Malam itu, Februari 1945, angin bertiup di Pulau Con Son (dalam bahasa Khmer disebut Koh Tralach), di lepas pantai Vietnam Selatan. Pulau tersebut merupakan lokasi berdirinya penjara Con Dao pemerintah Perancis yang terkenal sebagai tempat para lawan politik yang menentang Prancis atas Indochina ditahan.
Tiga pria asal Kamboja berdiri di atas dek kapal selam perang Jepang, menatap pulau tropis tersebut. Selama tiga tahun, mereka yakin bahwa tempat itu bukan hanya penjara buat mereka, tetapi juga kuburan. Bun Chanmol, 24 tahun, termuda di antara mereka, melambaikan tangan—bukan kepada pulau atau penjara tersebut, namun untuk arwah Hem Chieu, seorang biksu sekaligus aktivis pergerakan nasionalis rakyat Kamboja, yang meninggal dunia karena disentri hanya beberapa bulan setelah tiba di Con Son.
Members only
Log in or
Join New Naratif as a member to continue reading
We are independent, ad-free and pro-democracy. Our operations are member-funded. Membership starts from just US$5/month! Alternatively, write to sponsorship@newnaratif.com to request a free sponsored membership. As a member, you are supporting fair payment of freelancers, and a movement for democracy and transnational community building in Southeast Asia.
