Membesarkan anak, mengejar karir dalam bidang inovasi ilmu pengetahuan, dan aktif di komunitas sosial terlihat seperti tuntutan yang terlalu berat bagi seorang perempuan. Namun, dalam karya Inez Kriya, semua peran ini terjalin dengan apik dalam sebuah komunitas yang berkedaulatan pangan tanpa diskriminasi gender. Betapa indahnya jika semua perempuan dapat mengakses peran seperti ini di masyarakat kita.

“Ibu!” 

“Hm?”

“Tomat itu sayur atau buah, sih?”

Remi terkekeh. Pertanyaan Lazuri mengingatkan Remi saat dirinya saat masih seusia Lazuri, hampir lima tahun, di mana ia menanyakan hal yang sama pada ibunya.

“Menurut kamu, apa?”

“Mmm… Apa, ya? Kadang sayur, kadang buah!” jawab putrinya yakin. Zuri mengamat-amati butiran tomat mungil di hadapannya. “Kalau Ibu lagi masak sop, tomat itu sayur. Kalau Ibu lagi bikin jus, tomat itu buah.”

Remi kembali tertawa. “Zuri lebih suka tomat di dalam sop atau dijadikan jus?” tanyanya. 

Remi melempar pandangannya pada pot-pot tomat yang berbaris di sisi lotengnya. Dua atau tiga hari lagi, usia mereka akan cukup untuk dipanen.

“Jus! Soalnya enak, manis dan dingin.” Dahi Zuri berkerut dan mulai mengecapkan lidah. “Hmm, Zuri jadi ingin jus tomat…”

Remi tergelak. “Oke, sebentar lagi kita bikin jus tomat, ya. Tunggu, Ibu selesaikan ini dulu. Zuri bisa bantu masukkan daun seledri itu ke keranjang ungu?”

Balitanya mengangguk bersemangat. Remi bangkit dan memasukkan sisa-sisa dedaunan dan ranting yang baru saja ia rapikan ke dalam komposter, menambahkan sekam kering, lalu menutupnya. Cairan kompos yang sudah tersaring ia campurkan ke air dalam tangki penyiram tanaman di ujung loteng. Ia memutar tombol, lalu sprinkler yang tersebar di beberapa rangka pipa mulai menjatuhkan hujan buatan lokal di atas puluhan tabulampot dan bunga yang ia rawat.

“Yuk,” ajak Remi. Dia sambil membawa dua keranjang penuh dengan terong, bayam, cabai, seledri, dan daun pepaya. Semua hasil panennya sendiri. Lazuri menghampiri dan menggandeng tangan ibunya untuk menuruni tangga.

Sudah tiga tahun sejak Remi memulai hobi berkebun di loteng rumahnya, sama seperti para tetangganya. Sejak adanya program pertanian perkotaan sebagai salah satu agenda wajib kedaulatan pangan. Tak hanya menjadi sumber bahan pangan bagi keluarga sendiri, hasil-hasil panen yang dikumpulkan dari kebun warga kadang berlebih, dan mereka akan saling bertukar sayuran, bumbu, atau buah-buah dengan tetangga yang lain. Tidak ada yang terbuang.

Remi merasa kegiatan itu jadi penghibur baginya setelah berhenti bekerja. Kehamilannya dulu termasuk berisiko. Demi kesehatan janin serta dirinya sendiri, Remi mengambil jeda. Namun, sudah hampir lima tahun berlalu, ia menyadari bahwa “kembali bekerja” ternyata tak semudah yang dia kira. Padahal, latar studi dan pengalamannya di bidang teknologi pangan cukup cemerlang.

Kondisi itu membuatnya merasa kehilangan sebagian identitas. Ia khawatir tak lagi dianggap mampu berkontribusi bagi orang-orang di sekelilingnya dengan ilmu yang ia miliki. Ia takut membayangkan masa depannya yang tak berdaya.

Apakah aku melakukan kesalahan? Remi tahu jawabannya, tetapi ia tetap merasa ada yang hilang.


“Bu Remi, prototipenya sudah jadi, nih!” sebuah pesan masuk ke ponsel Remi dari Ketua RT 03, diikuti beberapa foto benda seperti tangki dengan beberapa selang.

Remi tersenyum. Idenya untuk membuat alat penyiram otomatis dengan memanfaatkan air tadah hujan dan tenaga surya diterima. Alat itu mudah dioperasikan dan efektif untuk skala kebun komunitas yang akan dibangun di tiap RW. Dalam waktu dekat, ia akan memastikan prototipe berfungsi sesuai rancangannya.

Jika produknya berhasil, komunitas-komunitas lain akan mampu menerapkan metode serupa untuk kebun mereka sendiri. Para perempuan yang menjadi pegiat pun tidak akan kesulitan mengoperasikannya.

Remi melemparkan pandangan pada Lazuri yang menyeruput jusnya dengan nikmat. Senyum merekah di wajah Remi. Ia sudah menemukannya kembali.


Baca kisah lainnya dalam musim ini:

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *