The faces of Putu Oka and Goenawan

Putu Oka dan Goenawan

Dua wawancara berikut dengan Putu Oka Sukanta dan Goenawan Mohamad berlangsung dalam jaringan Rabu 27 Mei 2020, dan harus dibaca untuk melengkapi ulasan Warief Djajanto Basorie tentang Romantisme Tahun Kekerasan, Sebuah Memoar Martin Aleida.

Putu Oka Sukanta

Putu Oka Sukanta speaking
Putu Oka Sukanta, 2010an Credit: Antara News

“Saya kecewa karena saya tidak diperlakukan sebagai manusia, sebagai warganegara  yang dilindungi oleh hukum.”

Putu Oka Sukanta mengatakan ini sebagai kekecewaan terbesar karena di penjara sebagai tahanan politik selama 10 tahun di mana ia harus bertahan menerima penyiksaan fisik. Lebih jauh, ia tidak secara formal dituntut dan tidak diadili di sidang pengadilan.

Putu, 81, ditangkap dalam penggeledahan di malam hari  “jamuan terakhir” bersama Martin Aleida dan empat orang lain pada 21 Oktober 1966 karena diduga terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 yang menculik dan membunuh enam jenderal angkatan darat. Dugaan itu tidak berdasar. Unit Komando Distrik Militer 0501 tempat Putu semula ditahan selama tiga bulan tidak menemukan barang bukti Putu giat dalam tindak makar fisik atau politik. Para interogator tak dapat menemukan pamflet atau materi apapun yang menunjuk Putu itu mendukung Partai Komunis Indonesia, PKI, yang dituduh angkatan darat berada di belakang pembunuhan para jenderal itu.      

Satu-satunya dalih untuk menahan di penjara Putu kelahiran Bali itu ialah bahwa ia memberi suaka bagi orang  di rumahnya.

“Saya dituduh menerima kedatangan orang –orang yang sudah lebih dahulu ditahan,” kata Putu waktu ditanya interogator  di kamp tapol berprasangka Putu berbuat apa. (Note: This direct quote not used in English version).   

Mengenai pesannya ke masyarakat tentang pengalaman 10 tahun sebagi tapol, Putu berkata orang ”harus cermat  dan arif memahami penderitaan (tapol) sehingga tidak gila dan bisa bertahan hidup.”  

“Para pemegang kekuasaan hendaklah memperlakukan warganegara, rakyat, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” ia meneruskan. 

Ditanya apa ia menuntut ganti rugi, Putu menjawab “pemerintah, pemegang kekuasaan, hendaklah melakukan klarifikasi, pengakuan terhadap pelanggaran hukum yang sudah dilakukannya, agar tercipta kesetaraan hak dan kewajiban di dalam berbeda.”  Kesetaraan di dalam berbeda berarti orang bisa berbeda dalam agama, suku, politik, ideologi, tapi dia setara di muka hukum, setara sebagai manusia, Putu menjelaskan.  

Selain praktik akupunktur, Putu tetap menulis banyak seperti sewaktu masih di LEKRA, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi dengan PKI. Para anggota adalah seniman dan penulis dengan kecenderungan berpihak dengan politik revolusioner yang diangkat PKI. Mereka memakai jargon seperti unsur-unsur progresif, kontra-revolusioner, revisionis, Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, imperialisme).

Sewaktu masih aktif di LEKRA, salah satu novel Putu berjudul Buruan. Pertama terbit 1964 sebagai cerita bersambung dalam majalah Minggu Pagi di Jogjakarta. Kisahnya tentang perjuangan nelayan di pantai utara Jawa Tengah menghadapi juragan perahu.

Satu cerita pendek, Loper Koran, terbit di Harian Rakjat. Ini mengisahkan seorang guru nyambi jadi loper Harian Rakjat, sebagai pengabdiannya kepada partainya (PKI), walau tidak mendapat gaji tetap. 

Putu mengakui novel Buruan menggunakan istilah-istilah politik yang lazim pada masa itu sekalipun terbit dalam majalah yang bukan organ PKI. “Kalau tulisan saya, secara umum berkisar pada kehidupan rakyat kurang beruntung, menurut persepsi saya,” Putu menyatakan.

Setelah dibebaskan 1976, Putu Oka telah menulis novel dan cerita pendek yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan bahasa asal usulnya Bali. Karya ini mencakup  Si Jalak, satu kumpulan syair, 2013, Lontar. Satu kompilasi cerita pendek  berjudul Lies, Loss and Longing, 2013, Lontar. Tema bersama karya-karya tulis itu adalah perjuangan melawan tindasan.

Satu novel sudah diterjemahkan: Celah. Ini mengenai eks tapol yang melawan berbagai diskriminasi setelah dibebaskan. Novel ini satu dari trilogi novel. Dua novel lainnya adalah Merajut Harta tentang tahanan di penjara dan Istana Jiwa tentang keluarga yang suaminya dibunuh.

Goenawan Mohamad

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad, 2000an

Goenawan Mohamad, 79, adalah pendiri/pemimpin redaksi pertama Tempo yang nyata independen,  yang bisa diakui atau sebaliknya dibantah sebagai majalah berita mingguan Jakarta paling berhasil dalam berdampak yang masih terbit. Bernama panggilan GM di ruang redaksi, Goenawan menakhodai perjalanan  Tempo selaku pemimpin redaksi semasa 13 tahun Martin Aleida berada di majalah itu 1971-1984. Goenawan pada 1963 adalah penandatangan Manifes Kebudajaan, kelompok penulis yang mengupayakan kemerdekaan berekspresi secara artistik dengan menolak bahasa sarat politik yang dipakai penulis LEKRA haluan kiri. Berikut ini wawancara dalam jaringan mengenai masa kerja Martin di Tempo.

Ketika Martin Aleida melamar di majalah Anda, ia menjelaskan ia pernah bekerja di Harian Rakjat (organ PKI) dan jadi seorang redaktur di Zaman Baru terbitan LEKRA. Pikiran apa muncul dalam benak Anda saat Martin ngaku ia wartawan HR?   

Saya berpendapat masa setelah 1965 harus membuka lembar sejarah baru. Bukan melanjutkan konflik2 lama. Lagipula siapapun yang bisa menulis baik dan punya integritas layak diterima jadi wartawan Tempo. Dengan pernah bekerja di HR itu cukup sebagai dasar. HR memang koran Partai, tapi mutunya bagus. Apalagi HR Minggu. Saya pengagum tulisan Bung Njoto. Dan Martin juga. 

Pramoedya Ananta Toer (penulis prosa berafiliasi dengan LEKRA) dibebaskan dari Buru 1979. Anda menulis naskah tentang PAT dan minta Martin memberi komentar. Apa isi pokok naskah itu mengenai PAT? Martin berkomentar supaya naskahnya berimbang sesuai apa yang Tempo junjung, hendaknya PAT bisa baca dulu dan menanggapi. Kalau naskah langsung dimuat, PAT tidak bisa menanggapi secara tertulis. Ia dilarang menulis. Hak jawab tak punya. Bagaimana pikiran Anda saat Martin memberi pendapat itu? 

Jika yang dimaksud adalah reportase saya tentang petemuan dengan Pram di Pulau Buru, itu sudah dimuat dalam salah satu buku saya. Di situ ada percakapan dengan Bung Pram. Tentang tulisan lain saya lupa. Tapi saya beberapa kali ketemu Bung Pram sebelum novel Buru diterbitkan. Dan sebelum ke luar penjara, saya pernah menjadi pengantar royalti untuk novelnya dari penerbit luar negeri. Yang menerima isteri Bung Pram (Maemunah).

Selama Martin di Tempo, apa Anda dihubungi dan ditanya laksusda (Pelaksana Khusus Daerah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)  atau pihak berwajib lain tentang status Martin?

Seingat saya tidak pernah. Juga ketika Tempo memuat tulisan Buyung Saleh, memberi tempat bagi Maniaka Thayeb, Amarzan Lubis, Iskandar – semuanya aktivis LEKRA. Bahkan pernah salah seorang putra Aidit jadi stringer Tempo. Tampaknya, intelijen tak mengetahui hal itu. Baik Maniaka maupun Amarzan pernah kami tugasi ke Eropa; tidak dicekal.

Yang menurut saya mengancam hilangnya hak2 mereka dan keselamatan Tempo adalah wartawan2 pengurus PWI.  Mereka mempersoalkan adanya orang2 LEKRA di Tempo. Termasuk Rosihan Anwar  “membongkar” itu dalam tulisannya di Pos Kota.

Ketika (ketua umum) Harmoko memperketat tekanan, saya terpaksa menyembunyikan nama2 mereka, dengan kesepakatan teman2 LEKRA itu. Tapi mereka tidak kami berhentikan. Tetap ngantor dan menulis. 

Anda selaku pemred yang menilai, apa titik kuat dan lemah karya2 liputan Martin selama di Tempo?

Bagi saya Martin, seperti banyak penulis yang bekerja di Tempo, lebih pas jadi sastrawan ketimbang reporter. Tulisannya bagus, tapi kurang telaten dengan data.

Related Articles