Naya, mengenakan gaun kuning cerah, baru saja menginjak umur tujuh bulan, dan pesta hari ini adalah untuknya. Nama pestanya Molubingo, praktik adat yang telah menjadikan Provinsi Gorontalo menempati peringkat tertinggi untuk sunat perempuan di Indonesia, sebuah tradisi yang pernah dilarang tapi masih berakar di seluruh nusantara.

Ibu Naya membawanya ke dalam sebuah kamar bersama dengan seorang dukun beranak, atau disebut dengan Hulango. Dukun itu bersenjata pisau yang tidak cukup tajam untuk memotong jeruk muda, tapi digunakan untuk mengambil sebagian dari klitorisnya. Sementara itu para pria membaca doa di luar dan mengatakan ini adalah cara bagaimana perempuan disebut masuk Islam.

Tangis Naya pecah, mulai dari raungan karena tidak nyaman hingga teriakan histeris, sementara Hulango menyelesaikan pengambilan klitoris itu dengan cepat di bawah mukena seukuran anak. “Tidak ada darah,” ujar Hulango, Martin A Upingo. “Kalau berdarah, tidak bagus.” Setelah dukun beranak berumur 68 tahun itu mengeluarkan sebagian klitoris Naya seukuran dan sewarna dengan sebutir beras, ia mengatakan bahwa ini hanya simbolik saja.

“Kalau itu tidak dikeluarkan perempuan itu setelah dewasa, dia punya nafsu yang tidak terbatas, tidak terkendali,” Deka Usman, mantan ketua dewan adat Gorontalo menyampaikan kepada New Naratif. “Nafsu harus diurus. Itu yang pertama.”



Pemotongan dan Perlukaan Genital Perempuan di Indonesia

Menurut penelitian terbaru dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kurang dari dua persen kasus sunat perempuan bersifat simbolis—ini berarti tanpa membahayakan gadis itu. Sebagian besar kasus tersebut, seperti yang dialami Naya, bertujuan untuk merusak atau mengambil daging dari klitoris. Inilah sebabnya mengapa Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta organisasi hak-hak perempuan dan anak-anak Indonesia menyebut praktek ini, yang dirayakan sebagai pesta di Gorontalo, sebagai sebuah pelanggaran HAM.

Mereka yang menentang praktik ini menghadapi tekanan-tekanan dari keluarga dan teman-teman, serta fatwa yang dari Majelis Ulama Indonesia, lembaga Islam paling kuat di Indonesia, diketuai Ma’ruf Amin, calon wakil presiden dan pasangan Presiden Joko Widodo di pemilu yang akan datang pada bulan April depan.

Sunat perempuan, atau lebih formalnya Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan atau P2GP telah mencapai hampir setengah populasi gadis dengan kategori umur di bawah 11 tahun di Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya muslim terbesar di dunia. Warga Gorontalo, kota ini pernah disebut Serambi Madinah karena terkenal praktik agamanya yang cukup konservatif, menyunat lebih dari empat dari setiap lima anak perempuan. Angka ini adalah tertinggi di negara ini, menurut survei pemerintah pada 2013.

Wujud P2GP dapat berupa apa saja, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), mulai dari gesekan ringan di klitoris sampai pemotongan vagina yang invasif. Penelitian yang terbit pada Juli dari Komnas Perempuan menemukan bahwa di Indonesia, terjadi penyunatan utuh dan sebagian hingga kerusakan pada bagian klitoris. Dalam dunia perdukunan anak di Indonesia atau bidan profesional sekalipun, mereka menggunakan pisau, pinset, jarum, koin, gunting kuku, bahkan hanya dengan menggunakan jari untuk menyunat bayi perempuan.

Members only

Log in or

Join New Naratif as a member to continue reading


We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.

Ian Morse is a journalist based in Gorontalo and covering eastern Indonesia and Kalimantan. He tweets @ianjmorse.