Merefleksikan serta Membayangkan Gerakan Feminis dan Keadilan Gender Transnasional di Asia Tenggara

Setelah mempelajari faktor-faktor struktural dan sistemik serta berbagai tantangan keseharian yang merintangi kerja-kerja aktivis feminis dan keadilan gender di Asia Tenggara, dalam penjelasan ini kami menyelami kemungkinan-kemungkinan untuk memfasilitasi pembangunan gerakan transnasional. Pertama-tama, kami mempelajari gerakan feminis dan keadilan gender yang telah dibentuk atau dimasuki oleh peserta penelitian kami. Kemudian, kami merefleksikan keuntungan dan tantangan yang dihadapi gerakan-gerakan tersebut sebelum melontarkan rekomendasi tentang bagaimana membangun dan memperkuatnya. Lebih pentingnya lagi, kami juga merayakan kemajuan yang telah dicapai oleh gerakan-gerakan feminis dan keadilan gender Asia Tenggara di masa lalu dan di masa sekarang.

Tulisan ini adalah artikel terakhir dalam rangkaian tiga seri artikel penjelasan New Naratif yang mempelajari demokrasi Asia Tenggara lewat kacamata para aktivis feminis, hak-hak gender, dan hak asasi manusia regional. Laporan yang memperkenalkan SOGIESC-informed Democratic Participation Research ini dapat ditemukan di sini, sedangkan artikel penjelasan pertama dan kedua kami juga telah tersedia.

Berdasarkan diskusi dengan para peserta penelitian, kami hendak menggunakan definisi feminisme dalam kerja-kerja kami sebagai berikut:

“Seperangkat nilai untuk membongkar seksisme beserta struktur-struktur heteropatriarki-kapitalis yang mendasarinya, yang menindas kita dalam berbagai cara, dituntun oleh prinsip-prinsip interseksionalitas, kesetaraan, dan kepedulian, di Asia Tenggara.”

Tersirat dalam definisi di atas adalah suatu pengakuan bahwa negara-negara Asia Tenggara secara historis dibentuk oleh penjajahan. Negara-negara ini juga dipersatukan oleh pengalaman agresi langsung dan dominasi oleh kekuasaan imperial, atau manipulasi tidak langsung untuk melayani kepentingan-kepentingan imperial (Jayawardena, 2016). Meskipun menghadapi tingkat represi yang sama, masing-masing negara mempunyai gaya pemerintahan yang berbeda sehingga memunculkan peluang yang berbeda-beda, yang akhirnya menimbulkan bentuk aktivisme sosial yang beragam (Ford, 2013, hal. 2). “Kami tentu saja memiliki banyak perbedaan, namun sejarah bersama kami mengarah pada struktur yang kami miliki saat ini,” kata salah satu peserta CPR1.

Amatlah penting untuk memperhatikan perbedaan dan kesamaan kelompok-kelompok ini untuk menumbuhkan rasa solidaritas, seperti yang diartikulasikan dalam pembicaraan kami dengan para partisipan. Beberapa telah bersentuhan secara informal dengan organisasi-organisasi yang berpandangan sama, sementara yang lain telah berupaya untuk masuk, atau bahkan mendirikan, jaringan feminis dan keadilan gender regional yang formal. Beberapa jaringan yang berbasis di Asia-Tenggara yang disebutkan termasuk Southeast Asia Feminist Action Network (SEAFAM) dan ASEAN SOGIE Caucus. Jaringan yang lebih luas yang meliputi region Asia-Pasifik, seperti Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD), Asia Pacific Network of Sex Workers (APNSW), dan Asian-Pacific Resource & Research Centre for Women (ARROW), juga disebutkan.

Maka, ide mengenai jaringan transnasional bukanlah hal baru. Seperti yang dipaparkan oleh Michele Ford di Movements in Southeast Asia (2013), amatlah penting untuk memahami globalisasi dari perspektif akar rumput. Mengadopsi definisi yang disediakan oleh Keck dan Sikkink (1998), Ford mendefinisikan jaringan-jaringan ini sebagai “aktor-aktor relevan yang bekerja secara internasional pada sebuah isu, yang terikat bersama oleh nilai-nilai yang sama, diskursus yang umum, dan pertukaran informasi dan jasa.” Sebuah aspek yang penting dan karakteristik dari bagaimana mereka berfungsi di Asia Tenggara termasuk secara kolektif menggunakan kerangka kerja hak asasi manusia untuk menantang praktik-praktik negara (Ford, 2013, p. 6). 

Keberadaan dan keberhasilan gerakan transnasional menunjukkan pentingnya kerja-kerja yang tidak terbatas wilayah negara, namun senantiasa berupaya mencapai kesepahaman dan solidaritas regional. Bagian berikut ini mengeksplorasi keuntungan dan tantangan, merujuk pada diskusi kami dengan para aktivis feminis dan keadilan gender di Asia Tenggara, termasuk lewat sesi diskusi kelompok terfokus (FGD) dan tinjauan sejawat komunitas (CPR1).

Patung retak Athena dengan mulut dibungkam, berlatar motif batik tradisional. Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Keuntungan Pembangunan Gerakan Transnasional

“Ketika kita menjadi bagian dari kelompok yang terpinggirkan, kurasa amatlah penting untuk membangun aliansi. Pada akhirnya, musuh yang kita hadapi bersama amat kuat, bukan? Kita melawan negara, institusi agama, struktur-struktur besar yang punya banyak sumber daya dan bisa berteriak lebih lantang daripada kita. Jadi bagaimana caranya kita mendapatkan lebih banyak kekuatan? Caranya dengan menyelaraskan diri dengan sesama. Amatlah penting untuk membangun aliansi sehingga kita bisa benar-benar menggabungkan suara-suara kita dan melantangkannya bersama-sama.”

N12

Kutipan di atas dilontarkan oleh N12 setelah melakukan refleksi akan kerja-kerja mereka sebagai aktivis queer. Dengan tujuan membongkar mitos, stereotip, dan miskonsepsi lewat kerja-kerjanya, N12 melihat betapa pentingnya membentuk dan memastikan kelangsungan jaringan transnasional dalam proses ini. “Saya rasa kita tidak dapat melakukannya secara efektif jika kita bekerja sendirian karena ada banyak hati dan pikiran yang harus diubah, kan?”

Sentimen ini senada dengan peserta riset kami yang lain. Gerakan solidaritas regional dan global tampak saling mendekat dan makin kuat belakangan ini, sebuah trend yang terjadi berkat pengaruh internet. Menurut N6, “Gerakan atau kelompok aktivis, terutama yang datang dari kelas sosioekonomi rendah, menjadi makin kentara, berkat media sosial.”

Salah satu contoh penting mengenai gerakan daring ini adalah #MilkTeaAlliance. Sebuah gerakan pro-demokrasi dan hak asasi manusia yang utamanya melibatkan pengguna internet dari Thailand, Hong Kong, Taiwan, dan Myanmar, gerakan ini dimulai sebagai meme internet yang merespon pengaruh komentator nasionalis Tiongkok di media sosial. Sejak itu, entitas ini berubah menjadi gerakan protes multinasional yang dinamis, melawan otoritarianisme dan aktif mengadvokasi demokrasi. Berkembang dalam absennya kepemimpinan sentral, gerakan ini bersifat elusif sehingga menyulitkan aktor-aktor negara otoritarian untuk melakukan identifikasi yang akurat dan melakukan penelusuran jejak terhadapnya. Maka, pembentukan #MilkTeaAlliance mendemonstrasikan bagaimana solidaritas transnasional dapat terbentuk—bahwa ia tidak hanya bisa dilakukan, namun juga bisa lebih aksesibel.

Untuk para partisipan kami, membentuk solidaritas yang langgeng dan inklusif membutuhkan kemampuan untuk bekerja secara interseksional, dengan cara menyatukan semua orang dari sektor dan latar belakang beragam—terutama individu perempuan dan LGBTQIA+. Tujuannya adalah untuk memberi pengakuan dan penghargaan kepada nilai-nilai feminis yang sama-sama dianut, sembari menyadari kelindan dari berbagai isu. “Maka daripada saling berkelahi, lebih baik kita bekerja sama dalam solidaritas, [supaya kita] bisa lebih mudah membongkar mitos mengenai feminisme, dan membuat orang paham bahwa feminisme itu baik untuk kita semua,”ujar N6. Kembali ke definisi kerja untuk feminisme Asia Tenggara, kami menekankan pentingnya memahami isu-isu feminisme dari perspektif interseksional, untuk benar-benar membongkar seksisme dan struktur-struktur yang mengusungnya.

Bagi N14, persaudarian dan jaringan yang kuat menubuh dalam gerakan feminis dan keadilan gender transnasional. Dalam kerangka kerja ini, para aktivis menemukan nilai dalam pertukaran materi, informasi, advokasi, dan penguatan. Akan tetapi, N14 juga menekankan mengenai bagaimana gerakan demikian terbangun: “Idealnya mereka bekerja dengan perempuan dan masyarakat di akar rumput, kemudian mengembangkan metode, materi, dan gerakan untuk menumbuhkan kesadaran, dan kemudian mendorong agenda untuk perubahan kebijakan di tingkat internasional.” Perspektif ini menggarisbawahi bagaimana para partisipan kami melihat urutan kerja gerakan transnasional yang berhasil sebagai proses induktif yang bottom-up. Hal ini termasuk memprioritaskan pengalaman nyata dari individu-individu marginal, menyadari pola-pola yang muncul, dan terus menerus menyuarakan isu-isu ini ke audiens yang lebih luas.

Dengan cara ini, gerakan feminis dan keadilan gender transnasional di Asia Tenggara dengan penekanan khususnya dalam menanggapi isu lokal dalam konteks-konteks spesifik, dapat menjadi wadah untuk menantang definisi feminisme yang Barat-sentris. Utamanya, gerakan ini dapat memberikan kesempatan untuk mendefinisikan ulang “Asia Tenggara” dan “feminisme”. Hal ini bersangkutan dengan argumen Jayawardena (2016) yang mengatakan bahwa walaupun beberapa aspek kesadaran feminisme Dunia Ketiga dipengaruhi diskursus Barat yang liberal dan modern, feminisme Dunia Ketiga bukanlah tiruan ataupun sekadar adopsi dari ide-ide kolonial. Justru, feminisme Dunia Ketiga lahir sebagai respons dari keadaan yang dibentuk oleh penetrasi imperial dan kapitalis—sebuah kenyataan yang berkelanjutan hingga kini yang membutuhkan perhatian kita terus-menerus.

“Jadi kita tidak hanya akan fokus ke isu feminis global seperti hak-hak perempuan dan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan. Kita juga mengarahkan gerakan kita untuk menjadi lebih lokal. Di sini, kita bisa mulai memperbincangkan, misalnya, hak-hak LGBTQIA+ atau hak-hak aborsi di region kita, dengan memikirkan lanskap religius kita juga.” Di sini, N6 menyiratkan bahwa aktivis Asia Tenggara mungkin lebih siap untuk kerja-karja advokasi seputar topik-topik sensitif, sebagaimana mereka sendiri kerap mengalami masalah-masalah tersebut dalam keseharian sebagai warga.

Pentingnya bagi para aktivis untuk memiliki akar di konteks lokal bisa dicontohkan dari insiden yang melibatkan Matt Healy–frontman dari band The 1975–di Good Vibes Festival di Malaysia tahun lalu (CPR1). Di atas panggung, Healy dengan sembarangan mengkritik otoritas Malaysia yang menerapkan hukum anti-LGBTQIA+, sebelum akhirnya mencium kawan satu bandnya di atas panggung. Walau pesan yang ia sampaikan seakan-akan senada dengan perjuangan para aktivis keadilan gender di Malaysia, aksinya malah menuai kecaman dari para aktivis tersebut. Para aktivis khawatir bahwa pendekatan Healy yang tidak sensitif, bukannya membantu, malah membahayakan kemajuan-kemajuan yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh para individu LGBTQIA+, dan justru memantik ujaran kebencian serta kekerasan kepada mereka. Salah satu partisipan dari CPR1 bahkan mengelompokkan aksi Healy sebagai “white saviourism”, menilik posisinya sebagai laki-laki kulit putih yang bergabung dalam bentuk “aktivisme” seperti itu. Ia menambahkan bahwa, “Hal ini menyiratkan bahwa mereka memandang rendah kerja-kerja aktivis lokal, sehingga mereka harus ikut campur tangan.”

Aksi Healy mirip sekali dengan banyak intervensi yang telah muncul sebelumnya. Pemikir feminis dan pascakolonial, Gayatri Spivak, dalam esainya “Can the Subaltern Speak?” (1988), mengatakan bahwa kuasa-kuasa Barat secara historis telah memposisikan diri mereka sebagai penyelamat atau pembebas bagi para perempuan di masyarakat non-Barat. Intervensi semacam itu, menurut Spivak, kerap kali tidak muncul dari kepedulian murni kepada hak-hak perempuan—atau individu dengan gender marginal—akan tetapi berfungsi sebagai alat untuk membenarkan dan melanggengkan dominasi kolonial. Dinamika permainan kuasa yang rumit tersebut memperkuat narasi kolonial, walaupun menari di balik topeng kepedulian kepada mereka yang diinjak-injak.

Maka, amatlah penting untuk secara kolektif mendefinisikan dan menavigasikan arah-arah aktivisme dalam region ini, daripada membiarkan orang lain mendiktekannya kepada kita. Berbeda dari insiden Healy, gerakan transnasional berakar pada konteks lokal dan membuat kita bisa berkolaborasi mengenai visi bersama kita dalam demokrasi regional yang inklusif, dengan strategi yang berakar pada isu-isu dan konteks kita sendiri. Hal ini juga menjadi pengingat untuk selalu berhati-hati dan selalu memperhatikan semua sisi ketika melakukan aktivisme kita.

Figur feminin menyerupai Venus yang duduk terisak, berlatar motif batik tradisional. Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Tantangan dalam Membangun Gerakan Transnasional

“Saya senang dengan ide pembangunan gerakan transnasional. Akan tetapi amatlah sulit membuatnya efektif mengingat beragamnya konteks dan perjuangan kita.”

Sentimen ini, yang diidentifikasikan sebagai tantangan utama dalam membangun gerakan transnasional, muncul dalam CPR1. Karena perjuangan feminis dan keadilan gender amat khas dengan tantangan yang unik di masing-masing wilayah region, dalam membangun gerakan transnasional para aktivis harus berupaya menyelaraskan aktivisme mereka dengan aktivisme rekan-rekan mereka dari negara lain. Walaupun ada kesamaan sosio-historis antara negara-negara tersebut, perbedaan internal yang signifikan tetap muncul di dalam negeri. Kerumitan tersebut memperlihatkan tantangan untuk maju dan mencapai tujuan bersama-sama, berpotensi mengakibatkan kemajuan yang berjenjang, dimana masing-masing gerakan bergerak dengan kecepatannya masing-masing. Oleh karenanya, seorang partisipan CPR1 menyarankan: “Dalam kerangka kerja gerakan transnasional ini, saya berpikir kita mungkin mempertimbangkan untuk bekerja dalam laju kita sendiri, daripada mengikuti pendekatan ‘sama-rata.”

Banyak yang mengira bahwa transnasionalisme selalu menguntungkan gerakan lokal karena memberi peluang untuk “meningkatkan skalanya”. Namun, kerumitan yang muncul dalam proses penyebaran sumber daya dan gagasan dalam jaringan transnasional sering kali diabaikan. Asumsi ini berasal dari kecenderungan untuk memandang pergerakan sumber daya dan gagasan sebagai sesuatu yang searah—yakni, dari “inti” ke “pinggiran”—mengabaikan beragam proses yang menyebabkan terjadinya transfer tersebut, dan secara tidak adil menggolongkan gerakan-gerakan lokal sebagai penerima yang “pasif” (Ford, 2013, hal. 7). Seorang peserta CPR1 mencatat bahwa adanya dua ekstrem dalam aktivisme, mulai dari upaya yang sangat terlokalisasi hingga tersebar luas, juga harus diakui. Oleh karena itu, tantangan besar dalam pembangunan gerakan transnasional adalah menemukan medium inklusif yang mengakomodasi pendekatan organisasional yang beragam ini. Misalnya, meskipun media sosial telah memainkan peran penting dalam menghubungkan berbagai gerakan aktivis, menumbuhkan pemahaman lintas batas, dan memupuk solidaritas, keterbatasan spasial, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan akar rumput, masih tetap signifikan (CPR1).

Selain itu, ada kendala bahasa. Meskipun bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa internasional, tidak semua aktivis mahir berbahasa Inggris. Dalam konteks Asia Tenggara, ada jurang bahasa antara aktivis dari negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris (misalnya Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina) dan negara-negara lain. Selain itu, kemahiran berbahasa Inggris dalam kategori terakhir sering dikaitkan dengan tingkat keistimewaan tertentu, seperti pendapatan yang dapat dibelanjakan atau kemewahan waktu untuk mempelajari bahasa baru, sejalan dengan teori modal sosiolog Pierre Bourdieu (1986). Bourdieu menulis bahwa selain uang, akses terhadap modal sosiokultural membantu individu mempertahankan posisi mereka dalam masyarakat, sekaligus mengungkap bagaimana bentuk-bentuk modal ini didistribusikan secara tidak merata di antara kelas-kelas sosioekonomi yang berbeda.

Pengamatan ini disoroti oleh dua peserta CPR1, yang menyatakan lebih nyaman berkomunikasi dalam bahasa Indonesia selama sesi peer review. Hambatan bahasa secara signifikan membatasi keterwakilan beberapa aktivis di panggung regional dan internasional, yang akibatnya menghambat banyak isu penting untuk mendapatkan perhatian dari khalayak yang lebih luas. Sebagaimana dicatat oleh N6, “Dengan sedikitnya visibilitas terhadap perempuan dari Asia Tenggara, kecuali Anda berasal dari, misalnya, Filipina, dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik, sulit bagi Anda untuk bergabung dengan gerakan regional ini.” Perhatikan bagaimana warisan kolonial, yang berperan dalam pengadopsian dan penggunaan bahasa, memiliki dampak yang amat awet.

Bahasa juga mempengaruhi sebaran pengetahuan, yang bisa mengakibatkan apa yang tadinya merupakan gerakan untuk kepentingan sebanyak mungkin orang menjadi upaya yang relatif “elit”. Hal ini terutama terjadi ketika bahasa yang digunakan dalam gerakan-gerakan ini sangat terspesialisasi, akademis, atau sarat dengan jargon, sehingga berpotensi menjadikan gerakan-gerakan tersebut eksklusif bagi mereka yang berbicara dalam bahasa tersebut – seringkali orang-orang ini berasal dari kelas sosial ekonomi menengah atau atas. Eksklusivitas ini dapat mengakibatkan kurangnya keterlibatan lintas kelas di antara para aktivis, sehingga membuat kelompok yang kurang memiliki hak istimewa “tidak terlihat” dalam proses tersebut.

Akibatnya, gerakan-gerakan di tingkat regional sering kali dianggap sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang luas dan menyeluruh. Kurangnya kekhususan ini bahkan menyebabkan beberapa peserta memandang pembangunan gerakan transnasional sebagai fokus sekunder. Seperti yang diungkapkan N11, “[kami] melihat bahwa kerja sama regional penting untuk mengatasi permasalahan besar, namun jika menyangkut masalah tertentu, hal tersebut bukanlah hal yang paling berguna. Dalam menyelesaikan permasalahan nasional, saya yakin masyarakat di negaranya paling tahu apa yang harus dinavigasi, bagaimana menavigasi, dan menyelesaikan masalahnya.” Cara N11 membedakan antara isu-isu “besar” dan “kecil” mengungkapkan bagaimana gerakan transnasional sering dipandang eksklusif dalam menentukan prioritasnya. Mereka mungkin juga kurang memiliki kesadaran kelas. N3 memberikan contoh yang menyentuh tentang bagaimana eksklusivitas ini terjadi dalam praktik kerjanya, ketika ia merefleksikan contoh pekerja seks dan stigma yang terkait dengan mereka. “Saat kami mengkaji setiap negara dalam kemitraan regional kami, tidak ada negara yang menyertakan pekerja seks dalam gerakan feminisnya. Mereka memandang pekerja seks sebagai orang yang memberikan layanan kepada laki-laki dan dijual untuk melayani laki-laki; bukan sebagai pekerja dan agen feminis.”

Selain itu, tantangan internal terkait struktur organisasi dan kendala keuangan juga dapat mempengaruhi pergerakan transnasional. Dinamika internal organisasi terkait erat dengan lingkungannya yang lebih luas. Seperti disebutkan dalam CPR1, kelompok pro-demokrasi di Thailand, misalnya, mengandalkan kerja sukarela, sumbangan publik, dan penjualan barang dagangan untuk menopang kehidupan mereka. Kekhawatiran terhadap keberlanjutan dapat mengarah pada potensi eksploitasi terhadap aktivis, yang pada gilirannya berkontribusi pada kegagalan inisiatif para aktivis. Jika gerakan-gerakan tersebut mendapatkan pendanaan dari luar negeri, terdapat risiko bahwa kekuatan-kekuatan represif negara akan berusaha mendiskreditkan gerakan-gerakan tersebut dengan menjuluki mereka sebagai gerakan yang “dipimpin asing”. Sebagian besar peserta kami mengakui adanya kesulitan dalam mendanai aktivisme mereka, dan hal ini menunjukkan bahwa hal ini merupakan masalah mendesak yang memerlukan perhatian, masukan, dan kolaborasi lebih lanjut.

Kendala finansial juga berkontribusi pada fakta bahwa LSM-LSM sering beroperasi secara independen satu sama lain, dan memandang LSM-LSM lain sebagai “pesaing” dalam perebutan dukungan donor. Seperti diungkapkan N7, “Dulu pernah terpikir untuk melakukan gerakan massal, namun tidak pernah terlaksana. Karena LSM-LSM sibuk membangun ‘kerajaan’nya sendiri, saling bersaing dan berkubu dalam upaya pemecahan permasalahan yang ada.” Para aktivis di Indonesia memiliki istilah khusus untuk perilaku ini, yaitu “ego sektoral”, yakni kecenderungan untuk saling merahasiakan informasi di antara organisasi-organisasi yang memiliki pemikiran serupa meskipun mereka mempunyai visi dan tujuan yang sama. Sebagian permasalahannya berasal dari kurangnya budaya mengkritik diri sendiri dalam gerakan-gerakan seperti itu. Kemampuan untuk melakukan kritik diri sangat penting untuk menciptakan ruang yang aman dan memastikan keberlanjutan aktivisme yang sehat. Sayangnya, beberapa aktivis masih sulit untuk melakukan kritik internal, karena khawatir akan “mengganggu gerakan” atau mengungkap kelemahan internal. Perlawanan ini mungkin mencerminkan kecenderungan dalam gerakan-gerakan yang mempertahankan persepsi bahwa pendekatan mereka sendirilah yang paling efektif dan tidak dapat diganggu gugat.

Rekomendasi untuk Membangun dan Memperkuat Gerakan Transnasional

Baik melalui partisipasi langsung dalam jaringan tersebut, atau melalui upaya mereka sendiri untuk membangun solidaritas transnasional, para peserta kami telah mengidentifikasi keuntungan dan tantangan yang melekat dalam membangun gerakan transnasional feminis dan keadilan gender regional. Kami juga telah merangkum lima rekomendasi utama dari diskusi kami. Kami berharap daftar ini dapat menjadi referensi berharga bagi mereka yang mempertimbangkan pembentukan gerakan transnasional, atau revitalisasi gerakan yang sudah ada. Lebih optimis lagi, poin-poin ini dapat menjadi panduan dasar untuk memulai gerakan dalam berbagai skala.

Sebelum melanjutkan, kita harus menekankan bahwa bagi seseorang untuk terlibat dalam kerja-kerja aktivisme memerlukan rasa interseksionalitas dan kesadaran kelas, terutama karena aktivis terlibat dengan individu dari berbagai latar belakang dan kelas sosial ekonomi yang berbeda. Oleh karena itu, rekomendasi-rekomendasi ini sangat menjunjung tinggi pentingnya keduanya untuk mencegah terbentuknya gerakan transnasional “elitis” yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang, meskipun tidak disengaja.

  1. Identifikasi Kesamaan dan Berbagai Variasinya

Untuk mengatasi keuntungan dan tantangan pembangunan gerakan transnasional kita memerlukan pemahaman yang berbeda-beda di tingkat regional mengenai sejarah bersama dan perjuangan yang beragam di Asia Tenggara. Sebagaimana disoroti dalam CPR1, langkah pertama adalah mengeksplorasi sejarah unik dan konteks negara kita masing-masing. Namun, hal ini tidak berarti menjadi berpikir sempit; sebaliknya, kita harus fokus mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan dalam konteks regional yang lebih luas (baik dalam hal kesenjangan gender, latar belakang budaya, atau gerakan aktivis, misalnya). Kita harus menemukan cara untuk berkolaborasi berdasarkan perjuangan bersama sambil tetap memperhatikan tantangan yang dihadapi para aktivis dalam konteks nasionalnya.

Proses ini dapat menumbuhkan rasa solidaritas yang mendalam dan berkontribusi dalam mengidentifikasi, meminjam istilah dari CPR1, “pesan inti” dari setiap gerakan. Kami mengusulkan agar sejarah bersama dan perjuangan kolektif kita untuk membongkar seksisme yang mendasari struktur kapitalis-heteropatriarkal yang menindas dan memiliki banyak segi dapat menjadi salah satu narasi pemersatu; dan bahkan mungkin sebagai landasan untuk mendefinisikan feminisme Asia Tenggara. Seperti yang diartikulasikan oleh N12,

“Kita sering mengatakan bahwa kita perlu membangun kapasitas, meningkatkan keterampilan, dan sebagainya. Namun menurut saya sering kali orang hanya ingin melakukan percakapan agar mereka dapat belajar satu sama lain, memahami apa yang terjadi, dan merespons apa yang mereka dengar. Jadi menurut saya memiliki hal itu sekaligus memiliki ruang untuk berbicara dan mendengarkan adalah hal yang penting.”

  1. Mendorong Tumbuhnya Pengetahuan Melalui Keterlibatan dan Aliansi Inklusif

Menumbuhkan inklusivitas memerlukan komitmen untuk belajar dan berkolaborasi dengan berbagai latar belakang. Hal ini berarti secara aktif terlibat dan membentuk aliansi dengan individu-individu yang mencakup berbagai spektrum identitas, seperti perempuan, individu LGBTQIA+, masyarakat adat, aktivis akar rumput, dan laki-laki. Kita juga harus terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai organisasi, seperti pemerintah, gerakan politik, atau kelompok agama, sebagaimana tercermin dalam kerja-kerja para peserta penelitian kami.

Selain itu, mengatasi hambatan bahasa dapat dilakukan dengan penghormatan dan penggabungan bahasa yang beragam, antara lain melalui penerjemahan, pengoperasian multibahasa, pemanfaatan seni untuk menyampaikan pesan, atau penggunaan terminologi yang mudah diakses namun bernuansa berbeda. Sebagaimana dicatat oleh N14:

“Mendukung sirkulasi pengetahuan yang adil melibatkan pengembangan ragam metode penelitian, riset aksi, dan kampanye yang tidak hanya terkonsep tetapi mudah dicerna, menarik, dan menimbulkan empati.”

  1. Perkuat Suara “Dari Bawah”

Langkah penting berikutnya adalah memperkuat isu dan suara yang muncul dari komunitas akar rumput. Kekuatan gerakan transnasional terletak pada jumlah; secara kolektif, gerakan ini mampu bersuara lebih lantang dapat melawan institusi-institusi yang menindas.

Namun, melantangkan suara bukan berarti berbicara atas nama orang lain. Sebaliknya, hal ini adalah soal menciptakan ruang dan mendorong komunitas akar rumput untuk mengartikulasikan keprihatinan mereka dengan kata-kata mereka sendiri. Jika tidak, tindakan merepresentasikan suara-suara subaltern berpotensi mendistorsi atau menekan suara-suara tersebut melalui penerjemahan dan interpretasi (Spivak, 1988). Oleh karena itu, kita perlu mengkaji secara kritis dinamika kekuasaan dalam gerakan transnasional, sehingga kita dapat membiarkan suara kelompok marginal didengar tanpa secara tidak sengaja menekan atau memutarbalikkan pengalaman mereka. Seperti yang dengan tepat dinyatakan oleh N6:

“Kita perlu mengembalikan pengetahuan ke lapangan dan pada saat yang sama melakukan segala yang mungkin untuk menyuarakan suara masyarakat akar rumput, membuat mereka terlihat dan didengar oleh komunitas internasional.”

  1. Menumbuhkan Kepedulian Kolektif Dalam Gerakan

Aktivisme, sebagaimana disoroti dalam FGD1, bukan hanya sekadar “pekerjaan”, namun juga bagian integral dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menempatkan kepedulian kolektif sebagai inti aktivisme sangatlah penting. Kita tidak hanya bergulat dengan isu-isu yang kita dukung, namun juga dengan faktor-faktor struktural dan sistemik yang menghambat upaya kita. Beberapa peserta mengakui bahwa meskipun mereka menyukai pekerjaan mereka di bidang aktivisme, mereka tetap melihatnya sebagai tugas yang tidak ada habisnya, melelahkan, serta membutuhkan kapasitas emosional yang besar. Mengatasi tantangan tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kepedulian satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari; lagi pula, yang pribadi adalah yang politis. Seperti yang diungkapkan dengan indah oleh peserta FGD1:

“Jadi praktik saya adalah memberikan ruang bagi masyarakat. Untuk memberi tahu orang-orang bahwa mereka tidak sendirian, banyak orang yang berjuang untuk mereka. Pada akhirnya, perubahan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang turun ke lapangan, melemparkan batu bata, dan berteriak-teriak, berjuang di garis depan; namun juga oleh orang-orang yang tinggal di rumah, yang memastikan bahwa orang-orang tersebut punya tempat tujuan, bahkan ketika mereka tidak punya tempat lain. Dengan menciptakan ruang untuk kepedulian kolektif, pada akhirnya kita dapat menemukan solidaritas atau bahkan universalitas dalam memahami kasih sayang.”

  1. Berbagi Kisah Sukses untuk Memperkuat Harapan

Tantangan, baik struktural, sistemik, institusional, atau personal, mempunyai banyak segi. Hal ini terjadi di tingkat lokal, nasional, atau regional, yang secara kumulatif menumbuhkan pesimisme, keputusasaan, dan rasa tidak berdaya. Perasaan seperti itu sejalan dengan tujuan pemerintah yang represif. Oleh karena itu, untuk menjaga api aktivisme kita tetap berkobar, kami juga menekankan betapa pentingnya berbagi kisah sukses dan pencapaian dari upaya kolektif kita. Mengambil inspirasi dari keberhasilan rekan-rekan kita memungkinkan kita mengeksplorasi strategi inovatif dan mengidentifikasi taktik umum yang selaras dengan visi bersama. N13 mengungkapkan keinginannya untuk mendapatkan lebih banyak kisah sukses dari rekan-rekan aktivisnya, dengan menyatakan bahwa:

“Saya harap dengan berhasilnya aktivis LGBTQIA+ di negara-negara lain itu bisa jadi sebuah inspirasi buat negara kita juga. Walaupun saya tahu konteks negara-negara ini mungkin berbeda dengan Indonesia, tapi menarik buat melihat bagaimana aktivisme bekerja dan beradaptasi dengan konteks [nasional] masing-masing.”

Patung figur feminin yang seluruhnya rusak dan retak, dilatari motif batik tradisional. Ilustrasi oleh Raphaela Vannya.

Berbangga dan Merayakan Prestasi Kita

Rekomendasi kelima di atas membawa kita pada refleksi yang lebih luas: Apa yang telah dicapai para aktivis Asia Tenggara dalam membangun demokrasi inklusif dan memajukan keadilan gender?

Hal pertama dan terpenting adalah keberhasilan advokasi perubahan hukum, seperti yang dicontohkan dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia, dan diberlakukannya Undang-Undang Anti Pelecehan Seksual tahun 2022 di Malaysia. Menurut N12, “Yang penting bukanlah perubahan undang-undang, tapi juga dampaknya terhadap masyarakat. Ada efek transformatif dalam jiwa orang-orang—mereka menjadi lebih terbebaskan setelah perubahan yang orang pikir mustahil terjadi.”

Kategori pencapaian penting lainnya adalah munculnya gerakan feminis yang dipimpin oleh kaum muda yang terinspirasi oleh aktivis pro-demokrasi. N6, misalnya, menyatakan antusiasmenya terhadap kepemimpinan baru yang menyegarkan dalam gerakan feminis Thailand, yang kini dipelopori oleh para aktivis muda yang tanpa rasa takut menangani isu-isu yang dihindari oleh generasi tua. Pergeseran ini memberikan harapan dan menunjukkan bahwa masa depan feminisme dan keadilan gender terletak di tangan individu yang lebih berani dan lebih muda. Seperti yang ditekankan oleh N6, “Mereka mempunyai keberanian untuk memimpin gerakan dan mewakili masyarakat tanpa membatasi keyakinan dan kondisi apa pun. Mereka hanya mengatakan kepada generasi yang lebih tua, ‘Saya tidak harus mengikuti Anda karena cara Anda melakukan sesuatu selama bertahun-tahun tidak berhasil.’”

Meningkatnya kehadiran suara perempuan di bidang aktivisme, yang menggunakan beragam cara untuk mengekspresikan perbedaan pendapat, juga patut dirayakan. Seperti yang diamati oleh N2 di Thailand, perempuan yang dulu hanya fokus pada isu-isu domestik ketika mengorganisir protes, kini terlibat dalam beragam topik. Pergeseran ini menunjukkan upaya berkelanjutan yang dilakukan para aktivis feminis dan keadilan gender dalam meningkatkan kesadaran mengenai isu-isu terkait gender, yang kini telah diterima di masyarakat. Dalam skala yang lebih kecil namun signifikan, N14 juga merayakan betapa semakin banyak perempuan dari daerah pedesaan di Indonesia, yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk berbicara, kini berani mengutarakan permasalahan mereka di depan orang lain.

Aktivis juga beradaptasi dengan perkembangan zaman. N10, misalnya, bangga dengan diskusi yang relatif baru namun terus berkembang mengenai persinggungan antara gender dan teknologi di Indonesia. “Jumlahnya memang kecil, namun kini semua orang berbicara tentang kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender di dunia maya, dan semakin banyak orang yang membahas pentingnya privasi online perempuan dan kelompok LGBTQIA+. Saya tidak bisa membuktikan bahwa hal itu mempunyai korelasi langsung dengan apa yang kami lakukan, tapi saya senang melihat bahwa mungkin kami menginspirasi mereka.”

Sementara itu, dalam menghadapi skeptisisme publik dan stigmatisasi terhadap gerakan feminis dan keadilan gender, pencapaian penting adalah bagaimana para aktivis berhasil menjangkau individu-individu dengan latar belakang budaya dan sosial ekonomi yang beragam, serta institusi. Sebagai gambaran, N7 mampu bekerja secara harmonis dengan rekan-rekan dari berbagai latar belakang di Myanmar. “Melalui platform organisasi kami, kami telah membantu ibu tunggal dan perempuan yang sangat rentan. Kami juga telah memperkuat suara perempuan dan kelompok marginal, yang merupakan momen yang patut disyukuri.”

Pertumbuhan gerakan LGBTQIA+ di wilayah ini juga patut dirayakan. N13 menemukan kegembiraan, misalnya, dalam sambutan positif terhadap inisiatif pengarsipan queer yang dilakukan organisasinya. Inisiatif ini, yang berpuncak pada pembuatan katalog dan pameran, mendapat tanggapan positif dari khalayak luas. Arsip ini tidak hanya mendorong masyarakat untuk memahami lebih dalam kehidupan queer di Indonesia, namun juga menginspirasi individu queer untuk berkontribusi dan terlibat dalam pekerjaan pengarsipan ini. Sementara itu, para aktivis senior queer telah menunjukkan antusiasme yang besar terhadap inisiatif ini dan menyadari pentingnya hal ini. N13 menganggap hal ini sebagai validasi atas kerja organisasinya, dengan menegaskan pentingnya menanamkan warisan aktivis queer dalam sejarah. Dia menekankan bagaimana pengarsipan queer memungkinkan sesama individu queer untuk lebih memahami sejarah mereka dan merasakan rasa memiliki:

“Senang banget sih ketika orang tuh kayak, ‘Oh ya, sekarang gue jadi tahu kalau sebelum gue tuh ada pendahulu-pendahulu gue yang sama-sama queer,” gitu. Karena sejarah queer kan nggak muncul di sejarah mainstream kita ya, kita tidak diajarkan itu di sekolah, itu nggak muncul di diskusi sejarah “abang-abangan” gitu kan. Jadinya kayak, ‘Where are the gays, where are the lesbians, where are the trans folks?’ Terus ternyata ada catatan kalau misalnya orang-orang ini udah ada dan udah mengorganisir diri dari jauh-jauh hari sebelum kita ada tuh, kayak, ‘Oh wow, I’m part of something bigger, I’m part of something that have history,’ gitu.”

Kesimpulan 

Setelah mengkaji faktor-faktor struktural dan sistemik yang menghambat keadilan gender dalam Penjelasan 1, serta perjuangan sehari-hari yang dihadapi para aktivis dalam Penjelasan 2, kami berpendapat bahwa membangun dan terlibat dalam gerakan transnasional berpotensi menjadi respons yang layak untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Sebagai gerakan yang beragam, interseksional, kolaboratif, dan mengakar kuat, gerakan-gerakan ini memberikan banyak keuntungan bagi para aktivis. Namun, mengingat tantangan besar yang dihadapi para aktivis, yang berbeda-beda sesuai dengan konteks unik negara mereka masing-masing, masih ada keraguan mengenai kelayakan gerakan feminis transnasional dan keadilan gender di Asia Tenggara yang efektif.

Meski demikian, skeptisisme tidak berarti kita kekurangan cara untuk melakukan perubahan. Sebagaimana dinyatakan oleh antropolog James C. Scott (1985), tidak adanya pengetahuan atau pengalaman langsung mengenai tatanan sosial alternatif tidak menghalangi kelompok bawahan untuk menghasilkan pemikiran revolusioner. Kapasitas imajinatif untuk menantang dan menggulingkan ideologi dominan bisa saja ada, apa pun kondisi yang ada. Pengalaman para aktivis Asia Tenggara yang disebutkan sejauh ini mencerminkan kapasitas imajinatif tersebut. Dapat ditambahkan bahwa memupuk imajinasi kita sangatlah penting untuk menjaga harapan kita terhadap demokrasi yang lebih baik.

Gerakan transnasional, baik formal maupun non-formal, dapat memberikan para aktivis sebuah platform untuk terhubung dan memupuk solidaritas. Yang penting, mereka juga menegaskan kembali keyakinan bahwa meskipun tantangan yang dihadapi para aktivis tampaknya tak ada habisnya, perjuangan ini dapat diatasi secara kolektif. Membayangkan sebuah gerakan transnasional memberikan peluang untuk membayangkan demokrasi Asia Tenggara yang inklusif, di mana keadilan gender tidak hanya merupakan komponen tambahan atau basa-basi saja, namun sangat penting untuk mewujudkannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa, meskipun perjalanannya mungkin sulit, ini bukanlah perjalanan sendirian. Faktanya, dengan terlibat dalam gerakan transnasional yang berakar pada nilai-nilai feminisme inklusif dan keadilan gender, kita dapat menemukan kegembiraan yang lebih besar dan rasa kepuasan yang mendalam dalam aktivisme kita.

Yang paling penting, sejalan dengan definisi feminisme yang ada, kita perlu membongkar penindasan dengan menganut prinsip-prinsip interseksionalitas, kesetaraan, dan kepedulian—nilai-nilai yang harus kita tanam dan junjung secara kolektif dalam gerakan transnasional.

Jadi, apakah kamu bersemangat untuk bekerja secara kolektif lintas batas negara? Apakah kamu siap untuk terus membayangkan dunia lain sambil bekerja sama menuju demokrasi inklusif?

Daftar Pustaka

Barron, L. (2020, October 28). ‘We Share the Ideals of Democracy.’ How the Milk Tea Alliance Is

Brewing Solidarity Among Activists in Asia and Beyond, Time. https://time.com/5904114/milk-tea-alliance/ 

Blackburn, S. (2013). Introduction: Gendered Nationalist Movements in Southeast Asia. In S.

Blackburn & H. Ting (Eds.), Women in Southeast Asian Nationalist Movements (pp. 1–22). NUS Press. https://doi.org/10.2307/j.ctv1qv1g3.5

Bourdieu, P. 1986. The Forms of Capital. In J. G. Richardson (Ed.) Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241–258). New York: Greenwood Press.

Clarke, J.J. (1997). Oriental Enlightenment: The Encounter Between Asian and Western Thought. Oxon: Routledge.

Ford, M. (2013). Social activism in Southeast Asia: An introduction. In M. Ford (Ed.) Social Activism in Southeast Asia (pp.1–21). Oxon: Routledge.

Jayawardena, K. (2016). Feminism and Nationalism in the Third World. Brooklyn, NY: Verso Books.

Loheswar, R. (2023, July 25). Far from helping, local LGBT activists say The 1975’s Matt Healy only made things worse, Malay Mailhttps://www.malaymail.com/news/malaysia/2023/07/25/far-from-helping-local-lgbt-activists-say-the-1975s-matt-healy-only-made-things-worse/81547 

Mohanty, C.T. (1991). Introduction: Cartographies of Struggle: Third World Women and the Politics of Feminism. In C.T. Mohanty, A. Russo, L. Torres (Eds.) Third World Women and the Politics of Feminism (pp.1–50). Bloomington, IN: Indiana University Press. 

Mohanty, C.T. (2003). Feminism without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity. Durham & London: Duke University Press.

Roces, M. (2010). Asian Feminisms: Women’s Movements from the Asian Perspective. In M.

Roces & L. Edwards (Eds.) Women’s Movements in Asia (pp.1–20). Oxon: Routledge. 

Scott, J.C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale University Press.

Spivak, G.C. (1988). Can the Subaltern Speak? In C. Nelson, & L. Grossberg (Eds.) Marxism and the Interpretation of Culture (pp.66–111). Basingstoke: Macmillan Education. https://abahlali.org/files/Can_the_subaltern_speak.pdf 

Stivens, M. 1991. Why Gender Matters in Southeast Asian Politics. In M. Stivens (Ed.) Why Gender Matters in Southeast Asian Politics (pp. 9–24). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Vergès, F. (2021). A Decolonial Feminism. London: Pluto Press.

Author’s Note

Penjelasan ini adalah bagian dari seri pertama proyek Democratic Participation Research, yang merupakan lanjutan dari publikasi pertama,  “A New Feminist Narrative”. Ketika tim peneliti kami memutuskan untuk melakukan perancangan ulang penelitian, kami memutuskan untuk mempublikasikan laporan kami dalam bentuk serangkaian penjelasan, bukan dalam bentuk dokumen PDF yang panjang.

Partisipan penelitian ini terdiri dari empat belas aktivis feminis dan keadilan gender dari berbagai latar belakang di tujuh negara Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Filipina. Kami juga mengadakan satu diskusi kelompok terfokus dengan empat aktivis (FGD1), serta satu tinjauan sejawat komunitas dengan lima aktivis lainnya (CPR1), demi mengumpulkan lebih banyak wawasan.

Keterbatasan utama penelitian ini terletak pada ruang lingkupnya, karena kami tidak dapat mencakup seluruh negara di Asia Tenggara. Oleh karena itu, suara-suara dari Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Timor-Leste tidak diikutsertakan. Arah penelitian kami sangat bergantung pada partisipasi aktivis, dan karena terbatasnya kerangka waktu dan sumber daya, keterlibatan aktivis dari negara-negara tersebut tidak mungkin dilakukan. Meskipun kami mengakui adanya keterbatasan ini, kami berharap rangkaian artikel penjelasan ini dapat memicu diskusi tentang partisipasi demokrasi di Asia Tenggara dari berbagai sudut pandang, termasuk dari negara-negara yang tidak terwakili dalam penelitian kami.

Kami menggunakan rancangan penelitian small-N, yang berfokus pada sejumlah kasus untuk mendapatkan wawasan mendalam dibandingkan keterwakilan statistik. Kami menjamin anonimitas peserta, mereka diidentifikasi berdasarkan label (N1, N2, N3…) secara kronologis dari wawancara terlama hingga terbaru. Pengumpulan data yang terdiri dari wawancara online, FGD, dan CPR dilakukan pada bulan September 2022 hingga Oktober 2023.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Thet Wai yang telah merancang penelitian ini, melakukan sebagian besar wawancara, dan mengizinkan saya melanjutkan penelitian ini. Saya berterima kasih kepada Fanya Tarissa yang membantu saya membuat catatan negara, serta Song Eraou dan Wai Liang Tham atas hasil suntingan mereka yang dinamis. Terutama, saya berterima kasih kepada para partisipan penelitian yang telah turut membangun penelitian ini bersama-sama.

Related Articles

Responses