Di Poso, selama 10 hari saya tinggal bersama dengan seorang teman di dekat kantor Kelurahan Lombogia. Suatu rumah dengan dinding yang sebagian retak berdiri di dekatnya, dirambati rumput dan semak belukar. Tidak ada atap yang tersisa. Bangunan itu menjadi saksi kekerasan komunal di Poso, sebuah masa dimana kota ini dikenal memiliki reputasi buruk dalam konflik antar agama.

Pada Desember 1998, Lombogia adalah tempat pertama kali perkelahian antara Muslim dan Kristen atas nama politik yang berakhir secara brutal, memicu kisruh berkepanjangan yang terus menerus melahirkan aksi balas dendam, dalam beberapa tahap. Human Rights Watch Report menggambarkan fase pertama tersebut, “singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota Poso”, kemudian kekerasan berlanjut, dalam fase terpisah, hingga Desember 2001.

Members only

Log in or

Join New Naratif as a member to continue reading


We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.

Ranto Sibarani - New Naratif

Ranto Sibarani

Ranto Sibarani is a human rights lawyer based in Medan, Indonesia. He has worked for over 10 years on the management board of KontraS in North Sumatra, a commission for disappeared peoples and victims of violence. Experienced in social and humanitarian work, he has been active in the North Sumatra Provincial Legislature as an expert in the Law and Government Commission for the past five years. He’s currently completing his Masters thesis on the rejection of the death penalty in Indonesia.