Bulan ini, New Naratif akan memuat artikel-artikel panjang dari Papua—sebuah wilayah yang saat ini tengah dikuasai oleh Indonesia dan yang sebagian besar masih diabaikan serta kurang diliput. Bagaimanapun, sejarah dan konteks politik di Papua Barat belum dipahami secara luas. Jadi, inilah penjelasannya untuk mempersingkat waktu Anda.
Papua Barat, Nugini Belanda, Papua Nugini, Irian Barat—saya telah mendengar begitu banyak nama yang membingungkan. Merujuk ke manakah mereka semua?
Keseluruhan pulau tersebut disebut Nugini, dan sebagian besarnya dihuni oleh orang Papua, orang adat yang majemuk yang memiliki ratusan bahasa dan sejarah menetap selama puluhan ribu tahun yang lalu (di tanah itu). Papua Nugini merupakan bagian Timur dari Nugini, dan telah menjadi sebuah negara yang merdeka sejak 1975.
Bagian Barat Nugini merupakan sebuah kawasan yang berada di bawah kekuasaan Indonesia. Kelompok pro-kemerdekaan dan sebagian besar orang Papua menyebut wilayah ini sebagai “Papua Barat” (Penyebutan yang sudah disepakati untuk dipakai dalam artikel New Naratif), namun serangkaian nama pemberian kolonial disematkan dengan paksa sepanjang abad ke-20. Pertama, di bawah kekuasaan Belanda (Nugini Belanda, Dutch New Guinea) dan kemudian di bawah pendudukan Indonesia (West Irian, Irian Jaya, dan Irian Barat). Anda juga akan mendengar wilayah ini secara umum disebut sebagai Papua, atau “Tanah Papua”.

Secara membingungkan, pada 2002 Presiden Indonesia Megawati Sukarnoputri membagi wilayah tersebut menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Ketika para pejabat pemerintah Indonesia mengatakan “Papua Barat”, mereka secara khusus merujuk kepada provinsi baru ini, ketimbang keseluruhan wilayah tersebut.
KENAPA SAYA HARUS TERTARIK DENGAN APA YANG SEDANG TERJADI DI PAPUA BARAT?
Papua Barat merupakan salah satu lokasi yang paling lama diduduki militer di dunia. Pelanggaran HAM merajalela: penyiksaan digambarkan dalam sebuah studi pada 2015 sebagai “tata kelola pemerintahan” oleh pasukan keamanan Indonesia, dan menurut sebuah laporan pada 2014 oleh Yale Law School, sebuah “kesimpulan kuat dapat diambil” bahwa Indonesia sebagai negara memiliki “niat yang memenuhi persyaratan” untuk dianggap sebagai “(menerapkan) genosida”.
Situasi yang sangat buruk ini membuat Geneva for Human Rights (pertemuan Jenewa untuk Hak asasi Manusia) menginisiasi Seruan Peringatan Dini pada 2016 karena adanya “ancaman terhadap keberadaan dan keberlangsungan masyarakat Papua sebagai entitas budaya dan etnis”. Diperkirakan lebih dari 100.000 orang Papua telah terbunuh oleh pasukan keamanan Indonesia sejak 1960-an.
Pelanggaran (hak asasi) oleh Indonesia tidaklah murni merupakan tindakan ceroboh atau serampangan. Mereka mempertunjukkan logika politik yang jelas: untuk memadamkan perlawanan orang asli Papua selama beberapa dekade terhadap penguasaan Indonesia. Orang Papua menganggap diri mereka secara etnik, linguistik, dan budaya berbeda dari Kepulauan Indonesia yang lainnya, dan sama sekali menolak pemerintahan Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah Naskah Penelitian Kongres AS pada 2007 yang dibocorkan kepada publik, “Banyak orang Papua merasa memiliki identitas yang berbeda dari (…) identitas utama di Kepulauan Indonesia yang lain, dan banyak yang mendukung otonomi atau kemerdekaan dari Indonesia”.
Dalam situasi seperti itu, kontradiksi antara populasi orang adat Papua dan Indonesia sebagai negara pecah dan tidak terhindarkan ke dalam bentuk kekerasan dan perjuangan. Dari pemogokan massal di tambang emas dan tembaga Grasberg sampai blokade masyarakat adat terhadap perkebunan kelapa sawit (aksi pemalangan); dari aksi perempuan Papua di Jayapura hingga pemberontakan berskala kecil di pedesaan: orang Papua secara terus-menerus menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri, melawan segala rintangan. Pelanggaran hak asasi manusia merupakan bentuk penindasan oleh negara, yang dimaksudkan untuk menggiring orang asli Papua ke dalam persetujuan tanpa adanya protes.
Bagaimana Indonesia mengambil alih wilayah tersebut?
Wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia dan Papua Barat, dulunya, di atas kertas, merupakan satu blok administratif di bawah kekuasaan kolonial Belanda: Hindia Belanda. Pada 1949, Belanda mengakui pendirian negara Indonesia baru setelah empat tahun perang kemerdekaan. Secara krusial, Belanda menolak untuk menyerahkan Papua Barat kepada negara Indonesia yang baru terbentuk. Sejak saat itu, (topik) ini menjadi inti perdebatan banyak orang Indonesia.
Meningkatnya tekanan oleh pasukan keamanan Indonesia dan (kemudian) intervensi diplomatik AS, menyebabkan Belanda menyerahkan kendalinya atas Papua bagian barat ke Indonesia pada 1962-1963, setelah tujuh bulan kepengurusan PBB yang singkat. Kesepakatan antara Belanda dan Indonesia, Perjanjian New York—tanpa melibatkan satu pun orang Papua—menetapkan bahwa, pada 1969, Indonesia harus mengadakan referendum penentuan nasib sendiri, termasuk “keikutsertaan semua orang dewasa, lelaki dan perempuan (…) agar dilaksanakan sesuai dengan kebiasaan internasional.”
Pemungutan suara (yang dilakukan pada) 1969—yang disebut “Penentuan Pendapat Rakyat” oleh Indonesia tetapi disebut sebagai “Tidak Ada Pilihan” oleh orang Papua—pada saat itu dikritik oleh para pengamat sebagai “akhir yang tidak terelakkan”. Meninjau kembali bukti-bukti, pakar hukum serentak menganggapnya sebagai “pilihan yang semu, sebuah permainan dan pengkhianatan yang substantif terhadap prinsip penentuan nasib sendiri”.
(Saat itu) lebih dari 1.000 orang Papua dipilih dari total populasi 800.000 dan mereka “disuap, diancam, atau diintimidasi oleh militer Indonesia atau pejabat Indonesia lainnya”. Mereka yang menolak, menurut penjelasan internal Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris saat itu, “seringkali dipenjara atau kadang-kadang ditembak sebagai ‘tersangka subversif’”. Sejak itu, Indonesia memerintah Papua Barat, menghadapi perlawanan masyarakat adat yang sengit.
Apa posisi kekuatan Barat dan PBB?
Kekuatan Barat telah mendukung pendudukan Indonesia hingga pangkalnya. Menjelang Pepera 1969, Barat mengetahui realita yang kejam atas pemerintahan Indonesia (di tanah Papua) dan bahwa rakyat Papua “sangat mendukung kemerdekaan dari Indonesia” tetapi—mengutip dokumen internal Inggris dari masa itu—“demi kepentingan umum mereka menutup mata”. “Kemerdekaan untuk sekedar 800.000 penduduk”, seperti yang dikatakan salah satu pejabat Inggris, “adalah (…) tidak ada artinya.”
Sejak itu, Pemerintahan negara-negara Barat memberikan Indonesia dukungan moral, diplomatik, dan militer atas kependudukan (Indonesia) di Papua. Sebuah koalisi negara-negara, dipimpin oleh Australia dan Inggris, mendanai dan melatih Detasemen 88—unit polisi anti-terorisme Indonesia yang ditempatkan di Papua Barat—di Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).
Faktor penting atas kencangnya dukungan Dunia Barat untuk pemerintahan Indonesia bisa ditemukan pada periode 1965-67. Menggulingkan Presiden Sukarno, sebuah faksi pro-Barat dari militer Indonesia menyapu bersih Partai Komunis Indonesia (PKI), membantai ratusan ribu orang dengan dukungan penuh dari Barat. Digambarkan dengan sukacita sebagai “berita terbaik untuk Barat selama bertahun-tahun di Asia” oleh Majalah Time, pejabat Inggris menyarankan bahwa, “para jenderal akan membutuhkan semua bantuan yang bisa mereka dapatkan”.
Begitu Jenderal Suharto berkuasa, ia dengan cepat membuka kepulauan yang luas itu—termasuk menduduki Papua Barat—untuk investasi Barat yang sangat besar. Perlindungan hak pemodal internasional untuk mengeksploitasi, tampaknya, jauh lebih penting bagi para pembuat kebijakan di Dunia Barat ketimbang pembantaian “hanya 800.000” orang Papua yang telah ditaklukkan.
Apa yang dapat saya lakukan? Apakah tidak ada harapan (dalam) situasi ini?
Gerakan kemerdekaan Papua telah menyatukan diri sejak 2014, untuk pertama kalinya sejak pendudukan Indonesia dimulai. Di bawah United Liberation Movement for West Papua, gerakan untuk menentukan nasib sendiri mencapai puncaknya, yang tidak terbayangkan (bisa tercapai) hanya dalam kurun waktu lima tahun.
Dukungan tingkat negara dari negara-negara Pasifik seperti Vanuatu dan tumbuhnya gerakan solidaritas internasional adalah satu kesatuan yang dinamis dengan perlawanan masyarakat Papua di tingkat akar rumput di dalam negeri. Orang Papua menginginkan segala bentuk solidaritas—peningkatan kesadaran, sorotan media, penelitian akademis, bantuan diplomatik, pendanaan untuk organisasi solidaritas seperti Free West Papua Campaign, demonstrasi di luar gedung kedutaan Indonesia, dan memaksa pemerintahan Barat mengakhiri dukungan mereka terhadap pendudukan (Indonesia). Pada 1999, perjuangan hidup-mati di lapangan yang dikombinasikan dengan solidaritas internasional yang substansial, bekerja untuk mengakhiri 25 tahun pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste. Hal yang sama bisa terjadi kepada Papua —tetapi akan membutuhkan usaha dan dedikasi.
Lebih dalam New Naratif
- Quo Vadis Perjuangan Kebebasan Pers di Papua
- Jalan Terjal Tahanan Politik Papua
- Pasal-Pasal Karet untuk Membungkam Aktivis
Bacaan Lebih Lanjut
- Anderson, K. (2015), ‘Colonialism and Cold Genocide: The Case of West Papua’, Genocide Studies and Prevention: An International Journal, Volume 9, 2(5), pp.9-25;
- Human Rights Watch (2015), ‘Something to Hide? Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua’;
- Hernawan, B. (2015), ‘Torture as a Mode of Governance: Reflections on the Phenomenon of Torture in Papua, Indonesia’, in (eds.) Slama, M. & Munro, J., From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’: Exploring Papuan Temporalities, Mobilities and Religiosities, ANU Press: Canberra, pp.195-220;
- International Coalition for Papua (2015), ‘Human Rights in Papua 2015’, International Coalition for Papua & Franciscans International;
- Papuans Behind Bars (2015), ‘Rising Voices, Rising Arrests: A look at West Papua in 2015’, Papuans Behind Bars;
- Politics of Papua Project (2016), ‘Assessment Report on the Conflict in the West Papua Region of Indonesia’, Politics of Papua Project: University of Warwick
- Claire Q. Smith (2016), ‘Indonesia: Two similar civil wars; two different endings’, in (ed.) Conley-Zilkic, B., How Mass Atrocities End Studies from Guatemala, Burundi, Indonesia, the Sudans, Bosnia-Herzego vina, and Iraq, Cambridge University Press: Cambridge