Kepolisian Indonesia kini menjadi pihak terdepan untuk menghadapi berbagai kerumunan masyarakat sipil, dari demonstrasi, hingga pertandingan bola. Untuk mengendalikan kerumunan, polisi kerap menggunakan gas air mata secara berlebihan yang berujung pada tingginya angka korban dan kematian akibat gas air mata.

Peringatan: Artikel mengandung unsur kekerasan polisi yang bisa memicu trauma

Rinta* masih mengingat dengan jelas bagaimana stadion Kanjuruhan berubah dalam waktu singkat dari lokasi pertandingan antara Arema dan Persebaya menjadi tempat penembakkan gas air mata secara masif yang menewaskan setidaknya 135 orang. Rinta merupakan satu dari sekitar 42 ribu penonton yang datang pada awal Oktober ini.

Bagi Rinta, 27, menonton Arema di akhir pekan merupakan cara untuk melepaskan suntuknya sebagai pekerja penuh waktu di salah satu perusahaan swasta di Surabaya. Rinta telah menonton Arema secara rutin sejak ia masih duduk di bangku sekolah, baik bersama teman-temannya maupun keluarganya.

“Saya berangkat berdua sama temen saya, cewek. Itu memang niat weekend dan liburan,” ingat Rinta.

Rinta dan temannya duduk di kursi VIP barisan atas, wilayah yang cukup aman dari tembakan gas air mata di hari itu. Posisi yang juga cukup jelas untuk melihat bagaimana segala kericuhan berlangsung, mulai dari adanya suporter yang turun ke lapangan; polisi mengejar dan memukul massa; polisi menembakkan gas air mata ke arah lapangan dan penonton yang duduk di tribun; orang-orang berlarian dan berdesak-desakan menyelamatkan diri dari sesakan gas air mata; orang-orang terkapar dalam perjalanan keluar dari tribun; hingga asap dari gas air mata di mana-mana.

“Aku bingung, karena menurutku sebenarnya kondisi [pertandingan] kondusif gitu ya, tapi semuanya berasa kayak tiba-tiba [berubah],” kisah Rinta.

Rinta tak berani bergerak dari tempat duduknya. Ia diam dan melihat semua kejadian tersebut dari bangkunya hingga kekacauan mulai mereda, yakni sekitar pukul setengah satu malam. 

Tak ada tembakan yang mengarah secara langsung ke Rinta. Ia hanya merasakan sisa-sisa gas air mata yang ditembakkan ke tribun di sekitarnya.

Namun, kejadian tersebut meninggalkan ketakutan dalam diri Rinta. Rinta tak lagi berani untuk datang menonton pertandingan bola. Ia tak pernah membayangkan kalau sebagian dari orang-orang yang terkapar dalam proses melarikan diri dari gas air mata meninggal dunia.

Sedikit gas air mata yang terhirup oleh Rinta pun meninggalkan flek di paru-parunya. Sekembalinya dari stadion, badannya demam tinggi dan ia mengalami sesak napas. Rinta berakhir rawat inap selama lima hari di rumah sakit.

Kanjuruhan Illustration
Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Sekali pun penggunaan gas air mata di dalam stadion telah dilarang oleh badan pengatur sepak bola international, FIFA, tetapi ia tetap digunakan secara berulang di stadion Indonesia. Beberapa di antaranya di Kanjuruhan (2018), Bantul (2018), Jakarta (2018), dan Yogyakarta (2016). Tewasnya penonton sepak bola akibat penggunaan gas air mata oleh polisi pun bukan peristiwa baru di Indonesia.

Tragedi Kanjuruhan tak lain adalah buntut dari normalisasi penggunaan kekuatan kepolisian secara berlebihan yang telah dinormalisasi selama beberapa tahun ke belakang. Hal tersebut disampaikan oleh dosen Jentera Law School, Asfinawati.

“Tragedi Kanjuruhan itu terjadi karena sudah ada normalisasi dari penyalahgunaan wewenang [penggunaan gas air mata]. Karena, kalau tidak disuplai dalam jumlah yang banyak, pasti nggak bisa keluar juga kan gas air mata itu,” jelas Asfinawati.

“Mereka dibekali dalam jumlah yang cukup untuk tempat yang seluas itu dan orang sebanyak itu. Menurut saya, itu karena mereka sudah terbiasa menggunakan [gas air mata].”

Saat permasalahan ini dikonfirmasi ke Polri, Kadiv Humas Polri Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa Polri sudah membuat regulasi baru tentang keselamatan dan keamanan pertandingan yang mengacu pada pertandingan FIFA. 

“Sudah ada di Kementerian Hukum dan HAM. Tinggal menunggu pengesahan dari Pak Menteri,” ujar Dedi.

Ketakutan akan Kerumunan

Hingga hari ini, belum ada catatan resmi mengenai penggunaan air mata oleh anggota kepolisian. Namun, media nasional Jurno mencatat setidaknya terdapat 67 peristiwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo di mana anggota kepolisian menggunakan gas air mata untuk merespon keberadaan kerumunan.

Senjata kimia tersebut paling sering digunakan melawan kerumunan demonstrasi (28 insiden), tawuran (14 insiden) dan sepak bola (11 insiden). Gas air mata juga kerap digunakan untuk membantu proses penggusuran, sebagaimana yang pernah terjadi di Banggai, Bandung, hingga Jakarta.

Derasnya pemberitaan Tragedi Kanjuruhan mengingatkan Santi (47) dan Endah (39) pada peristiwa penggunaan gas air mata dalam konflik lahan di Pancoran, Jakarta, pada 17 dan 18 Maret tahun lalu. Kejadian tersebut berdampak pada setidaknya 23 orang luka-luka, beberapa di antaranya sesak napas.

Sekalipun telah berlalu lebih dari setahun, mereka masih dihantui ketakutan berulangnya peristiwa tersebut.

“Waktu lihat berita Kanjuruhan, ya wajar ngelihat sampai orang mati. Karena kita [di] ruang terbuka saja sesak banget,” ingat perempuan yang akrab dipanggil Mamih Santi.

Endah juga masih mengingat bagaimana para tetangga dan anaknya lari dalam kepanikan selepas terkena gas air mata di tengah lahan tempat tinggal mereka yang hampir dirampas di tengah pandemi.

“Anak saya terkena gas air mata, sudah muntah-muntah. Terus pas saya cari oksigen di dekat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), eh ternyata di situ sudah [dipenuhi] gas air mata semua,” kisah Endah.

“Sekarang kita takut kalau keulang lagi. Yang sekarang kita takutin malah Satpol PP, aparat. Kalau lagi tidur, takut tiba-tiba dilempar api atau apa.”

Pada hari itu, gas air mata berhasil memukul mundur warga yang tengah mempertahankan lahannya. Sejumlah anak-anak yang hidup di pemukiman tersebut pun terkena dampaknya. Pasca kejadian tersebut, beberapa warga memutuskan untuk pindah dari sana.

Penggunaan gas air mata di tengah pemukiman yang menyasar pada anak-anak, sebagaimana yang terjadi pada anak Endah, bukanlah hal yang baru. Seorang bayi berusia lima bulan pernah dilarikan ke rumah sakit akibat serangan gas air mata di Ternate. Tragedi Kanjuruhan juga menewaskan seorang anak berusia tiga tahun. Meski demikian, hingga hari ini, belum ada catatan resmi mengenai jumlah korban anak-anak akibat dari penyalahgunaan gas air mata.

Tak hanya masyarakat sipil dan anak-anak, gas air mata juga pernah ditembakkan ke arah ambulans dalam demonstrasi pada 2019. Polri mengklaim bahwa kejadian tersebut merupakan provokasi untuk membangun amarah masyarakat terhadap polisi di media sosial.

Selain menyerang kelompok rentan, Polri juga melabel sejumlah kelompok sebagai “berbahaya”, seperti kelompok anarko. Polri secara spesifik mengincar aksi yang diindikasikan digerakkan oleh kelompok anarko melalui penggunaan gas air mata, sebagaimana yang pernah terjadi di Bandung.

Tear gas illustration
Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Peluru untuk Mematikan Demonstrasi

Gas air mata sering digunakan untuk membubarkan unjuk rasa, mulai dari aksi Bawaslu (2019), Reformasi Dikorupsi (2019), hingga penentangan Omnibus Law (2020). Kerusuhan dalam berbagai demonstrasi tersebut berujung pada meninggalnya sejumlah peserta aksi.

Reformasi Dikorupsi berlangsung di sejumlah kota di Indonesia dan menjadi salah satu demonstrasi terbesar pasca Reformasi 1998. Gerakan tersebut mengkritik langkah pemerintahan Jokowi yang mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai tidak adil dan anti-demokratis.

Lini Zurlia (35) saat itu menjadi salah satu dinamisator Reformasi Dikorupsi, yaitu orang yang menyatukan sejumlah elemen peserta aksi di lapangan, seperti mahasiswa, buruh, masyarakat sipil, masyarakat adat, dan sebagainya. Lini berdiri dan melakukan orasi di atas salah satu mobil komando (mokom) tepat di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, pada suatu sore di bulan September 2019.

Memasuki sekitar pukul empat sore, polisi mulai menyemprotkan meriam air untuk membubarkan massa. Sebagian massa mulai berlari, tetapi sebagian besar masih bertahan di depan DPR.

“Tiba-tiba, setengah lima, [polisi] sudah meledakkan gas air mata ke depan DPR dulu,” ingat Lini.

Lini dan beberapa dinamisator dalam aksi tersebut pun mulai mengarahkan peserta aksi untuk menggunakan masker dan kacamata pelindung (goggles). Namun, sebelum sempat memakai masker, gas air mata tak berhenti ditembakkan. Salah satunya jatuh tepat di dekat kaki Lini. Tak lama kemudian, Lini tak mampu bernapas.

“Pedas, nggak bisa napas, goggles-nya sudah dilepas, plus panik, plus sesak. Sudah. [sehabis itu] blur doang,” kisah Lini.

Malamnya, Lini pun terbangun di rumah sakit bersama dengan sejumlah peserta aksi lainnya. Sekalipun kesehatannya belum stabil, Lini memilih pulang alih-alih rawat inap di rumah sakit. Pasalnya, sejumlah polisi mendatangi peserta aksi yang sakit, memotret mereka, dan melakukan identifikasi.

Berdasarkan data Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), terdapat setidaknya 390 pengaduan korban kekerasan dari anggota polisi di Jakarta dan sekitarnya. Bentrokan dengan polisi dalam sejumlah demonstrasi di tahun 2019 tercatat menewaskan lebih dari 50 orang.

“Dampaknya berasa beberapa tahun setelah itu. […] Aku merasa, secara psikologis, fear mongering itu berhasil sih untuk silence [masyarakat]. Nah, secara efek, yang benar-benar berdampak itu self-censorship,” ungkap Lini.

Saat Lini tengah terjatuh akibat gas air mata, jurnalis foto Bhagavad Sambadha (35) tengah mengambil foto untuk kantor medianya. Hari itu, Bhaga cukup terlindung dari paparan gas air mata karena menggunakan kacamata pelindung dan masker gas 3M.

“Gue bisa napas dan ngelihat dengan baik [di tengah asap gas air mata]. Gue belajar dari [aksi Bawaslu di bulan] Mei. Waktu Mei, gue bahkan nggak pakai helm. Yang ini gue pakai [pelindung lengkap],” ujarnya.

Bhaga memposisikan diri di tempat strategis, memotret sembari jongkok di belakang lampu jalan. Namun, melalui lensa zoom-nya, Bhaga mendapati seorang polisi sedang mengarahkan tembakan gas air mata jenis klaster ke arah kepalanya.

“Gas air mata klaster itu ketika ditembakin, dia pecah. Ada [fragmen] cahaya dan ada suara juga. Jadi memang membuat lo panik. Jadi ada suara ‘duar’ supaya orang panik. Terus cahayanya, kalau malam, bikin silau. Tapi itu masih sore, jadi nggak begitu berasa,” kisah Bhaga.

Bhaga tetap memotret hingga salah satu gas air mata meledak tepat di atas kepalanya.

“Nah, pecahannya, klasternya, jatuh ke gue, jadi meledaknya ke kaki gue. Di titik itu, gue sempat nggak dengar apa-apa, nggak lihat apa-apa, cuma ada suara ‘ngiiing’. Pas gue buka mata, kaki gue sudah darah semua, celana gue sudah sobek-sobek,” ingat Bhaga.

Memori kejadian tersebut teringat oleh tubuh Bhaga. Ia tak merasa bahwa kejadian tersebut berdampak pada dirinya hingga ia diharuskan oleh kantornya untuk kembali meliput demonstrasi. Di tengah aksi massa, alih-alih memotret, tangan Bhaga justru bergetar dan keringat dingin. Tubuhnya pun seolah menolak untuk berada di tengah demonstrasi.

“Kan gue motret bertahun-tahun ya. Biasanya badan tuh biasa aja. Nah, yang sekarang keganggu tuh peace of mind-nya. Gue nggak bisa motret kalau badan gue kayak ngajak cabut. Gue sampe sempet mikir, ‘Masa sih gue nggak bisa motret aksi lagi?’”

Penembakan gas air mata pun kerap kali melanggar aturan internal Polri. Seharusnya ada himbauan sebelum gas air mata ditembakkan, dan tembakan seharusnya diarahkan ke udara, tidak boleh lurus ke massa. Dari seluruh narasumber New Naratif, tak seorang pun yang pernah mendengar adanya himbauan sebelum penembakan terjadi. Dan dalam kesaksian mereka, tembakan gas air mata justru ditujukan ke arah massa.

Bhaga juga mempertanyakan mengapa polisi selalu menurunkan tim huru-hara atau brimob, pasukan yang memegang senjata dan gas air mata, untuk menangani demonstrasi.

“Seragamnya hitam-hitam. Kaca helmnya gelap jadi nggak bisa ngelihat mukanya. Nggak ada nama, kesatuan, atau apa pun. Jadi mereka dengan sadar berlindung di balik anonimitas. Soalnya kan minta akuntabilitasnya [menjadi] susah. Terus saat didandanin kayak robot, hitam-hitam gitu, ya mereka jadinya ngelihat kita gak kayak orang,” ungkap Bhaga.

“Bayangin lo mau ngelawan mahasiswa, pakai seragam gelap, muka lo nggak bisa kelihatan, senjata lengkap. […] Sudah kayak perang kota kan,” lanjutnya.

The police team in their uniform
Seragam tim kepolisan yang menjaga aksi Bawaslu, di Jakarta, pada Mei 2019. Sumber: Dokumentasi pribadi Bhagavad Sambadha.

Bagi Bhaga, seharusnya kewenangan polisi dalam menangani massa aksi dengan membawa sejumlah besar gas air mata dicabut. Sementara, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menjelaskan bahwa pendekatan yang kini digunakan oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat sipil yang sedang berkumpul memang seperti “perang” alih-alih usaha untuk melindungi warganya.

“Kita ini template-nya sudah seperti itu. Setiap ngelihat ada massa, yang diturunkan tim yang bisa menyerang, melukai, dan melumpuhkan,” jelas Julius. 

Hal tersebut, ungkap Julius, terjadi karena pemerintah dan polisi masih melihat massa yang berkumpul untuk menyuarakan pendapatnya sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.

Crowd ini dilihat sebagai ancaman negara, padahal harusnya negara menempatkan posisi orang berkumpul itu sebagai Hak Asasi Manusia,” lanjutnya.

New Naratif mencoba mengkonfirmasi tentang permasalahan penggunaan gas air mata di luar dari stadium. Namun, hingga artikel ini diunggah, belum ada balasan dari Dedi Prasetyo selaku perwakilan dari Polri.

Peningkatan Brutalitas Sejak Era Jokowi

Peningkatan penggunaan gas air mata terjadi pasca pemerintahan Jokowi. Pendekatan untuk menangani masyarakat sipil, termasuk demonstrasi, turut melibatkan penggunaan kekuatan oleh institusi kepolisian secara berlebihan.

Eskalasi itu terjadi ketika Jokowi menjabat sebagai presiden. Yang paling banyak diserang adalah kelompok buruh, aktivis, dan mahasiswa,” ungkap Julius.

Hal tersebut juga tercermin dari peningkatan pembelian perangkat gas air mata sejak pemerintahan Jokowi. Pembelian melonjak drastis pada tahun 2017, yaitu mencapai Rp 327,7 miliar, dibandingkan tahun 2014 (Rp 98,7 miliar) ataupun 2013 (Rp 6 miliar). Wakil Ketua Komnas Ham Amiruddin Al Rahab menyatakan peningkatan penggunaan gas air mata disebabkan oleh memanasnya iklim politik.

[Di] satu sisi [ada] lonjakan partisipasi politik. Pada sisi yang lain polisi juga menghadapi situasi di mana ketertiban umum mesti dijaga. […] Dengan begitulah, alat-alat untuk menghadapi situasi seperti itu dipakai polisi, salah satunya gas air mata,” ujar Amiruddin.

Peningkatan aksi dalam skala besar memang terjadi di akhir periode pertama dan awal periode kedua pemerintahan Jokowi. Sebagian aksi tersebut mengkritik kebijakan yang muncul di era Jokowi, sebagaimana yang terjadi pada Reformasi Dikorupsi (2019) maupun aksi penentangan Omnibus Law (2020).

Pada masa-masa tersebut pula, korban yang berjatuhan akibat kekerasan dari kepolisian meningkat. Dalam catatan YLBHI, setidaknya terdapat 52 orang yang kehilangan nyawa mereka saat demonstrasi pada tahun 2019. 33 di antaranya di Wamena, Papua. Sementara menurut data TAUD, 187 orang mengalami kekerasan dari aparat dalam demonstrasi penolakan Omnibus Law di bulan Agustus 2020.

Brutalitas polisi juga memicu kritik tajam di masyarakat sipil, termasuk di media sosial. Beberapa di antaranya menggunakan tagar seperti #1hari1oknum (terkait permasalahan anggota kepolisian, termasuk kekerasan yang berulang) dan #PercumaLaporPolisi (terkait kredibilitas polisi).

Normalisasi brutalitas polisi, termasuk dalam menggunakan gas air mata, juga dikritik oleh outlet media independen Patron. Kritik tersebut berupa kumpulan video kekerasan polisi dengan judul Kekerasan yang Diizinkan: Montase Perilaku Aparat Sepanjang 2019.

Lantas mengapa berbagai kekerasan yang terjadi seolah jadi angin lalu yang terus berulang?

Terlepas dari berbagai janji dan aturan internal mereka, sejumlah kebijakan yang ada masih memberikan impunitas terhadap Polri. Undang-undang No. 2 Tahun 2002, misalnya, menempatkan Polri tepat di bawah Presiden. Dengan kata lain, satu-satunya pihak yang bisa memberikan intervensi terhadap masalah ini adalah Jokowi.

Beberapa tahun terakhir, desakan untuk mengintervensi dan mengevaluasi kerja Polri telah digaungkan banyak pihak, termasuk beberapa lembaga HAM. Mereka juga mendesak adanya reformasi Polri. Bagi mereka, “Brutalitas polisi di atas sebenarnya menunjukkan bahwa persoalan tersebut bukan hanya persoalan individu semata, tetapi juga persoalan sistematik, yaitu kultur kekerasan yang masih kuat di dalam tubuh kepolisian”.

Hingga saat ini, Jokowi tak kunjung menggubris tuntutan reformasi kepolisian. 

Tear gas illustration 2
Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Menurut Asfinawati, penggunaan gas air mata untuk menangani kerumunan telah mencederai prinsip dasar demokrasi di Indonesia. Jika Indonesia memang sebuah demokrasi, setiap masyarakat harus berhak menyampaikan pendapatnya, termasuk dalam bentuk unjuk rasa. Apabila dalam demonstrasi ada yang membuat kerusuhan, penanganan hendaknya dilakukan hanya terhadap individu tersebut, alih-alih membubarkan dan menyerang seluruh peserta unjuk rasa.

“[Penggunaan gas air mata oleh polisi] sudah mencederai demokrasi. Dia merusak demokrasi karena tujuannya membatasi pendapat orang. Padahal esensi demokrasi adalah orang bisa berpendapat. Ketika orang nggak bisa berpendapat lagi, ya bukan demokrasi namanya. Ini serius sebetulnya,” ungkap Asfin.

“Meski pun kesannya hanya satu, gas air mata, ini sebenarnya ada kaitannya dengan penggunaan kekuatan lainnya, misalnya pemukulan, penangkapan, penggundulan. Jadi memang ada masalah di tubuh Polri terkait dengan penggunaan kekuatan, brutalitas, dan lain-lain. […] Oleh karena itu, saya katakan tadi, kita tidak bisa memisahkan masalah gas air mata [dari] keseluruhan penyalahgunaan kekuatan yang lain”.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  • Dukung lembaga publik yang bekerja untuk memantau dan mengkritik masalah brutalitas kepolisian di Indonesia, termasuk YLBHI, KontraS, dan Imparsial.
  • Mari bersama-sama memantau kerja institusi kepolisian sebagai lembaga publik. Kamu juga bisa turut menyerukan tagar yang sudah ramai digunakan di sosial media, seperti #PercumaLaporPolisi atau #1hari1oknum apabila menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
  • Bergabung menjadi anggota New Naratif untuk mengkritik permasalahan brutalitas polisi bersama kami dalam bentuk tulisan, podcast, komik, maupun video.

*Nama Rinta disamarkan atas permintaannya.

Fadiyah Alaidrus is an English Language Content Editor for New Naratif. Their works have been published in Wall Street Journal, Mongabay, Coconuts Jakarta, Project Multatuli, Tirto, Tempo, etc. Mainly, they write about environmental, gender and human rights issues.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *