Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika Marjo* beserta istri dan seorang anak laki-lakinya yang masih berumur 4 tahun sedang tertidur lelap saat pintu rumahnya diketuk. Walaupun dia masih belum beranjak dari tempat tidurnya, namun Marjo sudah mengetahui kalau yang mengetuk pintu rumahnya tersebut adalah salah satu “pasiennya”, sebutan lain untuk para pelanggannya.

Marjo, seorang pria berumur 37 tahun, yang sehari-harinya bekerja sebagai  penjual daging ayam di pasar Simpang Limun, Medan, sudah melakoni pekerjaan itu  selama kurang lebih tiga tahun, setidaknya itu menurut sebagian besar tetangganya tentang pekerjaannya itu.  

Uang yang Marjo hasilkan dari menjual ayam tidak semuanya masuk ke kantongnya karena dia harus membagi sebagian hasil penjualannya dengan pemasok ayam. Dengan dalih ingin menambah penghasilan untuk menafkahi keluarganya, Marjo nekad menjadi penjual narkoba. Ganja dan sabu-sabu merupakan jenis barang terlarang yang dijual oleh Marjo selama hampir setahun belakangan ini.

“Mana ada yang orang yang bercita-cita menjadi penjual narkoba, tapi kalau cuma mengandalkan upah dari menjual ayam milik orang lain, bagaimana aku menafkahi keluargaku?”

Masalah narkoba di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang bermasalah dengan narkoba. Kepada media pada 2017, Suliastiandriatmoko, Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan bahwa terdapat sekitar enam juta pengguna narkoba di Indonesia.

Pulau Sumatera – Sumatera Utara khususnya –  terkenal di Indonesia karena tingkat peredaran  narkobanya. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 2016 oleh Institut Transnasional, Sumatera Utara, khususnya Aceh, memiliki sejarah panjang terhadap penggunaan narkoba jenis ganja, yang kemudian  dilarang pada zaman pendudukan Belanda di tahun 1920-an. Meskipun sudah ada upaya negara untuk melarangnya, namun sampai saat ini, ganja merupakan narkoba yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, dengan jumlah pengguna sekitar dua juta orang pada tahun 2014. Jenis narkoba lain yang juga sering dikonsumsi di seluruh nusantara adalah sabu-sabu, ekstasi, dan heroin.

Kurangnya kesempatan

Bukan kehidupan seperti ini yang seharusnya dilakoni Marjo. Karena Marjo sebenarnya pernah duduk di bangku kuliah untuk jurusan hukum di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan, akan tetapi ia tak sampai menyelesaikan gelar sarjananya karena orang tuanya sudah tidak sanggup untuk membiayai kuliahnya. Walaupun begitu, Marjo tetap berusaha agar dapat menyelesaikan pendidikan hingga selesai dengan bekerja sampingan agar bisa mendapatkan penghasilan untuk membiayai kuliahnya.

Namun ketika ditanya tentang pekerjaan sampingan apa yang dilakukan dia saat itu, Marjo hanya tersenyum. Ternyata pada saat masih kuliah pun Marjo memiliki pekerjaan sampingan yaitu menjadi penjual ganja di mana dia berdagang ganja  tersebut di dalam kampus, yang tentu saja hampir seluruh ‘pasien’ Marjo berasal dari kalangan mahasiswa. Marjo menerangkan bahwasanya menjadi penjual ganja di lingkungan kampus jauh lebih aman dibanding menjadi penjual ganja di luar.

“Kalau zaman masih kuliah dulu, aku rasa memang enak kali jualannya, nggak perlu takut ditangkap polisi, karena memang ada peraturan kalau polisi tidak boleh menangkap orang di dalam kampus, apalagi menangkap mahasiswa. Dan kalau mereka masih tetap nekat menangkap, paling-paling mereka terkena hujan batu sama kursi oleh para mahasiswa,” kata Marjo sambil tertawa kepada New Naratif. Marjo mengatakan bahwa alasannya untuk tidak melanjutkan kuliah jurusan hukum dikarenakan dia merasa tidak sanggup lagi membayar biaya kuliahnya.

Cannabis - New Naratif
Marjo sold cannabis as a student to try to put himself through school, but it still wasn’t enough and he was forced to drop out. Credit: Teguh Harahap

Istri Marjo, Warni* juga mengetahui pekerjaan “sampingannya”. Dan tentu saja di saat hari-hari pertama Marjo berjualan narkoba, sang istri tidak menyetujui tindakan Marjo tersebut, dan bahkan mereka sempat bertengkar soal  pekerjaan sampingannya itu. Akan tetapi kemudian, sang istri akhirnya mengalah dan mulai belajar untuk me-ridhoi suaminya berjualan narkoba. Warni maklum dengan alasan yang dikemukakan Marjo, yaitu untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.

Memang sebelumnya Warni sempat membantu keuangan keluarga dengan berjualan sarapan pagi seperti lontong, nasi gurih, dan beberapa makanan lainnya di rumahnya, sehingga mereka tidak memiliki masalah keuangan serius untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Mereka juga masih tinggal di rumah orang tua Marjo, sehingga mereka tidak harus mengeluarkan biaya untuk sewa rumah, dan juga ada ibu Marjo yang bisa menjaga dan merawat putra mereka yang masih kecil, sementara Warni berjualan. Namun, karena sesuatu hal—Marjo menolak menceritakan lebih lanjut kepada New Naratif—mereka sudah tidak tinggal di rumah itu lagi sekarang.

Tidak mendapatkan tempat tinggal gratis dan tidak ada lagi yang membantu merawat anak, membuat pilihan Marjo dan keluarganya semakin terbatas. Ketika ditanya kenapa tidak menitipkan anak dan istri kepada mertuanya, Marjo menjelaskan bahwa memang dia tidak ingin melakukannya. Marjo mengatakan  kalau hubungannya dengan pihak keluarga istrinya kurang baik. Penyebab awal hubungan Marjo dengan mertuanya tersebut bermula pada saat mereka berencana menikah, di mana orang tua Warni tidak menyetujui jika anak perempuan mereka memilih Marjo sebagai suaminya. Marjo tidak menjelaskan lebih detail alasan kenapa keluarga Warni tidak menyukai dia.

Penjual narkoba kelas teri

Di Indonesia, penjual narkoba level rendahan seperti Marjo disebut sebagai “kelas teri” karena mereka hanya menjual narkoba seperti ganja dan sabu-sabu dalam jumlah kecil. Marjo  menyebutnya dengan sebutan “paket hemat”.

Uang yang Marjo dapatkan dari hasil menjual narkoba juga terbilang sedikit, bahkan terkadang, modal yang ‘diputar’ untuk membeli ‘barang’ lagi dari bandar narkoba yang levelnya lebih tinggi darinya, Marjo sama sekali tidak mendapatkan keuntungan.

“Kalau ganja, aku setiap ngambilnya satu ons, di mana harga untuk satu ons sekitar Rp 150,000. Untuk (ganja) satu ons bisa dijadikan 10 hingga 15 amplop (paket), yang mana bisa dijadikan dua hingga tiga batang linting ganja, tergantung dari penggunanya,” kata menjelaskan.

“Kalau untuk si putih (sebutan narkoba jenis sabu-sabu), aku ngambilnya satu sak (setara dengan lima gram) dari bandar narkoba lain. Bandar itu memberi harga per gram sama aku Rp 800,000,” kata Marjo. “Terus aku pun menjualnya kebanyakan paket Rp 150,000, dan paket seperempat gram (seharga Rp 250,000). Kalau orang mau mengambil setengah gram, tergantung orangnya”. Karena jika dari lima gram sabu-sabu yang dia jual semuanya paket Rp 150,000 maka dari lima gram sabu-sabu yang dijual, Ia bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp 500,000.

Marjo mengatakan bahwa beberapa dari masyarakat yang tahu tentang profesi gandanya, tapi Marjo tak pernah bermasalah sebelumnya, seperti dilaporkan ke polisi.  Sebenarnya rumah Marjo pernah didatangi oleh dua orang wanita paruh baya yang merupakan warga sekitar untuk mencari tahu apakah memang benar Marjo menjual narkoba. Marjo pun mengakui hal tersebut.

“Tapi diam mereka juga ada syaratnya di mana saya sudah berjanji kepada mereka untuk tidak menjual narkoba kepada warga sini, terutama bagi yang masih sekolah”

Ketika ditanya kenapa mereka tidak melaporkannya pada polisi ataupun menghakimi, Marjo hanya tersenyum sambil memberikan jawaban yang mungkin membuat kita mengerutkan dahi. “Waktu ibu-ibu itu datang ke rumah, aku dan istri curhat saja ke mereka tentang hal-hal sedih di keluarga kami, ketika istri aku curhat kepada mereka sambil menangis, mereka juga ikut menangis mendengarnya, ya mungkin karena mereka merasa kasihan dengan kami, makanya mereka mencoba membantu kami dengan cara diam-diam.”

“Tapi diam mereka juga ada syaratnya di mana saya sudah berjanji kepada mereka untuk tidak menjual narkoba kepada warga sini, terutama bagi yang masih sekolah.”

Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), masalah narkoba di Indonesia terus mengalami perubahan selama bertahun-tahun: “Sementara narkoba jenis ganja selalu yang paling banyak digunakan dan selain ganja, penggunaan secara stimulan untuk jenis amphetamin (ATS) atau sering disebut dengan sabu-sabu  mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sudah terjadi peningkatan hingga lima kali lipat terhadap jumlah produksi ATS yang tidak bisa dikendalikan selama empat tahun belakangan ini dan meningkatnya jumlah penangkapan sebesar tiga kali lipat pada 2009 dibanding dengan tahun 2006.”

Crystal Meth - New Naratif
With the rise of locally produced crystal meth, and cannabis grown across North Sumatra, small fry drug dealers like Marjo have sprung up to fulfil demand. Credit: Teguh Harahap

Sementara itu hanya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, crystal meth (sabu-sabu) yang sebagian besar diimpor dari Eropa, atau dari negara lainnya di Asia, telah mengalami peningkatan permintaan dan dapat  diartikan bahwa “pembuatan ATS domestik telah meningkat untuk memenuhi permintaan-permintaan yang terus bertambah terhadap narkoba jenis metamfetamin (sabu-sabu) dan ekstasi (MDMA) tersebut.

Dengan meningkatnya produksi sabu-sabu di tingkat lokal, dan juga ganja yang tumbuh di Sumatera Utara, penjual narkoba kelas teri seperti Marjo semakin menjamur untuk memenuhi kebutuhan permintaan. Dan bagi banyak orang yang sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup – terutama mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dan juga kesulitan untuk membiayai pengasuhan anak apalagi dengan modal usaha yang tidak mencukupi – mereka memandang bahwa menjual narkoba menjadi pilihan yang menguntungkan serta mudah. Sebagaimana yang telah terjadi  pada Marjo – kesepakatan yang gampang, juga tingkat risiko yang relatif kecil dikarenakan adanya bantuan masyarakat setempat yang bersedia menutupi ‘transaksi’ mereka. Hal ini mungkin terlihat aneh, namun empati masyarakat telah memungkinkan penjual narkoba kelas teri tumbuh dan berkembang di seluruh nusantara.

Budaya Empati

Irna Minauli, seorang psikolog dari Medan, menjelaskan tentang aspek sosial dan psikologi terhadap penjual narkoba kelas teri yang tinggal di tengah-tengah masyarakat setempat. “Indonesia, khususnya Sumatera Utara, merupakan daerah di mana masyarakatnya memiliki perasaan kolektivitas yang kuat. Budaya kolektif ini jugalah yang membuat rasa persaudaraan yang lebih kuat. Hasrat ingin saling membantu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di sini. Ini artinya bahwa masyarakat lebih berempati terhadap apa yang terjadi kepada anggota masyarakat lainnya”.

Terlepas dari kesibukannya sebagai penjual narkoba, pekerjaan sampingan yang ilegal, Marjo mengatakan bahwa dia dikenal ramah di daerah sekitar rumahnya, dan juga suka berpartisipasi dalam berbagai acara dan kegiatan bersama di sekitar rumahnya. “Si Warni juga sering bantuin masak-masak kalau orang sini sedang membuat acara pesta atau acara-acara lainnya,” kata Marjo dengan bangga.

Contoh lain tentang masyarakat setempat yang melindungi penjual narkoba kelas teri, yang hidup bersama di tengah-tengah mereka, pernah terjadi pada tanggal 1 Mei 2018, di mana saat kepolisian Kota Ogan Komering Hulu Timur, Sumatera Selatan, sedang melakukan operasi penangkapan terhadap seorang bandar narkoba jenis sabu-sabu. Namun pada saat terjadi penangkapan, bandar narkoba tersebut berteriak meminta pertolongan kepada keluarga dan warga sekitar kompak mencoba untuk membantunya.

“Warga mencoba menghalangi anggota Satuan Reserse Narkoba dengan cara memasang drum dan kayu di tengah jalan serta melempari mobil kami dengan batu,” kata Erling Tangjaya, Kapolres Ogan Komering Hulu Timur kepada media lokal.

Begitu kuatnya dukungan kepada bandar narkoba kelas teri setempat – bahkan beberapa oknum kepolisian juga ikut melindungi para bandar narkoba karena mereka tergiur dengan ‘setoran’ yang diberikan para bandar narkoba – sehingga ketika menggelar operasi pemberantasan narkoba, kepolisian memastikan itu dilakukan secara rahasia, bahkan anggota aparat yang terlibat dalam operasi juga mendapat informasi tentang  lokasi dan identitas target.

“Kalau kami umumkan, penjahatnya bisa kabur duluan. Sebelum operasi kami juga petakan wilayah yang jadi sasaran. Harus tahu jalan masuk dan keluar serta kemungkinan yang dipakai oleh target untuk kabur,” kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Eko Daniyanto kepada salah satu media lokal Media Indonesia pada 25 Januari 2016.

“Mungkin suatu hari nanti saya akan berhenti”

Ketika ditanya rata-rata keuntungan yang didapat dari penjualan jenis sabu-sabu, Marjo hanya tertawa kecil sambil berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari, seperti ingin mengambil sesuatu. “Inilah yang ada,” kata Marjo sambil menunjukkan lima buah ponsel. “Sekarang sudah hampir tiga minggu, tapi masih tidak ditebus, sudah dibuat seperti kantor pegadaian aku sama orang itu, dulu katanya paling lama cuma dua hari aja, rupanya tidak jelas, handphone yang dua ini pun rupanya rusak,” kata Marjo.

Marjo mengatakan beberapa pelanggan memberikan ponsel mereka sebagai jaminan karena orang tersebut ingin membeli sabu-sabu dari Marjo dengan berutang. Sebenarnya Marjo tidak terlalu mempedulikan penderitaan para pecandu narkoba yang datang kepadanya dan juga dia tidak pernah berpikir untuk membantu mereka agar menjadi pengkonsumsi narkoba. Dia melakukan profesi ini hanya untuk mendapatkan penghasilan. Dia mengatakan bahwa dia harus “pintar-pintar” dalam menghadapi para pembeli yang memang tidak semuanya merupakan pembeli seperti yang diharapkan Marjo. “Kadang kalau orang mau utang dengan jaminan handphone, ya…aku harus pandai-pandai, ada yang aku kasih utang dulu, ada juga yang tidak. Kalau semua permintaan mereka dituruti, bagaimana aku bisa tahan?”

Mungkin nanti aku akan berhenti berjualan, ketika anak aku sudah tidak minum susu dan memakai Pampers lagi

Marjo tentu saja tidak ingin selamanya menjadi penjual barang haram tersebut, namun dia juga tidak tahu sampai kapan dia harus menjadi bandar narkoba kelas teri, “Mungkin nanti aku akan berhenti berjualan, ketika anak aku sudah tidak minum susu dan memakai Pampers lagi,” imbuhnya.

Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!

Teguh Harahap is a freelance writer and translator based in Medan, Indonesia. Previously he worked as the editor of Koran Kindo, a weekly newspaper for Indonesian migrant workers based in Hong Kong.