“Hi Miss, apa kabar? Ini saya, Noyeem. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan saat sendirian. Saya merindukan semua orang yang biasanya mengobrol dengan saya.”
Hari itu, tanggal 7 Juli 2018 dan Mohammad Noyeem, seorang pengungsi Rohingya berumur 19 tahun, mengirim pesan kepada saya di Facebook. Saya pertama kali bertemu Noyeem pada Oktober 2017, saat saya menulis sebuah artikel tentang para pengungsi Rohingya di Medan, Sumatera Utara. Saya rutin mengunjunginya selama beberapa bulan terakhir, di rumahnya di Hotel Beraspati—sebuah “hotel melati” yang diubah menjadi kamp pengungsi yang terletak di pinggiran kota.
Members only
Log in or
Join New Naratif as a member to continue reading
We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.
