
Hello!
Stay up to date with New Naratif’s latest stories and upcoming events with our weekly newsletter. No spam, just good content.
Pada suatu sore yang cerah di tepi pelabuhan di Dili, bulan Juni tahun lalu, sekumpulan aktivis mengenakan kaos memadati jalan-jalan yang diblokir, mereka berdesak-desakan di belakang spanduk berwarna terang sambil menunggu dimulainya parade. Kemudian mereka beristirahat sejenak, mengambil nafas secara serentak…kemudian, rap-rap-rap, tajamnya suara snare drum yang ditabuh diikuti oleh ratusan orang mengambil langkah pertama secara serentak, menandai dimulainya Parade LBGTQ Pride yang pertama kali di Timor-Leste. LGBTQ Pride adalah parade yang digelar untuk merayakan budaya dan sebagai bentuk penghargaan kepada kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, maupun non-biner.
Sebuah langkah kecil, sebuah lompatan raksasa; dengan kegembiaraan, pawai bersejarah yang menyita perhatian internasional terhadap Timor-Leste, dukungan dari Perdana Menteri pun disiarkan di televisi, mengangkat nama panitianya yang dianggap kharismatik hingga membuat mereka tenar di media dalam waktu yang singkat. Pawai tersebut menandakan sebuah kemenangan bagi kelompok LGBTQ yang tinggal di sebuah negara yang menganut Katolik dengan taat dan tiba-tiba memberikan dukungannya kepada komunitas LGBTQ.
Membaca liputan yang tampak mengagumkan dari pawai tersebut di atas, maka anda akan dimaklumi jika menganggap Timor-Leste adalah sebuah surga bagi LGBTQ, sebuah oase toleransi di suatu wilayah dengan tingkat diskriminasi yang meningkat . Pujian untuk komunitas tersebut yang tanpa ragu berjuang keras memang layak, tetapi bagi aktivis queer yang memimpin perjuangan agar dapat diterima (masyarakat), gemerlap acara pawai ini sebenarnya bertolak belakang dengan kehidupan dan keseharian mereka yang keras.
Penolakan dan rekonsiliasi
“Saya benci kamu. Saya sebelumnya mengagumi kamu, dan sekarang saya bahkan tidak mengenal kamu. Orang-orang gay memang monster.”
Pesan tersebut muncul melalui Facebook ketika Natalino Guterres – koordinator dari pemuda yang mengelola jaringan inklusi sosial yang mengorganisir pawai parade – sedang belajar di luar negeri. Saudara laki-lakinya telah membagikan postingan Facebook yang homofobik, sehingga mendorong Guterres untuk menghubunginya secara pribadi lewat kotak pesan. Sejak saat itu, Mereka tidak berbicara selama dua tahun.
Beberapa saat sebelum drum ditabuh pada pada akhir Juni itu, kedua bersaudara ini, telah lama berdamai, mereka bahkan saling berangkulan di depan banyak orang.
Guterres sudah meminta saudara laki-lakinya agar menghadiri pawai tersebut, tetapi dia tidak berharap terlalu tinggi. “Dia bekerja sebagai pengawas pemilu, dan mereka tidak selesai bekerja sampai jam 10, jadi dia mengatakan akan mencoba untuk datang, tetapi kamu tahu…” katanya di suatu malam yang hangat di Dili, hampir setahun setelah momen rangkulan yang diingat publik hingga hari ini.
Momen itu merupakan penantian yang cukup lama untuk Guterres, yang mengalami perisakan karena Ia tumbuh berbeda dari lingkungannya. Tahun lalu saja, aktivis tersebut berdebat mengenai artikel surat kabar (tautan dalam Tetun) yang menyatakan bahwa orang transgender telah mempermalukan Timor-Leste.
“Ayah saya melihatnya, katanya, ‘Semua orang melihat kamu dan saya hanya berharap kamu tidak seperti itu’,” kata Guterres. “Dan kalaupun memang benar, apakah kamu bersedia untuk berubah?’ Dia memintaku untuk berjanji.”
Ia tertawa untuk menyembunyikan kegugupannya saat melanjutkan komentar berikutnya. Ia pernah merasa tidak akan pernah diterima di rumah, Guterres berniat pindah ke luar negeri secara permanen, ataupun bahkan bunuh diri.
“Di luar penampilan pawai kebanggaan yang menggembirakan tersebut tersembunyi masalah yang sangat mendalam di mana budaya, agama dan hak saling berbenturan”
“Di luar penampilan pawai kebanggaan yang menggembirakan tersebut tersembunyi masalah yang sangat mendalam di mana budaya, agama dan hak saling berbenturan,” kata Ryan Silvero, koordinator wilayah kaukus Sexual Orientation and Gender Identity/Expression (SOGIE) ASEAN. Sementara Timor-Leste merupakan sebuah negara sekuler, di mana sekitar 97% dari penduduknya dikenal sebagai penganut Katolik.
Guterres merupakan seorang juru bicara yang cermat, dengan cepat mengakui bahwa komunitas homoseksual Timor-Leste bukan hanya soal satu orang pria gay saja, dan dia ingin menegaskan bahwa dia hanya berbicara menurut pengalaman dia sendiri. Dia sadar akan kedudukan istimewanya: lancar berbahasa Inggris, mengenyam pendidikan di luar negeri dan memiliki pekerjaan yang bagus di bidang konsultasi pengembangan yang menempatkannya di tengah kelompok elit orang Timor yang tidak mewakili mayoritas populasi hingga ke pelosok negara tersebut. Sensibilitas ini melambungkan aktivismenya beserta jaringan inklusi sosial yang dia koordinasi bernama Hatutan, yang berarti meneruskan.
Berbagi pengalaman untuk pertama kalinya
Sebuah penelitian yang dirintis dan dipublikasikan pada November 2017 oleh peneliti Iram Saeed dan rekan aktivis Bella Galhos mengungkapkan konteks dan tantangan yang dialami oleh wanita lesbian dan biseksual serta pria transgender di Timor-Leste. Laporan tersebut mengutip pernyataan dari para homoseksual di negara tersebut, beberapa dari mereka menyembunyikan orientasi seksual mereka dengan cara menjalani kehidupan di luar sebagai heteroseksual.
“Saya diperkosa oleh paman saya sendiri yang percaya bahwa dia bisa mengubah orientasi seksual saya dengan cara memaksa saya melakukan hubungan heteroseksual,” kata seorang wanita lesbian kepada para peneliti. “Saya hamil tetapi saya menemukan pengobatan tradisional untuk mengaborsinya. Setelah itu saya meninggalkan rumah.”
Wanita yang diwawancara dalam penelitian tersebut mengatakan Ia diperkosa, dibakar, ditampar, bahkan salah seorang mengatakan dia pernah diikat di belakang mobil dan diseret sepanjang jalan agar semua orang dapat menyaksikan. Yang lain menceritakan pengalaman saat harus meninggalkan sekolah dan pekerjaan karena mereka menjadi bahan olokkan dan tertawaan.
“Mereka mempercayai bahwa saya suka berhubungan seks dengan anak-anak sehingga semua anak-anak di keluarga (mereka) dijauhkan dari saya,” kata seorang pria trans.
Bagi banyak orang, terminologi yang digunakan oleh para peneliti benar-benar asing— apakah karena mereka memang tidak pernah mendengarnya, maupun juga karena itu menggunakan bahasa Tetun, bahasa setempat yang paling banyak digunakan di Timor-Leste, kurangnya penggunaan kosakata untuk menjelaskan tentang homoseksual dalam pengertian yang bersifat netral ataupun positif. Sebagai gantinya para peneliti menggunakan kosakata dari bahasa Portugis.
Guterres mengatakan bahwa persepsi yang ada di masyarakat, mereka menganggap pria-pria gay sebagai predator.
“Saya merasa seperti, hmmmm, orang-orang sepertinya, orang-orang sepertinya membandingkan kepada…cuma itu”. Dia tertawa, bergeser perlahan di kursinya. Acuannya kepada “itu” memang tidak bisa didefenisikan, tetapi konotasi negatifnya jelas.
“Cuma itu yang kami punya. Sepertinya, apakah kamu ingin menjadi salah satu dari itu?”
“Mempermalukan kami”
Sampai dua tahun yang lalu, Romiaty da Costa Barreto harus memakai pakaian dengan gaya maskulin saat pulang ke desa untuk mengunjungi keluarganya. Seorang wanita transgender yang bekerja untuk CODIVA, sebuah koalisi keberagaman yang dibentuk sebagai kelompok LGBTQ pertama negara tersebut, dia menghadapi situasi yang membingungkan dan gangguan serta pelecehan karena membuka identitas gendernya.
“Jika saya memakai pakaian wanita para tetangga selalu mengatakan bahwa saya membuat malu mereka,” kata dia. “Jadi, saya harus menyesuaikan dan berusaha agar lebih dekat dengan mereka, menceritakan kepada mereka apa yang saya alami, sehingga mereka bisa memahami dan menerimanya. Jika orang-orang melakukan diskriminasi terhadap kamu dan kamu menghindar, maka mereka akan terus melakukannya.”
“Jika orang-orang mendiskriminasi kamu dan kamu menghindar, maka mereka akan terus melakukannya”
Dia mencontohkan hukum formal yang memperbolehkan orang-orang transgender untuk mengubah nama dan jenis kelamin mereka secara sah di mata hukum sebagai prioritas utama bagi Timor-Leste. “Itu akan sulit, tetapi itulah rencananya.”
Di atas kertas, komunitas LGBTQ Timor-Leste sudah dilindungi dengan baik dari diskriminasi. Konstitusi negara tersebut mengukuhkan hak asasi manusia untuk semua orang, dan perwakilan Timor Leste untuk Perserikatan Bangsa Bangsa dengan antusias telah menandatangani serangkaian rekomendasi dan resolusi yang memastikan hak dari komunitas LGBTQ. Pada Maret 2017, Timor-Leste mengabarkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia bahwa mereka mengabulkan dua rekomendasi yang dibuat untuk orientasi seksual dan identitas gender.
Tetapi dorongan untuk menjamin secara eksplisit persamaan hak bagi orang-orang LBGTQ dalam penyusunan konstitusi tahun 2002 ditolak. Para penentang pasal tersebut dengan berbagai alasan mengatakan bahwa pencantuman pasal tersebut akan menciptakan konflik dengan pihak Gereja Katolik, di mana negara belum siap berurusan dengan persoalan tersebut, dan juga pencantuman pasal tersebut akan “memberikan orang ide.”
Iram Saeed mengatakan jaminan konstitusional akan mengharuskan para pembuat kebijakan mempertimbangkan kebutuhan komunitas LGBTQ sebagai bagian dari bagian reguler mereka dalam membuat keputusan. Terlalu sering, dia mengatakan, organisasi maupun perorangan yang punya akses terhadap kekuasaan melihat hak LGBTQ sebagai persoalan atau pertimbangan yang terpisah; dengan demikian, organisasi hak asasi manusia bisa mengambil alih tanggung jawab terhadap kelompok homoseksual yang sedang memperjuangkan haknya memang harus berada dalam kewenangan mereka.
“Ketika [orang-orang LGBTQ] tidak melanjutkan pendidikan mereka dirisak atas identitas gender mereka, maka itu akan memengaruhi prospek dalam pekerjaan, karena mereka punya latar belakang pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan hal ini akan memengaruhi mereka,” kata Saeed. “Memang memengaruhi mereka juga. Tetapi [organisasi hak asasi manusia] tidak melihat itu sebagai persoalan.”
Dukungan internasional
Sementara organisasi-organisasi lokal bersikeras menentang mereka, dukungan dari institusi internasional telah memberikan dorongan yang signifikan terhadap persoalan ini. Pemberitaan Saeed dipublikasikan melalui dukungan jaringan aktivis perempuan setempat Rede Feto dan didanai oleh proyek Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Being LGBTI in Asia, dan dana Penasehat Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa di Timor-Leste.
“Beberapa orang berpikir [bahwa konsep LGBTQ] diimpor dari luar negeri, sehingga akan bagus kalau kami menyelenggarakannya [Pride LGBTQ], tetapi mendapatkan kredibilitas dari berbagai organisasi besar tersebut tetap penting,” kata Guterres dalam pawai tersebut, di mana dia bersama seorang staf dari UN Women baru mulai mendiskusikannya hanya dua minggu sebelum acara parade digelar.
Hatutan telah bergerak dengan cepat, mengorganisir 500 orang untuk pawai dan menggelar konser, termasuk bekerja keras untuk mengundang media internasional dan memproduksi kaos bermerek yang sampai hari ini masih bisa ditemukan di jalanan di Dili. “Saya menerima dan menghormati perbedaan orang lain,” sebuah kalimat tertulis pada kaos tersebut, yang diberikan gratis kepada Hatutan melalui jaringan penyumbang internasional. “Bagaimana dengan kamu?”

“Meskipun banyak dampak dan kemajuan positif yang telah dibuat untuk meningkatkan persamaan gender, orang-orang [LGBTQ] terus menghadapi ancaman kekerasan, diskriminasi, dan pengecualian dikarenakan mereka tidak sesuai dengan norma-norma gender seperti berpasangan atau memiliki (orientasi seksual) yang telah ditetapkan, dan sikap yang dianggap normal semua orang adalah heteroseksual,” Sunita Caminha, Kepala Kantor Wanita Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Women) di Timor-Leste, berbicara kepada New Naratif. Bagi UN Women untuk mewujudkan mandatnya terhadap kesetaraan gender, dia mengatakan, orang-orang LGBTQ harus dilihat dan didengar.

Bekerja dengan kaukus ASEAN SOGIE juga berupaya meningkatkan dukungan regional bagi komunitas LGBTQ Timor-Leste. Penilaian untuk negaranya di tahun 2017, lewat laporan Building a Rainbow in Timor-Leste, menjabarkan konteks dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas tersebut, dan merekomendasikan respons dan investasi nasional yang terkonsolidasi pada kelompok LGBTQ muda. Kaukus mendukung penelitian Saeed dan Galhos, serta membantu Guterres dan Hatutan mempersiapkan film dokumenter The Road to Acceptance, yang menayangkan kisah tentang keluarga-keluarga yang menerima saudara dan anak LGBTQ mereka.
“Kolaborasi lintas negara antara aktivis Timor dan rekan-rekan di wilayah ini menghidupkan kembali solidaritas di kawasan Asia Tenggara,” kata Silvero.
Membangun momentum
Pawai tahun lalu sebenarnya bukanlah acara kampanye hak-hak kelompok gay yang pertama di Timor-Leste. Pada tahun sebelumnya, CODIVA sudah menyelenggarakan konferensi LGBTQ, dan aktivis HIV juga telah mengadvokasi selama beberapa dekade. Tetapi pawai ini merupakan gelombang besar pertama di Timor-Leste – sebuah momen nasional yang disemangati oleh penegasan dari Perdana Menteri Rui de Araújo terhadap kelompok LGBTQ.
Sambil menyiapkan pawai, para sukarelawan Hatutan telah memutuskan untuk mencari dukungan dari perdana menteri. Mereka mengirim surat kepada penasehat media sang perdana menteri pada hari Senin awal bulan Juni, kemudian mereka menunggu, sambil berharap dalam gelisah selama beberapa minggu.
Pada akhirnya, mereka menerima balasan positif di hari yang sama. Ketika mereka pergi ke kantornya untuk pengambilan gambar video, tidak satu pun kata dari konsep yang mereka ajukan diubah. Pesan tersebut disiarkan di televisi dua hari sebelum pawai.
Barreto mengatakan video tersebut dibagikan secara luas di media sosial, dan membantu meningkatkan kesadaran dan toleransi terhadap orang-orang LGBTQ di negara tersebut. “Komunitas umum yang belum memahami kehidupan orang-orang LGBT bisa mulai memahami,” katanya.
“Saudara laki-laki saya ingin membunuh saya di dalam mobil karena saya membawa aib bagi keluarga”
Dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran, kisah individu dan pandangan publik sangat penting dalam perjuangan, agar membuat orang berpikir dan membicarakannya.
“Kami butuh lebih banyak suara yang kuat” kata Saeed. “Kami butuh lebih banyak perempuan hadir untuk berbicara tentang persoalan dan tantangan mereka beserta bagaimana kehidupan mereka bisa berubah saat orang-orang menerima mereka. Saat ini, hanya ada satu suara. Dialah yang pertama dan dia masih sendiri.”
Seakan diberi isyarat, Bella Galhos memasuki ruang tamu, tanpa alas kaki dan membawa mangkuk yogurt yang telah dibuka. Dia tampil ke publik di acara CODIVA 2016, dan merupakan salah satu dari segelintir homoseksual yang berani membuka identitasnya di Timor-Leste. Partisipasinya dalam perlawanan melawan penjajahan Indonesia di Timor-Leste yang berlangsung dari tahun 1975-1999 didokumentasikan dengan baik, mengerikan dan penuh inspirasi.
“Saudara laki-laki saya ingin membunuh saya,” kata dia, tanpa basa-basi dengan sendok di tangan. “Tepat di sini di depan rumah ini. Dia bersembunyi di balik dinding dan melempar batu ke saya ketika saya datang dengan mobil. Dia mau membunuh saya karena saya membawa aib bagi keluarga.”
Ia berhenti sejenak; makan sesuap; kemudian mengangkat bahu. “Aku sudah melupakannya sekarang.”
Selain sekolah lingkungan non-komersial dan hotel yang baru dikontrak pemerintah di mana Saeed dan Galhos mengelolanya bersama-sama, mereka juga baru-baru ini membentuk sebuah organisasi LGBTQ, Arcoiris, yang namanya diambil dari bahasa Portugis yang berarti “pelangi”. Kantor pusatnya terletak di dekat rumah mereka di pinggiran Dili – sebuah area yang aman di mana Galhos melindungi identitas pengunjungnya – organisasi tersebut berfungsi sebagai ruang aman bagi perempuan queer muda serta orang-orang non biner atau mereka yang tidak berafiliasi dengan gender manapun.
“Banyak yang punya pengalaman mengerikan seperti diusir dan tidak mendapatkan dukungan dari keluarga mereka,” kata Saeed tentang pengunjung pertama, beberapa diantaranya dipekerjakan oleh pasangan tersebut seperti melakukan wawancara untuk laporan penelitian. “Mereka mengalami masalah-masalah ini, tetapi tidak tahu harus ke mana.”
Laporan pasangan ini menghasilkan serangkaian rekomendasi yang menarik, menyerukan reformasi yang menyeluruh untuk merespons kekerasan yang terjadi, menciptakan kepemimpinan dan peluang ekonomis bagi orang-orang LGBTQ, dan membentuk ruang keamanan fisik bagi para homoseksual.
Ketidakpedulian, bukan kefanatikan
Terlepas dari berbagai tantangan yang signifikan yang dihadapi oleh komunitas LGBTQ Timor-Leste, harapan tetap menyala dengan terang.
Galhos, yang tengah sibuk mengelola hotelnya, teringat akan akhir pekan yang ia habiskan untuk mensurvei lokasi tersebut belum lama ini. “Ada orang-orang berbadan tegap di sana, dan kami menghabiskan lebih dari satu jam berbicara tentang hak LGBTQ,” kata dia.
“Belum ada yang berbicara kepada mereka tentang itu sebelumnya. Mereka semuanya memeluk saya terakhirnya; itu pertama kalinya seseorang yang menjelaskan. Saya selalu memiliki banyak kesabaran saat saya berbicara kepada orang karena saya tahu saya sedang berbicara kepada orang yang tidak mengetahui apa-apa, jadi saya berbicara dengan mereka penuh hormat, penuh sopan santun.” Dia berbicara dari bahasa Inggris lalu beralih ke Tetun, mencoba meniru basa-basinya waktu itu, Ia bahkan tersenyum simpul saat: maaf, kakak, saya mohon maaf. “Kita harus punya kesempatan untuk berwacana yang sehat.”
Gambaran mental dari seorang wanita setinggi lima kaki yang berbicara lantang kepada para pekerja bangunan dengan tubuh kekar sama gawatnya dengan pemikiran saudara laki-laki Guterres yang berjuang dari bilik suara ke parade, atau tetangga Barreto yang sebelumnya tidak setuju jika Ia membagikan video pawai tersebut di Facebook. Jalan masih panjang, namun contoh-contoh ini merupakan tanda-tanda janji yang sebenar-sebenarnya dari Timor-Leste, terhadap sebuah komunitas yang terus diserang, namun tidak pernah hancur.
Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!