Pertama-tama, berita baik: Indeks Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menilai Indonesia sebagai negara demokrasi tingkat tertinggi di Asia Tenggara, menunjukkan bagaimana luar biasa kemajuan Indonesia sejak jatuhnya Jendral Suharto 20 tahun yang lalu.
“Dari perspektif mata burung, hal-hal terlihat cukup baik,” kata Tom Pepinsky, seorang anggota fakultas dari Program Asia Tenggara di Universitas Cornell. “Secara menyeluruh, Indonesia tetap merupakan sebuah kisah sukses yang luar biasa, dengan mempertimbangkan demokratisasi pada tahun 1998, dan tren-tren di seluruh daerah [Asia Tenggara].”
Namun, dengan pandangan yang lebih mendekat, seseorang akan menyadari bahwa semua tidak baik-baik. Ini menjadi jelas hanya beberapa minggu setelah PBB mengeluarkan rangkingnya, saat Economist Intelligence Unit memperlihatkan sebuah gambaran yang jauh lebih mengerikan – rangking demokrasi Indonesia telah jatuh 20 peringkat dalam hanya satu tahun, penurunan yang terbesar di Asia. Laporan tersebut menunjuk ke kampanye tahun 2017 yang dibebankan masalah rasial, yang menjatuhkan gubernur Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, yang etnis Cina dan beragama Kristen, yang dulunya amat populer, sebagai alasan utama untuk penurunan ini.
“Ini tidak mengejutkan,” kata Wirya Adiwena, kepala hubungan internasional di Habibie Center yang berbasis di Jakarta. “Demokratisasi telah terbukti merupakan sebuah jalan yang lebar. Gelombangnya tidak hanya membawa elemen demokratis, tetapi juga elemen-elemen yang tidak demokratis – seperti vigilante – yang demikian pula tertindas selama tiga dasawarsa pemerintahan otoriter Suharto. Elemen-elemen ini kini dalam kontestasi terbuka.”
Bahkan, Indonesia kini menyaksikan meningkatnya intoleransi agama, sikap anti-LGBT yang semakin meningkat, dan kebangkitan sentiment anti-komunis yang mengejutkan, dengan kelompok nasionalis seperti Pemuda Pancasila yang tegas melawan diskusi apapun mengenai pembunuhan massal pada tahun 1965 dan 1966, dimana diperkirakan 500,000 orang terbunuh. Pembahasan genosida di Timor-Leste pada saat okupasi Indonesia dari tahun 1975-1999 juga terus tertindih. Kemudian ada kekerasan yang terus berlanjut dan protes di provinsi bergolak di Papua Barat, yang membuat satu hal sangat jelas: negara ini masih harus menempuh jalan yang jauh untuk memenuhi perjanjian demokrasinya. Namun demokrasi Indonesia juga jauh lebih rumit daripada diasumsikan.
Demokrasi dengan Karakteristik Indonesia
Kebesaran dan keanekaragaman Indonesia selalu membuatnya sulit untuk di perintah. Di era Suharto, jawaban untuk menguasai bangsa yang luas ini adalah dengan tenaga militer dan kekuatan yang terpusat, yang membuat Jakarta kaya sementara pulau-pulau terpencil tetap miskin dan terbelakang. Setelah jatuhnya Suharto, sebuah system baru yang memberi lebih banyak kekuasaan pada daerah terpencil diperlukan, tetapi harus dirancang dengan baik. Di negara tetangga Pilipina, desentralisasi (termasuk tengaran Kode Pemerintah daerah tahun 1991) disalahgunakan oleh marga tradisional pemilik tanah untuk membangun daerah politik yang didukung oleh tentara pribadi dan jaringan perlindungan. Yugoslavia, yang pecah menjadi beberapa bagian setelah kematian Tito dan perang Balkan yang menyusul, juga merupakan kisah peringatan. Ada ketakutan nyata bahwa memberi kekuatan pada provinsi akan memberdayakan regionalisme, yang dapat menimbulkan perpecahan dan lebih banyak kekerasan.

Solusinya adalah melakukan desentralisasi yang berbeda. Provinsi akan tetap pada intinya lemah, seperti di era Suharto. Namun, semua kecamatan dan kota akan diberikan lebih banyak kekuasan untuk mengendalikan keuangan dan membuat keputusan bebas dari Jakarta.
“Asumsinya, dan memag benar begitu, adalah bahwa di tingkat kecamatan, tingkat kekuatan yang membangkitkan akan lebih rendah dan tidak akan menimbulkan balkanisasi negara,” kata Sandra Hamid dari The Asia Foundaiton, sebuat organisasi perkembangan internasional. “Di saat yang bersamaan, kebijakan ini memberi lebih banyak ruang bagi warganegara untuk pandai mengeluarkan pikirannya mengenai minat menjadi bagian dari negara.”
(Masih ada pengecualian: Papua Barat tetap sangat dimiliterisasi, dengan aktifis yang masih dipenjarakan karena mengibarkan bendera bintang kejora seperatis atau mendistribusikan petisi terlarang yang meminta kemerdekaan.)
“Sebenarnya bukanlah partai yang penting, tetapi siapa calonnya”
Restriksi ditetapkan untuk membatasi pemecahan. Partai sedaerah tidak diperbolehkan kecuali di Aceh, dan di Aceh pun hanya diperbolehkan di tingkat provinsi. Hukum Indonesia mengamanatkan bahwa partai politik mempertahankan tingkat dukungan tertentu agar tetap memegang kursi di parlemen, dan dengan begitu membuat mereka nasionalis. Pentingnya, sejak demokrasi, larangan bagi Partai Komunis Indonesia dan saudara-saudara sayap kiri tetap dipertahankan walau datangnya demokrasi; hasil dari stigma terhadap politik kiri adalah bahwa dari 13 partai Indonesia yang direpresentasikan pada pemilihan provinsi tahun ini, tidak ada yang muncul dari bagian kiri spektrum politik.
Sebenarnya, sangat susah untuk mengerti ideologi apa yang direpresentasikan oleh partai politik di Indonesia. Ada empat partai Islam yang utama, namun mereka tetap berukuran kecil dan tidak meminta, secara terbuka, untuk hukum sharia. Sisanya dapa diidentifikasikan sebagai nasionalis, tetapi cenderung didorong oleh kepribadian dari tokoh pemimpin mereka masing-masing dan bukan oleh posisi politik.
“Sebenarnya bukanlah partai yang penting, tetapi siapa calonnya, dan koneksi pribadi yang dibudidayakan dari jaringan-jaringan lokal,” kata Jessica Soedirgo, seorang mahasiswa kandidat PhD di Departemen Ilmu Politik di Universitas Toronto.
Contohnya: Partai Demokrat yang didirikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tetap menjadi urusan keluarga, walau kini anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang dipromosikan oleh partai tersebut. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang merupakan partai Presiden Joko “Jokowi” Widodo, didirikan oleh presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno, dan putrinya, President Megawati Sukarnoputri, tetap menjadi ketua partai tersebut.
“Semuanya begitu dipersonalisasi,” kata Soedirgo. “Benar-benar tokoh individu yang penting, dan oleh karena itu kami tidak begitu melihat ideologi…orang-orang tidak memilih ideologi.”
Radikaslime Islam: Sebuah Gerakan Minoritas
Ini berhubungan dengan pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017. Sementara banyak yang melihat Islam sebagai faktor yang menentukan, kemungkinan ini lebih dipengaruhi sifat unik milik Ahok. Beliau merupakan sebuah tokoh yang bertentangan karena berbagai alasan yang melebihi hanya alasan etnisitas minoritas dan latar belakang rasial, termasuk gaya kesat dan konfrontatifnya, akar-akar Sumatra dan pemberesan pemukiman kumuh yang kontroversialnya, yang mengasingkan masyarakat miskin perkotaan yang mengidentifikasikan diri dengan korbannya. Namun Islamis tidak memenangkan pemilihan; sementara Anies Baswedan dengan kuat memainkan identitas Muslimnya, dengan mengikuti doa massal dan memakai pakaian Islam, penampilan imannya lebih oportunistik dibandingkan ideologis, mirip dengan politikus Amerika yang lebih menekankan ibadat Kristen mereka saat sedang di jalanan kampanye. Ahok mengkatalisis gerakan melawannya, namun, setahun kemudian disaat beliau mendekam di penjara, usaha-usaha untuk menyalurkannya ke perkara lain terbukti sia-sia.
“Secara keseluruhan, radikalisasi Islam tetap merupakan sebuah pesona minoritas dan sebuah gerakan minoritas”
“Tidak ada gunanya berpura-pura bahwa tidak ada kelompok radikal Islam di Indonesia yang tertarik akan sebuah bangsa Islam…namun Ahok dimainkan ke tangan orang-orang tersebut,” kata Krishna Sen, seorang professor di Universtas Western Australia yang fokus terhadap Indonesia. “Mobilisasi anti-Ahok yang Islamis tentunya tidak menjadi sebuah gerakan. Secara keseluruhan, radikasilasai Islam tetap merupakan sebuah peson minoritas dan sebuah gerakan minoritas.”
Fokus pada Jakarta dan Islam juga mengabaikan bagian lain dari negara yang begitu besar dan beranekaragam, yang menjangkau 5,120 kilometer dari bagian timur hingga bagian barat, dan 1,760 kilometer dari bagian utara ke bagian selatan, dengan lebih dari 700 bahasa dan lebih dari 250 agama. Jakarta adalah kota terbesar di Asia Tenggara, tetapi hanya bertanggung jawab atas 10 juta dari lebih dari 260 juta penduduk [Indonesia]. Apakah Ahok adalah pengecualian atau awal dari sebuah kecendurang hanya akan lebih jelas setelah dua pemilihan umum yang sangat penting yang akan datang.
Musim Pemilihan yang Mendatang
Pertama, pemilihan daerah pada tingkat provinsi dan tingkat kecamatan akan berlangsung di kira-kira setengah bagian dari negara pada bulan Juni ini, termasuk provinsi terbesar [Indonesia] di Jawa dan Sumatra. Pemilihan ini sudah dimulai, dengan pemilihan kandidate dari partai politik pada awal bulan ini. Papan reklame dan poster-poster telah muncul di jalanan disepanjang provinsi-provinsi ini.
“Sepertinya pemilihan daerah tahun ini tidak akan menghadapi mobilisasi masalah identitas – etnisitas, agama, ras, dan lain-lain,” kata Bawono Kumoro, Kepala dari Politik dan Pemerintahan di Habibie Center. “Ini bukan berarti hal-hal ini tidak akan dipermainkan. Pastinya akan, tetapi dengan dampak yang kurang signifikan dibandingkan dengan pemilihan daerah Jakarta.”

Kebanyakan perhatian akan berfokus pada bagaimana hasil-hasil [pemilihan] tahun 2018 akan mendampaki pemilihan presiden tahun 2019, dimana Presiden Jokowi akan mencalonkan diri untuk putaran kedua untuk jangka waktu lima tahun. Banyak yang menduga beliau akan menghadap seorang penantang dari sayap kanan, mungkin lawannya dari 2014, Prabowo Subianto. Prabowo adalah pendukung Anies Baswedan, yang memenangkan posisi gubernur Jakarta tahun lalu setelah menggunakan agam Islam melawan sekutu Jokowi, Ahok. Dapatkah sejarah berulang, dan peran apa yang akan dimainkan oleh Islam, terutama mengingat bahwa Jokowi sendiri beragama Muslim?
Apakah ada kandidat, atau tiket yang benar-benar ingin mendorong alternatif Islam yang lebih kuat, dan berkampanye untuk cara Islam Indonesia yang kurang inklusif?” tanta Pepinsky, “Kami tidak tahu siapakah tiket tersbut…namun menurut saya ini adalah hal yang perlu dipantau.”
Pemilihan seperti ini berpotensi menjadi katalisator bagi intoleransi. Walau Setara Institue, sebuah kelompok non profit Indonesia yang memantau kejahatan terhadap minoritas agama, menemukan situasi pada tahun 2017 sebenarnya menjadi lebih baik, mereka tetap memperingatkan bahwa “pemilihan daerah mendatang pada bulan Juni, dan pemilihan umum pada tahun 2019 dapat menimbulkan politisasi dari perbedaan agama dan sosial, yang dapat secara negatif mempengaruhi usaha pemerintah untuk mempromosikan toleransi agama dan kebebasan bagi seluruh warganegara.”
Jokowi sendiri tidak kebal, dan mungkin sedang menggunakan perang terhadap narkoba (termausk penggunaan hukuman mati) sebagai cara untuk menggambarkan dirinya sebagai pemimpin nasionalis yang kuat dan tegas. Bagaimanapun juga, iklim politik menyokong politik kanan, yang artinya bahwa tidak banyak daya gerak untuk memperbaiki situasi di Papua, membahaskan keluhan dari tahun 1965-66 atau 1975-99, atau melepas pembatasan yang diberikan kepada partai daerah dan partai sayap kiri, dan ideology.
Tidak ada yang bilang demokrasi akan gampang. Indonesia sama sekali tidak mencapai demokrasi sempurna – bila sistem tersebut mungkin terwujud – namun situasi kini memucat dibandingkan dengan masa lalunya sendiri.
Dalam konteks daerahnya dan seluruh dunia, Indonesia muncul dengan sangat baik. [Indonesia] telah bergerak kearah kanan, namun dibandingkan dengan Pilipina, Malaysia, Thailand dan Singapura, ayunannya ke otoritarianisme termasuk ringan; dibandingan dengan negara demokrasi yang lebih matang seperti di Eropa dan Amerika Serikat, [Indonesia] telah menghindari retorika ekstremis dan politikus xenofobia yang telah dipilah oleh demokrasi lainnya; dibandingkan dengan negara mayoritas Muslim lainnya, [Indonesia] tetap lebih rukun, stabil dan demokratis. Negara seperti Indonesia – negara demokratis terbesar ketiga di dunia, dan negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan negara ASEAN yang paling demokratis – adalah negara yang sangat penting apabila dunia akan membalikkan pengunduran dari demokrasi yang kini terjadi.
Apa yang terjadi diantara sekarang dan saat pemilihan presiden pada bulan September tahun 2019 akan memberi ide yang lebih jelas tentang apa yang akan terjadi berikutnya dalam lansekap politis yang berkembang Indonesia, dan kearah mana [Indonesia] akan bergerak.
Jika anda menikmati artikel ini dan ingin bergabung dengan gerakan kami untuk menciptakan ruang untuk penelitian, percakapan dan tindakan di Asia Tenggara, silahkan bergabung menjadi anggota New Naratif untuk hanya US $52 / tahun (US $1/minggu)!