di sana. Kami membutuhkan perubahan yang mencakup semua unsur.”

Jakarta - New Naratif
Mobil, bus, dan kendaraan lainnya terjebak dalam kemacetan di lokasi distrik bisnis utama pada malam hari di Jakarta, ibu kota Indonesia. Credit: AsiaTravel / Shutterstock.com

Elisa Sutanadjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, sependapat bahwa upaya setengah hati hampir sama buruknya dengan tidak ada upaya sama sekali. “Tidak berguna. Bagi orang yang non-difabel pun fasilitas TransJakarta adalah minimal dan tidak ramah untuk anak, ibu hamil, dan orang tua.” pelaksanaannya hanya berjalan setengah-setengah, katanya kepada New Naratif. “Dengan halte Trans-Jakarta di tengah jalan-jalan utama, Kami harus bersusah payah untuk sampai ke sana, ini saja sudah menunjukkan tidak ada keberpihakan kepada warga pengguna TransJakarta.”

“Pejalan kaki dan pengguna sepeda adalah warga kelas dua di kota ini,” lanjut Sutanadjaja. “Minggu lalu, saya bertemu dengan tiga orang berbeda yang kepayahan menggunakan fasilitas halte TransJakarta. Satu ibu tua yang kelelahan, dua wanita hamil sampai harus duduk di lantai untuk istirahat.”

Meskipun demikian, ada beberapa pengalaman positif, di mana orang-orang bersedia memperhatikan mereka yang membutuhkan bantuan. Dimas Prasetyo Muharam telah mengalami kebutaan total semenjak dia berumur 12 tahun. “Saya memiliki kartu dari pemerintah provinsi Jakarta yang memperbolehkan saya menggunakan bus-bus TransJakarta secara gratis,” kata Muharam. “Petugas TransJakarta selalu membantu di halte bus dan stasiun transit. Apa yang sulit sebenarnya adalah kondisi trotoar [di dekat halte] – saya menggunakan tongkat sehingga bermasalah ketika begitu banyak trotoar yang rusak.”

Amriyani mengatakan, Ia optimis bahwa akan ada perubahan yang lebih lanjut di masa yang akan datang. “Kita harus fokus pada perbaikan semua sistem, bukan hanya fokus pada satu bagian pada suatu waktu,” katanya. “Saya tidak ingin kehilangan harapan—saya percaya Jakarta akan menjadi lebih inklusif suatu hari nanti.”

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.