Queerfobia dalam Ruang Redaksi: Di Balik Berita LGBTQIA+

Media nasional Indonesia lebih banyak memilih untuk tak mempublikasikan isu berkaitan dengan LGBTQIA+. Kalaupun ada, mereka justru turut serta dalam melanggengkan stigma terhadap komunitas queer. Kondisi ini diperburuk dengan sejumlah kebijakan yang melarang pemberitaan LGBTQIA+ hingga mayoritas orang dalam ruang redaksi yang queerfobik.

Artikel ini merupakan bagian dari serial Media Freedom Voices.

Diskriminasi terhadap komunitas LGBTQIA+ terus meningkat seiring Indonesia memasuki tahun politiknya. Mayoritas media massa turut berperan dalam praktik diskriminasi tersebut, baik dalam bentuk pemberitaan maupun perlakuan terhadap pekerja LGBTQIA+.

Tya*, perempuan biseksual jurnalis yang bekerja di televisi nasional sejak 2012, mengatakan bahwa ia kesulitan untuk memproduksi berita terkait LGBTQIA+, baik di kantor lamanya, maupun kantornya sekarang. Media tempat Tya bekerja tak pernah secara terang-terangan menyampaikan larangan tersebut. Namun, setiap ada jurnalis yang menyampaikan ide untuk melakukan liputan LGBTQIA+ dengan sentiman yang positif, ide tersebut pasti ditolak.

“Enggak boleh naik [dipublikasi] dan enggak dikasih tahu alasan dilarang naiknya apa, [sementara] kalau soal pembunuhan oleh pasangan yang kebetulan diduga orientasi seksualnya [bagian dari] LGBT+, itu boleh naik,” ungkap Tya.

Kondisi tersebut membuat Tya enggan untuk membuang tenaga melakukan liputan LGBTQIA+ karena ia tahu bahwa beritanya tak akan dipublikasi. Sebagai jurnalis, Tya pun tak memiliki banyak kewenangan untuk menentukan berita mana yang bisa diliput maupun ditayangkan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga yang berperan mengawasi program penyiaran, turut mempersulit pemberitaan yang merepresentasikan queer lewat aturan atau surat edarannya yang melarang media penyiaran, seperti radio dan televisi, menampilkan muatan yang mengandung LGBTQIA+.

KPI cukup rutin mengeluarkan sanksi dan peringatan terhadap media yang menyiarkan konten LGBTQIA+.

Hasil riset sejumlah organisasi kemanusiaan (2023) menemukan bahwa mayoritas media daring Indonesia menjadi perpanjangan tangan politisi untuk mempublikasikan pernyataan mereka yang anti-LGBT. Contohnya, mayoritas media yang membantu menyebarluaskan pernyataan Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang menyatakan bahwa Medan adalah kota anti-LGBT.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Tya, mayoritas pemberitaan berkaitan dengan LGBTQIA+ yang akhirnya dipublikasikan oleh medianya adalah saat seorang queer melakukan tindakan kriminal. Hal ini juga menjadi gambaran media massa secara umum di Indonesia.

Riset Konde.co (2022) menunjukkan bahwa dalam pemberitaan kasus kriminal, mayoritas media menggunakan polisi sebagai narasumber utama. Jika terduga pelaku kriminal merupakan bagikan dari LGBTQIA+, maka polisi mengaitkan perilakunya dengan identitasnya. Sementara, media sebatas mempublikasikan uapan polisi, tanpa mengkritisi atau melakukan verifikasi ke kelompok LGBTQIA+ atau organisasi pembela hak LGBTQIA+. 

Representasi yang akhirnya dominan di media adalah bagaimana LGBTQIA+ merupakan pelaku kriminal.

Media pun berperan dalam mempromosikan kebijakan yang anti-LGBT dan sering menggunakan diksi yang memperkuat stigma terhadap komunitas LGBT.

Sikap Media terhadap Berita LGBTQIA+

Mayoritas sikap media nasional terhadap isu LGBTQIA+ adalah mengabaikan atau tidak memberikan ruang terhadap isu tersebut, atau secara terang-terangan mempublikasi dan turut menggemakan kebencian atau diskriminasi lewat penggunaan diksi, pemilihan narasumber, hingga penggunaan bingkai beritanya.

Arus Pelangi, organisasi yang mengadvokasi hak LGBTQIA+ di Indonesia, merasakan sikap diskriminasi yang dilakukan media secara langsung. Media daring nasional pernah mewawancarai Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, Echa Wa’ode, tentang LGBTQIA+. Namun, media tersebut justru memanipulasi ucapan Echa dengan memotong kalimatnya, memisahkan dari konteksnya, serta membingkai ulang seolah Echa sepakat dengan anggapan bahwa LGBTQIA+ itu menular dan bisa disembuhkan.

Jurnalis yang mewawancarai Echa terlihat sudah memiliki bias yang negatif terhadap LGBTQIA+. Pasalnya, saat wawancara berlangsung, jurnalis tersebut memposisikan Arus Pelangi sebagai organisasi yang “mempropagandakan” LGBTQIA+ di Indonesia.

Seorang queer jurnalis yang sudah melela (come out) sejak awal bekerja di media, Amahl, menyampaikan bahwa ia jarang dan sulit sekali media yang terbuka dan mau menerima isu queer. Amahl memiliki sejumlah pengalaman tak nyaman saat kantor lamanya turut mempublikasikan berita dengan frasa yang merendahkan LGBTQIA+ dalam judulnya.

“Aku merasa terganggu dan sempat menyatakan ketidaksetujuan aku, tapi karena aku masih baru, jadi aku tidak mau terlalu mempermasalahkan,” kata Amahl.

Kolase oleh E.M. & New Naratif.

Bagaimana pun, Amahl merasa media lamanya tersebut merupakan satu dari segelintir media nasional yang cukup terbuka dengan isu LGBTQIA+ dan cukup ramah dengan pekerjanya apabila dibandingkan dengan media lainnya. Sekali pun, pemberitaan yang berkaitan dengan LGBTQIA+ lebih banyak berakhir dengan perspektif di mana LGBTQIA+ itu posisinya menderita, dan sebagainya.

Pengalaman tersebut Amahl rasakan ketika ia mengulas film Lovely Man (2011) yang bercerita tentang hubungan seorang transpuan dengan anak perempuannya. Tulisan Amahl yang awalnya berfokus pada relasi mereka pun diubah oleh redakturnya dengan perspektif yang berfokus pada penderitaan tokohnya sebagai seorang transpuan.

“Sebenarnya, di film itu, mengangkat tentang dinamika antara orangtua dan anaknya, tapi mediaku saat itu justru mengubah judulnya dengan ‘Suka Duka Seorang Waria’,” kisah Amahl.

Sekali pun terdapat segelintir media massa yang mencoba untuk lebih terbuka dengan isu LGBTQIA+, tetapi mayoritas berita yang dipublikasikan tetap menggunakan perspektif yang cis-heteronormatif.

Pengalaman serupa dialami oleh seorang trans pria jurnalis, Alvi, yang bekerja di media alternatif di Indonesia. Alvi beberapa kali menemui jurnalis atau media yang mencoba mengangkat isu LGBTQIA+ di Indonesia. Namun mayoritas usahanya sebatas “menjual” penderitaan LGBTQIA+.

“Jarang sekali ada media yang mengangkat sisi empowerment-nya. Memang sih, enggak semua, tapi aku beberapa kali bertemu teman jurnalis, apalagi laki-laki cis-hetero, itu sering tanya, ‘kamu tuh penderitaannya apa sih?’” kisah Alvi.

Wakil Pemimpin Redaksi Suara.com, salah satu media daring nasional, Reza Gunadha, mengatakan bahwa pemberitaan LGBTQIA+ sebetulnya tak berdampak negatif apabila dilihat dari perspektif bisnis. Pasalnya, media daring tak dapat lagi bergantung pada penjualan klik dan iklan—yang mana biasanya perlu mempertimbangkan pandangan masyarakat.

“Sekarang justru iklan-iklan dari Google yang basisnya traffic (seberapa banyak orang mendatangi sebuah situ berita) itu justru anjlok semua. Anjloknya parah penghasilan [dari] traffic-nya,” ujar Reza.

Namun, jelas Reza, pemberitaan queerfobik justru berangkat dari perspektif orang-orang dalam redaksinya. Dengan itu, saat ada pemerintah atau aparat negara yang menyampaikan opini yang queerfobik, maka jurnalis tak akan mengkritisinya dan sekedar mempublikasikan ucapan tersebut.

“Misalnya ketika ada razia LGBT yang mengikutsertakan alim ulama, ada beberapa artikel dari Suara.com yang senada dengan perspektif dari official (perwakilan dari pemerintahan) soal itu,” kisah Reza. 

“Saat itu, kita minta editornya untuk ubah angle. Bias-bias yang implisit ini, kita tidak bisa atur. Bias yang disebabkan karena kelas sosial dan edukasi. Jadi kita sulit mengeliminasi hal-hal subjektif dalam artikel jurnalistik mereka,” lanjutnya.

Ekosistem Media yang Queerfobik

Sejumlah kebijakan dan aturan yang ada mendorong peningkatan media yang memberitakan LGBTQ+ dengan penuh stigma dan sentimen negatif. Namun, terdapat faktor lainnya, yakni perspektif mayoritas orang-orang yang ada di ekosistem media, sebagaimana yang disampaikan oleh Reza. Mayoritas orang-orang dalam redaksi media memiliki pandangan yang queerfobik dan turut melanggengkan diskriminasi terhadap LGBTQIA+.

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) secara rutin menggelar pelatihan isu keberagaman untuk di mana salah satu materinya adalah gender dan seksualitas. Namun, Manajer Program Sejuk, Thowik, mengatakan bahwa mayoritas jurnalis dan media justru menutup diri dari informasi tersebut.

Saat menggelar pelatihan tersebut, Sejuk juga beberapa kali mengalami kendala terkait dengan keamanan acaranya karena adanya penolakan. Dengan itu, Sejuk biasanya mereka tak mempublikasikan lokasi pelatihan ke publik untuk menghindari penolakan atau pembubaran.

“Padahal yang kita bela adalah hak warga negara, yang kami sampaikan adalah kebebasan seorang individu untuk mengekspresikan dirinya. Kita bukan mempromosikan LGBT, tapi kita memperjuangkan hak dari sebagian warga negara yang dirampas dan kebetulan mereka adalah kelompok LGBT+,” tutur Thowik.

A collage art of a child hiding behind images of cameras, justice scales, and rainbow colours.
Kolase oleh E.M. & New Naratif.

Usaha lain yang dilakukan oleh Sejuk dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk mengintervensi masalah pemberitaan LGBTQIA+ adalah dengan mengajukan audiensi pembentukan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman kepada Dewan Pers. Dalam proses pembentukannya, isu LGBTQIA+ menjadi topik yang harus dibahas secara hati-hati.

Thowik masih ingat terdapat salah satu staf Dewan Pers yang menegaskan bahwa Dewan Pers tidak akan mempromosikan kelompok tertentu karena “Dewan Pers merupakan bagian dari negara, dan negara harus netral”. 

“Saat itu, kami pun mengatakan bahwa ini berkaitan dengan hak-hak sebagai warga negara dari kelompok tertentu yang dirampas, tapi dia bilang kalau kelompok itu tidak boleh dipromosikan,” kisah Thowik.

Sekali pun, kata Thowik, staf tersebut tak lantas merepresentasikan Dewan Pers secara kelembagaan.

Selain dari media dan Dewan Pers, Thowik menemukan salah satu tantangannya berasal dari AJI, salah satu organisasi jurnalis terbesar di Indonesia. Thowik menjelaskan bahwa sekali pun pengurus nasional AJI memiliki perspektif yang cukup progresif, tetapi sejumlah AJI di tingkat kota keberatan untuk mendukung pelatihan yang berkaitan dengan keberagaman dengan alasan agama dan budaya.

Pengurus Bidang Gender AJI Nasional (AJI), Shinta Maharani, tak menampik kondisi tersebut. Shinta pernah melihat langsung penolakan riset yang berkaitan dengan LGBTQIA+ dari internal lembaganya. Penolakan tersebut terjadi pasca AJI Indonesia mempublikasikan riset tentang dampak politik identitas terhadap pemberitaan LGBTQIA+. Kisahnya,

“Pada saat AJI Indonesia mengeluarkan rilis tentang hasil riset bagaimana media online memberitakan tentang LGBT, itu juga ada perdebatan di grup anggota. Saat itu, ada dinamika di internal AJI Indonesia, beberapa anggota, misalnya, yang cenderung resisten, mempertanyakan riset itu karena ada bendera LGBT+ dalam rilis yang di-share AJI Indonesia.”

Konten yang dipublikasikan oleh AJI Indonesia menuai banyak komentar negatif dan berujung pada sejumlah jurnalis yang unfollow atau berhenti mengikuti akun sosial media AJI Indonesia.

“Padahal kita seharusnya menghormati hak kelompok minoritas dan menghormati keberagaman,” tegas Shinta.

Sejalan yang dilakukan Sejuk, Shinta menyampaikan bahwa cara yang dilakukan oleh AJI Indonesia untuk menekan angka berita yang melanggar etika dan melanggengkan stigma LGBTQIA+ adalah melalui penyelenggaraan pelatihan.

“Pelatihan itu menjadi hal yang penting. [Salah satunya] dengan kita mendatangkan orang yang ahli atau memahami tentang isu SOGIESC, termasuk jurnalis yang memiliki perspektif tentang kelompok minoritas dan bagaimana memberitakan kelompok minoritas,” jelas Shinta. 

“[…] Tapi kita memang tidak bisa langsung meminta jurnalis untuk memahami. Itu butuh proses setiap individu dan ada proses pembelajaran,” lanjutnya.

Di Mana Posisi Queer Jurnalis?

Hampir tak ada ruang yang aman untuk queer jurnalis di ekosistem media. Berbagai kebijakan, seperti yang dikeluarkan KPI, meminggirkan posisi queer jurnalis. Kondisi tersebut diperburuk dengan bias anti-LGBT dan sentimen negatif yang ada di dalam media dan organisasi jurnalis.

Situasi tersebut membuat Hedy*, queer jurnalis, menjadi serba salah. Hedy, yang juga merupakan seorang ibu tunggal, menceritakan kebingungannya saat media tempatnya bekerja mempublikasikan sebuah berita yang queerfobik. 

“Liputan khusus yang queerfobik yang dikeluarkan oleh media tempat saya bekerja sangat berpengaruh bagi saya. Saya dilema untuk menulis di media ini karena hal itu. Ketika saya menulis, apakah saya berarti mewakili media yang queerfobik ini?”

Apabila ia keluar dari media tersebut, maka keputusannya akan sangat berdampak pada kondisi finansialnya. Hedy merasa tak memiliki banyak pilihan, sekalipun dirinya merasa marah karena pemberitaan tersebut. Tuturnya,

“Apapun keputusan yang diambil oleh media terkait pemberitaan tentang LGBTQ+, harus diingat, ada perempuan, ibu tunggal queer, kayak aku, yang pasti akan terdampak secara ekonomi kalau [masalah pemberitaan queerphobic] enggak diselesaikan dengan baik.”

Langkah yang akhirnya ia ambil adalah menyampaikan kegelisahannya terhadap editornya. Editornya menyampaikan terhadap Hedy bahwa ia meminta maaf dan turut menyesal atas munculnya berita tersebut. Namun, editornya pun tak memiliki kuasa atas pemberitaan tersebut.

“Apalagi media saya sangat tertutup perihal keredaksiannya. Mereka tidak mencantumkan kepala redaksi di website. Liputan khusus mereka juga tidak mencantumkan nama jurnalisnya,” imbuh Hedy.

Peminggiran komunitas LGBTQIA+ di media massa tak hanya tercermin melalui liputan yang dipublikasi, tapi juga dalam kehidupan di lingkungan kerja para queer jurnalis. Seperti yang diceritakan Tya kepada saya, rekan kerja di kantornya memang tidak pernah menghina secara langsung karena Tya termasuk jurnalis senior. Namun, orientasi seksualnya terus menjadi bahan pergunjingan di lingkungan kerjanya. Kondisi tersebut membuat Tya risih dan memutuskan untuk keluar dari kantor lamanya.

A collage art of a zipper being opened with various-coloured fruits coming out. We also see colours of rainbows, a rice paddy field, and mushrooms.
Kolase oleh E.M. & New Naratif.

“Walaupun banyak juga di mediaku itu yang queer dan come out, [mereka tetap] sering jadi bahan gosip. Toksiknya di situ,” ujar Tya. 

”Kalau di mediaku yang sekarang sih, ada yang sering tanya-tanya soal orientasi seksual, kebanyakan laki-laki cis hetero. Ada juga yang berusaha untuk ‘mempengaruhi’ orientasi seksualku dan menganggap [LGBT adalah hal yang] enggak pantes,” lanjut Tya yang saat ini menjadi editor di media daring berbasis video.

Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh Amahl saat ia berpindah fokus liputan untuk menggantikan rekan kerjanya, seorang perempuan dengan ekspresi yang maskulin. 

Ia mendengar secara langsung seorang jurnalis dari media lain yang berkomentar, “Gimana sih media tempat Amahl kerja? Kemarin yang ditugaskan untuk meliput di tempat ini cewek yang maskulin, sekarang cowok yang feminin”.

“Kalau sekarang aku mendengar [ucapan tersebut], mungkin aku akan cuek, tapi untuk aku yang dulu, itu cukup mengganggu,” ingat Amahl.

Dengan kondisi lingkungan yang seperti itu, Amahl akhirnya berusaha untuk selalu bekerja dua kali lipat lebih keras dibandingkan dengan teman-teman cis heteroseksualnya. Ia berharap agar orang bisa menilainya berdasarkan hasil pekerjaannya dan tak sebatas karena seksualitasnya. Tak jarang hal tersebut membuatnya merasa kelelahan.

Di sisi lain, Hedy menilai bahwa permasalahan publikasi berita queerfobik tak sebatas berangkat dari usaha untuk clickbait atau kepentingan bisnis saja—sebagaimana yang selama ini ia ketahui—melainkan juga permasalahan perspektif internal redaksi dalam sebuah media. Hedy menyadari hal itu saat publikasi berita medianya yang queerfobik justru menimbulkan banyak kritik dari masyarakat di sosial media. Ujarnya,

“Di media tempatku bekerja, banyak kontributor dan penulis yang saya tahu di sana adalah orang-orang yang progresif. Meskipun beberapa kali saya menerima komentar pembaca yang terlihat berideologi konservatif, tapi saya tidak pernah membayangkan jika pihak redaksi juga berperilaku demikian.”

Keberadaan queer jurnalis di sebuah media tak serta-merta membuat berita yang dipublikasikan menjadi lebih inklusif. Terlebih, saat mereka secara hierarki berada di posisi terbawah. Sebaliknya, kerap kali mereka justru berada dalam kondisi tak aman dan tetap bekerja untuk mempertahankan hidup, sebagaimana yang dialami oleh Hedy.

Bagaimana Selanjutnya?

Sayangnya, tak banyak yang bisa kita lakukan tentang berbagai kebijakan dan atmosfer anti-LGBT saat ini. Namun, kamu bisa membantu dengan terus meningkatkan kesadaran mengenai isu ini serta langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam kondisi kritis.

Jika kamu adalah jurnalis atau pekerja media, bagikan tulisan ini ke kolegamu dan mintalah redaksimu untuk memberikan kelas SOGIE-SC. Kamu juga bisa memelajari aturan Dewan Pers tentang pemberitaan isu keberagaman. Apabila ada queer jurnalis yang membutuhkan dukungan rumah aman, bantuan hukum, atau psikososial, kalian bisa menghubungi Konsorsium CRM (https://crm-consortium.org/).

*Nama disamarkan atas permintaan narasumber.

Related Articles

Responses