Tren Otoritarianisme Digital di Indonesia dan Berbagai Kontradiksinya

Survei Agenda Warga dari New Naratif, yang mengundang lebih dari 1,400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyuarakan aspirasi mereka, menunjukkan “Hak Digital dan Kebebasan Berekspresi” secara konsisten menduduki peringkat lima teratas. Apa saja tantangan dan kesempatan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak digital mereka, dan mengapa isu ini penting?

Sejak 17 Agustus 2023, New Naratif memulai riset Agenda Warga untuk mengetahui isu-isu penting yang dihadapi masyarakat Indonesia menyambut Pemilu 2024. Hasil Tahap 1 dari riset kami menemukan terdapat 22 isu terpenting yang diangkat secara konsisten oleh hampir semua orang. Di Tahap 2, kami meminta bantuan publik untuk mengurutkan isu-isu tersebut sesuai prioritas kepentingan mereka. Dalam Tahap 3 ini, kami berusaha memahami bagaimana sistem politik di Indonesia merespon isu-isu tersebut.

Walau jarang menduduki peringkat teratas, Hak Digital dan Kebebasan Berekspresi muncul lebih sering dan konsisten dari sebagian besar isu lainnya, menempatkannya sebagai isu terpenting kedua di negara ini. Hal ini dapat dilihat sebagai ancaman yang dirasakan oleh masyarakat dari UU ITE. Undang-undang ini mengatur soal ujaran kebencian, pencemaran nama baik, terorisme, pornografi, perjudian, dan berbagai kegiatan elektronik lainnya. Namun, dalam praktiknya, UU ITE—terutama pasal pencemaran nama baiknya—seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis.

Dalam penjelasan ini, kami mencermati keadaan saat ini dan pandangan di masa depan dari otoritarianisme digital dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Setelah membaca, kami berharap pembaca yang tak peduli tentang kriminalisasi aktivis pun akan mampu melihat kengerian otoritarianisme digital yang hampir pasti akan memunculkan krisis.

Keadaan Otoritarianisme Digital di Indonesia saat ini

Sebelum berita kemenangan Prabowo-Gibran membayangi tanah air, para aktivis demokrasi memiliki alasan kuat untuk berharap. Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, dua aktivis HAM berpengaruh di Indonesia, telah dibebaskan dari semua tuduhan.

Keduanya sempat didakwa dengan pencemaran nama baik di bawah UU ITE karena sebuah video yang membahas keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, dalam operasi pertambangan dan pendudukan militer yang berkelanjutan di Papua.

Jaksa menuntut Fatia hukuman 3,5 tahun penjara untuk Fatia dan empat tahun untuk Haris.

Jika terbukti bersalah, sebagai mana hampir diyakini oleh Fatia dan haris, kasus ini akan menjadi pukulan besar bagi kebebasan media di Indonesia dan menjatuhkan moral para aktivis di seluruh negeri. Namun, Januari lalu, dua setengah tahun setelah video tersebut diunggah, pengadilan akhirnya memberi keputusan tidak bersalah.

New Naratif berbicara dengan Fatia dan Haris di acara Legal Briefing dari Media Freedom Network kami. Terlepas dari kabar baik pembebasan mereka, keduanya memperingatkan agar masyarakat tidak bersorak terlalu awal dan mengingatkan bahwa kita masih memiliki jalan yang panjang.

“Jika ini memang demokrasi, seharusnya tidak ada kasus-kasus semacam ini.”

Fatia Maulidiyanti

“Memang saya dan Fatia untuk saat ini mendapatkan keputusan [pengadilan] yang baik. Namun di saat yang sama, kawan-kawan di garda depan daerah lokal masih terus dilaporkan pada kepolisian dan diadili di berbagai pengadilan di Indonesia. Masih banyak serangan fisik maupun digital yang terjadi. Hal ini sudah jadi kabar mingguan bagi komunitas gerakan masyarakat. Sekarang di sini, minggu depan orang lain,” kata Haris.

Dan memang benar, pada tanggal 11 Februari, pembuat film dan tiga pakar akademisi yang terlibat dalam Dirty Vote—film dokumenter sepanjang dua jam yang mengklaim memaparkan bukti kecurangan pemilu 2024—dilaporkan pada kepolisian.

“Yang jadi masalah adalah penggunaan pasal untuk mengkriminalisasi anggota masyarakat,” tambah Haris, mengacu pada UU ITE.

UU ITE dan Ancaman Pseudolegalitas

UU ITE, singkatan dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan contoh dari yang biasa disebut “pasal karet”. Pasal karet termasuk salah satu dari apa yang disebut pseudolaw oleh mantan Menteri Perdagangan Venezuela Moisés Naím (2022). Pseudolaw, seperti pseudosains, merupakan pasal dan ayat yang menyimpangkan fungsi dan kekuatan hukum dengan berpura-pura menjadi hukum, dengan segala keabsahannya, tetapi tanpa didasari landasan logika yang sehat.

Ada banyak contohnya di Asia Tenggara: Foreign Interference (Countermeasures) Act di Singapura, Computer-Related Crime Act dan Lèse-majesté di Thailand, Anti-Terrorism Act di Filipina, Sedition Act di Malaysia, Unlawful Associations Act di Myanmar, Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act di Singapura, dan lainnya.

Undang-undang semacam ini berfungsi bukan sekadar untuk menindas pandangan politik yang berlawanan. Menurut Naím, kekaretan berbagai pasal tersebut memang dimanfaatkan untuk menggerus kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku secara umum.

“Tujuannya adalah memperkeruh suasana, menciptakan kebingungan seputar keabsahan sebuah tindakan sehingga tindakan tersebut dapat tetap maju, menarik lawan dalam perdebatan hukum rumit yang hanya dapat dimengerti para elit, menciptakan ruang keraguan agar sesuatu dapat dipaksakan, dan membuat sistem hukum yang ompong, korup, dan tak lagi mampu menandingi kuasa eksekutif.”

— Moisés Naím, The Revenge of Power: How Autocrats Are Reinventing Politics for the 21st Century (2022)

Maka dari itu, keberadaan UU ITE hendaknya sudah dilihat sebagai tanda bahaya akan ancaman otoritarianisme digital yang merundung Indonesia, tidak peduli seberapa banyak kasus pengadilan yang kita menangkan. 

Pemerintah Prabowo-Gibran yang akan datang tidak menyatakan visi apapun tentang hak-hak digital dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Banyak yang tak heran, karena mereka sendiri akan diuntungkan dari kurangnya transparansi dan akuntabilitas mengenai rekam jejak mereka.

Dalam rezim baru ini, Haris Azhar menyatakan kekhawatirannya bahwa kebebasan berekspresi “akan menjadi masalah serius” dalam waktu dekat.

“Indonesia macam apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan? Kita memiliki presiden yang memiliki catatan buruk tentang HAM dan masih jauh dari akuntabilitas. Dan akuntabilitas itu tidak dikembangkan oleh pemerintah saat ini,” katanya kepada New Naratif.

Beberapa kandidat legislatif menyatakan pendapat mereka kepada New Naratif mengenai masalah otoritarianisme digital di Indonesia. Baik Kokok Dirgantoro, Calon Legislatif DPR Jawa Timur dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Ilhamsyah, DPR Jakarta III kandidat legislatif dari Partai Buruh, mengekspresikan keberatan mereka terhadap UU ITE.

“Saya sangat tidak tahan dengan UU ITE, terutama [saat digunakan untuk] melaporkan karena postingan,” kata Kokok. “Sesuai namanya, [UU ITE] seharusnya dipergunakan untuk melindungi rakyat dari transaksi elektronik, bukan untuk memenjarakan, apalagi untuk intimidasi.”

Ilhamsyah melangkah lebih jauh dan menyerukan pencabutannya “karena UU tersebut selalu menjadi landasan dalam kriminalisasi [aktivis].” Dia menambahkan, “Negara harus menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi warganya, membiasakan perdebatan dalam menyikapi perbedaan, menghargai hak-hak kaum minoritas dan kesetaraan kesempatan.”

Masa Depan Otoritarianisme Digital di Indonesia

Ilhamsyah menambahkan bahwa isu hak digital harus mencakup akses yang adil dan aman, termasuk pengembangan infrastruktur yang merata, peningkatan privasi dan keamanan, dan keterlibatan warga sipil dalam inisiatif transformasi digital bagi masyarakat.

Visi ini selaras dengan laporan Freedom on the Net dari Freedom House, yang mengukur nilai suatu negara berdasarkan Hambatan Akses, Batasan Konten, dan Pelanggaran Hak Pengguna. Dalam kategori tersebut, Indonesia mendapatkan nilai 14/25, 17/35, dan 16/40, dengan total 47/100 yang menempatkannya dalam kategori “Bebas Sebagian”. Laporan Freedom House untuk Indonesia dapat ditemukan di laman ini.

Tren Kebebasan Internet di Asia Tenggara

Bagaimana status Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara? Berikut adalah tabel data dari delapan negara Asia Tenggara yang kami rekap dari 70 negara di seluruh dunia yang diukur oleh Freedom House.

NegaraNilai TotalStatusDetail Nilai
Hambatan AksesBatasan KontenPelanggaran Hak Pengguna
Kamboja44/100Bebas Sebagian13/2517/3514/40
Indonesia47/100Bebas Sebagian14/2517/3516/40
Malaysia61/100Bebas Sebagian19/2522/3520/40
Myanmar10/100Tidak Bebas2/255/353/40
Filipina61/100Bebas Sebagian16/2523/3522/40
Singapura54/100Bebas Sebagian19/2517/3518/40
Thailand39/100Bebas Sebagian16/2514/359/40
Vietnam22/100Tidak Bebas12/256/354/40

Data ini menyatakan bahwa tidak ada negara di Asia Tenggara yang benar-benar memiliki internet yang bebas. Yang paling tidak bebas adalah Myanmar, dan yang terburuk kedua adalah Vietnam. Dengan nilai 47/100, Indonesia duduk di tengah, di bawah Singapura, Malaysia, dan Filipina, di atas Thailand, dan Kamboja. Warga Thailand memiliki akses yang lebih baik tetapi menghadapi lebih banyak batasan konten serta pelanggaran terhadap hak-hak pengguna (dari segi ini, mereka yang terburuk di luar Myanmar dan Vietnam), sementara skor Kamboja hanya sedikit lebih rendah daripada Indonesia.

Untuk Indonesia, Freedom House merangkum perkembangan dari Juni 2022 hingga Mei 2023 sebagai berikut. Sebagai catatan, kami menghapus kode referensi ke laporan lengkap dalam kutipan ini, yang dapat ditemukan di halaman laporan yang ditautkan di sini dan di atas.

  • Gangguan internet terus terjadi di wilayah Papua, seringkali dalam konteks aktivitas oleh pasukan keamanan dan peristiwa sensitif lainnya.
  • Dalam pertengahan tahun 2022, pemerintah memblokir sementara beberapa situs web internasional—termasuk Yahoo, layanan game Steam, dan layanan pembayaran PayPal—setelah situs-situs tersebut gagal memenuhi aturan registrasi secara tepat waktu di bawah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika 5/2020, kebijakan moderasi konten yang memaksa platform untuk menyensor berbagai jenis konten dan membagikan data pengguna pada pemerintah, di samping persyaratan lainnya.
  • Pada bulan Desember 2022, Parlemen mengeluarkan KUHP baru yang menetapkan hukuman keras untuk pembicaraan topik-topik tertentu, termasuk penyebaran informasi palsu, penghinaan, dan promosi aborsi.
  • Terdapat lebih sedikit laporan yang dikonfirmasi tentang manipulasi konten yang disponsori negara—biasanya disebarkan oleh komentator online yang dikenal sebagai buzzer—dibandingkan periode liputan lalu.
  • Jurnalis dan aktivis terus diserang hebat karena kegiatan daring mereka; dalam satu kasus, sebuah bom meledak di dekat rumah seorang jurnalis.

Hingga saat ini, pemerintah Indonesia terus secara aktif melakukan disrupsi internet, pemblokiran situs web dan akun media sosial, buzzer (walaupun ada penurunan yang dilaporkan), dan kriminalisasi pendapat di internet, yang berkontribusi pada rendahnya nilai Indonesia.

Upaya Pemerintah untuk Melindungi Hak Digital: Tulus atau Propaganda?

Ancaman terhadap hak digital dan kebebasan berekspresi tak sekadar terbatas pada disrupsi internet, pemblokiran, buzzer, dan kriminalisasi. Berita palsu serta kampanye misinformasi dan disinformasi juga bisa berdampak buruk dalam menindas suara-suara tertentu, serta menghancurkan demokrasi dalam jangka panjangnya dengan selalu menguntungkan otokrat yang berkuasa dalam pemilu.

Meskipun praktik cek fakta dapat mengatasi masalah berita palsu hingga disinformasi, tetapi cek fakta masih memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, seperti dalam laporan yang dimuat di The Conversation Indonesia, cek fakta masih jauh dari kebiasaan pengguna internet Indonesia. Di bawah ini adalah infografis yang kami kutip dari laporan tersebut:

Kedua, kita masih perlu untuk mempertanyakan transparansi sumber data yang digunakan untuk cek fakta. Inisiatif pengecekan fakta yang dipimpin pemerintah dapat dengan mudah menjadi kampanye propaganda berkedok aktivisme anti-disinformasi. Contohnya, pemerintah melalui Kemkominfo pernah menyebarkan hoax tentang isu Papua di laman “uji fakta” milik mereka.

Lagipula, tanpa sumber yang transparan, atau dengan sumber yang semuanya mengarah pada data yang diproduksi pemerintah, bagaimana kita bisa membedakannya?

Tidak perlu banyak imajinasi untuk melihat, misalnya, bagaimana narasi kritis seputar peristiwa tahun 1965-1966 dan 1998 di Indonesia dicap sebagai berita palsu atau ancaman disinformasi dari luar negeri. Butuh waktu lama bagi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar untuk akhirnya dibebaskan dari tuntutan atas video yang mereka tampilkan yang berbicara tentang keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di Papua. Berdasarkan rekam jejaknya, kita patut untuk ragu akan kemampuan rezim Prabowo-Gibran dalam membahas isu pelanggaran HAM di masa lalu Indonesia.

Ketiga, masalah artificial intelligence (AI). Inisiatif Large Language Model SEA-LION di Singapura, misalnya, berjanji menghasilkan AI linguistik generatif untuk Asia Tenggara dengan melatih mereka dalam bahasa lokal Asia Tenggara, termasuk Bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai kemajuan teknologi, dan para ahli mengklaim bahwa hal ini akan mengurangi bias yang melekat dalam pemodelan AI di kawasan Asia Tenggara jika sumbernya hanya terdapat dalam bahasa Inggris saja. Namun, banyak pihak lain yang lebih skeptis dan menyatakan bahwa hal ini justru akan meningkatkan bias jika AI hanya dilatih dengan data terbatas yang disetujui pemerintah. Data semacam ini, menurut mereka, akan memberikan cara baru dalam melakukan penyensoran dan revisionisme sejarah.

Kontradiksi Otoritarianisme Digital di Indonesia

Terlepas dari semua ancaman ini, masyarakat awam mungkin akan bertanya: lalu kenapa? Para aktivis bisa terus berkoar-koar tentang pentingnya kebebasan berekspresi, transparansi sejarah, dan menjaga demokrasi dalam menghadapi ancaman digital. Namun ketika dihadapkan pada ancaman digital, apakah masyarakat akan memilih untuk tinggal di negara bebas tetapi tetap miskin, atau tinggal di negara otoriter dengan kesejahteraan yang terjamin?

Survei Agenda Warga kami selalu menempatkan isu-isu ekonomi seperti kemiskinan, kesejahteraan, keamanan kerja, upah, dan biaya hidup di atas isu apapun, termasuk tentang hak digital dan kebebasan berekspresi. Hal ini terjadi di setiap negara tanpa terkecuali. Lantas, apakah itu berarti kita harus siap mengorbankan kebebasan kita demi membuat negara yang sejahtera secara ekonomi?

Pertama, kita harus paham bahwa ini adalah dikotomi yang salah. Bahwa masyarakat harus memilih di antara kedua hal tersebut adalah argumen yang sering digunakan oleh para otokrat, seringkali dengan mengutip kalimat terkenal Lee Kuan Yew:

“Apa yang diinginkan masyarakat? Bebas menulis editorial sesuka hati? Masyarakat menginginkan tempat tinggal, obat-obatan, pekerjaan, sekolah. Sudah tak perlu diragukan lagi.”

— Lee Kuan Yew, dikutip dalam Lee Kuan Yew: The Man and His Ideas (Kwang, Fernandez, & Tan 1998)

Pencapaian ekonomi Singapura tak dapat dipungkiri lagi, terlepas dari semakin meningkatnya biaya hidup mereka. (Lagipula, Singapura masih memiliki skor Freedom on the Net yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, seperti dikutip di atas). Namun, kita juga harus menimbang betapa Singapura menempati posisi geografis yang istimewa dan telah memulai berbagai kebijakan mereka sejak sekitar enam dekade lalu.

Otoritarianisme digital, betapapun jinaknya, akan sulit diterapkan di negara mana pun saat ini. Di Indonesia, kemungkinan gagalnya akan sangat besar.

Katherine Mansted (2020) memetakan delapan titik rentan otoritarianisme digital:

  • legitimasi yang rapuh, khususnya pada saat krisis politik atau ekonomi;
  • persaingan terus-menerus untuk mendapatkan kendali, yang berarti negara terus berada dalam perang informasi;
  • siklus kontrol dan imbas yang terus-menerus;
  • gangguan mekanisme umpan balik yang menyebabkan tertundanya reaksi terhadap krisis;
  • ketergantungan berlebihan pada sistem teknologi yang menghasilkan dampak berjenjang ketika gagal;
  • konsekuensi yang tidak diinginkan dari modernisme teknologi tinggi, seperti distorsi keputusan komersial dan ekspektasi publik;
  • pecahnya persatuan masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada kemajuan ekonomi; serta
  • ekosistem inovasi yang tidak berfungsi karena menghambat riset kritis terhadap status quo.

Berbagai titik rentan tersebut akan terlihat jelas pada tiga kontradiksi utama dalam sistem ini, terutama dalam konteks tujuan politik dan ekonomi di Indonesia.

Kontradiksi #1: Ketergantungan Tak Sehat pada Pasar Global

Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia—terutama jika menerapkan strategi hilirisasi yang diusung oleh Prabowo-Gibran—sangat bergantung pada peningkatan akses terhadap pasar global, baik dalam hal tenaga kerja maupun barang dan jasa.

Di sisi lain, praktik-praktik seperti disrupsi internet dan pemblokiran situs web serta akun media sosial bertentangan dengan strategi ini. Agar negara tetap relevan dan kompetitif secara internasional, warganya memerlukan akses internet yang bebas dan adil, termasuk pembangunan infrastruktur yang lebih merata di daerah-daerah terpencil.

Akses internet yang bebas dan adil mampu membuka pagar informasi yang berpotensi mengganggu status quo, termasuk perbincangan lintas negara mengenai transparansi sejarah, pelanggaran HAM yang tengah berlangsung, serta kriminalisasi aktivis. Hal ini akan mengundang imbas reaksi balik, keabsahan yang dipertanyakan, dan tantangan terhadap kesatuan masyarakat yang pada gilirannya akan menimbulkan banyak dampak pada perekonomian.

Ini adalah kontradiksi pertama. Pemerintahan otoriter mungkin menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik, tetapi agar hal-hal tersebut bisa terwujud, Indonesia membutuhkan lebih banyak kebebasan internet, yang akan menimbulkan risiko terhadap otoritarianisme digital.

Kontradiksi #2: Memupuk Disfungsi dengan Brain Drain

Pertumbuhan ekonomi bergantung pada tenaga kerja yang kritis dan terdidik. Hal ini sangat nyata di era AI, di mana pemikiran kritis semakin dibutuhkan untuk menangani tantangan teknologi baru. Pembatasan hak-hak digital dan kebebasan berekspresi, meskipun dapat diterima oleh sebagian orang, akan mendorong kelompok masyarakat yang lebih kritis untuk berpindah.

Kita sudah melihat normalisasi penduduk usia produktif yang bekerja di luar negeri. Mereka tidak hanya mendapatkan penghidupan yang lebih baik, tetapi juga kebebasan internet yang lebih adil serta ekosistem informasi yang lebih andal. Tren ini akan terus meningkat seiring dengan semakin terbatasnya hak digital dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pada akhirnya, mungkin tak akan ada lagi tenaga kerja terpelajar kritis yang tersisa di negara ini.

Ini bukan hanya persoalan tenaga kerja dan keuntungan ekonomi. Tanpa adanya suara-suara kritis, suatu negara akan lambat menangani krisis, harapan masyarakat bisa salah kaprah, ekosistem inovasi tidak lagi berfungsi, dan bisnis akan cenderung mengambil keputusan komersial yang merugikan di jangka panjang. Pada akhirnya, kemunduran demokrasi akan diikuti oleh kemunduran perekonomian.

Ini adalah kontradiksi kedua. Pemerintah otoriter tidak menyukai pemikir kritis dan akan mengambil tindakan otoriter digital untuk mengendalikan mereka. Pada saat yang sama, ekosistem negara-bangsa yang sehat amat bergantung pada umpan balik dari para pemikir kritis.

Kontradiksi #3: Mengikis Keabsahan Pemerintah dalam Krisis Mendatang

Dengan adanya perubahan iklim, seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia kemungkinan besar akan menghadapi krisis ekonomi lagi di masa mendatang. Ketika permukaan air laut naik dan kondisi cuaca ekstrem berdampak pada rantai pasokan, biaya hidup akan semakin meningkat. Branding tertentu di masa damai mungkin efektif—misalnya, kampanye presiden yang mencap kandidat tersebut sebagai seorang kakek gemoy—tetapi apakah kepercayaan yang telah didapat mampu ia pertahankan di masa krisis?

Otoritarianisme digital bergantung pada represi suara-suara perlawanan dan pembatasan kebebasan berekspresi. Namun, benih legitimasi yang rapuh sudah mulai bermunculan. Saat ini, kita sulit mempercayai organisasi pemeriksa fakta, dan bahkan calon legislatif pun kerap mewaspadai pasal karet yang terdapat di UU ITE. Dalam waktu dekat, AI generatif akan menjadi hal yang lumrah, yang dalam iklim politik saat ini mungkin akan semakin mengikis narasi seputar legitimasi pemerintah.

Saat ini, siklus kontrol dan imbas dari aturan otoriter digital sebagian besar dirasakan oleh aktivis demokrasi dan pembela HAM, seperti Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar, dan kita yang mendukung mereka. Dalam suatu krisis, hal kecil pun akan dapat dengan mudah meluas dan berubah menjadi kekacauan yang jauh lebih besar. Jika hal ini terjadi dalam ekosistem disfungsional, seperti yang dieksplorasi dalam Kontradiksi #2, sudah pasti nantinya kita akan  berhadapan dengan bencana.

Inilah kontradiksi terakhir. Pemerintahan otoriter mengandalkan kendali atas informasi dan kriminalisasi terhadap suara-suara oposisi, tetapi praktik-praktik ini pada gilirannya akan berimbas amat besar pada mereka ketika krisis yang tak terhindarkan melanda.

Kesimpulan

Dalam diskusi santai kita sehari-hari, ada kecenderungan untuk memandang isu hak digital dan kebebasan berekspresi sebagai masalah kelas menengah, hanya bagi mereka yang cukup beruntung untuk tidak memikirkan besok makan apa atau bulan ini bagaimana harus bayar kontrakan. Seolah-olah seseorang patut peduli dengan kebebasannya hanya jika perutnya sudah kenyang.

Hal ini tentu saja sangat menyesatkan, terutama ketika kita mulai memikirkan tentang mereka yang masih hidup di bawah pendudukan militer atau mereka yang menjadi korban perbudakan modern di Asia Tenggara. Hal ini juga menyesatkan dalam skala yang lebih besar. Kecuali suatu negara diberkati dengan kondisi geopolitik tertentu dalam titik sejarah yang sangat spesifik, otoriterisme digital akan berdampak pada semua orang. Bahkan dalam pengertian yang murni pragmatis, utilitarian, dan kapitalis, kecenderungan otoriter digital menyebabkan ketidakstabilan dan kerapuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Pada tulisan sebelumnya, kami telah menguraikan empat tindakan untuk mengadvokasi pengentasan kemiskinan dan kerawanan di Indonesia: Memantau prasangka pemerintah, menuntut transparansi dan akuntabilitas, menjaga kepercayaan dan sentimen masyarakat, serta meningkatkan kekuatan masyarakat sipil. Keempat langkah ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya jaminan yang kuat atas hak-hak digital dan kebebasan berekspresi kita.

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan, kita sebagai anggota masyarakat sipil harus berupaya semaksimal mungkin untuk terus berjuang melawan otoritarianisme digital di Indonesia. Kita harus terus menyerukan pencabutan UU ITE dan praktik pseudolegalitas lainnya di Indonesia atau di negara lain di Asia Tenggara. Hidup kita, baik secara harfiah maupun kiasan, bergantung padanya.

Referensi

Di luar berbagai sumber daring yang ditautkan dalam teks di atas, berikut adalah tiga dokumen utama yang diacu dalam penulisan artikel ini:

  1. Kwang, Han Fook, Warren Fernandez, & Sumiko Tan. 1998. Lee Kuan Yew: The Man and His Ideas. Singapore: Marshall Cavendish. Tersedia secara daring.
  2. Mansted, Katherine. 2020. Strong Yet Brittle: The Risks of Digital Authoritarianism. Washington, DC: The Alliance for Securing Democracy. Tersedia secara daring.
  3. Naím, Moisés. 2022. The Revenge of Power: How Autocrats Are Reinventing Politics for the 21st Century. New York: St. Martins’ Publishing Group. Tersedia secara daring.

Related Articles

Responses