Di antara populasi 260 juta penduduk Indonesia, 400.000 orang diantaranya merupakan penganut Islam Ahmadiyah. Seperti apa sejarah umat Ahmadiyah di Indonesia? Apa perbedaan mereka dengan Islam Sunni? Dan bagaimanakah tindakan diskriminasi dan intoleransi yang kerap terjadi kepada mereka? Tulisan ini berupaya memberikan penjelasan singkat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, berdasarkan sudut pandang seorang Muslim Ahmadi.

Awal mula Ahmadiyah di Indonesia

20 tahun sebelum Revolusi Nasional (1945) dan Indonesia masih merupakan wilayah koloni Belanda, Khalifah kedua dari komunitas Muslim Ahmadiyah (tautan dalam bahasa Inggris), Hasrat Mirza Bashiruddin Mahmood Ahmad, mengirimkan seorang utusan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah dari India ke Hindia Belanda. Utusan tersebut adalah Imam Rahmat Ali. Ia tiba pada 1925 dan disambut baik oleh penduduk tanah air. Tak lama kemudian, komunitas Muslim Ahmadiyah pun terbentuk dan berkembang.

Ajaran Imam Ali terilhami oleh Nabi Muhammad serta dorongan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam dan menyatukan umat Islam. Di bawah kepemimpinan sang Khalifah kedua, komunitas Ahmadiyah berkembang pesat di seluruh dunia. Meski kini di Indonesia para penganut Islam Ahmadiyah mengalami persekusi, sebelumnya mereka menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah dan penduduk lainnya sejak terbentuk di Hindia Belanda 90 tahun yang lalu.

Ini bukan kebetulan. Sewaktu Soekarno menjadi tahanan politik Belanda pada masa Perang Dunia Kedua, teman satu sel penjaranyanya adalah seorang misionaris Ahmadiyah bernama Ahmad Nurudin. Ketika perang berakhir dan keduanya telah bebas, hubungan baik antara Soekarno dan komunitas Ahmadiyah turut membantu kohesi nasional dan membangun hubungan internasional yang baik dengan India dan Pakistan. Beberapa tahun kemudian Soekarno pun menulis: “Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih…ada buku-buku keluaran Ahmadiyyah yang saya mendapat banyak faedah daripadanya”. Pada 1963, Presiden Soekarno bahkan menyambut para Imam Ahmadiyah di Istana Negara sebagai tamu kenegaraan. Di bawah kepemimpinannya, komunitas Ahmadiyah diperlakukan secara setara dengan kelompok agama lain. Hal ini membuat umat Ahmadiyah senantiasa bersyukur kepada negara Indonesia.

rais-ut-tabligh sayyid muhammad being received by president dr. Sokarno during state banquette held at the state palace jakarta on 8 march 1962 - New Naratif
Rais-ut-tabligh Sayyid Muhammad disambut oleh Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta, 8 Maret 1963. Sumber: Credit: Makhzan-e-Tasaweer

Kendati tindak kekerasan dan persekusi yang semakin gencar dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 400.000 Muslim Ahmadi (tautan dalam bahasa Inggris). Di Indonesia terdapat pula Jamia Ahmadiyah, yakni pembelajaran intensif selama 7 tahun yang mengajarkan Qur’an, Sunnah, hadits serta tulisan-tulisan oleh Khalifah pertama Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam (as) dari Qadian, yang kami percayai sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Para cendekiawan Ahmadiyah ini secara bergantian bertugas di Indonesia untuk menyampaikan pesan Islam yang sesungguhnya: kedamaian, cinta kasih, dan pelayanan terhadap kemanusiaan.

Perbedaan doktrin Islam Ahmadiyah dan Sunni

Banyak yang bertanya bagaimana keyakinan Islam Ahmadiyah berbeda dengan Islam Sunni – yang saat ini merupakan aliran Islam mayoritas di Indonesia – atau bagaimana kami menafsirkan Qur’an secara berbeda. Banyak tuduhan tidak berdasar dilemparkan kepada para Muslim Ahmadi, antara lain bahwa kami memiliki Kitab Suci baru selain Qur’an, melaksanakan Haji di tempat lain selain Mekah, atau bahwa kami tidak menerima Nabi Muhammad sebagai Penutup Para Nabi. Bagaimanapun, banyak orang yang terkejut ketika mendengar bahwa nyatanya, hanya terdapat satu perbedaan teologis antara kepercayaan Islam Ahmadiyah dan Sunni.

Nyatanya, hanya terdapat satu perbedaan teologis antara kepercayaan Islam Ahmadiyah dan Sunni

Perbedaan tersebut menyangkut sosok Imam Mahdi yang dinubuatkan oleh Nabi Muhammad. Dalam hadits sahih dimana Nabi Muhammad menjelaskan bagaimana cara khilafah akan kembali ditegakkan, terdapat kutipan berikut:

Abu Tsa’labah al Khusni [datang] dan berkata: “Oh Basyir bin Sa’ad, apakah engkau telah menghafal hadits dari Hadhrat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kepemimpinan kaum Muslimin?” Hadhrat Hudzayfah menjawab: “Saya sudah menghafal seluruh Khutbah Jum’at, [yang di dalamnya disebutkan tentang hal ini].

Hadhrat Hudzayfah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kenabianku akan ada bersama kalian selama Allah menghendakinya ada, lalu Allah akan mencabutnya jika Dia menghendaki mencabutnya; lalu akan berlangsung Khalifah berdasarkan jalan kenabian (Khilafah’ alaa minhaaji alnubuwwah) dan itu akan berakhir. Lalu akan muncul kerajaan yang dzalim (mulkan ‘aadhdhan) dan itu akan berakhir. Lalu muncul kerajaan diktator (mulkan jabbaariyyan) dan itu akan berakhir. Lalu akan muncul lagi Khilafah berdasarkan jalan kenabian (Khilafah ‘alaa minhaaji alnubuwwah). Lalu Hadhrat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diam.” (HR Ahmad ibn Hanbal, Awwal Musnad Al kuuffiyiin, Vol. 4  #273)

Nabi Muhammad menggambarkan dengan sempurna kondisi yang dialami umat Muslim selama 1400 tahun hingga saat ini. Khilafah memang didirikan berdasarkan ajaran Kenabian Muhammad (Muhammad’s Prophethood), namun khilafah itu pun berakhir dan digantikan oleh kekuasaan yang zalim. Di dunia Muslim saat ini, dari Irak ke Suriah; dari Saudi ke Mesir, kita dapat melihat bagaimana kekuasaan yang koersif tersebut berhasil mendominasi.

Nabi Muhammad pun bernubuat bahwa sebagaimana khilafah akan terbentuk setelah Kenabiannya (prophethood), khilafah tersebut juga akan menetapkan kembali aturan dari kenabian yang akan datang. Semua umat Islam meyakini bahwa Muhammad adalah seorang Nabi; bahwa Khilafah didirkan seusai Kenabiannya; dan bahwa kekuasaan yang zalim menyusul setelah itu dan ada hingga saat ini.

Perbedaan antara Islam Ahmadiyah dan Sunni bersoal pada sosok Imam Mahdi yang akan menetapkan kembali khilafah. Sebagian besar Muslim Sunni percaya bahwa Nabi Isa, putra Maryam, secara jasmani naik ke surga dan akan turun kembali dengan tubuh jasmaninya untuk membawa kemenangan Islam. Sebaliknya, para Muslim Ahmadiyah mempercayai, berdasarkan Qur’an dan hadits, bahwa Isa, putra dari Maryam, merupakan seorang Nabi yang dikirim hanya untuk bani Israil. Kami percaya bahwa Nabi Isa mati pada usia tua (tautan dalam bahasa Inggris) karena semua nabi Allah mati, dan bahwa ia tidak akan kembali secara jasmani.

Kami pun percaya bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), seorang Muslim pengikut Muhammad (SAW), diangkat sebagai Imam Mahdi oleh rahmat Allah. Ia telah dikirim untuk menghidupkan kembali Islam, serta membaharui dan menyatukan umat Islam di bawah pembentukan Kekhalifahan Ahmadiyah. Sumber yang mendukung pandangan ini sebenarnya telah tersedia luas, namun sayangnya kerap disensor oleh banyak ulama anti-Ahmadiyah.

Selebihnya, tidak ada perbedaan mendasar antara kepercayaan aliran Ahmadiyah dan Sunni. Sama halnya dengan Muslim Sunni, para Muslim Ahmadi juga membaca kalimat syahadat sama seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad (SAW), yakni “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad (SAW) adalah rasul Allah”. Kami percaya pada lima rukun Islam dan enam rukun iman; bahwa Nabi Muhammad (SAW) adalah Penutup Para Nabi; bahwa Islam adalah agama yang terakhir; dan bahwa Qur’an adalah merupakan kitab suci yang terakhir pula. Para Muslim Ahmadi pun menerima secara utuh kitab-kitab hadits dan khilafah pengikut manhaj (jalan) lurus yang meneruskan Nabi Muhammad (SAW).

President Abdurrahman Wahid meeting KM4 28 June 2000 - New Naratif
Presiden Abdurrahman Wahid (kiri) bertemu Khalifa Hazrat Mirza Tahir Ahmad pada Juni 2000. Sumber: Credit: Makhzan-e-Tasaweer

Saat ini, Muslim Ahmadi di seluruh dunia bersatu di bawah satu kekhalifahan. Hal ini sesuai dengan nubuat Nabi Muhammad (SAW) bahwa khilafah akan dibangun kembali pada akhir zaman, dan akan mempersatukan kembali seluruh umat Islam. Khilafah Ahmadiyah terbentuk pada 1908 setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad (as), sang Imam Mahdi, dan terus berlanjut hingga sekarang. Khalifah kelima saat ini adalah Hazrat Mirza Masroor Ahmad – khalifah sebelumnya, Hazrat Mirza Tahir Ahmad (1928 – 2003) bahkan pernah mengunjungi Indonesia secara pribadi.

Persekusi terhadap Ahmadiyah

Indonesia memiliki riwayat toleransi antar umat beragama yang panjang. Namun persekusi terhadap Muslim Ahmadi telah meningkat sejak awal 2000an di seluruh Indonesia seiring dengan naiknya kecenderungan intoleransi beragama secara umum. Selama 80 tahun, kehidupan para Muslim Ahmadi di Indonesia berlangsung dengan damai – jemaat Ahmadiyah bahkan diakui sebagai badan hukum oleh pemerintah pada 1953. Lantas mengapa kondisi ini berubah?

Ahmadiyya 1952 Indonesia - New Naratif
Komunitas Ahmadiyah di Padang, Desember 1951, Sumber: Credit: Makhzan-e-Tasaweer

Kerangka yang membatasi kebebasan beragama di Indonesia disebabkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 1965[1] dan mengandung pasal untuk menghukum ujaran kebencian terhadap “suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia”:

Pasal 156:
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 156a:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada mulanya, aturan ini ditujukan untuk mencegah ujaran kebencian yang dilakukan dengan sengaja untuk menciptakan kegaduhan publik, dan bahkan untuk melindungi para penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Namun setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 1975, kedua pasal tersebut justru lebih sering digunakan untuk mempersekusi dan mendiskriminasi minoritas agama lain.[2] Dalam praktiknya, MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah bersifat “sesat”. Meski fatwa-fatwa MUI memang tidak memiliki kuasa hukum yang mengikat, namun fatwa mereka sanggup menyetir opini publik[3], sedangkan pemerintah sendiri kerap menganggapnya sebagai pertimbangan penting dalam mengambil keputusan.[4]

Menyoroti kasus kebebasan beragama di dunia Internasional termasuk Indonesia, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (tautan dalam bahasa Inggris) melaporkan bahwa:

Banyak cabang regional MUI telah mengeluarkan fatwa atas isu “penyimpangan” Ahmadiyah dari Islam arus utama, termasuk rekomendasi untuk melarang kelompok Ahmadiyah. Hal ini telah memungkinkan diskriminasi, baik secara resmi maupun sosial, terhadap Ahmadiyah maupun kelompok agama minoritas lainnya.[5]

“Penyimpangan” ini, sebagaimana yang digambarkan MUI yang didominasi Sunni, adalah bahwa kami Muslim Ahmadi percaya bahwa Imam Mahdi yang ditunggu telah datang: itulah satu-satunya argumen mereka, dan itu jugalah yang dikemukakan oleh para pemimpin Mekah terhadap Nabi Muhammad (SAW).[6] Para pemimpin Mekah tidak dapat membantahnya – mereka hanya dapat menanggapinya dengan ejekan karena bertentangan dengan keyakinan leluhur mereka. Menghadapi situasi ini, Muslim Ahmadi menanggapi sebagaimana jawaban dari Nabi Muhammad (SAW): yakni bahwa Allah telah memberikan bimbingan, dan kami hanya mengikuti bimbingan tersebut dengan damai.

Jalsah Salanah - New Naratif
Jalsa Salana merupakan pertemuan tahunan resmi Komunitas Muslim Ahmadiyah. Pada tahun 2000, komunitas tersebut memperingati hari jadi ke-75 tahun mereka di Indonesia. Sumber: Credit: Makhzan-e-Tasaweer

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia menyetujui fatwa MUI tahun 2005 dan 2007, yang masing-masing melarang dan menyatakan sesat ajaran Ahmadiyah.[7] Keputusan bersama kementerian melarang komunitas Muslim Ahmadi untuk berdakwah dengan ancaman lima tahun kurungan penjara atas penodaan agama.[8] Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (PAKEM), yang merupakan badan resmi pemerintah, bahkan mendukung pelarangan total.[9] Namun para Muslim Ahmadi saat ini tetap diizinkan untuk beribadah secara pribadi, dan tindakan main hakim sendiri terhadap mereka secara spesifik dilarang.[10]

Meski demikian, pemerintah cenderung mengabaikan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah Indonesia.[11] New York Times memberitakan bahwa serangan terhadap Muslim Ahmadi terus meningkat tiap tahun setelah larangan tersebut diterapkan[12]; Setara Institute mencatat bahwa terdapat 15 serangan terhadap komunitas Ahmadiyah pada 2008, 33 serangan pada 2009, dan 50 serangan pada 2010.[13][14] Dari 2008 hingga 2018, terdapat 155 serangan yang tercatat terhadap Muslim Ahmadi di 10 provinsi Indonesia.[15] Mengingat naiknya angka serangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia, tampaknya jelas bahwa penggunaan fatwa dan bahasa yang provokatif oleh MUI turut mendorong kebencian terhadap para Muslim Ahmadi.

Dalam praktiknya, pasal yang mengatur penistaan agama di Indonesia telah mengebiri hak komunitas Ahmadiyah Indonesia untuk mengekspresikan keyakinan mereka dengan bebas.  Menggunakan kedok untuk menjaga ketertiban umum, aturan tersebut telah berujung pada meningkatnya tindakan kekerasan beragama. Bagaimanapun, aturan yang diskriminatif ini tetap dapat diperbaiki, seberapa pun penyelewengannya telah mengakar di Indonesia. Melalui pemahaman yang mendalam akan kondisi saat ini dan upaya bersama dari komunitas internasional, Indonesia dapat diminta untuk mengikuti kaidah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) secara bertanggung jawab, mengingat Indonesia adalah salah satu Negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Hanya dengan ini Indonesia dapat memulihkan kembali statusnya sebagai negara demokratis di mata dunia.

Ahmadiyah di Seluruh Dunia

Sejak pembentukannya pada 1889, jemaat Ahmadiyah telah tersebar pada 212 negara di seluruh dunia dan memiliki puluhan juta pengikut. Pada umumnya mereka hidup berdampingan dengan tentram bersama masyarakat lain—namun kini para Muslim Ahmadi dipersekusi di banyak negara dengan mayoritas umat Islam hanya karena mereka adalah menganut kepercayaan Islam Ahmadiyah. Sebaliknya, para Muslim Ahmadi kini turut membantu ribuan pengungsi Rohingya, para Muslim di Gaza dan pengungsi dari Suriah. Kami juga membangun ratusan sekolah dan rumah sakit untuk menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan bagi siapapun tanpa memandang agama mereka, karena ini adalah contoh Islam yang Nabi Muhammad (SAW) telah ajarkan. Untuk menjalankan agenda kemanusiaan ini, komunitas Ahmadiyah telah mendirikan Humanity First, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan membantu umat manusia di seluruh dunia.

Para Muslim Ahmadi juga tidak politis, sehingga kami tidak merepotkan diri dengan urusan menggapai kekuasaan duniawi. Secara individual, kami dianjurkan untuk menggunakan hak pilih kami (meski di Pakistan, kami dilarang untuk memilih), dan Muslim Ahmadi yang ingin mencalonkan diri untuk pemilihan umum dapat melakukannya sebagai seorang individu tanpa membawa agama mereka. Khilafat of Jamaat-e-Ahmadiyya hanya bergantung pada Allah untuk rezeki dan kecukupan, dan komunitas kami hanya menerima bantuan uang dari sesama anggota lainnya. Baik pemerintah, orang, maupun organisasi lain tidak diizinkan untuk membantu.

Meski demikian, para Muslim Ahmadiyah masih mengalami persekusi di Pakistan, Aljazair, Malaysia, dan hampir semua negara Arab.

Mengakhiri Persekusi di Indonesia

Saya memohon kepada bangsa Indonesia untuk turut membantu mengakhiri persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah. Perbedaan interpretasi teologis seharusnya tidak menjadi alasan bagi kekerasan dan terorisme; tindakan-tindakan tersebut bukan hanya dzalim, namun jauh dari hakikat Islam yang sesungguhnya. Saya pun memohon bahwa bangsa Indonesia dapat memilih pemimpin yang menjamin kebebasan beragama untuk semua warga, dan untuk menolak ajakan membenci dan melakukan kekerasan kepada mereka yang berbeda kepercayaan dengan diri kita masing-masing.

Kita, kaum Muslim, tentu tidak ingin mereka yang belum memahami Islam untuk mempelajarinya dari para kelompok anti-Islam yang ekstrimis. Dengan demikian, tidaklah bijak pula untuk memahami interpretasi Ahmadiyah tentang Islam dari mereka yang membenci para Muslim Ahmadi. Dengan demikian, dibutuhkan keberanian untuk mendobrak sekat-sekat dan memahami apa yang dipercayai kelompok Islam Ahmadiyah dari diri mereka sendiri.

Kita, kaum Muslim, tentu tidak ingin mereka yang belum memahami Islam untuk mempelajarinya dari para kelompok anti-Islam yang ekstrimis. Dengan demikian, tidaklah bijak pula untuk memahami interpretasi Ahmadiyah tentang Islam dari mereka yang membenci para Muslim Ahmadi

Terlalu banyak masalah tengah melanda umat Islam di seluruh dunia. Tidaklah bijak bagi para pemimpin Muslim untuk mengutuk komunitas Muslim lain karena perbedaan pandangan teologis. Sebaliknya, pemimpin Muslim di seluruh dunia seharusnya mengumadangkan pesan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Pemimpin komunitas Muslim Ahmadiyah, Khalifa Mirza Masroor Ahmad, telah mengingatkan kita semua untuk menjunjung Nabi Muhammad sebagai teladan dalam ceramah berikut yang berisi pesan perdamaian (tautan dalam bahasa Inggris):

Demikianlah, ketika Allah yang Maha Kuasa adalah Maha pemberi rezeki bagi semua orang, maha pengasih lagi maha pengampun, bagaimana mungkin ia menghendaki bagi mereka yang percaya kepada-Nya untuk membunuh tanpa belas kasihan, menentang dengan kekerasan, atau membahayakan ciptaan-Nya yang lain? Jawabannya, tentu saja, adalah tidak mungkin. Tak hanya itu, Allah yang Maha Kuasa tentu telah memberi restu bagi upaya untuk menghentikan kekejaman, ketidakadilan, dan tindakan lainnya yang bertentangan dengan kemanusiaan. Islam mengajarkan kita bahwa setiap Muslim harus berusaha menghentikan tangan penindas dan mengakhiri segala bentuk ketidakadilan dan pelanggaran.

Ajaran ini persis sesuai dengan kebijaksanaan ilahi Nabi Muhammad (SAW) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik RA, mengajarkan semua Muslim, “Rasulullah berkata, “Bantulah saudaramu, yang merupakan seorang penindas atau yang tertindas. Orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah! Tidak ada masalah untuk membantunya jika ia merupakan orang yang tertindas, tetapi bagaimana membantunya jika orang tersebut merupakan penindas?” Nabi berkata, “Dengan mencegahnya menindas orang lain.” (HR. Bukhari, no. 6952; Muslim, no. 2584)

[1] Penal Code of Indonesia, Chapter 5, Article 156 and 156a

[2] http://translate.google.com/translate?sl=id&tl=en&js=n&prev=_t&hl=en&ie=UTF-8&layout=2&eotf=1&u=http%3A%2F%2Fwww.mui.or.id%2Findex.php%3Foption%3Dcom_content%26view%3Dfrontpage%26Itemid%3D71

[3] Id.

[4] http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2010/148869.htm (Last Visited July 5, 2018)

[5] Id.

[6] Lilik Rofiqoh, “The Fatwas of Majelis Ulama Indonesia on the Ahmadiyah Doctrines”. Asia-Pacific Journal on Religion and Society (APJRS), Volume 1, Number 1 (March 2015), p. 59.

[7] Id.

[8] http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2010/148869.htm (Last Visited July 5, 2018)

[9] Id.

[10] Id.

[11] Id.

[12] http://www.nytimes.com/2011/02/08/world/asia/08iht-indo08.html (Last Visited July 5, 2018)

[13] Id.

[14] https://www.hrw.org/news/2017/02/02/indonesias-religious-minorities-under-threat

[15] https://en.tempo.co/read/news/2018/05/31/314918863/No-More-Persecution