Setiap pergerakan dunia bermula dengan keyakinan bahwa perubahan bisa terjadi. Dalam karya K. Biru, utusan dari langit meyakinkan seorang gadis queer bahwa dunia yang lebih baik itu mungkin terjadi, di negara ini. Sebuah mimpi yang sederhana namun begitu kuat.
“Ayo, beri aku pertanyaan,” kata sang Suara. “Waktu kita terbatas. Saat fajar datang, aku akan tiada.”
Hilir mudik di depan jendela kamarnya, K tak kunjung mendapatkan pertanyaan. Pikirannya masih terkabutkan kalimat terakhir Nadya, perempuan yang ia kencani selama setahun terakhir dan baru saja memutuskan hubungan mereka lewat telepon beberapa jam lalu.
“Lagipula, tak ada masa depan untuk kita di sini,” kata Nadya.
K bisa saja menyangkal semua alasan untuk putus yang diutarakan Nadya selama tiga jam telepon. Namun tidak untuk yang satu itu.
Setelah Nadya menutup teleponnya, air mata segera menderasi wajah K. Perempuan itu mengalami patah hati untuk pertama kalinya di usia 16 tahun. Walau sering mendengar bagaimana sakitnya patah hati, K tidak menyangka sakitnya akan seperih ini begitu ia merasakannya sendiri. Isak kecilnya perlahan berubah menjadi tangisan keras, sampai-sampai langit ikut meratap dengannya.
Karena kasihan dengan K, langit mengirim pesan bahwa perempuan itu boleh mengajukan satu pertanyaan tentang masa depan.
Seperti apa masa depan itu? Kemungkinannya tidak terhingga. Namun, aku tahu apa yang aku inginkan: hidup bahagia. Bersama dengan seseorang yang aku cintai tentu akan membuatku bahagia, terutama dengan Nadya. Sialan! Kenapa semuanya harus berujung padanya? Aku menyalahkan sang Suara karena menyambangiku di waktu yang paling tidak menyenangkan. Aku tahu bertanya tentang hal romansa adalah tindakan egois. Seharusnya, aku bertanya tentang masa depan manusia. Apakah Jakarta akan tenggelam di tahun 2050? Apakah orang-orang sepertiku akan mendapatkan kesetaraan hak dan hidup sejahtera di tanah airku? Apakah aku bisa hidup bersama Nadya? Sialan!
Tiap detik berlalu, kecemasan K makin menjadi. K duduk dan mengelus tangannya sendiri, sesuatu yang selalu ia lakukan untuk menenangkan diri. Ada sebentuk tanda lahir di situ, sesuatu yang ia sukai. Jika ia telah cukup umur, ia ingin menghiasinya dengan tato. Memori tersebut memicunya untuk melontarkan sebuah pertanyaan.
“Di tahun 2072, apa yang akan ditato di lenganku?” tanya K.
“K 17.5.06. Mamma 8.12.06. Jejak kaki 12.7.07. Seekor kucing dengan kata Tobby. Gambar hati merah 13.8.21. Papan clapper dengan frasa Blue Hour 2044. Sebuah rumah, Jakarta 2048. Senja Menanti Bianglala 2051. Surat Cinta untuk Warna 2055. Seekor kucing, Tobby II. Sekarang adalah Waktu yang Tepat untuk Merebut Kemarin 2057. Kala Pagi Bertemu Putri Malam 2060. Pelangi dengan delapan warna, dengan segaris warna putih di antara merah dan oranye 9.11.65. Sebuah simpul, Kala & Putri 6.9.69. Setelah Tanda Tanya 2071.”
Ia tidak tahu berapa lama keheningan yang hadir antara kata terakhir dari sang Suara dan kesadaran yang tiba-tiba menghampirinya. Yang ia tahu, ini semua terasa seperti mimpi yang berlangsung lama.
“Apakah kau telah pergi? Aku masih punya banyak pertanyaan. Seperti, bagaimana aku bisa bertemu Putri yang tepat? Itu adalah salah satu dari lima nama paling populer di negaraku.”
Bukannya bisikan sang Suara, pertanyaan K malah disahuti oleh adzan subuh dari masjid dekat rumahnya. Ketika mendengar suara adzan, K tersenyum.
Aku benar-benar berada di sini. Dalam setengah abad lagi, aku akan berada di sini. Kau benar, Nadya. Mungkin tidak ada masa depan di sini untuk kita, tetapi ada masa depan untuk orang seperti kita. Dan kita tidak harus pindah ke planet lain atau bahkan ke negara lain untuk mewujudkannya.
Di sini. Itu mungkin.