Cerita Audris ditulis dalam amarah yang berkobar-kobar sembari menelusuri ide ekologi queer dengan keaslian Sunda. Saat konsep gender dipaksakan dalam kerangka sempit laki-laki dan perempuan, alam dieksploitasi habis-habisan. Semesta pun memuntahkan murka untuk membalaskan dendam.
Tanah di bawah kaki telanjangku bergetar. Ia gemetar dan menangis sementara ekskavator mencakari dagingnya. Dagingku. Ia menjerit dan berdarah sementara mesin penuai menjambaki rambutnya dan menumbangkan pohon-pohon; anak-anak kami, kini harus mati demi mereka yang gemar menyia-nyiakan sumber pangannya.
Aku bergegas mendaki menuju ke puncak, sementara ratap tangis burung-burung dan celeng-celeng dan rusa-rusa merobek kupingku. Semua kebingungan, semua takut. Saudara-saudaraku—mereka pun akan ikut dibantai jika tertangkap.
Kaldera menganga dan kosong. Aku jatuh ke lututku, tidak peduli bagaimana paru-paruku terasa sesak dan kakiku seakan terbakar. Tubuhku adalah tubuhnya, dan hanya miliknya saja.
Ketika orangtuaku memaksaku menikah dalam perjodohan yang tidak kuinginkan, pegunungan menerimaku dalam pelukannya. Ketika warga desa melempariku dengan batu karena menyalakan dupa dan menggiring roh tersesat ke kediaman yang lebih damai, kelinci-kelinci liar mengerumuni kakiku.
Puncaknya adalah ketika mereka mengataiku kafir, dan seorang ustad setempat menyeretku ke ruangannya untuk ritual rukyah.
Kemudian, Dewi Sri sendiri menuntunku ke mata air. Ia membersihkanku dari keperempuanan palsu yang dipaksakan kepadaku, mencelupkanku ke dalam sungai, sehingga aku lahir baru. Tidak lagi seorang perempuan, dan tidak perlu menjadi seorang lelaki.
Kini giliranku untuk melindunginya.
Aku menghirup udara yang bersih; membawa semuanya denganku. Suaraku terasa berat dan gelap—bukan lagi milikku, tapi miliknya.
“Budak bageur, budak bageur, hayu hudang sarerea.”
Bumi bergetar sekali lagi. Getarannya menyebar ke seluruh lahan, lebih dalam, lebih kasar. Bahkan inti dari planet ini bergidik mendengar mantraku—mantra kami.
Abu dan asap hitam mulai membumbung ke atas kawah dan mengisi paru-paruku. Aku terbatuk-batuk sementara ledakan-ledakan kecil memenuhi bagian dalam tubuhku. Lidahku berkutat dalam upaya mengeluarkan kata-kata lagi.
“Budak bageur, budak bageur, hayu hudang sarerea.”
Jika para pemburu liar menangkap mereka, macan-macan dewasa akan dikuliti dan anak-anaknya ditangkap untuk dipamerkan. Monyet-monyet akan digiring ke pasar gelap—atau lebih parah lagi, diperbudak sebagai badut topeng monyet. Dengan ini paling tidak aku menawarkan kematian yang lebih bermartabat bagi mereka.
Abu terus dimuntahkan seperti air mata. Aku menangis dengannya sementara rasa dukanya perlahan berubah menjadi murka. Ia telah memberi mereka udara untuk dihirup dan tanah untuk digarap, namun manusia selalu meminta lebih. Mereka tidak akan pernah puas sebelum mereka melahap jeroannya dan mengisap tulangnya.
Tanah mulai retak-retak, siap untuk meledak. Ia bergetar dan bergetar dan bergetar sampai ia tidak tahan lagi, dan semuanya menjadi merah.
Aku tidak akan ada di sini untuk menyaksikannya, namun aku tahu satu hal.
Dengan ini, pepohonan akan kembali lebih hijau dari sebelumnya. Dengan ini mereka akan lebih hati-hati supaya tidak membangkitkan amarah Ibu Pertiwi.
Mari kita mulai lagi dari awal.
Selalu ingat bahwa kita tidak dapat mengendalikan bumi.
Kita adalah miliknya, dan hanya miliknya saja.