Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia hanya dianggap bahan gosip sensasional, sementara sistem perlindungan terhadap perempuan masih buruk. Kabar baiknya, para aktivis dengan pelan tapi pasti mulai berhasil membalik keadaan.
Catatan penerjemah: RUU PKS akhirnya diloloskan menjadi UU pada tahun 2022 setelah perjuangan yang alot dan berliku. Membaca lagi artikel yang diterbitkan di tahun 2017 ini seakan mengorek luka yang belum kering akibat kasus-kasus kekerasan seksual di masa lalu. Namun, bacaan ini juga makin meneguhkan niat untuk terus berjuang mengenyahkan kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Sementara para perempuan di seluruh dunia membagikan cerita-cerita pelecehan seksual mereka lewat gerakan #MeToo, Indonesia masih berkubang dalam krisis kekerasan terhadap perempuan. Setiap tahun ada cerita baru yang memantik perdebatan panas dan membuat prihatin: di tahun 2016 ada kisah Yuyun, gadis 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 laki-laki, di antaranya masih bocah. Di tahun 2017 ada kisah Putu, seorang perempuan 31 tahun asal Bali yang kaki kirinya dipotong oleh suaminya karena cemburu.
Insiden-insiden yang menghebohkan ini memantik kemarahan dan rasa ngeri, baik bagi masyarakat dan bagi pemerintah. Namun hanya sedikit kemajuan yang berhasil diraih dalam upaya mengenyahkan kekerasan terhadap perempuan. Rumusan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak hanya mandeg di DPR sejak 2014, namun juga dipangkas—dari 155 pasal menjadi hanya 59—oleh para panitia yang memperdebatkan pengesahannya.
RUU ini dirancang untuk mengisi kekosongan legislasi dengan menyediakan rincian yang tepat tentang aksi-aksi apa saja yang bisa dianggap kekerasan seksual, karena hukum yang tersedia saat ini bisa berujung pada interpretasi yang berbeda-beda. Dalam rancangannya, RUU ini menambah konsep aksi seksual yang tidak diinginkan dari sekedar penetrasi penis-di-vagina, memperluas cakupannya hingga meliputi pernikahan paksa, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, dan lain-lain. Dan lebih pentingnya lagi—yang tidak biasa bagi Indonesia—RUU ini tidak hanya meliputi upaya-upaya pencegahan dan hukuman bagi pelaku, namun juga memberikan dukungan psikologis dan rehabilitasi bagi korban. Contohnya, korban ditawari kesempatan untuk menghadiri pengadilan secara terpisah, sehingga mereka tidak perlu bertemu muka dengan pelaku. Dalam hukum yang berlaku saat ini, korban harus berada satu ruangan dengan pelaku dalam pengadilan kasus kekerasan seksual.
Jika RUU ini tidak disahkan di akhir 2017, panitia perumusan undang-undang—dipimpin oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)—harus lagi-lagi melobi pembuat kebijakan untuk menempatkan rumusan tersebut dalam daftar prioritas hukum 2018. Jika gagal melakukan ini, kesempatan untuk akhirnya mengesahkan undang-undang tersebut akan makin mengecil.
“Tantangan terbesar adalah untuk menjelaskan perspektif baru kepada anggota legislatif [di DPR],” ujar Nihayatul “Ninik” Wafiroh, seorang anggota parlemen dan bagian dari tim yang mengajukan RUU. “Dengan mengajukan UU yang berdasarkan cara berpikir baru—yakni, menyarankan bahwa hukum harus membela kepentingan korban—yang amat berbeda dengan bagaimana KUHP ditulis.”
Bingkai baru berperspektif korban ini memicu perdebatan panjang, dengan banyak maju-mundur, revisi, dan bahkan penghapusan berbagai poin-poin kunci. “Sekarang bahkan dikatakan bahwa rumusan ini baru bisa disahkan jadi undang-undang jika KUHP-nya direvisi,” ujar Ninik. “Sejauh ini, hal ini tidak terjadi. Artinya kita harus mengubah beberapa pasal di dalam rancangan undang-undang, sehingga mereka segaris dengan hukum yang berlaku… akibatnya poin-poin penting tentang hak-hak korban dan saksi dipangkas total.”
Gula-gula bagi Media
Insiden kekerasan terhadap perempuan di Indonesia jarang diberitakan oleh koran nasional, apalagi mendapatkan perhatian pemerintah. Kecuali insiden tersebut amat sangat sadis atau keji, kasus-kasus itu akan berlalu begitu saja.
Ketika Yuyun diperkosa dan dibunuh di Maret 2016, hanya koran lokal dari kampung halamannya di Bengkulu yang menyiarkan beritanya. Sampai akhirnya proyek pribadi saya, Counting Dead Women Indonesia, menangkap berita tersebut di bulan April. Para aktivis pun mengetahui kasus tersebut. Penyanyi dan aktivis Kartika Jahja meluncurkan kampanye media sosial dengan tagar #NyalaUntukYuyun, sementara masyarakat di berbagai daerah berkumpul untuk mengheningkan cipta dan berdemonstrasi. Baru kemudian, pemerintah mengetahui tentang kasus ini. Sayangnya, kampanye tersebut tidak membuat DPR segera mengesahkan rancangan undang-undang tersebut, namun malah berakhir dengan dekrit presiden yang memperbolehkan kebiri kimia untuk pemerkosa dan pembunuh—bentuk hukuman yang oleh para aktivis dianggap tidak manusiawi dan tidak efektif.
Riset Komnas Perempuan tentang perempuan di media Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan hanyalah gula-gula bagi media.
“Media suka sekali [cerita tentang kekerasan terhadap perempuan], tapi hal ini bukan berarti baik,” ujar Evi Mariani, editor The Conversation Indonesia. Kantor-kantor berita, terutama tabloid dan acara hiburan, kerap kali membagikan cerita-cerita skandal perempuan dan gadis-gadis yang diperkosa dan dibunuh—termasuk menyiarkan foto-fotonya—untuk mendongkrak rating dan meraup pembaca. “Riset Komnas Perempuan tentang peliputan perempuan di media menunjukkan bahwa kekerasaan terhadap perempuan adalah favorit media.”
“Tapi tidak semua kasus disiarkan oleh pers,” tambahnya. “Ada beberapa alasan. Polisi tidak melaporkan kasus-kasus tersebut ke media kecuali kasusnya sadis, kejam… Selain itu, bahwa kekerasan terhadap perempuan kurang dilaporkan. [Cerita-cerita] yang sampai ke pers adalah yang sadis-sadis saja, supaya bisa dikemas dengan bumbu-bumbu sensasional.”
Otoritas, media, dan publik tidak memiliki cukup rasa sensitif ketika menghadapi kasus kekerasan ekstrim. Salah satu kasusnya, tentu saja diliput oleh media karena cara pembunuhannya yang kejam, terjadi di tahun 2016. EF, seorang gadis berumur 18 tahun dari Jabodetabek, diperkosa dan dibunuh di kamar kosnya. Para pembunuhnya—seorang bocah berumur 15 tahun dan dua orang lelaki 23 tahun—memperkosanya sebelum akhirnya menghunuskan cangkul besar, gagangnya duluan, ke dalam vaginanya. Menurut laporan, para pelaku bahkan menggunakan kaki mereka untuk mendorong cangkul tersebut ke dalam tubuhnya, sampai-sampai gagang cangkul itu mencapai rusuk. Akibatnya, organ dalam EF hancur, menyebabkan pendarahan hingga tewas. Jenazah EF ditemukan keesokan harinya oleh rekannya.
Deskripsi tertulis dan verbal atas serangan tersebut sudah cukup buruk, namun peliputan heboh yang dilakukan media atas kasus pembunuhan EF makin diperburuk dengan beredarnya foto-foto dari Polisi, diduga akibat seorang polisi menyebarkannya lewat percakapan WhatsApp. Foto-foto tersebut diunggah ke media sosial tanpa disensor. Hingga 18 bulan sejak kematian EF, foto-foto tubuhnya yang telanjang masih bisa ditemui di internet.
Liputan media juga cenderung terpaku pada detail sensasional dari masing-masing kasus tersendiri, tanpa melihat koneksi antar kasus sebagai bukti maraknya budaya kekerasan terhadap perempuan. Bahkan ketika ada elemen-elemen paralel—seperti lokasi, umur korban, atau hubungan antara korban dengan pelaku—pekerja pers jarang mengambil benang merah ini.
“Sumber utama informasi tentang kasus kekerasan terhadap perempuan adalah Polisi,” ujar Evi. “Budaya maskulin masih amat bercokol di kepolisian. Kepada pers mereka tidak hanya memberi informasi, namun juga perspektif, [yang problematis karena] banyak jurnalis tidak menggunakan [lensa] gender, terutama ketika meliput isu kriminal tersebut.”
Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan
Bahkan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, sepertinya memiliki pemahaman buruk tentang kekerasan terhadap perempuan. Di bulan Oktober, ia mengusulkan orang-orang yang melaporkan kasus pemerkosaan ke Polisi harus ditanyai apakah mereka menikmati diperkosa. “Ini adalah pertanyaan yang penting,” Tito berkata pada BBC. “Jika saya diperkosa, bagaimana rasanya ketika saya diperkosa? Apakah saya baik-baik saja? Jika saya baik-baik saja, berarti itu bukan perkosaan.” Ketika didesak untuk mengklarifikasi, Tito berkata pada jurnalis bahwa itu adalah pertanyaan standar yang harus ditanyakan untuk mencegah laporan palsu.
Partisipan Women’s March 2017 di Jakarta memprotes kekerasan terhadap perempuan di dalam dan luar negeri. Kredit: Kate Walton
Evi berpendapat liputan media tentang kekerasan terhadap perempuan akan menjadi lebih baik jika jurnalis merujuk pada organisasi-organisasi ramah perempuan, seperti Komnas Perempuan atau LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), sebagai narasumber utama. Badan-badan ini telah dengan aktif berupaya mengarahkan percakapan ke konteks prevalensi kekerasan terhadap perempuan di masyarakat Indonesia.
Di 2016, Komnas Perempuan mencatat 259,150 kasus kekerasan terhadap perempuan, kebanyakan di dalam hubungan pernikahan, namun juga menyebutkan bahwa angka ini bisa jadi hanya sebagian dari semua insiden di seluruh Indonesia. Banyak kasus yang tidak dilaporkan, biasanya akibat ketakutan akan mendapat pembalasan dendam dari pelaku, stigma sosial, dan juga karena polisi tidak menganggap serius kasus kekerasan terhadap perempuan.
Projek pencatatan data saya sendiri, Counting Dead Women Indonesia, menghitung 193 kasus perempuan terbunuh di 2016. Hanya empat dari kasus-kasus ini yang melibatkan pelaku perempuan; 50% pembunuhan dilakukan oleh suami, pacar, mantan pacar, atau laki-laki yang tertarik pada korban. Hal ini sesuai dengan statistik global yang mengindikasikan bahwa mayoritas perempuan dibunuh oleh pasangan intimnya. Kami menghitung bahwa ada 150 perempuan lain dibunuh sejauh ini di 2017.
Ada hal kecil yang menghubungkan para perempuan ini. Pembunuhan muncul di seluruh kepulauan Nusantara, dari pusat kota hingga desa terpencil. Rentang usia korban beragam, dari semuda 3 tahun hingga 79 tahun. Mereka beragama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan pengikut aliran kepercayaan. Mereka berasal dari berbagai spektrum latar belakang sosio-ekonomi. Hanya ada satu benang yang menghubungkan semua keberagaman ini: para perempuan ini dibunuh oleh pasangan lelaki yang cemburu, serta memiliki masalah kemarahan dan kontrol.
“Konstruksi sosial menyebabkan lelaki merasa mereka harus menjadi lebih kuat dan lebih berkuasa [dari perempuan],” kata Tunggal Pawestri, aktivis yang tinggal di Jakarta. “Banyak lelaki merasa mereka superior dan memiliki kuasa atas tubuh dan hidup perempuan. Maka ketika ada bagian kecil dari maskulinitas mereka yang tertantang, mereka menjadi amat marah, karena di kepala mereka, lelaki harus selalu dihormati.”
Ini adalah konteks yang belakangan dideskripsikan para pemikir feminis sebagai “maskulinitas beracun”, dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Relasi kuasa antara perempuan dan lelaki tidaklah seimbang, dan patriarki tetap kuat di seluruh dunia, walau kita telah berupaya untuk meniadakannya,” ujar Tunggal. “Hal ini juga terjadi di Indonesia—patriarki amat berakar dan menjadi simbiosis dengan budaya kita.”
Perjuangan Masih Berlangsung
Namun tetap ada harapan. Ada berbagai organisasi dan komunitas yang melawan kekerasan terhadap perempuan serta pelecehan seksual di seluruh Indonesia, dari kelompok-kelompok kecil seperti Hollaback! Jakarta dan Lentera Sintas Indonesia sampai organisasi nasional seperti KAPAL Perempuan (Women’s Boat) dan Solidaritas Perempuan (Women’s Solidarity). Kampanye-kampanye membara memperingati 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender terus berlangsung setiap tahun—program tahun 2017 termasuk sebuah festival film, diskusi, dan lari santai—ketika Women’s March 2017 menarik sekitar 1.000 partisipan mendesak pemenuhan hak-hak perempuan dan LGBTQ.
Sudut pandang para penguasa juga mulai bergeser. Presiden telah ikut mendesak DPR untuk meloloskan RUUPKS, inisiatif anti-catcalling mulai bermunculan di seluruh negeri dan di berbagai kalan sosial media; dan puteri Sultan Yogyakarta secara rutin marah-marah di Twitter tentang patriarki dan sambil berbicara tentang apa yang harus dilakukan untuk mendorong perubahan. Juga, amat menyegarkan melihat remaja lelaki dan perempuan menunjukkan minat untuk mendukung feminisme dan hak-hak perempuan, seperti aktivis anti pernikahan anak, Sanita Rini, dan penulis Asa Firda “Afi” Nihaya, memimpin pergerakan ke masa depan yang lebih setara.
“Yang membuatku optimis… adalah melonjaknya angka perempuan yang sadar bahwa mereka harus mendapatkan pendidikan, dan bahwa mereka bisa menjadi berdaya tanpa harus bergantung pada lelaki,” kata Sanita, yang berhasil menghindari pernikahan remaja dengan meyakinkan orangtuanya bahwa ia bisa lebih berguna untuk menyokong kehidupan keluarganya jika ia mengenyam bangku kuliah. “Dengan lebih banyaknya perempuan yang mendorong perubahan, berarti lebih banyak gadis-gadis kecil yang akan bisa menggapai cita-cita mereka,” termasuk hidup tanpa ancaman kekerasan, ujarnya.
Perubahan ini menunjukkan bahwa walau di tingkat nasional hanya ada kemajuan-kemajuan kecil untuk melindungi perempuan dari kekerasan, saat ini ada kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan dari bawah ke atas. Tantangan pergerakan ini kali ini adalah untuk menyediakan keterlibatan dan pergerakan yang konsisten—tidak hanya perempuan, namun juga lelaki—untuk membangun Indonesia yang melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan.