Penjelasan I: “Jangan Pulang, Ada Tentara”: Anak-anak di Pusat Tahanan Imigrasi Malaysia

Anak-anak tanpa dokumen yang melintasi batas wilayah Malaysia dianggap melanggar hukum imigrasi. Mereka harus berhadapan dengan berbagai risiko, termasuk penangkapan, penahanan tanpa jangka waktu, dan deportasi yang mengancam nyawa. Siapakah anak-anak dalam tahanan ini? Mengapa mereka ditahan? Untuk berapa lama? Apa akibat buruk penahanan ini? Berapa ongkos yang harus dibayar warga lewat pajak untuk membiayai penahanan ini?

Ini adalah artikel pertama dari rangkaian dua artikel New Naratif tentang penahanan anak-anak imigran di Malaysia.

Peringatan: Artikel ini memuat cerita tentang kekerasan dan bunuh diri.

Zay* akhirnya bernapas lega. 

Setelah menahan derita selama sebulan di salah satu pusat tahanan imigrasi Selangor di akhir 2022, remaja sebatang kara ini akhirnya dilepaskan atas perintah salah satu petugas imigrasi.

Ia akhirnya bisa mengganti baju yang telah ia pakai selama lebih dari sebulan, pakaian yang kini ternodai kenangan buruk malam-malam tanpa tidur di lantai dingin, hukuman loncat jongkok yang memalukan, dan bau busuk gedung pusat tahanan.

Namun napas kebebasan itu tidak panjang, karena tak lama kemudian ia dideportasi kembali ke Myanmar, di mana keluarga dan desanya terperangkap konflik carut marut antara junta militer Myanmar dan pasukan etnik bersenjata.

“Jangan pulang, ada tentara,” ibunya yang telah janda memperingatkannya untuk tidak kembali ke kampung halamannya di Myanmar setelah ia selesai menjalani lima hari karantina di Yangon. Zay tidak mungkin berkumpul kembali dengan orang-orang tercintanya jika tentara junta Myanmar masih di sana. Terlalu berbahaya.

Pertemuan terakhir dengan militer mengubah hidupnya secara permanen. Saat itu awal 2022. Bocah kelas 1 SMP itu sedang bersepeda menuju kota ketika tiba-tiba ia dihadang tentara. Kartu identitasnya disita dan ia dituduh ikut kegiatan revolusi organisasi etnis bersenjata. Untungnya, Zay berhasil kabur. Namun, ia juga harus segera meninggalkan rumah dan menemukan tempat aman untuk bersembunyi.

Seperti di banyak area di Myanmar, organisasi etnik bersenjata terus melawan junta Myanmar untuk merebut kontrol teritori, gagasan, dan sumber daya. Pertarungan ini makin intensif dan terus bergejolak setelah kudeta di tahun 2021. Keluarga dan anak-anak, seperti Zay, terhimpit di antara konflik.

Terombang-ambing di antara ngerinya perang dan bayang-bayang ancaman menjadi tahanan imigrasi, Zay akhirnya terpaksa memutuskan untuk lagi-lagi mencoba peruntungan melakukan perjalanan kembali sendirian ke Malaysia. Diselubungi rasa takut, Zay harus melakukan perjalanannya diam-diam supaya tidak diseret kembali ke pusat tahanan karena tidak punya surat izin migrasi.

Walau aturan tahanan dari pemerintah Malaysia tidak terlalu menghalangi arus migrasi atau pengungsi, aturan ini amat berkelindan dengan pergerakan, keamanan, dan kesejahteraan domestik anak-anak dan pengungsi yang singgah di Malaysia seperti Zay. 

Berdasarkan sumber utama dan sampingan, artikel penjelasan ini menyoroti hal-hal yang mendasari praktek penahanan anak di Malaysia. Kami mulai dengan mencari tahu siapa, mengapa, dan seberapa lama penahanan anak di pusat tahanan imigrasi. Hal ini diikuti dengan menyelidiki kerugian akibat penahanan anak, termasuk kerugian manusia dan biaya fiskal.

Jadi, mari kita mulai. Siapakah anak-anak di balik jeruji? Mengapa? Seberapa lama?

Anak-anak di Pusat Tahanan Imigrasi Malaysia: Siapa, Mengapa, dan Seberapa lama?

Berdasarkan angka per April 2023 yang dikeluarkan Kementerian dalam Negeri, total 1.030 anak–43% dari mereka adalah anak-anak perempuan—sedang ditahan di 19 pusat tahanan di Malaysia. Dua-pertiga dari mereka tanpa pendamping dan terpisah dari orangtua atau walinya.

Menurut UNHCR, “anak tanpa pendamping” adalah anak di bawah umur yang tidak didampingi oleh pengayom utama atau sampingannya: orangtua, wali, atau kerabat.

“Anak-anak yang terpisah” adalah mereka yang terpisah dari orangtua dan walinya, namun mereka bisa saja didampingi oleh kerabat atau anggota keluarga lain yang telah dewasa.

Berdasarkan angka resmi yang dikumpulkan selama tujuh tahun terakhir di tabel di bawah ini, rata-rata 1.300 anak di bawah umur ditahan setiap tahunnya. Dengan kata lain, tidak kurang dari 15.000 anak kecil dijebloskan ke penjara di pusat tahanan imigrasi Malaysia sejak 2013 hingga 2023 untuk durasi yang tidak ditentukan. Data ini termasuk mereka yang di bawah umur 18 tahun: remaja, awal remaja, dan bahkan bayi.

Akan tetapi, angka-angka resmi ini mungkin tidak akurat karena beberapa pusat tahanan menganggap anak adalah mereka yang di bawah 18 tahun, sementara yang lain menganggap anak adalah mereka di bawah 12 tahun. Hal ini semakin rumit ketika umur seorang anak hanya diperkirakan berdasarkan penampilan dan bentuk fisik. Data yang tersedia juga kerap tidak memiliki kategori mengenai umur anak, kondisi migrasi, durasi penahanan, dan lokasi penahanan.

Namun, kejahatan apa yang telah dilakukan oleh anak-anak di bawah umur ini? Menurut hukum imigrasi Malaysia, siapapun bisa ditahan tanpa surat perintah dan hanya atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut telah masuk dan tinggal di wilayah Malaysia tanpa dasar hukum.

Di mata hukum yang hanya bisa melihat hitam dan putih, jika seseorang memasuki wilayah Malaysia dan tinggal di sana tanpa izin, orang tersebut pertama-tama diklasifikasi sebagai Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Status ini disematkan tanpa pandang bulu, tidak peduli apakah orang tersebut merupakan anak di bawah umur atau orang dewasa, pengungsi seperti Zay, korban penyiksaan, atau orang dengan disabilitas atau penyakit serius. Istilah tersebut mengacu pada orang asing yang tidak terdokumentasi, telah berevolusi menjadi istilah yang menghina dan merendahkan akibat implikasi berkepanjangan yang muncul akibat penahanan, putusan pengadilan, atau deportasi. 

Pengecualian diberikan jika orang tersebut bisa segera membuktikan bahwa ia merupakan korban perdagangan manusia. Ia akan langsung mendapat perlindungan hukum dan diantar ke tempat singgah korban perdagangan manusia. Akan tetapi, hal ini cukup sulit untuk dilakukan karena mekanisme pemeriksaan korban di Malaysia tidak konsisten dan tidak efektif.

Selama di pusat tahanan imigrasi, tidak ada batasan waktu seberapa lama seseorang bisa ditahan. Durasi penahanan seseorang tergantung pada beberapa faktor, salah satunya adalah kebijaksanaan para petugas serta negosiasi deportasi Kementerian.

Praktik ambigu ini juga berarti anak-anak dan orang dewasa tanpa kewarganegaraan, orang-orang yang tidak memiliki negara untuk pulang, seperti Rohingnya, harus terkurung berbulan-bulan atau bertahun-tahun di pusat-pusat tahanan.

Kekuasaan besar yang dipangku otoritas imigrasi berarti cerita-cerita penderitaan seperti Zay yang harus mengambil risiko besar dalam mencari suaka hanyalah satu dari banyak kenyataan migrasi yang dihadapi anak-anak di pusat tahanan Malaysia.

Sekilas, Zay bisa dikategorikan sebagai seorang pengungsi karena ia adalah seseorang yang terpaksa kabur ke negara lain akibat rasa takut akan dipersekusi, dalam hal ini oleh militer Myanmar, karena etnisitasnya atau kelompok masyarakatnya. Menghadapi ancaman yang membahayakan kehidupannya akibat identitasnya, ia tidak bisa mencari perlindungan dari pemerintahnya atau pulang ke negaranya.

Pada saat artikel ini ditulis, Zay masih menunggu pengakuan statusnya sebagai pengungsi oleh Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Namun, pengakuan tersebut bisa jadi tidak berguna karena hukum imigrasi Malaysia dan para penegak hukumnya tidak mengakui pengungsi atau melindungi mereka dari penahanan. Organisasi antarpemerintah ini juga telah berkali-kali ditolak masuk ke pusat tahanan sejak 2019. 

Dengan kata lain, pengungsi anak seperti Zay, yang bisa jadi kabur dari wilayah yang tercabik konflik seperti Myanmar, Pakistan, Somalia, Afghanistan, Syria, atau Yemen, hidup dalam bayang-bayang risiko ditangkap dan dikirim ke pusat tahanan. Lebih dari 25% dari 180.000 pengungsi dan pencari suaka yang diakui UNHCR di Malaysia adalah anak-anak di bawah umur 18 tahun.

“Aku takut sekali,” ujar Zay, mengenang saat ia ditangkap ketika ada penggerebekan di tempat kerjanya. Sebagai anak tanpa pendamping, ia tidak punya pilihan selain bekerja sebagai tenaga ilegal untuk memenuhi kebutuhannya. Walau ia telah menunjukkan dokumen yang memperlihatkan usianya kepada petugas, ia tetap diseret ke truk dan dikirim ke pusat tahanan.

Ia dijebloskan ke pusat tahanan imigrasi selama 11 hari dan kemudian dipindahkan ke pusat tahanan lain selama lebih dari sebulan. Walau ia adalah seorang remaja, ia dipaksa tidur di bangsal berukuran 20 x 8 meter bersama 50 hingga 70 laki-laki —dewasa dan anak-anak— yang asing baginya.

Di pusat-pusat tahanan Malaysia, anak-anak dan keluarga ditempatkan di gedung yang sama. Mereka yang di bawah umur 12 tahun biasanya ditahan bersama orangtuanya, biasanya bersama ibunya. Namun, ketika anak laki-laki berulang tahun ke 13, mereka akan ditempatkan bersama para laki-laki dewasa. Jika anak tersebut tanpa pendamping, seperti Zay, mereka akan ditempatkan di tahanan berdasarkan gender bersama orang-orang dewasa yang asing bagi mereka.

“Aku bisa tidur di dipan kayu, tetapi badanku akan habis digigit serangga penghisap darah,” ujar Zay, menjelaskan masalah tidurnya. “Aku bisa tidur di lantai, tapi dingin sekali.”

Selain pengungsi, ada juga anak-anak tanpa kewarganegaraan, anak-anak pekerja migran, dan kemungkinan, anak-anak korban perdagangan manusia yang tidak teridentifikasi di pusat-pusat tahanan Malaysia.

Anak-anak tanpa kewarganegaraan adalah anak-anak yang lahir di Malaysia atau di negara lain yang tidak memiliki kebangsaan maupun status kewarganegaraan dari negara mana pun. Kaum Rohingnya termasuk dalam kategori ini karena mereka menghadapi derita ganda: ditolak status kewarganegaraannya sekaligus menghadapi persekusi agama dan etnis dari negara Myanmar. Sejumlah orang Suriah dan Palestina juga bisa dianggap sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan karena mereka menghadapi pergulatan kewarganegaraan.

Demikian pula, terdapat laporan yang menunjukkan bahwa ada anak-anak tanpa kewarganegaraan yang lahir di Malaysia yang juga dijebloskan ke tahanan. Seperti yang sebelumnya telah dilaporkan oleh New Naratif di Documenting the Undocumented, keluarga-keluarga yang lahir di dalam negeri, terutama mereka yang tinggal di Sabah, rentan diseret ke dalam tahanan karena mereka tidak kunjung mendapatkan kewarganegaraan akibat berbagai faktor yang berkelindan, seperti hukum, administratif, dan perilaku diskriminatif.

Salah satu kejadian yang menarik banyak perhatian terjadi tahun lalu ketika otoritas imigrasi menahan anak-anak tanpa kewarganegaraan yang lahir dari penduduk tetap Malaysia dari Indonesia: anak perempuan mereka yang telah dewasa dan tiga anaknya. Ditahan di pusat tahanan Bukit Jalil dan dijadwalkan untuk dideportasi ke Indonesia, keempat tahanan tersebut berhasil memperjuangkan kebebasan mereka dengan membawa kasus tersebut ke Pengadilan Tinggi, yang menyatakan bahwa perintah penahanan dan deportasi tidak sesuai hukum, salah satunya karena otoritas imigrasi gagal membuktikan bahwa para tahanan tersebut bukan orang Malaysia. 

Menurut hukum, anak-anak penduduk tetap harusnya memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Malaysia, tetapi keempat tahanan dianggap tanpa kewarganegaraan akibat kesalahan administrasi di akta kelahiran ibunya—nama kedua orangtuanya tidak sesuai dengan nama asli mereka. Kesalahan ini terjadi karena agen yang mereka mintai tolong tidak familiar dengan proses registrasi.

Sama halnya, penahanan juga membuat anak-anak pekerja migran yang masuk ke dalam wilayah Malaysia secara tidak reguler, yang visa kerja sementaranya telah kadaluarsa, bukan karena kesalahan mereka, tetapi karena masalah birokrasi, finansial, atau masalah-masalah seputar hubungan pekerja dan pemberi kerja. Anak-anak ini bisa jadi anak-anak pekerja migran yang kegiatannya menyokong tumbuh kembang anak-anak Malaysia; di dapur warung-warung mamak atau kedai-kedai kopi tiam, atau di pabrik membuat masker dan sarung tangan medis untuk melindungi warga dari penyakit. 

Setiap saat, pusat tahanan juga bisa saja sedang memenjarakan anak-anak yang dijadikan budak seks akibat perdagangan manusia, atau penyintas kekerasan seksual, yang tidak segera mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Hal ini terjadi akibat penegak hukum tidak secara proaktif dan cepat mengidentifikasikan penyintas perdagangan manusia, atau menyadari kerentanan seseorang ketika terjadi penggerebekan dan penahanan. Penegak hukum hanya berpatokan pada “pembuktian identitas” korban: proses yang sulit dan hampir tidak mungkin dilakukan oleh anak kecil jika mereka menghadapi trauma luar biasa, tidak memahami hukum dan adat Malaysia, atau tidak bisa berbicara bahasa Melayu atau Inggris.

Walau kenyataan migrasi yang dihadapi anak-anak dalam tahanan terasa kontras atau saling tindih, tidak peduli apakah mereka pengungsi, migran, anak-anak tanpa kewarganegaraan, atau penyintas perdagangan manusia, kita tidak boleh lupa bahwa mereka, utamanya, adalah anak-anak yang seharusnya berada dalam lindungan rumah, sekolah, tempat bermain yang aman—bukan di dalam penjara.

Rugi Tiga Kali

Tahanan imigrasi, yang secara resmi dikenal sebagai “depot” atau gudang, melukai anak dan keluarganya serta masyarakat.

Kerugian Fisik:
Kematian dan Pengabaian

Ilustrasi oleh Xiao Ming Tang

Lili*, seorang pengungsi Burma berusia dua puluhan, tidak sabar ingin berkumpul kembali dengan dua adik lelakinya. Ia menceritakan tentang penderitaan yang harus ditanggung adik-adiknya yang kini berusia remaja, yang saat ini mendekam dalam tahanan. Kedua kakak beradik itu kabur dari wajib militer karena ingin melanjutkan SMA. Namun na’as, mereka malah ditangkap di dekat perbatasan Thailand dan Malaysia.

“Mereka tidak diberi cukup makan, mereka kurus sekali,” ujar Lili, yang bekerja sebagai penata rambut demi menjadi tulang punggung keluarga, menceritakan pengalamannya mengunjungi adik-adiknya di pusat tahanan. Kedua adiknya tidak banyak mengeluh selama kunjungan singkat 15 menit itu. Mungkin karena mereka tidak mau membuat kakak perempuannya khawatir. Namun, hanya dengan melihat keadaan kedua adiknya yang kini ceking dan ringkih membuat Lili tak kuasa menahan tangis.

“Ketika dibawa ke pengadilan, mereka diborgol,” tambahnya, menceritakan kesedihannya melihat kedua adiknya digiring seperti penjahat. “Borgolnya ketat dan membuat tangan mereka sakit.”

Tidak ada informasi lengkap tentang infrastruktur, protokol, dan kondisi di gedung-gedung pusat tahanan Malaysia, akan tetapi organisasi-organisasi hak asasi manusia, media massa, dan para aktivis merekam kondisi rutan yang amat kotor, penuh sesak, dan brutal. Memaksa anak laki-laki tinggal di gedung yang sama dengan laki-laki dewasa dalam keadaan seperti itu meningkatkan risiko kekerasan.

Dr Hartini Zainudin, pendiri organisasi hak anak Yayasan Chow Kit (YCK), mengenang bau busuk dan pemandangan mengerikan yang ia lihat di sebuah depot saat ia melakukan kunjungan di tahun 2014. Kunjungan itu benar-benar menggerus hatinya, membuatnya tergerak untuk mulai menuntut dihentikannya praktek penahanan anak.

“Saya menangis,” ujar advokat tersebut. Ia mendeskripsikan gedung di mana laki-laki dewasa dan remaja ditempatkan bersama di tempat yang ia gambarkan seperti “kandang sapi” dan “ruangan dengan lantai lumpur”. 

“Baunya tidak tertahankan. Saya tidak pernah membayangkan ada bau seperti itu. Dan kemudian terlintas di pikiran saya, inilah bagaimana mereka hidup. Ini yang kau lakukan pada mereka berbulan-bulan.”

“Ada pintu yang memisahkan tahanan yang sakit dengan yang tidak sakit. Tidak ada tempat tidur. Para tahanan harus menggilir waktu tidur. Siapa yang berdiri? Siapa yang duduk? Siapa yang tidur?”

Dengan label Kelas A, rumah tahanan ini dianggap standar tertinggi oleh Pemerintah Malaysia pada saat itu.

Kematian di balik jeruji juga makin sering terjadi. Sejumlah 568 orang, termasuk tujuh anak, meninggal di pusat tahanan Malaysia di rentang 2014 dan pertengahan 2022.

Angka kematian resmi tahun lalu adalah 153, sesuai dengan total kematian imigrasi yang dihitung di antara 2016 dan 2019. Tanpa adanya fasilitas kesehatan yang layak, penyakit menjadi salah satu penyebab kematian di dalam tahanan: keracunan bakteri, tuberkulosis, paru-paru basah, komplikasi jantung, demam berdarah, diabetes, sesak napas, kegagalan organ, dan Covid-19.

Koalisi Buruh Migran Berdaulat, sebuah koalisi dari berbagai LSM Indonesia, merilis laporan “Seperi di Neraka”, yang mencatat bahwa 149 tahanan berkewarganegaraan Indonesia wafat di lima pusat tahanan Sabah dalam kurun 18 bulan di antara Maret 2021 hingga Juni 2022. Setelah mewawancarai 100 orang terdeportasi yang pernah dijebloskan ke dalam rutan-rutan ini, koalisi menyimpulkan bahwa ada kekejaman berat, pengabaian, dan penyiksaan di pusat-pusat tahanan Sabah—perlakuan serta kelambanan yang membuat para tahanan tidak dapat menerima layanan kesehatan yang sebenarnya bisa menyelamatkan nyawa mereka.

Akan tetapi, koalisi tersebut juga bertemu seorang anak yang lahir di Depot Papar di Sabah. Bocah tersebut berusia 4 tahun ketika ia akhirnya dideportasi. Mereka juga menemukan banyak bayi lain yang lahir di balik jeruji. Tak satu pun di antara mereka yang memiliki akta kelahiran. Rata-rata, tahanan Indonesia terkurung 3-6 bulan di rutan-rutan Sabah ini.

Menanggapi kematian-kematian tersebut, Hamzah Zainudin, Menteri Dalam Negeri yang menjabat saat itu, mengatakan: “Jika saya bisa meramal bahwa seseorang sebentar lagi akan mati, sehingga saya bisa mencegahnya dijebloskan ke rutan, berarti saya ini orang sakti. Kadang-kadang orang sedang jalan-jalan saja bisa mati, tidak perlu masuk depot untuk membuat orang meninggal. Seharusnya ini jangan terlalu dipermasalahkan.”

Kerugian Psikologis:
Menggores Luka di Batin Anak

Ilustrasi oleh Xiao Ming Tang

Kematian, kebobrokan, dan keadaan serba berkekurangan adalah realitas yang harus dihadapi di dalam rutan. Namun kita tidak boleh lupa akan akibat jangka panjang yang mempengaruhi perkembangan psikis anak akibat kekejaman di balik jeruji.

Dr Hartini Zainudin mengkhawatirkan “pengkondisian” kekejaman yang bisa berakibat buruk pada anak: rutan-rutan ini bisa mengubah sikap seseorang secara dramatis, serta cara pandang mereka terhadap dunia. Di kunjungannya di tahun 2014, ia melihat perempuan dewasa dan anak-anak dibariskan. Mereka diperintahkan untuk tidak membuat kontak mata dengan pengunjung dan harus terus menunduk.

“Jadi saya bertanya, mengapa mereka harus selalu melihat ke bawah? Mereka bilang mereka tidak bolah melakukan kontak mata denganmu. Tidak sopan. Demikianlah cara mereka mengkondisikan orang-orang ini. Mereka dikurung di sana dua tahun. Mana mungkin tidak ada imbasnya?” tekannya.

Walau perkembangan kecil telah dibuat dalam beberapa tahun di pusat-pusat tahanan—contohnya, petugas imigrasi di lima dari dua puluh pusat tahanan kini menyediakan kelas untuk anak-anak secara sukarela—kebebasan anak tetap terenggut, tidak peduli seberapa baik kondisi tempat tahanan atau seberapa singkat durasi tahanan tersebut. Hal ini memperburuk kondisi kesehatan serta menciptakan masalah fisik dan psikis baru. Luka yang tertoreh ini akan terus menyakiti dalam jangka panjang: keterlambatan perkembangan berbahasa, kesulitan regulasi emosi, gangguan stres pascatrauma, mimpi buruk berkepanjangan, dan keinginan bunuh diri.

Bahkan setelah dewasa, Angel*, yang dulunya adalah pengungsi anak dari Myanmar, terus membayangkan pengalaman mengerikannya sebagai penyintas tahanan anak di Malaysia. Ia memberikan narasi pribadinya kepada End Child Detention Network (ECDN) sebagai berikut:

“Hingga hari ini, aku masih mendapatkan mimpi buruk tentang pengalamanku di tahanan. Aku terbangun tengah malam karena ketakutan, dan membuatku sulit tidur.”

“Aku terus-menerus dilanda ketakutan bahwa aku akan kembali diseret ke tahanan dan harus kembali menjalani pengalaman buruk dalam kamp. Aku selalu ketakutan setiap kali aku melihat polisi. Kenangan-kenangan itu melintas di kepalaku dan aku jadi sesak napas.”

Ditahan ketika ia masih 17 tahun, Angel dipaksa telanjang dan melakukan 30 loncat jongkok, menyantap makanan yang bercampur tahi tikus dan daging ayam tidak matang yang masih berdarah, serta menahan sakit akibat tamparan dan berbagai hukuman fisik di dalam rutan.

Ahmed*, tadinya pengungsi anak dari Suriah, menyampaikan kepada ECDN bagaimana ia hampir bunuh diri ketika masuk tahanan di umur 14 di tahun 2014. 

“Jika ada pisau atau tali tambang di dekatku, aku pasti telah menggunakannya untuk bunuh diri,” ucap Ahmed. “Tapi Tuhan mengawasiku dan melindungiku dari melukai diri sendiri.”

Kekejaman di pusat-pusat tahanan imigrasi mempertaruhkan hidup, keamanan, dan masa depan anak di ujung tanduk, membuatnya bukan tempat yang tepat untuk anak-anak.

Kerugian Sosial:
Mengganggu Hubungan Anak dengan Dunia Luar

Ilustrasi oleh Xiao Ming Tang

Masa tahanan tidak hanya berisiko menghancurkan dunia batin anak, tetapi juga meretakkan relasi mereka dengan dunia luar, terutama keluarga dan masyarakat. 

Dalam laporan Dewan Pengungsi Denmark (DRC) dan Koalisi Tahanan Internasional (IDC) mengenai akibat jangka panjang penahanan pada dunia sosial para tahanan Rohingnya di Malaysia, kami mempelajari bahwa ketika seorang anak diseret ke tahanan, masyarakat dan keluarga juga terkena imbasnya. Hal ini bisa mengakibatkan iklim ketakutan berkepanjang, gangguan tali kekerabatan, dan lingkungan yang dikungkung kebingungan serta keputusasaan.

“Komunitasnya pun membeku,” peneliti IDC mendeskripsikan akibat yang dirasakan komunitas pengungsi Rohingnya ketika terjadi penggerebekan imigrasi. 

“Tidak ada yang berani keluar, bahkan tidak ada yang berani ke berangkat ke sekolah, pergi bekerja, atau berobat ke klinik.”

Ancaman penahanan yang membayangi anak-anak dan orang dewasa menghambat pergerakan komunitas yang akhirnya menghentikan pendidikan, menghambat penghidupan, pengobatan, serta memutus tali silaturahmi.

Laporan DRC dan IDC juga mengatakan bahwa akibat rasa takut yang amat sangat, banyak keluarga Rohingnya yang memilih tidur di hutan untuk menghindari penangkapan. Keluarga yang lain memilih untuk terus berlari, berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu negara ke negara lain, untuk melindungi diri mereka dari penahanan—keputusan yang kerap kali membuat orang-orang ini senantiasa hidup dalam ketidakpastian.

Laporan ini juga merekam rusaknya hubungan orangtua-anak akibat penahanan. Di satu kasus, satu keluarga Rohingnya-Indonesia harus tercerai-berai akibat penangkapan. Otoritas imigrasi menahan ketiga anggota keluarga, tetapi kemudian hanya melanjutkan penahanan atas sang ayah yang seorang Rohingnya, sementara ibu dan bayinya dideportasi ke Indonesia.

“Pemutusan tali hubungan keluarga menyebabkan distorsi [di benak anak] mengenai siapa orangtua dan keluarga mereka,” catat penulis tentang efek separasi anak dengan orangtuanya.

Akibat praktik detensi yang serba tidak pasti, rasa tidak aman dan minim informasi pun muncul. Penulis IDC juga menyebutkan bahwa penahanan menciptakan lingkungan yang “penuh kebingungan, serba berkekurangan, dan dirundung keputusasaan”. 

Para orangtua menyebutkan bahwa penahanan anak-anak mereka membuat mereka menanggung “rasa pedih yang amat sangat” —yang bahkan sampai menyebabkan masalah kesehatan seperti darah tinggi.

Para suami atau istri juga menceritakan bahwa mereka terbayang-bayang pikiran-pikiran traumatis tentang pasangan atau anak-anak mereka yang tersiksa dalam tahanan, yang akhirnya menghambat pekerjaan mereka atau membuat mereka sulit tidur.

Kerugian Fiskal:
Haruskah Kita Membayar Ongkos Penjara Anak?

Pemenjaraan tidak hanya membawa kerugian bagi kemanusiaan—kehidupan, keamanan, dan masa depan anak serta kehidupan sosialnya—namun juga menjadi beban pembiayaan bagi para pembayar pajak.

Walau pemerintah gagal menyajikan data yang terstandar, rapi, dan komprehensif seputar penahanan, peneliti dapat menghitung ongkos yang digelontorkan untuk membiayai praktek ini berdasarkan informasi-informasi yang tercecer dalam debat parlemen serta laporan jurnalistik dalam beberapa tahun terakhir.

Di tahun 2018, Wakil Direktur Imigrasi saat itu menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan RM 80 (Rp 270.000) per tahanan per hari. Angka ini dihitung dengan menjumlahkan ongkos tempat tinggal, kebutuhan rutin, serta penyediaan makanan. Di tahun 2019, Mendagri mengungkapkan bahwa ongkos harian sebenarnya adalah RM 30 (Rp 100.000), walau tidak jelas apakah perhitungan ini turut menyertakan biaya-biaya tidak langsung. Di tahun 2020, Wakil Mendagri memperkirakan bahwa pemerintah mengeluarkan RM 90 (Rp 300.000) untuk ongkos tinggal dan makan para tahanan imigrasi per hari. Memperhatikan ini semua, kami mengestimasi bahwa biaya penahanan bagi tiap tahanan per harinya adalah RM 30 – RM 90.

Dengan asumsi bahwa Malaysia menahan 1.300 anak di balik jeruji sepanjang tahun, bisa dihitung bahwa penjara anak membebani wajib pajak kurang lebih RM 1,2 – R.M 3,5 juta per tahun (Rp 4 miliar – Rp 11,5 miliar) atau RM 14 – RM 42 juta per tahun (Rp 46 miliar – Rp 138,5 miliar). Ini di luar biaya operasional yang harus digelontorkan untuk membiayai operasi imigrasi yang menggerebek anak-anak beserta keluarganya. Sebagai gambaran, RM 42 juta kira-kira setara dengan biaya median 140 rumah pribadi di Malaysia atau 1.200 rusun murah di Malaysia Barat. 

Dalam perhitungan ini ada dua asumsi: (a) biaya penahanan perorangan baik untuk dewasa dan anak dianggap sama saja. (b) Karena angka resmi tahanan anak selalu berubah-ubah antara 500-1.700 selama 11 tahun belakangan, saya menggunakan angka rata-rata anak yang ditahan per tahun (1.300) untuk memperkirakan biaya harian, bulanan, dan tahunan.

Mengakhiri Praktek Penahanan Anak:
Pilihan Selain Penjara

Perhitungan ongkos fiskal ini mendukung dugaan berbagai riset yang menyatakan bahwa praktik penahanan sungguh tidak masuk akal jika dilihat dari kacamata finansial. Terlebih lagi, ada banyak alternatif yang bisa dipilih pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan hukum migrasi dengan cara yang lebih manusiawi, efektif, dan murah jika dibandingkan dengan penangkapan dan penahanan.

Pilihan Selain Penahanan (Alternatives to Detention/ATD) didefinisikan oleh IDC sebagai “segala produk hukum, aturan, atau praktik di mana seseorang tidak ditahan untuk alasan-alasan yang berhubungan dengan status migrasinya”. 

Skema ATD telah diimplementasikan di berbagai wilayah di dunia dengan berbagai bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan negara tersebut: skema bantuan penempatan komunitas, skema penjamin, skema kependudukan, atau kombinasi dari semuanya. ATD bisa menjadi akhir yang paripurna dan tanpa syarat bagi pemenjaraan anak. Skema ATD bisa dioperasikan dengan prinsip bahwa penjara imigrasi adalah upaya ekstrim yang hanya akan dilakukan jika tidak ada pilihan lain, serta hanya diberlakukan dalam periode singkat atau tidak perlu dilakukan sama sekali. Penghentian praktik pemenjaraan ini tidak hanya untuk tahanan anak atau untuk satu kelompok migrasi saja.

Skema-skema ATD dianggap lebih manusiawi. Jika diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, ATD bisa mencegah timbulnya masalah perorangan dan komunitas yang muncul ketika anak direnggut dari keluarganya. Selain itu, berbagai studi juga memperlihatkan bahwa ATD lebih murah dan lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan pengaturan migrasi.

Di tahun 2019, Lighthouse Partnerships, firma konsultasi yang fokus di isu-isu migrasi, melakukan studi independen untuk membandingkan potensi biaya yang mungkin muncul ketika mengimplementasikan ATD di Malaysia. Kalkulasi ini dilakukan dengan menghitung ongkos pemenjaraan yang telah diketahui saat ini dengan mengevaluasi penempatan komunitas dan program manajemen kasus (CPCM) di bawah Suara Kanak-Kanak (SUKA), NGO yang berfokus pada hak dan kebutuhan anak. Sejak 2015, program tersebut menyediakan program pengasuhan, program kekerabatan, atau program hidup mandiri bagi anak-anak tanpa pendamping dan anak-anak terpisah.

Dengan CPCM sebagai contoh ATD, para peneliti menemukan bahwa di 2018 program ini hanya menghabiskan RM 8,83 (Rp 30.000) per orang per hari untuk membayar kebutuhan rutin, tempat tinggal, dan makan di bawah program SUKA. Ini artinya program tersebut 90% lebih murah daripada RM 80 (Rp 270.000) yang dibayarkan pemerintah per kepala per hari untuk pengeluaran yang sama di penjara dalam tahun yang sama.

Temuan ini juga konsisten dengan berbagai studi di seluruh dunia yang menemukan bahwa ATD lebih murah 80-90% daripada penjara. 

Sayangnya, alternatif ini bukan tanpa kekurangan. Skema ATD yang berhasil kerap kali melibatkan komponen manajemen kasus dengan berbagai aktor yang berbeda—pekerja sosial, tokoh sipil, pemimpin komunitas, serta staf khusus dari otoritas imigrasi. Akan tetapi, aktor-aktor yang berbeda ini kerap memiliki pandangan yang berbeda pula mengenai apa yang terbaik bagi anak dan keluarganya, sehingga apa yang mereka lakukan, pikirkan, dan atur menjadi tidak terintegrasi. ATD yang dilakukan dengan sungguh-sungguh seharusnya melibatkan kolaborasi yang cerdas dan penuh perhitungan.

Dengan demikian, skema ATD bisa lebih sesuai dengan syarat-syarat migrasi—contohnya, ketika seseorang diminta meninggalkan wilayah negara tersebut atau mengambil dokumen tertentu. Perkara ini menjadi lebih mudah karena skema ini menciptakan lingkungan yang penuh rasa percaya dan transparan di antara orang-orang yang bermigrasi, otoritas imigrasi, dan manager kasus. Hal ini membuat transfer pengetahuan mengenai norma-norma sosial dan legal di negara tersebut menjadi lebih lancar, yang akhirnya menguntungkan semua pihak.

Di era pasca-pandemi, ketika sumber daya publik menipis dan menyusut, pertanyaan pun muncul bagi para wajib pajak di Malaysia: Yang mana yang lebih baik, menginvestasikan uang dan sumber daya untuk praktek yang menimbulkan kerugian dan trauma bagi anak-anak dan komunitasnya, atau investasi pada alternatif yang lebih manusiawi dan murah, yang bisa mencegah kerusakan jangka panjang pada anak sembari tetap memenuhi tujuan-tujuan pengaturan migrasi Malaysia?

Tidak peduli bagaimana atau mengapa anak-anak ini terdampar di Malaysia, penjara imigrasi bukan tempat bagi mereka. Gedung-gedung pusat tahanan tidak hanya menimbulkan luka batin dan sosial bagi anak-anak ini, namun juga mengeringkan uang rakyat. Padahal, dana itu bisa dialirkan untuk program-program yang melindungi dan mengembalikan keceriaan masa kanak-kanak.

Maka penting lah untuk menggarisbawahi bahwa tidak ada anak yang sengaja memilih untuk menjadi orang tanpa dokumen yang terjebak hukum migrasi suatu negeri asing. Ada kekuatan yang lebih besar yang memaksa mereka untuk memasuki, berdiam, atau menetap di wilayah tersebut.

Kekuatan ini bisa berupa kekuatan kapital atau perdagangan manusia dalam kasus pekerja anak, atau birokrasi yang berbelit-belit atau diskriminasi dalam kasus anak-anak tanpa kewarganegaraan, atau peperangan di kasus pengungsi, seperti Zay atau adik-adik Lili.

Kemudian apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia dan tokoh-tokoh masyarakat sipil di beberapa tahun terakhir untuk mengubah realitas anak yang terdampar—untuk menghentikan praktek penahanan anak? Apa tantangannya? Apa yang harus dilakukan untuk melindungi anak tanpa memandang status migrasi mereka?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, silakan baca artikel Penjelasan II.

Apa yang bisa dilakukan pembaca?

Janji politis Menteri Dalam Negeri membawa harapan bahwa perubahan bisa dilakukan, namun kita harus tetap waspada janji ini tidak akan segera terwujud. Nyatanya, perubahan yang berkelanjutan dan berorientasi pada perlindungan untuk anak, apapun status migrasinya, akan bergantung pada apakah pembaca yang peduli, masyarakat sipil, dan pejabat pemerintah bisa mengakui adanya defisit demokrasi serta tetap mengangkat isu ini dalam rangkaian reformasi sosio-politis. Perubahan di Thailand terjadi karena masyarakat sipil lokal, regional, dan global bersatu-padu secara berkelanjutan, demokratis, dan berstrategi untuk menekan pemerintah Thailand. 

Pembaca dapat mengambil langkah konkret untuk memupuk pengetahuan, mendorong pergerakan, dan merekatkan solidaritas seperti berikut ini:

Memupuk Pengetahuan:
Membangun kesadaran kolektif

  • Mencari tahu seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Kami telah menyertakan peta pembelajaran yang bisa digunakan untuk memperdalam pengetahuan tentang isu pemenjaraan dan perlindungan anak. Dengan memperdalam pengetahuan tentang hal ini, kita sekaligus akan menghalau bias dan miskonsepsi seputar isu pemenjaraan anak untuk pelanggaran imigrasi.
  • Melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai kebijakan dan program pemerintah di masa lalu, masa kini, dan masa depan, yang mengatur nasib semua anak, tidak peduli status migrasinya.
  • Membangun ruang untuk belajar dan berdialog mengenai isu-isu ini di sekolah, universitas, ruang kerja, dan tempat ibadah.
  • Menyelenggarakan sesi baca dengan artikel-artikel tentang pemenjaraan anak dan sumber-sumber terkait lain untuk menyemai benih dialog, debat, dan percakapan yang demokratis.
  • Ambil kelas Akhiri Penjara Anak oleh Koalisi Tahanan Internasional. 


Mendorong Pergerakan:
Terus desak isu ini dalam agenda politis

  • Sebarkan artikel-artikel mengenai pemenjaraan anak lewat media sosial termasuk grup WhatsApp. 
  • Suarakan tentang kejahatan penjara anak lewat media sosial, termasuk grup WhatsApp.
  • Membuat karya seni, musik, tulisan, video singkat, atau film untuk mengekspresikan pemikiranmu mengenai isu penjara anak.
  • Bagikan idemu tentang upaya perlindungan anak yang “buta-status” namun “melek-realita” ke Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution lewat Instagram atau email [email protected] dan Menteri Perempuan, Keluarga, dan Pengembangan Komunitas Nancy Shukri lewat Instagram atau email [email protected] 
  • Desak wakil rakyat yang duduk di tingkat negara bagian dan federal kemudian tanyakan apa yang mereka lakukan untuk melindungi anak apapun status migrasinya. Komik New Naratif, Who You Gonna Call? MPs, ADUNs, and Local Councillors in Malaysia, bisa menjadi panduan yang berguna di sini.
  • Jika kamu adalah pekerja media, berhati-hatilah ketika kamu membuat laporan tentang penggerebekan atau penahanan imigrasi. Lontarkan pertanyaan yang sulit kepada pemangku kuasa: Siapa yang ditahan? Ke mana mereka dibawa? Sampai seberapa lama? Mengapa mereka ditahan? Jika ada migran tanpa dokumen, tanyakan mengapa mereka bisa tidak memiliki dokumen? Selain itu, ketika menulis berita seputar isu ini, jangan gunakan istilah yang menghina para migran, terutama istilah Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Dalam tulisanmu, garis bawahi status kerentanan mereka, juga keberagaman realitas migrasi, gender, dan usia yang dihadapi para tahanan.

Merekatkan Solidaritas:
Dukung upaya masyarakat sipil yang sedang berlangsung

  • Utarakan narasi berbasis nilai dan narasi payung besar yang dapat menggalang dukungan dari berbagai segmen masyarakat di seputar isu migrasi. Baca tujuh elemen kunci untuk membangun narasi berbasis hak asasi manusia seputar migran dan migrasi.
  • Jika kamu punya kemampuan finansial dan kognitif, menyumbanglah atau terlibatlah untuk organisasi yang dijalankan oleh pengungsi atau migran. Lihat bagian “Get Involved” dalam website organisasi yang disebutkan dalam artikel ini: Suka Society dan Yayasan Chow Kit
  • Jika kamu memimpin organisasi yang dapat membantu upaya mengakhiri penjara imigrasi, kamu bisa mendaftar untuk menjadi bagian jaringan Koalisi Tahanan Internasional.
Peta pembelajaran

Jika kamu baru tahu sedikit tentang isu pemenjaraan anak atau perpindahan manusia, saya merekomendasikan untuk pertama-tama membaca tentang pengalaman hidup anak-anak dalam penjara. Kamu bisa mulai dengan membaca pengalaman dan narasi Ahmed dan Angel, mantan napi anak di Malaysia. Untuk melengkapinya, kamu bisa membaca laporan Koalisi Tahanan Internasional dan Dewan Pengungsi Denmark mengenai dampak penjara imigrasi lewat perspektif pemimpin Rohingnya (Section 7, p.13 – 21). 

Bab 2 dan 4 dari laporan Tahanan Anak 2012 oleh IDC, yang berbicara tentang mengapa anak-anak bermigrasi serta kondisi rumah tahanan menampilkan testimoni dari anak-anak yang terdampar di Malaysia. Jika kamu ingin menilik pengalaman di Sabah, bacalah Seperti di Neraka: Kondisi Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia. Baca juga artikel Aime Marisa yang diterbitkan New Naratif yang berjudul Documenting the Undocumented: The Struggle for a Legal Identity

Setelah membaca cerita-cerita pengalaman ini, kamu bisa membaca artikel ringkasan singkat oleh Karen Zwi tentang kerugian fisik dan mental yang diderita anak akibat pemenjaraan. Artikel akademis mengenai topik yang sama bisa ditemukan di sini, di sini, dan di sini.

Jika yang kamu cari adalah solusi, kamu mungkin ingin membaca buku saku IDC terbitan 2015 mengenai pilihan selain penahanan (ATD) untuk mencegah pemenjaraan imigrasi yang tidak perlu. Buku saku ini bisa dibaca bersamaan dengan IDC Annex document mengenai langkah-langkah ATD yang diambil oleh Malaysia (p.29-34) dan negara-negara lain di wilayah Asia Pasifik. Ketika membicarakan solusi, amat penting untuk mempertanyakan apakah penangkapan dan penahanan sebagai kebijakan pencegahan memang berhasil mencapai tujuan keamanan negara yakni mengendalikan migrasi tanpa dokumen. Artikel IDC terbitan tahun 2015, Does Detention Deter? bisa memantik diskusi seputar topik tersebut. 

Jika ingin menyelami isu ini lewat kacamata hukum, kamu bisa menelusuri komitmen dalam dan luar negeri Malaysia untuk melindungi anak apapun status migrasinya. Di dalam negeri, kamu bisa menengok UU Anak tahun 2001 (Preambule, Pasal 17, Pasal 55, dan Pasal 84). Ringkasan berita tentang putusan Pengadilan Tinggi tentang kewajiban pemerintah dalam UU Anak untuk melindungi semua anak apapun status migrasinya bisa dilihat di sini. Untuk komitmen internasional, baca dokumen yang menunjukkan bahwa pemerintah Malaysia telah menandatangani Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN 2012 (Pasal 12 dan Pasal 16), Konvensi Hak Anak (Pasal 22), dan Deklarasi Hak Anak dalam Konteks Migrasi (Pasal 9) dan Rencana Aksi Regional

Tentu saja, kamu bisa memperlebar pemahamanmu mengenai isu-isu ini dengan menengok dampak ketiadaan dokumen, ketiadaan kewarganegaraan, dan kehidupan pengungsi kepada akses mereka untuk mendapatkan hak, layanan, dan keamanan. Profesor University of Malaya, Tharani Loganathan, dan tim peneliti menulis artikel akademis mengenai bagaimana ketiadaan dokumen mempengaruhi pendidikan anak. Melati Nungsari dan Nicole Fong menulis laporan SUHAKAM mengenai ketiadaan kewarganegaraan yang juga menjelaskan bagaimana orang-orang tanpa kewarganegaraan lahir di dalam wilayah Malaysia (in situ), atau bermigrasi ke Semenanjung Malaysia, berikut berbagai konsekuensinya yang membahayakan kemanusiaan.

Akhirnya, tontonlah seri film pendek migrasi dan makanan “Dari Dapur”. Seri ini adalah ilustrasi visual yang memperkaya pengetahuan mengenai kehidupan migran dan pengungsi di Malaysia.

Catatan Penulis

Zay*, protagonis dalam artikel Penjelasan I, sadar akan resiko besar yang mengintainya sebagai narasumber dan amat takut untuk berbicara mengenai pengalamannya saat kami pertama kali bertemu. Setelah saya menjelaskan mengenai proyek ini, ia akhirnya setuju untuk berbagi cerita asalkan obrolan itu tidak direkam. Kami juga bekerja bersama untuk menentukan detail-detail mana yang harus disensor demi keamanannya. Saya juga menyerahkan draft artikel pertama kepadanya untuk kemudian kami baca bersama-sama sehingga ia dapat memeriksa apakah tulisan ini mewakilinya dengan baik. Setelah itu, ia mengatakan kepada saya bahwa ia amat bersyukur publik kini bisa tahu dan belajar lebih banyak mengenai isu ini.

Selain Zay, saya juga mewawancarai anggota keluarga tahanan anak, Lili*, DR Hartini Zainudin dari Yayasan Chow Kit, dan tiga wakil organisasi masyarakat sipil lain yang telah berjuang dalam isu penjara anak namun tidak ingin disebutkan demi keamanan. Sumber informasi lain datang dari artikel akademis, masyarakat sipil, dan media massa yang dilengkapi dengan tautan di sepanjang artikel.

Keputusan editorial untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan berbagai informasi dalam artikel ini diambil berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini: (a) pertimbangan untuk melakukan stealth humanitarianism atau misi kemanusiaan rahasia, dalam konteks politis yang dirundung kegentingan. Kita harus menyadari bahwa seringkali sorotan media dan publik malah bisa berdampak buruk terhadap hak-hak dan kehidupan para pengungsi. Hal ini bisa terjadi jika penerbitan informasi tersebut tidak dilakukan secara strategis dan bijaksana sesuai dengan (b) kebutuhan demokratis untuk menciptakan ruang terbuka di mana publik bisa belajar, bergulat, dan mengambil tindakan mengenai isu yang menjadi masalah dalam waktu tersebut. Saya juga amat berterima kasih kepada Koalisi Tahanan Internasional, terutama Hannah Jambunathan, karena telah menyediakan berbagai dukungan dan sumber daya.

Artikel ini ditulis dalam kerjasama dengan Heinrich Böll-Stiftung e.V.

Related Articles

Responses