A baby sheep is playing in a sandpit when her parents come with a bearded old goat about to ask for her hand in marriage.

Pernikahan Anak di Indonesia Sudah Ilegal. Tapi Kenapa Masih Marak?

Walau pemerintah telah menyediakan aturan dan hukum yang melarang pernikahan anak di Indonesia, hal ini masih menjadi masalah serius di masyarakat. Pernikahan anak biasanya diteropong lewat kacamata agama dan budaya, padahal faktor yang lebih utama adalah kemiskinan, termasuk kurangnya akses pendidikan dan informasi serta keputusasaan orangtua yang ingin segera mengentaskan anaknya dari kemelaratan.

Pada bulan Februari 2021, Indonesia dibuat terkejut dengan munculnya website “aishaweddings” yang mempromosikan pernikahan anak di Depok, Jawa Barat. Aishaweddings adalah perusahaan wedding organizer (WO) yang menawarkan berbagai layanan, termasuk yang kontroversial (Kompas, 2021; The Straits Times, 2021). Layanannya termasuk menyelenggarakan pernikahan siri untuk suami yang ingin berpoligami, dan mendorong perempuan untuk menikah di usia sedini 12 tahun. Secara khusus, WO ini memantik kemarahan dengan mengutip ayat-ayat Al Quran untuk membenarkan arah bisnis mereka. Aishaweddings akhirnya dilaporkan ke polisi atas dasar promosi pernikahan anak (VOI, 2021).

Banyak pihak melontarkan kritik keras kepada aishaweddings, salah satunya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Beberapa LSM dan pemuka agama yang secara aktif mengkampanyekan perlindungan anak dan menentang pernikahan anak juga dibuat geram. Pasalnya, aishaweddings mendorong pernikahan anak dengan mengatasnamakan agama (Aryacetana & Delliana, 2022).

Namun, apakah pernikahan anak merupakan praktek agama atau tidak bukanlah fokus dari artikel ini. Yang membingungkan adalah mengapa pernikahan anak tetap terjadi walau telah dianggap ilegal secara hukum di Indonesia. Dari sejak pemerintahan Suharto hingga Joko Widodo, pemerintahan Indonesia memiliki sejarah panjang berusaha menghentikan pernikahan anak dengan menerbitkan hukum perkawinan (contohnya UU No.1/1974 yang kemudian diamandemen dengan UU No. 16/2019). Karenanya, hal ini memunculkan dugaan bahwa kerangka hukum diperlukan tapi tidak cukup untuk membuat perubahan, sebuah pola yang juga muncul di berbagai konteks lain.

Prevalensi Pernikahan Anak di Indonesia

Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang melibatkan individu di bawah umur 18 tahun, di mana pengantin perempuannya belum siap secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk mengambil tanggung jawab atas pernikahannya dan untuk melahirkan anak.

Umemoto, 2001; UNICEF, 2005; International Planned Parenthood Federation, 2006; Iustitiani and Ajisuksmo, 2018.

Menurut KemenPPA (2021) dan girlsnotbrides.org, 16% anak perempuan Indonesia menikah sebelum umur 18 dan 2% menikah sebelum ulang tahun mereka yang ke 15. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada anak perempuan. Ada 5% anak laki-laki yang menikah sebelum ulang tahun mereka yang ke 18. Dari semua pernikahan, 10,8% melibatkan anak (Retnaningsih et al., 2022). Indonesia menduduki peringkat 8 dunia dalam jumlah anak perempuan yang menikah di bawah umur 18 tahun, dan peringkat 3 di Asia Tenggara setelah Laos dan Filipina (Rahiem, 2021; Yee, 2021).

Pernikahan anak bisa memunculkan trauma psikologis serta memicu kekerasan domestik dan seksual pada perempuan muda. Hal terkejam yang bisa terjadi adalah eksploitasi pengantin anak sebagai budak rumahan atau korban perdagangan seksual, selama atau setelah pernikahannya, ketika mereka diceraikan atau ditinggalkan (Nour, 2009).

Karena potensi implikasi negatif dari pernikahan anak, amatlah penting untuk menanggapi isu ini secara cepat dan tepat.

Perempuan di bawah umur tidak siap menjadi mempelai, baik secara fisik, seksual, maupun psikologis. Dalam tahap kehidupan mereka, mereka harus memprioritaskan pengembangan diri dan pendidikan mereka.

Mengapa pernikahan anak di Indonesia tetap ada walau pemerintah terang-terangan melarangnya?

Kami sepakat dengan Ratnaningsih et al.’s (2022) yang berkata bahwa hal ini berakar pada tiga faktor: kemiskinan, norma budaya di masyarakatnya, dan kurangnya edukasi serta informasi. Ketiga faktor itu berkelindan menjadi dorongan kuat yang menjerumuskan anak-anak perempuan ke pernikahan anak. Pesantren di daerah terpencil, yang dipimpin oleh kyai sesat, juga berpengaruh dalam terjadinya pernikahan anak. Dengan memahami dan meneliti faktor-faktor tersebut, artikel penjelasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana kita bisa bergerak lebih dari sekedar ranah hukum untuk akhirnya mengenyahkan tradisi ini.

Memahami Hukum Indonesia

Perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

Pasal 7(1). UU No. 16/2019

Setelah ratifikasi UU No.16/2019, seperti yang diungkapkan dalam Pasal 7(1) di atas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Darmawati, yang meratifikasinya,[1] menyatakan bahwa “Pernikahan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak, dan merupakan praktek pelanggaran hak asasi anak.” 

Di bagian lain dari pidatonya, Bintang menyatakan, “Dampak pernikahan anak tidak hanya dialami oleh anak-anak yang menikah, namun juga anak-anak yang akan dilahirkan (dari pernikahan anak), dan hal itu berpotensi menyebabkan kemiskinan lintas generasi.”

Akan tetapi, ada celah hukum di UU ini yang bernama “dispensasi pernikahan”. Dispensasi pernikahan adalah mekanisme legal yang membolehkan pasangan di bawah umur seperti yang dispesifikasikan dalam Hukum Perkawinan Pasal 7(2) untuk menikah.

Orangtua harus memohon dispensasi lewat Pengadilan Agama (bagi orang Muslim) dan Pengadilan Negeri (bagi bukan penganut Islam). Mereka bertanggung jawab untuk menerima, memproses, dan memberi keputusan akhir apakah permohonan dispensasi tersebut diterima atau ditolak.

Para hakim menggunakan empat pertimbangan utama dalam memutuskan hasil permohonan dispensasi pernikahan. Yang pertama berhubungan dengan prinsip-prinsip fiqiyah, yang menyebutkan bahwa menerima pengecualian tersebut adalah untuk mencegah mudarat. Kedua, adanya hubungan intim antara subjek dan pasangannya. Ketiga, “kegelisahan” orangtua (misalnya terhadap kelakuan beresiko anaknya). Keempat, kondisi finansial keluarga. Hal ini bisa mendorong mereka untuk menikahkan anak di usia muda.

Angka kasus dispensasi pernikahan meroket secara mengkhawatirkan di tahun-tahun belakangan (Data Indonesia, 2022). Angka dispensasi pernikahan meningkat dari 2020 ke 2022 akibat berbagai situasi, salah satunya pandemi COVID-19. Angka ini juga mungkin meningkat akibat ratifikasi UU baru ini di tahun 2019.[2]

Permohonan Dispensasi Pernikahan yang Dikabulkan Pengadilan

201611.488
201712.557
201813.489
201923.145
202063.382
202161.449
202250.673
Sumber: DataIndonesia, 2022

Celah hukum ini membuat pernikahan anak masih mungkin, namun tidak menjelaskan apa yang memotivasi para orangtua untuk menikahkan anak-anaknya. Untuk menjawab ini, kita harus menyelami faktor-faktor ekonomi, sosial, dan kultural yang mendorong praktik berkelanjutan pernikahan anak.

Faktor Kunci Pendorong Pernikahan Anak

Pertimbangan Ekonomi

Banyak keluarga miskin di daerah terpencil Indonesia menghadapi kesulitan untuk mencapai kesejahteraan dan pendidikan yang layak. Pertimbangan ekonomi yang tidak matang bisa menjadi motivator yang amat kuat di berbagai aktivitas sosial, bahkan termasuk berpindah ke negara lain sebagai pekerja migran demi mencari penghidupan yang lebih baik bagi keluarga di tanah air. Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dispensasi biasanya dilakukan ketika keluarga menghadapi kesulitan finansial dan memutuskan untuk menikahkan anaknya di usia muda untuk mengurangi pengeluaran dari menanggung biaya hidup anak tersebut (Jurnal Perempuan, 2021).

Menurut laporan UNICEF (2017), pernikahan anak terkait erat dengan terpencilnya lokasi tempat tinggal, kondisi hunian yang buruk, dan rumah tangga dengan jumlah pengeluaran sedikit, semuanya terhubung dengan kemiskinan.

Pernikahan anak adalah pelanggaran fundamental atas hak asasi manusia anak perempuan. Pernikahan anak membatasi akses anak perempuan kepada pendidikan, kesehatan, penghasilan di masa depan, keamanan, agensi, dan kemampuan. Pernikahan anak juga membatasi status serta peran mereka di rumah dan di masyarakat. Praktik ini didorong oleh kemiskinan dan norma sosial yang berakar pada status perempuan dan anak perempuan yang rendah. Anak perempuan yang menikah dini menghadapi ancaman kesehatan dan kesejahteraan yang besar.

UNICEF Reports, 2017

Angka prevalensi pernikahan anak lebih tinggi 1,5 kali di area terpencil dibandingkan di area urban (27,1% vs 17,1% di 2015), dan kesenjangan ini masih konstan sejak 2008. Pernikahan anak terutama lebih sering terjadi di daerah dengan angka kemiskinan tinggi seperti Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (Retnaningsih et al., 2022), dua area yang akan menjadi fokus diskusi di bawah. Sejumlah peneliti menemukan bahwa secara umum masyarakat miskin di daerah terpencil sepakat anak perempuan harus menikah dini sebagai mitigasi ekonomi. Pernikahan anak memindahkan tanggungjawab dan beban biaya kebutuhan anak perempuan ke rumah baru. Walau tidak ada jaminan bahwa kemiskinan antar generasi akan terangkat, paling tidak orangtua tidak perlu bertanggung jawab penuh atas anak-anak perempuannya (Iustitiani & Ajisuksmo, 2018).

Selama enam tahun terakhir, laju kemiskinan di Sulawesi Selatan berada di atas rata-rata nasional, di mana ada enam kecamatan yang memiliki laju kemiskinan hingga dua digit di atas 14,3% yang merupakan rata-rata nasional (Prakarsa, 2021). Di antaranya adalah Kabupaten Janeponto, yang memiliki laju kemiskinan 14,58%; Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (13,96%); Kabupaten Luwu Utara (13,41%); Kabupaten Luwu (12,65%); Kepulauan Selayar (12,48%), Kabupaten Enrekang (12,17%); Tanah Toraja (12,10%), Toraja Utara (12,01%); dan Kabupaten Bone (10,68%).

Di Bone, Sulawesi Selatan, prevalensi pernikahan anak 14% lebih tinggi daripada rata-rata provinsi 12,1% dan laju nasional 10,8%. Di tahun 2021, ada 2.496 kasus pernikahan anak di antara 800.000 orang (Ratnaningsih et al., 2022). 

Walau faktor kemiskinan saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa pernikahan anak terus terjadi, konsekuensi jangka panjang kemiskinan tidak bisa diabaikan. Contohnya, kemiskinan diidentifikasikan sebagai penyebab utama mengapa seperlima dari 806.000 populasi tergerak untuk meninggalkan Bone untuk mengejar kesempatan yang lebih baik (Pemerintah Daerah Bone, 2019; BPS, 2021; Abdussamad, 2021). Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa orangtua dan yang hanya diasuh oleh kakek-neneknya atau keluarga besar. Orangtua kemudian meminta anak-anaknya untuk menikah dini demi mendapatkan keamanan dan perhatian.

Bisa juga, mereka bergantung pada pesantren setempat sebagai sekolah asrama Islam yang murah. Mereka percaya pesantren dapat memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya (lihat di bawah). Namun, hal ini kemudian terbukti gagal memberi keamanan dan perlindungan kepada anak. Kami berpendapat sistem ini juga menjadi pendukung signifikan pernikahan anak, seperti yang akan kita diskusikan lebih jauh di bawah.

Laju pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat adalah 16,3%: yang tertinggi keempat di Indonesia dan secara signifikan lebih tinggi daripada rata-rata nasional yakni 10,8% (Badan Pusat Statistik, 2021). Daerah yang lebih spesifik dengan prevalensi pernikahan anak tinggi adalah Bima, sebuah daerah berpenghasilan rendah dengan mayoritas Muslim.[3] Bima adalah contoh daerah di mana banyak orang-orangnya berpindah untuk kesempatan ekonomi yang lebih baik.

Sementara, mereka yang tinggal memilih untuk melakukan pekerjaan “kerah biru” sebagai sumber pencaharian. Kondisi ini menimbulkan efek domino pada kehidupan warga. Wahidah (52), salah satu peserta penelitian dari Bima,[4] ingin memasukkan anak-anaknya ke pesantren dengan harapan asrama Islam akan memelihara anak-anaknya lebih baik daripada yang bisa dilakukan keluarga. Kata Wahidah,

“…kemiskinan diwariskan dalam keluarga saya. Saya dulu miskin. Sekarang masih miskin. Mungkin besok, saya akan masih terjebak dalam keadaan miskin ini. Jadi dengan memasukkan anak perempuan saya ke pesantren, mungkin ia punya kesempatan untuk mengubah masa depannya.”

Peserta lain dengan eksplisit menyebutkan keinginan mereka untuk mengawinkan anak perempuan mereka untuk mengurangi beban finansial keluarga. Memang, kondisi ekonomi punya akibat besar di sini. Menurut data terkini dari pemerintah daerah, 16,59% anak-anak di Nusa Tenggara Barat telah menikah, dengan total 1.132 kasus (Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB, 2022).

Praktek Adat

Pernikahan anak bukanlah fenomena baru, melainkan praktek yang didukung oleh budaya setempat dan tradisi yang telah ada sebelum era kemerdekaan. Ada praktek kawin gantung di antara komunitas adat yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun. Dalam praktek ini, anak dinikahkan secara upacara agama namun hanya boleh tinggal bersama setelah mencapai usia matang. Perkawinan anak di Indonesia berakar dari praktek adat, yang kemudian menjadi hukum adat. Kebanyakan praktek adat di Indonesia berhubungan dengan Hukum Islam[5] (Otto, 2010). Beberapa praktek religius dan adat membuat orangtua remaja perempuan menikahkan anak perempuan mereka sebelum akil baligh atau mencapai usia puber. Contohnya, di beberapa area di Indonesia, menikahkan anak perempuan bisa menjadi satu solusi untuk membayar balas budi (Madura), meningkatkan status keluarga (Indramayu), serta menganggap anak perempuan sudah cukup umur untuk menikah karena telah mendapatkan haid pertamanya (Sulawesi Selatan). Kita bisa melihat bahwa praktek religius dan adat dan kuat menjadi salah satu kekuatan yang mendorong pernikahan anak, dan hal ini tidak berakar dari keinginan anak gadis yang terlibat dalam praktek ini.

Maka, pernikahan anak bisa terjadi karena orang-orang menganggapnya bagian dari iman dan “praktek adat” di masyarakat Indonesia. Pernikahan anak tentu saja juga muncul di area urban seperti halnya di daerah terpencil, namun angkanya lebih besar di area terpencil yang miskin. Namun, ada satu faktor kritis yang menjelaskan mengapa prevalensi pernikahan anak lebih tinggi di area terpencil daripada di area urban: terbatasnya literasi dan akses kepada informasi, yang merupakan ciri-ciri populasi area terpencil Indonesia.

Ilustrasi oleh Kifurai.

Di area-area ini, pemimpin lokal atau pemuka agama biasanya menjadi jembatan informasi yang tersebar di area tersebut. Hal ini bisa menjadi problematis ketika mereka dihadapkan dengan fakta bahwa mereka menggenggam kekuasaan dan uang di suatu kelompok agama dan masjid, membuat mereka bisa mengendalikan otoritas budaya dan agama (Cameron et al., 2020). Kami akan menjelaskan lebih jauh hubungan antara insularitas komunitas dan pernikahan anak di bagian berikutnya.

Pendorong lain yang membuat orangtua merasakan tekanan hebat untuk segera menikahkan anak perempuannya segera setelah mencapai masa puber adalah keinginan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan (Kohno et al., 2020). Kehamilan gadis remaja bisa menyebabkan konsekuensi sosial yang amat serius, terutama bagi gadis-gadis yang tidak menikah. Dengan laju dropout lebih tinggi dan prestasi pendidikan lebih rendah, anak perempuan menghadapi banyak hambatan untuk mengalami perkembangan pribadi. Hal ini juga membuat potensi pendapatan mereka di masa depan berkurang, sehingga menghambat perkembangan ekonomi mereka. Kehamilan di antara perempuan tidak menikah terkadang sering berujung kekerasan. Walau data yang layak untuk meneropong masalah ini masih kurang, pernikahan seringkali dianggap menjadi solusi untuk menjaga kehormatan keluarga (WHO Report, 2011).

Lebih jauh lagi, beberapa praktek adat di Indonesia kerap kali amat mirip dengan nilai religius yang dianut kebanyakan orang Indonesia (Bemmelen & Grijns, 2018). Contohnya, masyarakat percaya pamali atau tabu jika orangtua menolak lamaran seorang laki-laki ke anak perempuannya. Selama bertahun-tahun, nilai-nilai budaya dan masyarakat mendorong terjadinya pernikahan anak. Di beberapa area terpencil, perempuan yang masih tidak menikah di usia 20 dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal dan agama, dan berbuntut pengasingan (Chotim, 2019). Maka, bisa disimpulkan ada banyak tekanan dari masyarakat untuk menikah dini.

Kurangnya Pendidikan dan Informasi

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pernikahan anak difasilitasi oleh kurangnya kesempatan mengenyam pendidikan serta terbatasnya akses kepada informasi. Menurut hasil penelitian Windhani et al. (2022), Indonesia mengalami ketidaksetaraan kesempatan pendidikan. Kesempatan pendidikan dan akses kepada informasi, misalnya berita terkini dan ketersediaan informasi, masih terkonsentrasi di Jawa. Sementara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat memiliki kesempatan pendidikan dan ketersediaan informasi amat rendah, dengan rata-rata MYS[6] (mean years of schooling atau mean tahun sekolah) pada 9,09 persen setahun, sementara laju nasional mencapai 38 persen dari total populasi. Ketidaksetaraan pendidikan mempengaruhi kesempatan ekonomi, yang menciptakan kemiskinan, yang pada akhirnya, seperti yang telah diungkapkan di atas, berhubungan dengan pernikahan anak (Climent, 2010).

Contohnya, anak perempuan yang tinggal di pedesaan Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat memiliki kesempatan lebih rendah untuk menerima pendidikan dan informasi yang sesuai. Mereka tidak tahu bahwa menikah di usia muda bisa amat mempengaruhi masa depan mereka, karena menjadi seorang istri membuat mereka tidak boleh mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan karena mereka harus meminta izin dari suami (Colfer et al., 2015). 

Lebih jauh lagi, situasi yang mirip juga terjadi pada keluarga dan ibu-ibu yang tidak dapat menggapai kesempatan pendidikan. Hasilnya, lingkaran setan tak terpatahkan yang  menjerumuskan anak-anak perempuan pada kepercayaan bahwa seluruh identitas dan tujuan hidup mereka tertambat pada dan hanya berarti jika ada perkawinan, kelahiran anak, dan pekerjaan rumah tangga yang akan membatasi hidup mereka (Pradipta, 2021). 

Kurangnya informasi mengenai bahaya pernikahan anak, serta antipati terhadap pandangan-pandangan kritis yang dianggap berseberangan dengan norma, mendorong kelestarian praktek tradisional ini. Hal ini mengurung komunitas tersebut dalam tempurung di mana pernikahan anak tidak pernah dipertanyakan dari sisi etika dan moral—karena masyarakatnya tidak menyadari bahwa ada kemungkinan realitas lain.

Peran Pesantren

Pernikahan anak lebih jauh lagi dilestarikan oleh pondok pesantren, yang para pemimpinnya mengambil kesempatan aji mumpung dari situasi itu untuk memajukan agenda religius mereka. Walau hanya sebagian kecil dari sekolah-sekolah ini yang melakukan praktek tidak etis yang melanggar hak fundamental anak, peran mereka amat destruktif, yang membuat kita mau tidak mau memperhatikan institusi-institusi yang melakukan praktek ini (Maulanasyah & Ahmad, 2023).

Para orangtua yang terpengaruh hal-hal di atas—kemiskinan yang membuat mereka tidak bisa membiayai anak-anaknya, pengaruh praktek adat dan agama, serta kurangnya akses kepada pendidikan dan informasi—biasanya akhirnya menempatkan anak mereka, terutama anak-anak perempuan, di pondok pesantren, terutama ketika tidak ada kerabat yang bisa membantu mereka merawat anak (Srimulyani, 2007). Hal ini amat mungkin terjadi ketika orangtua bermigrasi untuk bekerja di negara lain. Di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, pesantren menjadi pilihan logis karena mereka menawarkan asrama dengan harga murah, beroperasi berdasarkan nilai-nilai iman agama dan adat komunitas, serta menawarkan kesempatan pendidikan. Kerap kali sekolah-sekolah ini dipimpin oleh pemuka agama setempat (kyai atau ustaz) yang dipandang sebagai sosok tinggi di komunitas setempat.

Harus diingat bahwa sistem pengajaran di pesantren tidak berangkat dari nilai-nilai yang abusif. Kebanyakan bersinggungan dengan model pendidikan tradisional Jawa,[7] yang memiliki kurikulum cukup beragam (Srimulyani, 2007). Kurikulum tersebut biasanya termasuk pelajaran tata bahasa Arab klasik serta kajian Al Qur’an, termasuk penghafalan, pembacaan, dan pengartian, serta hukum Islam, teologi, dan mistisisme (Woodward, 2013). Penulis riset ini sendiri adalah lulusan pondok pesantren. Namun beberapa pesantren percaya bahwa pernikahan anak adalah bagian yang penting dalam Islam. Wawancara yang penulis lakukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat mengungkapkan bahwa para pemimpin pesantren di area-area tersebut secara aktif mempromosikan pernikahan anak menggunakan muatan Al Qur’an dan hadist. Sementara, para pemimpin tidak membaca semua muatan Quar’an dan hadist, yang bisa berujung pada salah pemaknaan.

Ilustrasi oleh Kifurai.

Di kedua wilayah tersebut, pemuka agama (kyai atau ustaz) memegang kepercayaan masyarakat dan amat berpengaruh di komunitas setempat. Para pemimpin pesantren ini menggenggam kekuasaan yang tidak proporsional dalam komunitas, yang membuat mereka dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi setempat, dinamika politik setempat, dan bahkan hubungan dengan masjid di luar pesantren.

Berdasarkan wawancara mendalam penulis dengan tujuh narasumber kunci, kyai atau ustaz adalah sosok paling penting di area-area tersebut jika dibandingkan sosok-sosok kunci lain (kepala desa, karang taruna,[8] atau bahkan sesepuh). Karena kekuatan besar yang dipegang sosok pemimpin pesantren, semua keputusan desa harus disetujui oleh mereka. Mereka juga mempengaruhi masjid-masjid lain karena semua marbot[9] masjid adalah lulusan pesantren (LIPI, 2019). Ketika mereka mendukung pernikahan anak, promosi tersebut menjadi amat berpengaruh dan efektif mengingat otoritas dan posisi mereka di dalam hirarki sosial dari komunitas-komunitas ini.

Para kiai dan ustaz dari pesantren tidak hanya mempromosikan pernikahan anak namun juga memainkan peran penting dalam memfasilitasi dan meresmikan praktek tersebut. Mereka juga memfasilitasi nikah siri (pernikahan tidak resmi atau terdaftar) yang melibatkan paling tidak satu anak, biasanya anak perempuan (Chusnida & Anggriawan, 2022). Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan Hukum Islam (Sharia), tanpa tercatat negara dan tidak sesuai dengan UU Perkawinan. Pesantren kemudian membantu para orangtua mengajukan dispensasi pernikahan di bawah UU Perkawinan, karena pernikahan secara agama telah diadakan. Mereka membantu menyiapkan dokumen yang diperlukan serta melakukan pendampingan hukum, mereka membimbing para orangtua—kebanyakan miskin dan/atau buta huruf—melewati proses tersebut, dan menggunakan pengalaman mereka untuk menyelesaikan proses tersebut. Menurut kepercayaan mereka, pesantren percaya mereka melakukan praktek agama yang baik, walau pada kenyataannya mereka secara aktif mempromosikan, memfasilitasi, dan melegalkan pernikahan anak di komunitas mereka.

Bagaimana Kita Bisa Menghentikan Pernikahan Anak di Indonesia?

Walau artikel penjelasan ini berfokus di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, harus diingat bahwa masalah ini muncul di berbagai tempat di seluruh negeri. Contohnya, di tahun 2008, Syeh[10] Pujiono Cahyo Widianto, pemimpin pesantren Miftahul Jannah di Semarang, Jawa Tengah, menikahi anak perempuan berumur 12 tahun bernama Ulfa (Salenda, 2016).  Kasus ini menarik perhatian luas karena seorang Syeh dituduh melakukan perbuatan kriminal yang keji, mengerikan, dan terencana. Banyak orang, termasuk gerakan dan organisasi Muslim progresif, mempertanyakan gelar dan panggilan kehormatan “Syeh” Puji (NU, 2009). 

Kasus-kasus pernikahan anak di Indonesia bahwa aksi pemerintah atau pemangku kebijakan untuk membuat regulasi tidaklah cukup untuk membuat perubahan sosial yang lebih ramah gender. Dalam kasus pernikahan anak, berbagai variabel lain dalam bentuk kemiskinan dan faktor sosio-kultural yang berkontribusi untuk melestarikan budaya kuno “norma” tidak punya tempat lagi di dunia modern. Selain mendukung legislasi, kita juga harus mendiskusikan faktor-faktor ini untuk mengentaskan Indonesia dari pernikahan anak.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan pernikahan anak di Indonesia?

Pengentasan Kemiskinan di Daerah Terpencil

Kemiskinan secara langsung mempengaruhi pilihan hidup orang di daerah terpencil Indonesia, membuat mereka rentan. Banyak orangtua memilih untuk menjadi migran untuk mencari sumber penghasilan lain, atau mereka mengawinkan anak perempuannya di usia dini atau memasukkan anak perempuannya ke pesantren murah. Mengentaskan kemiskinan menjadi isu yang kritis karena jika ada kesempatan penghidupan yang lebih baik, jumlah pernikahan anak bisa dikurangi.

Akses Setara Pada Pendidikan dan Informasi

Solusi kuncinya adalah ketersediaan sumber literasi, edukasi, serta informasi bagi keluarga dan orangtua. Pernikahan anak bisa dihindari jika lingkungan berskala kecil (keluarga) mulai mengumpulkan informasi dan menjadi lebih berpengetahuan. Mereka bisa lebih mandiri dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya karena memenuhi tanggungjawabnya untuk membentuk karakter dan perilaku anak. Keluarga dan orangtua diharapkan dapat memainkan peran penting dalam proses pembelajaran dan pengajaran sebagai sosok kunci pertama bagi anak-anak; sebagai pengayom utama, keluarga atau orangtua dapat memperhatikan nilai-nilai dan lingkungan dalam asrama atau pesantren sebelum mereka mengirim anak-anaknya ke sana.

Ilustrasi oleh Kifurai.

Peran Masyarakat Aktif

Masyarakat memainkan peran penting dalam setiap kasus pernikahan anak. Anggota masyarakat yang melek huruf dan berpendidikan bisa memimpin gerakan pencegahan pernikahan anak dengan cara memberi informasi kepada sosok-sosok penting yang terus mempromosikan pernikahan anak untuk menghentikan aksinya. Melaporkan kasus pernikahan anak kepada otoritas terkait (contohnya Komnas Anak di tingkat daerah dan provinsi) bisa menjadi solusi efektif. Kemudian, memberi edukasi kepada komunitas setempat tentang bahaya pernikahan anak bagi anak perempuan maupun anak laki-laki dengan cara merangkul dan aktivisme bisa menjadi hal yang efektif untuk menghindari situasi ini, juga menolak berpartisipasi di upacara atau situasi yang mendorong adanya pernikahan anak.

Kolaborasi Antara Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil

Sebagai pembuat keputusan, pemerintah (lewat KemenPPA atau Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menghadapi tugas sulit untuk menyelesaikan masalah ini. Lebih jauh lagi, pemerintah harus memperkuat komunikasi dan kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain yang lebih aktif dalam mengadvokasi isu ini. Komnas Perempuan, LBH Apik, dan institusi agama yang pedulu dengan isu anak dan perempuan, seperti Aisyah (organisasi agama yang berafiliasi dengan Muhammadiyah) dan Nahdhatul Ulama perempuan (organisasi di bawah kelompok agama Nahdhatul Ulama).

Kasus-kasus pernikahan anak seharusnya mejadi pengingat bagi semua orang, terutama bagi para anak perempuan yang selalu jatuh menjadi korban. Pernikahan anak mengancam potensi perkembangan mereka, menghalangi mereka mengenyam pendidikan dan mengakses kesempatan ekonomi yang lebih baik. Anak-anak perempuan bisa menghentikan warisan kemiskinan antar generasi yang diturunkan akibat pernikahan anak dengan menghindarinya. Keluarga dan orangtua, sebagai pengayom utama, harus memainkan peran penting dalam mengurangi jumlah kasus pernikahan anak di Indonesia, terutama di daerah terpencil.

Catatan Kaki
  1. Antara, February 2023. https://en.antaranews.com/news/273804/minister-stresses-need-for-collaboration-to-reduce-child-marriage-rate
  2. Penjelasan pengadilan tentang dispensasi pernikahan:
    http://www.pa-pulangpisau.go.id/artikel-pengadilan/1710-dispensasi-nikah
    https://pa-banjarnegara.go.id/v2/135-artikel-peradilan/578-dispensasi-nikah-bagai-makan-buah-simalakama-catatan-akhir-tahun-2022; Putusan peradilan: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/index/kategori/dispensasi-nikah-1.html
  3. Area dengan pendapatan rendah didefinisikan sebagai area dengan tingkat kemiskinan tinggi, yang orang miskinnya mencapai lebih dari 10% dari total populasi (Sabar et al, 2022).
  4. Wawancara dilakukan oleh peneliti pada November 2019.
  5. Republik Indonesia memiliki populasi sekitar 270 juta orang, dan merupakan negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia. Orang Muslims – terutama penganut aliran Sunni – adalah 86 persen dari seluruh populasi. Agama lain yang diakui adalah Kristen Protestan (6%), Katolik Roma (3%), Hindu (2%), dan Buddha (1%). Mayoritas Muslim menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan akhirnya menempatkannya pada praktek-praktek adat, yang kemudian menjadi Hukum Islam atau Hukum Sharia.
  6. Mean years of schooling (MYS) atau mean tahun sekolah adalah mean dari rerata tahun pendidikan yang terselesaikan oleh populasi warga berumur 25 tahun atau lebih tua, terkecuali tahun-tahun yang dihabiskan untuk mengulang kelas.
  7. Istilah “Pondok Pesantren” berakar dari Bahasa Jawa. “Pondok” (“mondok”) artinya hidup dalam di dalam asrama keagamaan. Tradisi pondok pesantren dipercaya dimulai sejak abad ke 13. Jawa adalah area pertama di Indonesia yang mendirikan sistem pendidikan asrama. Hal ini berhubungan dengan penyebaran Islam di Jawa pada masa Walisongo di Nusantara (Indonesia).
  8. “Karang Taruna” adalah kelompok pemuda di desa atau kampung.
  9. “Marbot” adalah orang yang bertugas mengelola masjid di Indonesia.
  10. “Syeh” dalam masyarakat Islam Indonesia mengacu pada pria tua yang memimpin jemaah dan dinyatakan sebagai ahli dalam nilai-nilai keislaman.
Referensi

Abdussamad. Z. 2021. Synergity of Poverty-Based Independence Local Economy in South Sulawesi. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol:21 No:01 

Aryacetana, M. and Delliana, S. 2022. Women’s Image Exploitation in Television News of AIsha Weddings. Proceeding 2nd International Conference on Communication Science (ICCS 2022). 

Azizah, N., Nkwede, J.O., Armoyu, M. 2021. The octopus-like power of Pesantren dynasty in the dynamics of local politics, Cogent Social Sciences, 7:1, DOI: 10.1080/23311886.2021.1962056

Bemmelen, S.T. and Grijns, M. 2018. Relevansi Kajian Hukum Adat : Kasus Perkawinan Anak dari Masa ke Masa. Mimbar Hukum – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, [S.l.], v. 30, n. 3, p. 516-543, oct. 2018. ISSN 2443-0994. https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/38093/23955 

Beritasatu. 2019. Kiai Sepuh Banten Mantap Dukung jokowi Ma’ruf https://www.beritasatu.com/nasional/545412/kiai-sepuh-banten-mantap-dukung-jokowimaruf#

Bone Local Government. 2019 [district report and interview by researcher 2019]

Bourdieu, P. 1991. Language and Symbolic Power. Polity Press.

Cameron, L., Suarez, D.C., and Wieczkiewicz. 2020. Consequences of Child Marriage in Indonesia. National Report. https://melbourneinstitute.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0004/3491923/MAMPU-Child-Marriage-in-Indonesia.pdf 

Central Bureau of Statistics. 2021. Indonesia Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 

Chotim, E.R. 2019. A Perspective towards the Praxis of Child Marriage in Indonesia. International Journal of Innovation, Creativity and Change. www.ijicc.net 

Chusnida, N., & Anggriawan, T. (2022). Dispensation of Marriage in The Perspective of Children’s Rights: Best Interest of The Children. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 22(3), 295-310. doi:http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2022.V22.295-310

Climent C-A. 2010. Inequality and growth in advanced economies: An empirical investigation. J Econ Inequal. 2010;8(3):293–321. 

Colfer, C., Achdiawan, R., Roshetko, J., Mulyoutami, E., Yuliani, L., Mulyana, A., Moeliono, M., Adnan, H.,  Erni. 2015. The Balance of Power in Household Decision-Making: Encouraging News on Gender in Southern Sulawesi, World Development, Volume 76, 2015, Pages 147-164, ISSN  305-750X, https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.06.008 

Data Indonesia. 2022. Dispensasi Pernikahan Anak Mencapai 50.673 Kasus pada 2022. https://dataindonesia.id/varia/detail/dispensasi-pernikahan-anak-mencapai-50673-kasus-pada-2022 

Dhofier, Z. 1999. The Pesantren Tradition: The Role of Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java. Tempel, Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana NTB, 2022

Girlsnotbride.org https://www.girlsnotbrides.org/learning-resources/child-marriage-atlas/atlas/indonesia/#:~:text=16%25%20of%20girls%20in%20Indonesia,18%20in%20the%20world%20%E2%80%93%201%2C781%2C000. Accessed 15 January 2023

International Planned Parenthood Federation and The Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls. (2006). Ending child marriage: A guide for global policy action. London: International Planned Parenthood Federation (IPPF). Retrieved from https://www.unfpa.org/publications/endingchild-marriage-guide-global-policy-action 

Iustitiani, N. and Ajisuksmo, C. 2018. Supporting Factors and Consequences of Child Marriage. Anima Indonesian Psychological Journal. 2018, Vol. 33, No. 2, 100-111 

Jurnal Perempuan. 2021. CATAHU 2021 Komnas Perempuan: Kekerasan Terhadap Perempuan dan Dispensasi Perkawinan Melonjak Selama Pandemi. https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/catahu-2021-komnas-perempuan-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-dispensasi-perkawinan-melonjak-selama-pandemi?locale=en 

Kemlu. 2019. Indonesia and Human Rights Protection. https://kemlu.go.id/portal/en/read/97/halaman_list_lainnya/indonesia-and-human-rights 

Kohno, A., Techasrivichien, T., Suguimoto, S. P., Dahlui, M., Nik Farid, N. D., & Nakayama, T. 2020. Investigation of the key factors that influence the girls to enter into child marriage: A meta-synthesis of qualitative evidence. PloS one, 15(7), e0235959. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0235959 

Kompas. 2009. Jelang Pemilu Wapres Sowan ke Ponpres Lirboyo. https://tekno.kompas.com/read/2009/01/23/07150212/NaN 

Kompas. 2011. Menteri PPPA: Promosi Aisha Weddings Bertentangan dengan Hukum. https://nasional.kompas.com/read/2021/02/10/16324631/menteri-pppa-promosi-aisha-weddings-bertentangan-dengan-hukum 

Krauss. L. 2010. Faith and Foolishness: When Religious Beliefs Become Dangerous. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/article/faith-and-foolishness/ 

Kurniawan, T. and Derajat, A.Z. 2022. Tpks Law as an Effort to Prevent Relations of Power in Sexual Violence in Religious Education Institutions. Humanisma. Journal of Gender Studies. Vol 6, No 2 (2022). https://ejournal.uinbukittinggi.ac.id/index.php/psga/article/view/5822 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2019. Research Report. The Dynamics of Children in Two Coastal Areas in Indonesia. lipi.go.id 

Maulanasyah, M.R.H., and Ahmad, M.J. 2023. Urgensi Pengaturan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lembaga Pondok Pesantren. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance p-ISSN 2797-9598 | e-ISSN: 2777-0621 Vol. 3 No.1 Januari – April 2023. 

Nahdlatul Ulama. 2019. Fatayat NU Sayangkan Pembebasan Syekh Puji. https://nu.or.id/warta/fatayat-nu-sayangkan-pembebasan-syekh-puji-zUicc 

Nour, Nawal M. 2009. Child Marriage: A Silent Health and Human Rights Issue. Reviews in Obstetrics and Gynecology 2 (1). Pubmed Central. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2672998/#:~:text=A%20human%20rights%20violation%2C%20child,obstetric%20fistulas%2C%20and%20maternal%20mortality

Otto, J. M. 2010. Sharia and national law in Indonesia. In Sharia Incorporated. A Comparative Overview of the Legal Systems in Twelve Muslim Countries in Past and Present (pp. 433-490). Leiden: Leiden University Press.

Pradipta, L. 2021. Child Marriage in Indonesia: An Iceberg Phenomenon Driven by Patriarchal Society and Poverty. Modern Diplomacy. https://moderndiplomacy.eu/2021/02/17/child-marriage-in-indonesia-an-iceberg-phenomenon-driven-by-patriarchal-society-and-poverty/ 

Prakarsa. 2021. Indonesia’s Second Largest New Poor in Asia, Multidimensional Poverty Must Start to Become a Concern. https://theprakarsa.org/en/orang-miskin-baru-indonesia-terbesar-kedua-di-asia-kemiskinan-multidimensi-harus-mulai-jadi-perhatian/#:~:text=Initial%20findings%20state%20that%20the,the%20total%20population%20in%202021 

Rahiem M. D. H. (2021). COVID-19 and the surge of child marriages: A phenomenon in Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Child abuse & neglect, 118, 105168. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2021.105168

Ratnaningsih, M., Wibowo, H.R., Goodwin, N.J. et al. 2022. Child Marriage Acceptability Index (CMAI) as an essential indicator: an investigation in South and Central Sulawesi, Indonesia. glob health res policy 7, 32 (2022). https://doi.org/10.1186/s41256-022-00252-4 

Sabar, W., Iwang, B., and Maisar, M. 2022. Revealing poverty in South Sulawesi with several interrelated development indicators. Sorot Journal. Volume 17, Nomor 3, December 2022: 129-137 https://doi.org/10.31258/sorot.17.3.129-137 

Salenda, K. 2016. Abuse of Islamic Law and Child Marriage in South-Sulawesi Indonesia. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 54(1), 95-121. doi:https://doi.org/10.14421/ajis.2016.541.95-12

Srimulyani, E. 2007. Muslim women and education in Indonesia. The Pondok Pesantren experience. Asia Pacific Journal of Education, 27: 1, 85-99, DOI 10.1080/02188790601145564 

Tempo. 2022. Police Arrest Prominent Figure at Jombang ‘Pesantren’ Over Sexual Abuse Case. https://en.tempo.co/read/1609879/police-arrest-prominent-figure-at-jombang-pesantren-over-sexual-abuse-case 

The Jakarta Post. 2022. Suspect of E. Java ‘pesantren’ sexual abuse case surrenders after multiple failed arrests. https://www.thejakartapost.com/indonesia/2022/07/09/suspect-of-e-java-pesantren-sexual-abuse-case-surrenders-after-multiple-failed-arrests.html 

The Straits Times. 2021. Indonesian Wedding Organisers Stirs Anger for Promoting Marriages for Girls as Young as 12. https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-wedding-organiser-stirs-anger-for-promoting-child-marriages-for-girls-as 

Ullah, R. and Ullah, H. 2019. Boys versus girls’ educational performance: Empirical evidences from global north and global south. African Educational Research Journal Vol. 7(4), pp. 163-167, October 2019 DOI: 10.30918/AERJ.74.19.036 ISSN: 2354-2160 

Umemoto, S. H. (Ed). (March, 2001). Early marriage: Child spouses. Innocenti Digest No.7, Main issue. Florence: Innocenti Research Centre

UNICEF. (2005). Early marriage; A harmful traditional practices: A statistical exploration. New York

UNICEF. 2017. Research Brief: Child Marriage in Indonesia, Progress on Pause. https://www.girlsnotbrides.org/documents/500/UNICEF-Indonesia-Child-Marriage-Research-Brief-1.pdf 

VOI. 2021. Aisha Weddings Reported to Police for Promoting Child Marriage. https://voi.id/en/news/32657 

WHO Report. 2011. Early marriages, adolescent and young pregnancies. https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/EB130/B130_12-en.pdf

Windhani, K., Mulyaningsih, T., and Hardoyono, F., (2022), “Distribution of Human Capital Between Regions in Indonesia Using the Alternative Human Development Index” in 2021 Annual Conference of Indonesian Association for Public Administration, KnE Social Sciences, pages 256–276. DOI 10.18502/kss.v7i5.10554 

Woodward, M. 2013. Gender and power in Indonesian Islam: Leaders feminists, sufis and pesantren selves. https://doi.org/10.4324/97802037975 18Yee, C. 2021. Eradicating Child Marriages in Southeast Asia: Protecting Children, Challenging Cultural Exceptionalism. Penang Institute. https://penanginstitute.org/publications/issues/eradicating-child-marriages-in-southeast-asia-protecting-children-challenging-cultural-exceptionalism/

Related Articles

Responses