Mampukah Pemerintah Prabowo-Gibran Mengatasi Kemiskinan dan Kerentanan Sosial di Indonesia?

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka. “Kemiskinan dan Kerentanan Sosial” merupakan isu yang dianggap paling penting. Apa saja tantangan bagi pemerintahan RI yang akan datang dalam mengatasi isu ini, dan apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengawal kinerja mereka?

Sejak 17 Agustus 2023, New Naratif menjalankan riset Agenda Warga untuk mengetahui isu-isu terpenting yang dihadapi masyarakat Indonesia menyambut Pemilu 2024. Hasil Tahap 1 dari riset kami menemukan 22 isu terpenting yang diangkat secara konsisten oleh hampir semua orang. Di Tahap 2, kami meminta bantuan publik untuk mengurutkan isu-isu tersebut sesuai prioritas kepentingan mereka. Dalam Tahap 3 ini, kami berusaha memahami bagaimana sistem politik di Indonesia merespon isu-isu tersebut.

Tanpa terkecuali, isu yang paling mendesak bagi seluruh kalangan masyarakat adalah Kemiskinan dan Kerentanan Sosial. Dalam artikel ini, kita akan mengamati tren ekonomi di Indonesia terkait kemiskinan dan kerentanan sosial dalam dua dekade terakhir, sekaligus tanggapan dari para kandidat dan kritik dari rekan-rekan kami di The Conversation Indonesia. Kita juga akan mengamati pembelajaran dari BPJS Ketenagakerjaan yang disajikan oleh beberapa analisis dari The Conversation Indonesia, serta, sebagai simpulan, apa saja poin-poin aksi yang dapat kita lakukan demi memperbaiki isu kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia.

Tren Ekonomi terkait Kemiskinan dan Kerentanan Sosial di Indonesia

Bagi pengamat dari luar Indonesia, kekhawatiran masyarakat terhadap kemiskinan di Indonesia mungkin terkesan unik. Pasalnya, baru tahun lalu Indonesia berhasil kembali memasuki kategori Upper Middle Income Country dari World Bank setelah sempat merosot pada pandemi 2020. Laju pertumbuhan Indonesia pun telah kembali pada kisaran angka di atas 5% sesuai laju pra-pandemi, jauh di atas rata-rata dunia pada angka 3.1% di tahun 2022.

Angka kemiskinan di Indonesia pun terus menurun sejak 2012. Walau sempat menembus angka 10% pada pandemi 2020, kemiskinan terus berkurang. Pada bulan Maret 2023 lalu, kurang lebih 25,9 juta orang merupakan penduduk miskin, yang berarti 2.27 juta orang berhasil dientaskan dari kemiskinan dalam kurun waktu 10 tahun.

Selain itu, ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir cukup sukses menutup ketidakmerataan kekayaan, setidaknya sesuai data Indeks Gini dari World Bank (angka yang mengukur distribusi pendapatan (serta terkadang pengeluaran konsumtif) di suatu masyarakat). Walau pemulihan ekonomi dari pandemi 2020 kembali membelokkan grafiknya ke atas, tren secara umum masih menunjukkan penurunan.

Meski demikian, harus dicatat bahwa di angka 37.9 (data 2022), Indonesia merupakan negara dengan angka pemerataan ekonomi ketiga terburuk di Asia, hanya dikalahkan oleh Malaysia (41.2, data 2018) dan Filipina (40.7, data 2021). Maka, cukup wajar bahwa masyarakat Indonesia menganggap Kemiskinan dan Kerentanan Sosial sebagai isu terpenting mereka.

Apa Kata Para Kandidat?

Dalam riset Agenda Warga, New Naratif juga turut mengundang para kandidat untuk merespon. Beberapa calon legislatif telah merespon langsung kepada New Naratif. Selain itu, kita juga akan menilik program kerja Prabowo-Gibran terkait isu Kemiskinan dan Kerentanan Sosial di Indonesia.

Respon Calon Legislatif kepada New Naratif

Jumiasih, Caleg DPR Jakarta II dari Partai Buruh berpendapat bahwa akar utama isu kemiskinan adalah

[…] upah rendah sehingga daya beli turun.  Di lain sisi, pemerintah tidak mengontrol harga kebutuhan barang dan jasa di pasaran, sehingga kenaikan upah tidak berdampak apa-apa.

— Jumiasih

Upah layak serta kontrol pemerintah terhadap harga di pasar merupakan sentimen yang berulang dari Partai Buruh. Ilhamsyah, Caleg DPR Jakarta III dari Partai Buruh juga mendorong redistribusi tanah bagi para petani, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, hunian terjangkau, serta pemberian akses modal bagi UMKM. 

Sementara itu, Kokok Dirgantoro, Caleg DPR Jatim V dari Partai Solidaritas Indonesia berpendapat bahwa penciptaan lapangan pekerjaan, disiplin anggaran, dan perlindungan pekerja merupakan kunci pengentasan kemiskinan.

Hilirisasi tambang, pertanian, perkebunan, dan kelautan akan menjadi kunci penciptaan lapangan pekerjaan terutama manufaktur serta upaya-upaya penambahan value added dalam produk/komoditas. […] Anggaran untuk bantuan sosial harus dipertajam terutama bagi kelompok miskin dan rentan […] [serta] harus berjalan paralel dengan perlindungan pekerja (terutama perempuan dan disabilitas). Perlindungan tersebut antara lain kebebasan berserikat, hubungan pemberi kerja dan pekerja yang setara, hingga perlindungan dari pelecehan/kekerasan dari rumah, di tempat kerja, hingga kembali pulang.

— Kokok Dirgantoro
Area pemukiman di tepian sungai. (Shutterstock)

Program Kerja Prabowo-Gibran Terkait Kemiskinan dan Kerentanan Sosial, serta Kritik Terhadapnya

Hal yang disampaikan Kokok Dirgantoro sebenarnya relatif sejalan dengan program kerja Prabowo-Gibran, yang mencantumkan pengentasan kemiskinan sebagai program ke-5 dari 17 Program Prioritas menuju Indonesia Emas 2045. Prabowo-Gibran menargetkan penurunan angka kemiskinan absolut/ekstrem menjadi 0% di dua tahun pertama, dan angka kemiskinan relatif menjadi 5% dalam lima tahun.

Komitmen lima tahun ini dipaparkan lebih konkret dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat mereka, yang memang hampir seluruhnya berfokus pada pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial, termasuk akses kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tanggapan para calon legislatif di atas. 8 Program ini adalah:

  1. Memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil.
  2. Menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan gratis, menuntaskan kasus TBC, dan membangun Rumah Sakit lengkap berkualitas di kabupaten.
  3. Mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan lumbung pangan desa, daerah, dan nasional.
  4. Membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten, dan memperbaiki sekolah-sekolah yang perlu renovasi.
  5. Melanjutkan dan menambahkan program kartu-kartu kesejahteraan sosial serta kartu usaha untuk menghilangkan kemiskinan absolut.
  6. Menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) (terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh), TNI/POLRI, dan pejabat negara.
  7. Melanjutkan pembangunan infrastruktur desa dan kelurahan, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan menjamin penyediaan rumah murah bersanitasi baik untuk yang membutuhkan, terutama generasi milenial, generasi Z, dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
  8. Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) ke 23%.

Apapun orientasi ideologinya, tampaknya setiap aktor politik di Indonesia cukup sadar akan pentingnya isu pengentasan kemiskinan dan pemerataan kemakmuran ini. Terlepas dari berbagai kritik terhadap rekam jejak Prabowo dan analisis seputar efek Jokowi dan demokrasi di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa delapan program tersebut terdengar cukup baik dalam keberpihakannya pada masyarakat.

Walau demikian, beberapa poin penting masih harus diperhatikan. Program nomor satu, yaitu makan siang dan susu gratis, misalnya, telah menuai banyak kritik setelah Eddy Soeparno, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, menyatakan bahwa program tersebut akan dibiayai dari pemangkasan subsidi BBM. Walau subsidi energi dinilai kurang tepat sasaran, memangkas subsidi BBM demi makan siang gratis berisiko menimbulkan lonjakan inflasi.

Selain risiko inflasi, rekan-rekan kami di The Conversation Indonesia juga telah menyampaikan beberapa kekhawatiran krusial yang ada di depan mata. Terkait swasembada pangan, misalnya, program food estate warisan Jokowi cukup rentan gagal akibat perubahan iklim. Terkait hilirisasi industri, strategi Prabowo-Gibran memerlukan skala dan pasar global yang meluas, sementara kondisi ekonomi global diprediksi justru akan menciut sebesar 5%.

Lebih spesifiknya, terkait program-program di atas, ada dua isu penting yang ditekankan oleh rekan-rekan kami di The Conversation Indonesia. Pertama, terkait kenaikan gaji ASN (terutama guru dan dosen),

Prabowo-Gibran tidak merinci sisi kesejahteraan mana yang mau mereka tingkatkan—apakah komponen tunjangan sertifikasi, gaji pokok, komponen lainnya, atau dengan menambahkan komponen baru dalam struktur upah para pendidik. […] Kesejahteraan guru dan dosen sendiri tidak hanya terkait dengan gaji, tapi juga wellbeing (kebahagiaan), jaminan hari tua, dan kelonggaran waktu untuk meningkatkan profesionalisme tanpa dibebani terlalu banyak administrasi. […] Program mereka juga cenderung “memihak” ke ASN, tanpa mempertimbangkan guru swasta maupun honorer.

— The Conversation Indonesia

Kedua, terkait program makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil, 

Pendekatan [top down] ini sebenarnya sudah kuno. Aspek kolaborasinya kurang tampak. […] Ini sasarannya juga tidak jelas, apakah mengatasi stunting, gizi buruk, atau gizi lain. Mereka menyatakan untuk stunting, tapi kalau anak sudah masuk sekolah tidak lagi masuk hitungan seribu hari pertama kehidupan.

— Ilham Akhsanu Ridlo, Ahli Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga (dikutip dari The Conversation Indonesia)

The Conversation juga menambahkan bahwa Prabowo juga tidak menetapkan angka penurunan stunting dalam dokumen visi misi tertulisnya. Dengan kata lain, program ini berpotensi bermasalah dari segi pendekatan fiskal pembiayaannya maupun pendekatan praktik eksekusinya sendiri.

Rincian kritik mereka beserta poin-poin lainnya dalam 7 Isu Krusial yang ini dapat dibaca di laman The Conversation Indonesia.

Sekelompok anak bermain di atas rel kereta. (Shutterstock)

Pembelajaran dari BPJS Ketenagakerjaan

Lantas, pertanyaan selanjutnya yang patut dilontarkan adalah: Seberapa efektifkah program-program ini akan dijalankan? Apa saja tantangan pelaksanaannya, serta ancaman yang mungkin kita hadapi ke depannya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menengok pada program pemerataan dan bantuan sosial yang telah dijalankan. Nyatanya, sesuai data yang telah kami paparkan di atas, kinerja pemerintah Indonesia dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan kekayaan dalam masyarakat dapat terbilang cukup baik selama lebih dari sepuluh tahun terakhir.

Salah satu faktor pendorong kesuksesan ini adalah BPJS Ketenagakerjaan, yang juga telah dilengkapi dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan sejak dua tahun terakhir. Bagaimanakah kesuksesan program-program tersebut? Rekan-rekan kami di The Conversation Indonesia membantu kami menjawab pertanyaan ini.

60% Tenaga Kerja Indonesia Luput dari BPJS Ketenagakerjaan

Walau terbukti bermanfaat, BPJS Ketenagakerjaan masih luput melindungi para pekerja sektor informal. Padahal, lebih dari 60% tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Hal ini berarti sebagian besar tenaga kerja di Indonesia tidak memiliki perlindungan yang ditawarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ada enam alasan hal ini terjadi:

Pertama, sektor informal belum semua diakui, diatur, dan dilindungi secara resmi oleh regulasi pemerintah. Sektor informal ini seringkali tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, tidak memiliki izin usaha, dan tidak masuk dalam sistem perpajakan. Akibatnya, mereka tidak terjangkau oleh program perlindungan sosial yang disediakan oleh negara.

Kedua, sebagian pekerja informal memiliki penghasilan yang rendah dan tidak pasti. Akibatnya, menyisihkan uang untuk membayar iuran jaminan sosial masih belum menjadi prioritas bagi mereka. 

Ketiga, kesadaran yang masih minim. Dengan penghasilan yang umumnya rendah—meskipun tidak semua—kesadaran pekerja informal akan pentingnya memprioritaskan jaminan sosial juga rendah. 

Keempat, program jaminan sosial biasanya mensyaratkan dokumen administratif seperti kartu tanda penduduk (KTP), nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan nomor rekening, dan bahkan masih ada yang harus datang ke kantor cabang secara langsung untuk mengisi formulir pendaftaran. 

Kelima, mobilitas fisik dan perpindahan pekerja informal dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan lain yang cukup tinggi karena sangat bergantung dengan permintaan pasar. Contohnya, pekerja proyek, kuli panggul, tukang las (welder) di galangan kapal, hingga penjual bendera yang marak setiap Agustus atau pedagang musiman saat Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. 

Keenam, sosialisasi yang masih minim. Mengingat manfaat yang sangat besar dan iuran yang cukup terjangkau, sosialisasi program jaminan sosial tenaga kerja kepada 80 juta pekerja informal ini semestinya menjadi prioritas BPJS Ketenagakerjaan. 

Artikel yang ditulis oleh Yanu Endar Prasetyo, Triyono, Vera Bararah Barid, dan Yanti Astrelina Purba ini membahas enam masalah tersebut secara terperinci. Mereka juga memberikan empat rekomendasi strategi perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, yang dapat dibaca selengkapnya di laman The Conversation Indonesia.

Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan Masih Seret

Tiga dari para peneliti di atas, Yanu Endar Prasetyo, Triyono, dan Vera Bararah Barid, bersama Ngadi dan Devi Asiati, juga mengungkapkan tiga faktor utama dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang membuat klaimnya masih terbilang amat rendah: 

Pertama, faktor politik dan persepsi publik. JKP lahir dari rahim omnibus law, yang sejak awal diusulkan sudah mendapat penolakan dan perlawanan sangat luas di akar rumput. Masyarakat menilai UU yang bertujuan menarik investasi ini mengabaikan perlindungan hak-hak pekerja, termasuk memperbesar potensi terjadinya PHK. […] Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 di Kabupaten Bekasi dan Kota Batam—sebagai representasi daerah industri–memperkuat hal ini. Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Ciptaker dan secara tegas tidak ikut melakukan sosialisasi manfaat JKP kepada anggotanya.

Kedua, faktor administrasi. JKP masih bias pekerja formal dan hanya bisa diperoleh mereka yang pemberi kerjanya (perusahaan) tertib dan jujur dalam membayar iuran bulanan pekerjanya. Sementara itu, banyak kasus di lapangan menunjukkan perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, karyawan perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa mendapatkan manfaat JKP jika diberhentikan sepihak.

Ketiga, faktor literasi dan kesiapan teknis. Manfaat JKP sebenarnya cukup positif, seperti pemberian uang tunai selama enam bulan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Namun, minimnya sosialisasi resmi membuat berbagai manfaat baik ini belum dikenal atau diketahui oleh publik secara luas. […] Belum ada evaluasi yang terukur dan transparan untuk melihat apakah program-program tersebut betul-betul membantu korban PHK untuk bisa kembali masuk ke lapangan kerja.

Rincian analisis permasalahan tersebut berikut lima rekomendasi pelaksanaan JKP yang lebih efektif dapat dibaca selengkapnya di laman The Conversation Indonesia.

Mendorong Pengentasan Kemiskinan dan Kerentanan Sosial di Indonesia

Berbagai analisis di atas membuktikan betapa program-program yang paling berpihak kepada masyarakat sebetulnya amat bergantung pada tiga faktor utama: keberpihakan pemerintah, literasi dan sosialisasi, serta sentimen publik terhadap pemerintah. Walaupun sebagian besar dari kita tidak berada dalam posisi kuasa maupun pengaruh yang cukup untuk membuat program maupun kebijakan yang akan berdampak besar bagi pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia, bukan berarti kita hanya bisa berpangku tangan.

Alih-alih, kita dapat mengawal berbagai program yang direncanakan oleh pemerintah—berupa dukungan maupun kritik—dengan empat tindakan berikut:

Mengawasi Keberpihakan Pemerintah yang Tercermin dalam Pendekatan dan Praktik Administrasinya

Walau berbagai program pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial terdengar baik, kita masih harus mencermati keberpihakan dari program tersebut. Keberpihakan ini umumnya tampak dari berbagai persyaratan administratif maupun pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan program tersebut, yaitu seberapa besar pemerintah melibatkan kolaborasi akar rumput alih-alih sekadar mendikte dari atas.

Bias BPJS Ketenagakerjaan, termasuk JKP, kepada para pekerja sektor formal merupakan cerminan nyata dari hal ini, pun bias kesejahteraan pekerja ASN yang lebih diutamakan dibandingkan pekerja swasta maupun honorer. Belum lagi ketika kita membahas akses bagi kawan-kawan disabilitas, perempuan dan gender-gender minoritas lainnya, maupun anggota masyarakat lainnya yang secara umum terpinggirkan.

Terlepas dari keberpihakan yang ditunjukkan oleh garis besar program pemerintah maupun dokumen visi-misi yang disebarluaskan, keberpihakan yang nyata akan terpapar dalam proses pendekatan dan administrasi program tersebut. Sebagai anggota masyarakat, kita berhak senantiasa mengawasi dan mengkritik pelaksanaan program pemerintah guna menuntut reformasi birokrasi dan administrasi yang lebih inklusif.

Walaupun sosialisasi memang amat penting dalam kesuksesan sebuah program, tak dapat dipungkiri bahwa literasi patut dituntut dari seluruh pihak. Pasalnya, sebagaimana kritik yang dilayangkan pada beberapa program Prabowo-Gibran yang telah disebutkan di atas, terkadang tantangan terberat dari pelaksanaan sebuah program adalah ketidakjelasan sasaran program tersebut. Gaji pekerja dapat ditingkatkan melalui berbagai komponen dan tunjangan, dan perbaikan gizi dapat difokuskan ke pencegahan stunting, perbaikan gizi buruk, program 1000 hari pertama, maupun yang lainnya.

Setiap rincian membutuhkan literasi spesifik dari seluruh pihak. Para pelaku program harus memiliki wawasan mengenai kebutuhan golongan masyarakat sasaran mereka yang sesungguhnya alih-alih sekadar berangkat dari asumsi luas. Di sisi lain, para penerima manfaat program harus diberikan sosialisasi memadai tentang kepentingan dan manfaat program-program tersebut. Dan yang tak kalah penting, program-program ini wajib diikuti dengan evaluasi yang terukur dan transparan untuk memantau efektivitas mereka.

Sebagai anggota masyarakat, kita berhak mendapatkan bukti bahwa seluruh pihak yang terlibat telah mendapatkan literasi program yang cukup, sosialisasi yang memadai tentang fokus dan manfaat program, serta efektivitas program yang terbukti.

Menentukan Keyakinan dan Sentimen Masyarakat Terhadap Pemerintah

Kesuksesan setiap program pemerintah amat bergantung pada sentimen masyarakat terhadap rezim yang berkuasa. Hal ini amat ditentukan oleh kondisi politik yang tengah berjalan. JKP, contohnya, lahir dari Omnibus Law yang kontroversial, yang menyebabkan masyarakat enggan mengenalnya lebih jauh terlepas dari potensi manfaatnya bagi mereka.

Hal ini tentunya tidak berarti kita serta merta harus mendukung kebijakan pemerintah dan menciptakan sentimen positif demi kesuksesan program-program pemerintah. Alih-alih, kita harus lebih jeli dalam mengawasi program kerja pemerintah maupun berbagai komponen dalam pelaksanaannya. Dalam program yang dinilai kurang berpihak pada masyarakat, bisa jadi beberapa aspek ternyata cukup progresif dalam membela hak-hak tertentu. Sebaliknya, program-program yang terdengar baik bisa jadi mengandung aspek-aspek yang merugikan bagi beberapa kelompok masyarakat.

Memenangkan sebuah pemilihan umum dan menjaga sentimen positif masyarakat dalam masa jabatan kepresidenan merupakan dua hal yang berbeda. Dengan rekam jejak Prabowo yang cukup kontroversial, kita masih harus melihat seberapa jauh program-programnya akan mendapat dukungan dari masyarakat sipil. Yang jelas, sebagai anggota masyarakat, kita harus selalu jeli dalam mengawasi berbagai kebijakan pemerintah kita ke depannya.

Membangun Kekuatan Masyarakat Sipil

Kesuksesan program-program pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia akan sia-sia tanpa proses demokrasi yang baik. Kita telah berbicara tentang pengawasan dan pengawalan program, penyampaian kritik, tuntutan reformasi birokrasi dan administrasi, tuntutan evaluasi dan transparansi, dan tuntutan akuntabilitas pemerintah. Tanpa proses demokrasi yang baik—terutama kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik—tak ada satupun dari tindakan tersebut yang akan mungkin dilakukan secara efektif.

Selain itu, amat penting juga untuk diingat bahwa program pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial yang bertumpu pada pemerintah akan senantiasa bergantung kepada niat baik dan kehendak aparat negara untuk melakukannya. Korupsi akan senantiasa menjadi masalah dalam program-program semacam ini, dan New Naratif akan membahasnya di lain waktu. Yang tak kalah penting untuk dicermati adalah potensi pihak-pihak korup untuk menyandera keberlangsungan program pengentasan kemiskinan di daerah-daerah tertentu, misalnya menghentikan atau mengurangi pendanaan sebuah program jika sebuah kebijakan tidak lolos, atau jika seorang politisi atau suatu partai tidak memenangkan pilkada.

Oleh karena itu, amat penting bagi kita untuk senantiasa membangun kekuatan masyarakat sipil. Karena, masyarakat sipil yang kuat merupakan pondasi demokrasi yang akan menjaga kita dari berbagai ancaman yang dapat menggerogoti hak-hak kita sebagai masyarakat.

Kesimpulan

Agenda Warga 2023/2024 mengungkapkan Kemiskinan dan Kerentanan Sosial sebagai isu yang paling mendesak di Indonesia. Isu ini adalah isu struktural yang amat bergantung pada kebijakan pemerintah, namun juga tren ekonomi dunia (yang akan berpengaruh pada perluasan pasar dan kesempatan pekerjaan) dan kondisi perubahan iklim (yang akan berpengaruh pada berbagai kebijakan swasembada energi dan pangan), seperti yang telah diindikasikan di atas.

Walau demikian, isu ini juga amat bergantung pada tindakan kita sebagai masyarakat sipil. Pengawasan dan pengawalan program kerja pemerintah, kebebasan penyampaian kritik, tuntutan reformasi birokrasi dan administrasi, tuntutan evaluasi dan transparansi, dan tuntutan akuntabilitas pemerintah merupakan faktor-faktor kunci dalam mendorong berbagai program dan kebijakan yang solutif seputar kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia.

Secara langsung maupun tidak langsung, pengentasan kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia amat bergantung pada gerakan masyarakat sipil dalam menciptakan solidaritas antar kelas. Besar kemungkinan Pemilu 2024 akan usai tanpa memerlukan putaran kedua. Meski demikian, proses demokrasi di Indonesia wajib terus dijaga dan dikawal setiap harinya. Tanggung jawab kita sebagai masyarakat sipil berada jauh melampaui pemilihan umum, karena pada akhirnya, kesehatan demokrasi kitalah yang akan menentukan di mana dan kepada siapa nasib kita akan digantungkan.

Related Articles

Responses