Karya sureal tentang kerusakan lingkungan ini menyajikan imaji monster, kebobrokan ekonomi, borosnya penggunaan hasil alam, guilty pleasures, dan sedikit petanda tentang queerphobia terinternalisasi yang semuanya dimampatkan dalam horor kosmik yang puitis. Walau tidak dengan jelas memotret elemen yang bisa diidentifikasi sebagai elemen queer atau ekologi, karya Yi Feng mampu menangkap nuansa asing seputar ekologi queer dalam atmosfer ini.

Dee kerap memikirkan tempat ini dalam ketiadaan, terlipat dua atau tiga. Ketika kapal-kapal kilang pasir mulai menggaruk gundukan demi gundukan bangkai ikan perak dari dasar laut yang seharusnya mereka gali, tak seorangpun melayangkan protes. Maka perlahan udara apak dan bau busuk menguar seiring gemersik sayap serangga pasir yang memekakkan telinga. Para koleganya beralasan macam-macam untuk menghindar. Jam-jam akhir pekan mereka dihabiskan di rumah bersama istri dan anak, sementara Dee terjebak dengan gombalan-gombalan payah. Bagaimana latihan pianonya?

Ceruk yang teduh di tongkang pasir tempat ia duduk dipenuhi spreadsheet dan kacamata hitam di jam dua pagi. Mata Dee berkedip tak nyaman. Di luar, tiga perempuan dengan rambut tergerai sampai lutut dengan santainya memunguti barang-barang di antara sampah, seakan sedang berbelanja di pasar. Mereka mengaduk-aduk kondom bekas, teripang mati yang jeroannya berceceran, membolak-balik bangkai cumi yang setengah terkunyah.

Ia seharusnya memberitahu mereka bahwa mereka tidak boleh ada di sini, namun kerongkongannya sakit seperti tertusuk duri ikan yang tertelan, membuatnya terpaku di tempat duduk. Penghalang suara telah didirikan sepanjang pesisir untuk menghalangi pandangan publik, walau keluhan tentang bau busuk yang menguar tetap datang.

Pekerjaan terhenti sejenak ketika potongan-potongan logam lembek yang padat berbaur dengan bangkai manusia mulai muncul. Tim penyelam tidak dikerahkan karena saat itu air telah amat tercemar dan keruh, dan diperkirakan tidak akan jernih dalam waktu cepat. Sonar juga tidak mendeteksi apapun. Tiga hari kemudian, telepon berdering, suara di ujung hanya memerintahkan untuk melanjutkan pekerjaan.

Dua dari antara perempuan itu pergi, menceburkan diri tanpa ragu-ragu ke dalam air yang kecokelatan. Satu orang yang tertinggal berbalik, matanya putih seperti ikan mati. Tangannya mencengkeram segumpal rumput laut bercampur rambut. Wajahnya yang kurus seperti tulang kuda laut terlihat tak acuh, seakan berkata, aku bisa melihatmu mengintip dari sudut ceruk itu dari tadi, tahu.

Suara yang aneh menguar dari ceruk-ceruk pasir, bunyi yang kabur seperti suara muntahan yang diguyur ke dalam toilet, suara bilah baling-baling helikopter lewat di atas kepala. Seseorang berusaha meraih telepon, tiada yang terhubung. Tiba-tiba, Dee berdiri keluar di geladak.

Di perairan yang penuh dengan kapal-kapal kargo dan kapal-kapal minyak seperti milik kami, pengerukan adalah urusan yang tidak boleh diganggu-gugat. Kapal minyak yang terjebak dalam perairan dangkal menyebabkan tersendatnya perjalanan kargo yang berharga, mematangkan kabar angin tentang kebangkrutan serta gaji yang tertunda. Dee membayangkan bagaimana ia akan memanjakan diri selepas menyelesaikan shift-nya esok, mungkin dengan segelas highball atau berendam air garam mandi yang wangi. Namun tetap saja, kenyamanan stagnan yang ditawarkan terasa kian tercekat mampat, memohonkan makna yang lebih besar dari semua ini.

Satu sosok meluncur mendekat, perutnya terentang, tentakel hangat menggelora terjulur dari mulutnya. Kulit kerongkongannya berderap seolah sedang menyanyikan ultrasound. Ia menjulurkan tangannya yang bercakar. Dee tiba-tiba tersadar bahwa pagi yang akan datang akan menjadi pagi yang suram, memualkan, dipenuhi ribuan pertanyaan yang tak terjawab. Beberapa hari setelah serangan itu, seseorang akan mengirim email kepada HRD untuk memastikan apakah Dee memiliki ahli waris yang harus disantuni. Pengerukan terus berjalan, namun puing-puing yang dihasilkan terasa seperti limbah pembedahan bangkai yang agung. Tak ada yang membicarakan pikiran yang luber menetes seperti air asin yang menemukan lubang bocor.

Namun malam ini, teriakan tak pernah datang. Wajah mereka nyaris bertaut, napas lembab menyentuh kornea berselaput. Ada celah, ada kesempatan untuk menyelinap kabur. Air pasang tinggi berdebur, menelan pandangan Dee bulat-bulat, dengan sentuhan basah seperti lidah menjilat tulang selangkanya. Dee melengkungkan telapak kaki, menggelungkan jemari, mendeburkan ombak.


Baca cerita-cerita lainnya di season ini:

Choo Yi Feng is a prose writer who creates fiction at the interface of queerness and ecology. His short stories have been published in Foglifter Journal, Anathema: Spec from the Margins, Queer Southeast Asia and Alluvium, the journal of Literary Shanghai. He dwells at coastlines, mudflats and coral rubble.

Jes and Cin Wibowo are twin Indonesian writers and artists for comics. They're currently working on a queer Indonesian middle grade graphic novel, Lunar Boy, to be published in the US.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *