Malam itu, Abie Yogo Darsono bersama sepuluh orang rekannya tengah bersantai menonton televisi di ruang komando Garda Bencana, di lantai tujuh gedung Ambulans Gawat Darurat (AGD), Jakarta Pusat. Stasiun televisi tengah menayangkan film laga: Bourne Identity.

“Selama wabah kami malah tak pernah menonton berita,” kata Abie. “[Menonton berita] cuma membuat takut dan stres. Nonton film action justru bikin rileks.”

Ruang komando itu tak ubahnya barak militer: ada dua tempat tidur bertingkat, kasur lipat yang menghampar di lantai, dapur, ruang santai, serta dua kamar mandi. Sebelumnya, ruangan tersebut nyaris tak berpenghuni; kondisi ini berubah total semenjak wabah COVID-19 mulai merebak di Indonesia pada Maret silam. Kini, ruang tersebut dihuni hampir 50 anggota Garda Bencana yang saling berganti-tugas dalam tiga giliran, masing-masing delapan jam setiap harinya.

Saat jarum jam menunjuk angka 11, teriakan seorang rekannya membuat Abie tergeragap. “Ada misi, nih!” seru Bagol, salah satu koordinator lapangan yang bertugas malam itu. “Ada pasien terduga virus corona dari rumah sakit Cilincing. Segera berangkat, ya. Sudah ditunggu.”

Hari itu, Abie mendapat jatah tugas malam. Ia berusia 40 tahun dan merupakan seorang petugas ambulans veteran yang telah bergabung dengan AGD sejak 2004, selepas lulus dari Akademi Keperawatan Husada Karya Jaya. Dengan usia dan bekal pengalamannya, Abie seharusnya bisa memegang jabatan lebih tinggi. Meski demikian, ia menolak naik pangkat dan memilih tetap bekerja di lapangan.

“Saya lebih suka [bekerja] di jalanan,” kata Abie. “Seperti berpetualang. Kalau kerja di kantor bisa bosan, yang dilihat hanya tembok itu-itu saja.”

Abie segera beranjak ke ruang ganti yang terletak di belakang dan mengambil satu perangkat alat pelindung diri lengkap. Selepas mencuci tangan, dengan gerakan lincah dan terlatih ia mengenakan baju hazmat, memakai sepatu bot, kacamata pelindung, serta memasang sarung tangan medis berlapis tiga; barulah terakhir ia menyematkan masker N95 ke wajah.

“Rindu Anak”.
“Rindu Anak”. Credit: Muhammad Ishomuddin

Seusai berdoa bersama, beberapa rekan Abie mulai melukis bagian punggung baju hazmatnya. Seorang rekannya menulis “RINDU ANAK”, sementara rekan lainnya dengan jenaka menggambar logo Supreme—merk pakaian yang populer di kalangan anak muda. Momen penuh harapan ini terasa mengharukan. Tak sedikit rekannya yang memberi semangat kepada Abie. 

“Ini sudah seperti ritual,” kata Abie. “Harapan, doa, atau lelucon kini ditulis di baju APD (Alat Pelindung Diri). Supaya jadi pengingat bahwa masih ada harapan dan rasa optimis di tengah pandemi.”

Mengenal Anggota Garda Bencana

Bersama rekan tugasnya malam itu—seorang pemuda berusia 23 tahun bernama Dimas Ilham—Abie berjalan menuju Toyota Hiace berkelir putih-hijau yang terparkir di halaman depan gedung AGD. Dimas memastikan semua peralatan yang tersimpan di bagian belakang mobil berfungsi dengan baik, sementara Abie mulai memanaskan mesin. Perlengkapan medis dalam ambulans itu cukup lengkap: ventilator merk Hamilton, alat monitor jantung (electrocardiogram), hingga tabung oksigen. Abie sempat berkelakar bahwa harga semua peralatan tersebut jauh lebih mahal dibandingkan harga mobilnya. 

Selang beberapa menit, kedua petugas tersebut telah menembus jalanan Jakarta yang nyaris kosong bak kota mati dalam gambaran fiksi apokaliptik. Tangan Abie mantap memegang kemudi. Tanpa satupun ekspresi cemas di raut wajahnya, ia memacu ambulans dengan kecepatan 80 km/jam—hal yang nyaris mustahil dilakukan di jalanan Jakarta pada masa sebelum pandemi. Lengking sirene sesekali memecah keheningan malam, mengingatkan pengendara lain untuk memberi jalan.

Gambar di baju hazmat sejumlah rekan Abie.
Gambar di baju hazmat sejumlah rekan Abie. Credit: Muhammad Ishomuddin

Garda Bencana pertama kali dibentuk pada awal 2000-an untuk membantu tim tanggap bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan SAR Nasional (Basarnas) maupun TNI. Tim Garda Bencana tak terlalu aktif sebelumnya, sebab mereka hanya menangani kejadian luar biasa atau bencana alam skala nasional. Seluruh personilnya dibekali kemampuan evakuasi sekaligus keahlian medis yang tak dimiliki oleh tim SAR Ketika terjadi bencana nasional, Garda Bencana selalu dikirim ke garis depan.

Di antara seluruh personil Garda Bencana, Abie bisa dibilang anggota senior. Ia turut turun ke lapangan mengevakuasi korban gempa dan tsunami di Aceh pada 2004, sekaligus membantu upaya pemulihan; pada 2012, ia mengevakuasi jenazah penumpang pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Jawa Barat. Terakhir kali, ia juga membantu di lapangan saat provinsi Banten dilanda tsunami pada Desember 2018.

“Ini sudah seperti ritual. Harapan, doa, atau lelucon kini ditulis di baju APD. Supaya jadi pengingat bahwa masih ada harapan dan rasa optimis di tengah pandemi.”

AGD Jakarta mengaktifkan kembali Garda Bencana pada Maret, sesaat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif COVID-19 pertama. Tim Garda Bencana AGD tidak berjumlah lebih dari 10 orang; saat pandemi, jumlah mereka bertambah hingga 50 personel, yang berasal dari Dinas Kesehatan di seluruh Jakarta. 

Layanan Ambulans Gawat Darurat sendiri didirikan pada awal dekade 2000, tetapi sempat vakum karena problem finansial serta carut-marut birokrasi. Kementerian Kesehatan baru meluncurkan kembali layanan AGD pada Juli 2016—dengan nomor layanan 119 di kota-kota besar—sebagai bentuk respons atas kegawatdaruratan medis. Guna memastikan operasionalnya berjalan efektif, AGD kini berada di bawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi. Namun, dua dekade berselang, layanan kemanusiaan ini masih saja terganjal masalah.

Memindahkan Pasien Corona

Di Jakarta, AGD hanya memiliki 67 unit ambulans dan 25 unit sepeda motor yang digunakan Unit Reaksi Cepat (first responder) untuk melayani 10 juta penduduk. Rata-rata waktu respons untuk satu ambulans berkisar antara 30-40 menit; idealnya, menurut Dr. Iwan Kurniawan, Kepala AGD Jakarta, waktu respons tiap ambulans tidak boleh melampaui 15 menit. Tak jarang banyak pemohon yang kecewa dengan layanan AGD, kemudian menggunakan kendaraan pribadi atau taksi karena enggan menunggu terlalu lama.

Sistem kesehatan Indonesia pun, sebaik-baiknya, dapat dibilang kaotis. Data Kemenkes pada 2015 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 9,754 Puskesmas dan 2,488 rumah sakit. Merujuk World Health Organization (WHO), Indonesia hanya memiliki satu tempat tidur per 1,000 orang, serta satu dokter per 2,500 orang.

Kebanyakan rumah sakit juga hanya memiliki unit ambulans yang dilengkapi perangkat P3K alih-alih peralatan lengkap sesuai standar WHO—dan ini dapat berujung masalah besar. Riset WHO menyimpulkan bahwa sebanyak 5,8 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat trauma yang gagal ditangani sistem pertolongan gawat darurat (prehospital) di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah.

“Kami jelas kekurangan,” kata Iwan kepada New Naratif. “Kami sudah memohon ke Dinas Kesehatan dan Kementerian, tapi masih banyak kendala.”

Selama pandemi, angka permintaan layanan ambulans ke AGD memang turun hingga 10 persen, lantaran banyak orang enggan memeriksakan diri ke rumah sakit jika tidak mendesak.

Idealnya, kata Iwan, terdapat satu unit ambulans yang mencakup radius lima kilometer; apabila dijumlahkan, maka AGD membutuhkan setidaknya 200 unit ambulans untuk melayani penduduk Jakarta secara optimal. Sekarang, AGD memiliki lebih dari 700 karyawan yang terdiri dari staf dan petugas lapangan; Iwan menyatakan bahwa mereka akan menambah 100 personel tahun ini.

Setiap bulan, AGD hanya mampu melayani sekitar 4,000 permintaan—umumnya pertolongan untuk korban kecelakaan di jalanan, maupun mengantar pasien dari rumah menuju rumah sakit. Hal ini berarti bahwa satu unit ambulans hanya bisa menangani sekitar dua pasien per hari. Padahal, pihak manajemen memasang target 8,000 layanan per bulan. Manajemen AGD pun sadar belum banyak masyarakat yang mengenal dan mau memanfaatkan layanan ambulans gratis mereka. Beragam siasat untuk mengenalkan layanan pun sudah dilakukan, dari membuat stasiun AGD TV hingga berpromosi lewat akun media sosial.

Dimas Ilham memindahkan pasien yang diduga mengidap virus corona.
Dimas Ilham memindahkan pasien yang diduga mengidap virus corona. Credit: Muhammad Ishomuddin

Ketika Jakarta dinyatakan menjadi pusat penularan virus Corona di Indonesia, personel AGD semakin kewalahan. Pada 26 Mei, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan angka kasus dan kematian tertinggi di Indonesia—dengan 6,798 kasus serta 501 kematian—sementara jumlah kasus COVID-19 di Indonesia sendiri mencapai 23,165, dengan 1,418 kematian. Namun, banyak yang menduga angka penularan COVID-19 sebenarnya jauh lebih tinggi mengingat kurangnya pelaksanaan tes secara agresif dan pembatasan sosial yang masih longgar dan setengah hati. Dari 260 juta penduduk Indonesia, hanya 188,302 orang yang pernah menjalani tes.

Selama pandemi, angka permintaan layanan ambulans ke AGD memang turun hingga 10 persen, lantaran banyak orang enggan memeriksakan diri ke rumah sakit jika tidak mendesak. Meski demikian, personel AGD tetap kesulitan melayani permintaan yang masuk karena kekurangan armada. Saat ini, permintaan ambulans kebanyakan berasal dari pihak rumah sakit yang hendak memindahkan pasien ke rumah sakit lainnya.

“Setiap hari memang banyak antrian, dan kami jujur mengatakan itu kepada masyarakat. Kalau mereka tak mau menunggu sampai ambulans datang, ya bagaimana lagi. Keadaannya memang seperti ini.”

“Angka permintaan [ambulans] kini di kisaran 3,500 sebulan,” kata Iwan. “Angka itu kebanyakan juga masih berhubungan dengan virus corona. Banyak masyarakat dengan penyakit lain lebih memilih merawat diri di rumah jika tidak terlalu parah.”

Per akhir April, AGD Jakarta hanya memiliki lima unit ambulans khusus untuk menangani pasien COVID-19. Ambulans-ambulans ini memiliki sekat antara pengemudi dan pasien untuk meminimalisir kontak, sementara ruang pasien juga dilengkapi sirkulasi udara dengan HEPA filter untuk menangkal penyebaran virus. Tak ayal, setiap hari terdapat lusinan antrian dalam daftar layanan AGD.

“Setiap hari memang banyak antrian, dan kami jujur mengatakan itu kepada masyarakat. Kalau mereka tak mau menunggu sampai ambulans datang, ya bagaimana lagi. Keadaannya memang seperti ini,” kata Iwan.

Dalam Pusat Komando

Dari semua bagian gedung AGD Jakarta, pusat komando (command center) di lantai empat merupakan ruangan paling besar—dan yang tersibuk. Di sini, semua panggilan ke 119 dilayani dan diproses oleh operator. Semua meja menghadap ke layar raksasa yang menampilkan tayangan langsung dari CCTV di berbagai sudut jalanan Jakarta.

Dari semua bagian gedung AGD Jakarta, pusat komando (command center) di lantai empat merupakan ruangan tersibuk.
Dari semua bagian gedung AGD Jakarta, pusat komando (command center) di lantai empat merupakan ruangan tersibuk. Credit: Muhammad Ishomuddin

Para operator, berseragam biru dengan headset tersemat di kepala, tampak sibuk di hadapan layar komputer masing-masing yang menampilkan peta Jakarta. Sejumlah titik merah berpendar di peta tersebut, menandakan lokasi unit ambulans yang dilengkapi dengan pelacak GPS.

Salah satu operator tengah melayani panggilan dari seorang penelepon yang anggota keluarganya diduga terpapar virus corona. Sang pasien, seorang ibu berusia 44 tahun, mengalami demam tinggi dan muntah-muntah. Meskipun telah dianjurkan untuk mengikuti rapid test oleh dokter keluarga, tak ada satupun rumah sakit di sekitar rumahnya yang mau menangani sang pasien.

Usai menanyakan lokasi dan kondisi kesehatan pasien, sang operator kembali melirik peta Jakarta yang terpampang di layar, mencari ambulans dan rumah sakit terdekat, sebelum kembali ke sambungan telepon untuk meminta sang pasien bersabar: ambulans akan segera dikirim ke lokasinya. Setelah menutup sambungan telepon, ia segera menghubungi petugas ambulans terdekat dan menjelaskan kondisi pasien serta memberikan keterangan lokasi. 

Sebanyak 44 karyawan bekerja di pusat panggilan AGD Jakarta, yang beroperasi non-stop selama 24 jam, 7 hari seminggu. Mereka dibagi ke dalam dua giliran yang masing-masing berdurasi 12 jam. Setiap operator wajib memiliki sertifikasi diploma dari akademi keperawatan, sebab mereka perlu melakukan penilaian atas kondisi pasien lewat telepon sebelum mengirimkan ambulans ke lokasi mereka.

“Jika kita punya layanan ambulans memadai dan dukungan rumah sakit yang optimal, mungkin banyak yang bisa diselamatkan.”

Di sudut belakang, Dr. Bara Purnawan Putra duduk mengawasi layar komputer. Ia telah menjadi tenaga medis selama delapan tahun dan sempat bertugas di berbagai daerah pelosok, dari Kalimantan Selatan hingga Jawa Tengah. Awalnya, ia bercita-cita menjadi arsitek, tetapi nasib mengantarkannya ke Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Bara bergabung dengan AGD sejak dua tahun lalu.

Hari belum beranjak siang, tetapi 119 sudah menerima 47 panggilan sejak jam 7 pagi. “Kami tak punya sumber daya untuk melayani semua permintaan,” ujar Bara. “Tapi kami berusaha semaksimal mungkin. Kalau dimarahi oleh masyarakat, itu sudah biasa.”

Bara paham, seandainya sistem kesehatan di Indonesia dioptimalkan, rata-rata angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia yang mencapai 6.1 persen seharusnya bisa ditekan. Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) di Indonesia telah mencapai lebih dari 30.000 orang; 6.000 diantaranya berada di Jakarta. Meski belum terdapat data pasti terkait kematian PDP di Jakarta, angka pemakaman yang dicatat Pemprov DKI Jakarta menunjukkan peningkatan signifikan jika dibandingkan bulan-bulan sebelum pandemi. Pada April, Pemprov DKI Jakarta mencatat 3,264 pemakaman—lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama pada 2019 yang mencapai 2,790. 

Ketika panggilan masuk ke pusat komando, operator akan menghubungi ambulans terdekat dan menjelaskan kondisi pasien.
Ketika panggilan masuk ke pusat komando, operator akan menghubungi ambulans terdekat dan menjelaskan kondisi pasien. Credit: Muhammad Ishomuddin

“Jika kita punya layanan ambulans memadai dan dukungan rumah sakit yang optimal, mungkin banyak yang bisa diselamatkan,” kata Bara. 

Sebagai koordinator pusat komando, sudah menjadi tanggung jawab Bara untuk memastikan semua detil operasional pusat panggilan AGD berjalan lancar. Bara perlu memastikan setiap anak buahnya menjalankan prosedur screening secara teliti. Ia tak mau mengambil resiko; selama ini, ratusan pekerja medis di seluruh Indonesia tertular COVID-19 karena banyak pasien enggan berbicara jujur mengenai kondisinya.

“Selama pandemi ini kami harus secara detail menanyakan kondisi pasien,” kata Bara. “Ketidakjujuran membahayakan kami yang berada di lapangan.”

Kekhawatiran Bara mudah dipahami. Di atas segalanya, ia hanya tidak ingin ada korban lagi. Pada 19 April, seorang petugas AGD bernama Shelly Ziendia Putri meninggal dalam status Pasien Dalam Pengawasan. Setelah dirawat di dua rumah sakit berbeda selama dua hari, Shelly menghembuskan nafas terakhirnya. Gejala yang ia idap konsisten dengan virus corona, meski hingga saat ini hasil tesnya belum diketahui.

“Kita semua belum pernah mengalami hal seperti ini. Tidak ada gunanya saling menyalahkan.”

Kepergian Shelly menjadi pukulan bagi AGD. Rekan-rekan seperjuangannya memberi hormat ketika mobil ambulans membawa jenazahnya ke peristirahatan terakhir. “Seperti kehilangan anggota keluarga sendiri,” kata Bara. 

Di sisi lain, Bara pun sadar bahwa menyalahkan pasien pun merupakan kesia-siaan: seringkali mereka pun tidak mengetahui riwayat kesehatannya maupun gejala virus corona. Selain itu, stigma negatif sebagai pengidap COVID-19 pun menjadi alasan kenapa pasien enggan bicara jujur. Bara memakluminya. Pandemi ini memang ujian berat bagi siapapun.

“Kita semua belum pernah mengalami hal seperti ini,” kata Bara. “Tidak ada gunanya saling menyalahkan.”

Terpisah dari Keluarga

Satria, warga Jakarta Barat, lebih memilih menggunakan taksi ketika membawa ayahnya ke Rumah Sakit Hermina, Daan Mogot, akhir Maret lalu. Ayahnya, Maruf bin Khasan, berusia 63 tahun serta memiliki riwayat sakit paru-paru dan mendadak mengeluh kesulitan bernapas.

“Saat ayah mengeluh sakit, kami hanya panik,” ingat Satria. “Kami nggak kepikiran menelepon ambulans. Kami pikir lebih cepat jika menyewa taksi online.”

Maruf pun sempat dirawat dan berstatus pasien dalam pengawasan. Ia meninggal dua hari berselang dan dimakamkan dengan protokol COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum Tegal Alur, Jakarta Barat.

Dr. Mahesa Paranadipa dari Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) mengatakan bahwa meski ambulans tidak menawarkan layanan kesehatan yang komprehensif layaknya rumah sakit, mereka tetap bagian yang esensial dari sistem kesehatan. “Meski sifatnya hanya untuk transportasi pasien, mereka tetaplah penting,” katanya pada New Naratif.

Menurut Mahesa, Dinas Kesehatan melalui AGD Jakarta seharusnya bisa berkoordinasi dengan layanan ambulans swasta maupun yayasan kemanusiaan untuk memperbanyak sumber daya. “Tinggal kemudian perlu memberi pelatihan dan pembekalan bagi petugas yang melakukan layanan agar meminimalisir risiko penularan,” tuturnya.

“Dalam kondisi seperti ini, ambulans seperti benda yang ditakuti. Tak ada yang berani mendekat.”

Dua puluh menit setelah meninggalkan gedung AGD, ambulans yang dikendarai Abie tiba di RSUD Cilincing, Jakarta Utara. Rumah sakit tersebut tampak sepi—nyaris tanpa aktivitas. Abie meraih radio berpengeras suara untuk berkomunikasi dengan pihak rumah sakit.

“Dalam kondisi seperti ini, ambulans seperti benda yang ditakuti,” jelas Abie. “Tak ada yang berani mendekat.”

Abie Yogo Darsono sudah menjadi pengemudi ambulans dan paramedis sejak bergabung dengan AGD pada 2004.
Abie Yogo Darsono sudah menjadi pengemudi ambulans dan paramedis sejak bergabung dengan AGD pada 2004. Credit: Muhammad Ishomuddin

Setelah mendapat izin, Abie mengarahkan ambulansnya ke samping rumah sakit dan menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Ia segera naik ke lantai empat, Dimas mengikuti di belakangnya. Usai mengurus sejumlah dokumen, Abie membawa sang pasien turun menuju ambulans.

Pasien tersebut, seorang pemuda berusia 22 tahun dengan status PDP, mengidap gejala pneumonia dan demam; sehari-harinya, ia bekerja sebagai seorang Anak Buah Kapal di sebuah kapal ikan. RSUD Cilincing tak memiliki fasilitas yang cukup untuk merawat pasien yang berhubungan dengan COVID-19, dan merujuk si pasien ke Rumah Sakit Duren Sawit, Jakarta Timur.

Dari 153 rumah sakit yang memiliki 19,200 tempat tidur di DKI Jakarta, pemerintah hanya menunjuk 13 diantaranya untuk menjadi rujukan COVID-19. Sebagian besar rumah sakit menolak untuk merawat pasien dengan gejala, atau mewajibkan pasien menjalani rapid test terlebih dahulu. Peran petugas ambulans begitu krusial untuk mengantarkan pasien—baik yang terduga maupun positif COVID-19—dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Apabila sang pasien tidak ditangani dengan baik selama proses pemindahan, berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi—termasuk penyebaran virus yang lebih luas. 

Saat bertugas, petugas ambulans sebisa mungkin meminimalisir kontak fisik dengan pasien COVID-19. Namun, Dimas ditugaskan untuk berada di ruang belakang ambulans tetap mencoba berkomunikasi dengan pasien.

“Memberi motivasi itu penting buat pasien, kami menjaga supaya dia tetap tenang,” jelas Dimas.

“Setiap hari kami mengantar pasien COVID-19. Rasanya sudah biasa saja.”

Dalam satu kali misi, petugas ambulans butuh waktu 5 hingga 6 jam untuk mengantar pasien. Ada kalanya mereka harus menunggu di rumah sakit, yang semakin meningkat resiko mereka untuk tertular.

Tiap ambulans yang telah menyelesaikan misi wajib dibawa ke pusat dekontaminasi di Sunter, Jakarta Utara. Di sana, ambulans akan disemprot dengan cairan desinfektan dan diberi sinar UV, sementara baju APD dan perlengkapan lain kemudian dibungkus plastik dan dibuang berdasarkan protokol limbah berbahaya. Para petugas ambulans yang baru selesai bertugas akan menjalani pemeriksaan medis dan rapid test.

Pusat dekontaminasi di Sunter tersebut tidak hanya melayani ambulans, namun juga satu-satunya tempat yang melayani dekontaminasi angkutan umum di seluruh Jakarta. Mereka beroperasi tanpa henti, 24 jam per hari, sementara antrian kendaraan yang harus dibersihkan terus bertambah panjang.

“Di pusat dekontaminasi petugas bisa makan dan beristirahat setelah bertugas,” kata Dimas. “Pihak AGD juga menyediakan kamar hotel untuk petugas yang hendak mengisolasi diri seandainya punya gejala.”

Setelah menyelesaikan misi, personel AGD harus mendatangi pusat dekontaminasi di Sunter, Jakarta Utara.
Setelah menyelesaikan misi, personel AGD harus mendatangi pusat dekontaminasi di Sunter, Jakarta Utara. Credit: Muhammad Ishomuddin

Dimas bergabung dengan AGD Jakarta Timur sejak dua tahun lalu. Saat wabah coronavirus merebak, ia dipanggil ke AGD pusat untuk bergabung dengan Garda Bencana. Bagi petugas muda seperti Dimas, menangani pasien COVID-19 membawa tekanan yang sama sekali baru, di luar semua kegawatdaruratan yang pernah ia tangani sebelumnya. Namun, perlahan ia sanggup berdamai dengan rasa cemas tersebut.

“Setiap hari kami mengantar pasien COVID-19. Rasanya sudah biasa saja,” kata Dimas. “Pas awal-awal, rasa takut dan khawatir bikin kami gampang nge-drop [sakit]. Sekarang kami lebih santai, tapi tetap hati-hati.”

Bergelut di tengah pandemi kini menjadi rutinitas bagi Abie, Dimas,  dan rekan-rekan mereka. Sepanjang bertugas sejak Maret, tak sedikit anggota Garda Bencana yang memilih untuk tidak pulang ke rumah, sebab takut akan membawa virus.

“Saat bencana alam kita tahu kapan akhir dari tragedinya,” kata Abie. “Tapi saat wabah seperti ini, entah sampai kapan berlangsung.”

Abie sendiri mengaku belum bertemu dengan istri dan putrinya yang berusia delapan tahun sejak awal pandemi; keduanya kini mengungsi ke rumah orang tuanya di Cikarang, Jawa Barat. Layar ponsel menjadi satu-satunya pengobat rasa rindu. Abie, yang bekerja enam hari seminggu, kini otomatis tinggal di ruang komando Garda Bencana. Ia belum memiliki rencana pulang ke kampung menengok keluarganya. 

“Putri saya kadang cuma bertanya ‘kapan ayah pulang?’,” kata Abie dengan gurat wajah lelah. “Saya selalu berkata ke putri saya, ‘Ayah sedang tugas membantu orang banyak, belum bisa pulang, doakan ya.’”

“Dia sudah paham pekerjaan ayahnya.”