Gagasan bahwa Singapura adalah sebuah utopia yang multi-rasial dan multi-religius telah ditanamkan kepada warganya selama beberapa dasawars, berkat buku-buku sejarah serta video dan iklan yang tak terhitung jumalhnya, yang secara jelas diwarnai propaganda.

Narasi yang diterima secara luas oleh rakyat Singapura dan seluruh dunia adalah tentang sebuah bangsa yang dibangun di atas meritokrasi dan sebuah rakyat yang buta warna.

Tetapi sesungguhnya Singapura belum bebas dari perbedaan ras, sebuah fakta pahit yang membeber di saat pemilihan presiden tahun ini.

Pada awal tahun ini, setelah sebuah ulasan kalangan atas yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung Sundaresh Menon, amandemen diajukan ke pemilihan presiden negara.

Selain kriteria kualifikasi yang lebih berat seperti mewajibkan kandidat berasal dari sektor umum dan telah menjadi eksekutif senior yang mengelola perusahaan dengan ekuitas pemegang saham minimal S $500 juta, perubahan kriteria ini juga memperkenalkan model ‘hiatus-triggered’:

Apabila ras tertentu – dari kelompok rasial utama Singapura yaitu ras Cina, Melayu dan India/Lainnya – belum diwakili dalam lima tahun terakhir, pemilihan umum berikutnya akan dibatasi untuk calon dari ras tersebut.

Dengan perubahann ini, pemilihan presiden tahun 2017 sudah dipesan untuk kandidat Melayu saja.

Keputusan ‘Melayu saja’ untuk pemilihan ini telah menimbulkan pertanyaan mengenai syarat-syarat yang perlu di penuhi untuk mencapai golongan Melayu, dan, tema kurang nyaman mengenai identitas ras negara multi-rasial ini telah di lontarkan untuk wacana public.

Pemilihan presiden ‘Melayu saja’ ini telah “membongkar sifat ras dan identitas rasial yang nian di ciptakan, dan sering dianggap biasa dan bahkan tidak dipertanyakan di Singapura,” kata Laavanya Kathiravelu, asisten professor Sosiologi di Nanyang Technological University.

“Ini menegaskan keunggulan ras sebagai ciri pokok yang menentukan lansekap suasana politik dan menggiatkan rakyatknya untuk berpikir secara rasial, dan bukan dengan cara netral mengenai kepemimpinan negara kami.”

Klasifikasi rasial

Pemerintah Singapura telah lama menganut model CMIO (Chinese, Malay, Indian, Others), yang mengidentifikasi kelompok ini sebagai ras utama negara.

Pengelompokan luas ini selalu bermasalah karena tidak mencerminkan komplexitas kehidupan nyata. Namun, perubahan system pemilihan presiden baru-baru ini telah menimbulkan pengawasan ekstra pada kecenderungan kategorisasi rasial.

Meskipun ras sering di bahas dalam konteks isu sosial, implikasi politik dari ras terus terwujud dalam kehidupan sehari-hari, terutama karena sering menjadi faktor dalam pembuatan kebijakan resmi.

Misalnya, sistem perumahan publik Singapura yang sering dipuji.

Berdasarkan kebijakan Integrasi Etnis (Ethnic Integration Policy), yang telah diajukan untuk memastikan pencampuran ras-ras berbeda dalam lingkungan yang sama, pemerintah mempertetap persentase ras masyarakat yang tinggal di sebuah gedung perumahan atas nama integrasi rasial.

“Begitu orang tinggal bersama, mereka tidak hanya berjalan di koridor yang sama setiap hari, mereka tidak hanya menaiki lift bersama, tetapi anak-anak mereka pergi ke sekolah yang sama…dan mereka tumbuh besar bersama,” papar Wakil Perdana Menteri Tharman Shanmugaratnam di sebuah wawancara pada 45th St. Gallen Symposium tahun 2015.

Kelompok-kelompok kesejahteraan sosial juga telah didirikan menurut ras. Kelompok ini adalah, Dewan Bantuan Pembangunan Cina (Chinese Development Assistance Council), Dana Pembangunan Masjid dan Yayasan Mendaki, Perhimpunan Pembangunan India Singapura dan Perhimpunan Eurasian.

Kelompok ini menggalang dana dari kelompok rasial perwakilan masing-masing, yang di suplemen oleh hibah pemerintah, untuk disalurkan kepada anggota masyarakat yang berkekurangan.

“Dengan cara ini, kebijakan negara memperjelas bahwa akses dan hak-hak penduduk dibedakan, dan rakyat tidak mendapat kesempatan yang sama untuk tuntutan berdasarkan kepemilikan bersama oleh negara,” tulis Laavanya dari NTU dalam artikelnya “Rethinking Race: Beyond CMIO Categorisations”.

Empat ras dan masih bertumbuh

Model CMIO telah lama mengaburkan keragaman yang lebih besar di Singapura, dengan memaksakan semua warga ke dalam empat kelompok monolitis sembari mengabaikan heterogenitas yang ada, bahkan di dalam masing-masing kategori.

Penyederhanaan etinisitas dan identitas yang berlebihan ini, pada kenyataanya, merupakan sebuah langkah yang di sengaja oleh para administrator kolonial pada jaman kekuasaan Inggris – yakni mencari kemudahan daripada ketepatan – dan merupakan awal dari kategori model CMIO kini.

Sensus penduduk pertama yang dilakukan pada tahun 1871 mencakup kategori seperti “Klings”, “Bengalees”, “Bugis”, “Javanese dan Boyanese”, dan “Arab”. Namun sejak tahun 1921, para birokrat memutuskan untuk menggolongkan semua orang pribumi dari nusantara Melayu sebagai orang Melayu.

Laporan sensus menyatakan bahwa “kesulitan yang cukup besar dialami dalam mencapai keputusan mengenai ras mana yang harus ditabulasikan secara terpisah dan ras mana yang harus digabungkan ke kelompok yang berjudul ‘Melayu’.”

Kini, saat kota Singapura menjadi semakin kosmopolitan, model CMIO semakin terbongkar dan komplikasi serta kesulitan baru muncul bagi negara ini yang tetap ingin mengkategorikan penduduknya menurut ras.

Pada tahun 2011, pemerintah mengajukan pilihan bagi pasangan antar-etnis untuk memberi dua golongan ras bagi anak-anak mereka walaupun putusan seperti Kebijakan Integrasi Etnis diatas, hanya akan dilaksanakan sesuai dengan komponen pertama (sehingga penting bagi orang tua untuk mempertimbangkannya. Misalnya, jika mereka ingin mendaftarkan anak mereka sebagai Cina-India atau India-Cina).

Ras dan identitas selalu menjadi sumber kebingungan bagi Nabilah Husna saat tumbuh dewasa.

Lahir dari seorang ayah India dan ibu Melayu, Nabilah dikategorikan sebagai orang India dalam semua dokumen resmi, namun dirinya di besarkan dalam tradisi-tradisi Muslim Melayu, dan beliau secara pribadi mengali dirinya sebagai orang Melayu.

Presidential hopefuls (from left) Salleh Marican, Farid Khan and Halimah Yacob. Credit: Lianhe Zaobao, Seah Kwang Peng, Jamie Koh

“Saya masih ingat persis perasaan sangat bingung tentang identitas diri yang saya alami. Saya telah mengalami fase-fase dimana saya mengidentifikasi diri sendiri dengan satu kelompok daripada kelompok lain. Adapun fase dimana saya tidak merasa tergolong kelompok manapun, tanpa memperhatikan kelompok sosial pergaulan saya saat itu,” ujar Nabilah kepada New Naratif.

Pertanyaan tentang identitas etnik dan ketermasukan sudah lama ada, tidak hanya di Singapura saja, tetapi juga di sebagian besar dunia Melayu.

Dalam sebuah episode podcast The History of Singapore, sejarawan Nurfadzillah Yahaya mengatakan bahwa pertanyaan tentang siapa yang dapat dianggap Melayu sudah muncul pada tahun 1920an-30an, dan tidak dapat di pisahkan dari pertimbangan politik.

“Kenapa orang Arab yang datang dari tempat jauh, dan dalam jumlah yang sangat sedikit, sangat mudah dianggap sebagai orang Melayu di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan orang Cina, yang sendirinya sering kawin-mengawini penduduk local di Indonesia dan Malaysia, namun selalu dianggap orang asing?” Ujar Yahaya.

Satu hal yang diperdebatkan adalah bahwa pendatang Arab ini beragama Islam, alhasil mereka diintegrasi secara alami ke dalam dunia Melayu, yang sebagian besarnya beragama Islam.

Walaupun begitu, adapun orang Cina beragama Islam yang juga tidak di terima dengan baik ke dalam kategory Melayu atau bumiputra dan orang juga berpendapat bahwa…pengaruh kaum Islam Cina dia Asia Tenggara mencapai waktu yang lebih lama di banding pengaruh Islam dari Asia Selatan dan Timur Tengah.”

Perbedaan politik

Hari ini, politisasi ras menjadi semakin nyata.

Bingungnya, ras seorang individu yang tercantum pada dokumen-dokumen resmi bisa berbeda dengan ras yang diwakili individu itu dalam pemilihan umum. Dengan pembentukan Group Representation Constituencies pada tahun 1988, muncullah untuk pertama kalinya sistem dimana kandidat berdiri sebagai team dalam daerah pemilihan besar, dalam kontes pemenang-mengambil-semua. Dengan sistem ini, kandidat dari golongan minoritas, diperkenakan untuk mengidentifikasikan diri menurut empat kelompok ras yang diakui.

Identitas ini kemudian di evaluasi oleh komite yang ditunjuk pemerintah untuk memastikan apakah masyarakat ras itu “menerima” kandidat tersebut sebagai anggota mereka sendiri.

Dengan demikian, ras yang tertera pada kartu identitas tidak relevan di saat seseorang maju di pemilihan umum:

Seseorang yang dikategorikan Melayu dalam dokumen-dokumen resmi mereka, bisa saja ditolak oleh panitia, sementara seorang lain bisa diterima walaupun dikategorikan sebagai ras lain dalam dokumen mereka.

Hal ini dikomfirmasi awal tahun ini oleh seorang anggota parlemen Zainal bin Sapari yang menulis dalam sebuah komen di Facebook bahwa “ras Anda tidak perlu tercantum sebagain ‘Melayu’ dalam kartu identitas atau akta kelahiran Anda untuk dianggap sebagai kandidat Melayu.”

Menghapus Penghalang Rasial untuk Maju

Bukannya membuat Singapura buta warna, justru keterbatasan dari model CMIO telah memicu kekhawatiran bahwa persamaan dan representasi rasial di Singapura telah dihalangi.

“Pemerintah harus memaklumi fakta bahwa mengklasifikasikan perbedaan dalam empat ‘kelompok rasial’ yang sederhana bukanlah nuansa yang cukup dan tidak bersifat mewakili, terutama dengan aliran migrasi dari seluruh dunia dan perubahan demografik realitas dalam populasi penduduk,” tulis Laavanya.

Beralih dari, atau bahkan menghapus model CMIO tidak akan mengakhiri persoalan rasial dan rasialisai di Singapura secara automatis.

Namun, ini bisa menjadi langkah awal, yang memungkinkan orang-orang untuk berhenti melihat dirinya sebagai warga negara dengan tanda penghubung yakni Cina-Singapura.

Jika Anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!

Kirsten Han is a Singaporean journalist whose work often revolves around the themes of social justice, human rights, politics and democracy. As an activist, Kirsten has advocated for an end to the death penalty in Singapore, and is a member of the Transformative Justice Collective.

Dewi Fitzpatrick stems of Indonesian and English origins and has lived in Singapore for the past seven years. Upon graduating with a Bachelor of Arts in History from the National University of Singapore, Dewi decided to stay on in Singapore to work in arts management. Currently, Dewi is a research analyst in the corporate sector focusing on Indonesia and Malaysia.