Janum bin Lamat, Chief of Jerieng Tribe, leads the Taber Gunung ritual at Bukit penyambung, Desa Pelangas.

Upaya Suku Jerieng Menjaga Alam dan Tradisi

Selama beberapa tahun ke belakang, terjadi peningkatan luas wilayah lahan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang terus menggerus wilayah adat dan tradisi Suku Jerieng di Kepulauan Bangka Belitung. Hingga hari ini, para warga adat tersebut  terus berjuang untuk mempertahankan lahan dan tradisinya.

Hutan di kawasan Kepulauan Bangka Belitung terus tergerus, sementara kawasan perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Berbagai perubahan kondisi lingkungan di kawasan tersebut turut mengubah kehidupan orang-orang yang ada di dalamnya, termasuk masyarakat adat Suku Jerieng.

Rotini (42), salah satu keturunan Suku Jerieng, masih ingat betul kenangan masa kecilnya di mana segala kebutuhan terasa cukup. Setiap keluar rumah, ia dapat melihat berbagai tanaman, mulai dari tanaman obat hingga sayur-sayuran. Keluarganya juga secara rutin mengurus padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Rotini lahir dan menetap di Desa Berang, Kecamatan Teritip hingga hari ini. Ia melihat bagaimana perubahan lingkungan tempat tinggalnya yang semakin memburuk.

“Sekarang, apa-apa serba sulit.” ucap Rotini.

Rotini berdiri di tengah kebunnya yang semakin terhimpit oleh perkebunan sawit skala besar.
Rotini berdiri di tengah kebunnya yang semakin terhimpit oleh perkebunan sawit skala besar. Foto oleh Nopri Ismi.

Perubahan tersebut terjadi sejak maraknya pembukaan lahan di wilayah masyarakat Suku Jerieng, baik untuk industri kelapa sawit maupun hutan tanam industri (HTI). “Karena itu tadi, bercocok tanam sudah susah, ditambah lagi lingkungan yang bersih dan udara bersih pun susah kami dapatkan,” ujar Rotini.

Sekali pun bercocok tanam telah menjadi sulit, Rotini dan keluarganya tetap menanam padi. Pasalnya, nugal atau menanam padi merupakan bagian penting dari tradisi Suku Jerieng. Menurut mereka, tradisi nugal adalah budaya leluhur yang menggambarkan hubungan antara alam dengan masyarakat Suku Jerieng. Nugal pula yang akhirnya mampu menyelamatkan keluarga Rotini saat pandemi COVID-19 mulai menghantam desanya.

“Kami menanam padi untuk membantu perekonomian keluarga karena tidak perlu lagi membeli beras […]. Meski hanya panen sekali dalam setahun, Alhamdulillah, sudah cukup untuk makan sekeluarga.” terangnya.

Jemaun, salah seorang petani dari Suku Jerieng, mengatakan bahwa selain nugal, Suku Jerieng juga memiliki tradisi lain yang masih berkaitan, yakni besaoh atau saling bantu. Rotini dan suaminya, Dudang (47), juga kerap saling membantu tetangganya untuk menanam padi.

“Selain nantinya bisa diwariskan ke anak cucu, hasil dari bertani atau berkebun sesungguhnya bisa lebih menjanjikan dibandingkan menjadi buruh sawit,” terang Rotini.

Masyarakat Suku Jerieng sedang mengolah ladang berkebunnya yang kian terhimpit perkebunan sawit.
Masyarakat Suku Jerieng sedang mengolah ladang berkebunnya yang kian terhimpit perkebunan sawit. Foto oleh Nopri Ismi.

Namun, Rotini khawatir bahwa tradisi untuk menanam padi nantinya tak dapat dilakukan. Pasalnya, sekalipun sudah banyak perusahaan yang berdiri di sekitar kawasan tempat tinggalnya, masih tetap banyak perusahaan lain yang datang untuk memperluas lahan usahanya di wilayah itu. Berbagai penolakan pun terus dilakukan oleh Suku Jerieng, termasuk Rotini, salah satunya terjadi pada 2018 lalu. Saat itu, Rotini turut serta untuk menggerakan proses terhadap kehadiran konsesi HTI di wilayah adat Suku Jerieng. 

“Karena hutan (Bukit Penyabung) kawasan ini lah satu-satunya tempat kami dan masyarakat Jerieng menopang hidup.” terangnya.

Luas lahan hutan di kawasan Suku Jerieng semakin menipis, sementara luasan lahan sawit terus meningkat. Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat luas lahan sawit di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 75.734 hektar. Luas kawasan hutan di Kepulauan Bangka Belitung pun pernah mengalami penurunan drastis, dari 657.380 hektar (2014) menjadi 235.586 hektar (2015). Angka tersebut kembali turun mencapai 204.974 (2021).

Perubahan Fungsi Lahan Hapus Tradisi

Suku Jerieng merupakan masyarakat adat beretnis Melayu yang dikategorikan sebagai suku asli sekaligus tertua di Pulau Bangka. Mereka mempunyai ikatan kuat dengan alam sebagai salah satu pijakan dalam hidup.

Fitri Ramdhani Harahap, Sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, menjelaskan bahwa Suku Jerieng memiliki warisan budaya (cultural capital) yang diturunkan oleh leluhurnya. Warisan budaya tersebut menjadi bagian identitas, serta diatur dalam hukum dan lembaga adat. Hukum dan lembaga adat mengatur kehidupan sosial, hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah adat, sistem nilai dan pengetahuan tradisional, serta aturan-aturan yang berisi tatanan kehidupan.

“Salah satu warisan budaya leluhur yang masih dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat adat Suku Jerieng secara rutin adalah ritual adat yang dilaksanakan di Bukit Penyabung. Ritual adat ini merupakan manifestasi dari rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta,” tuturnya.

Hal tersebut pula yang menjadi alasan Rotini dan masyarakat Suku Jerieng lainnya terus berusaha untuk mempertahankan wilayahnya, termasuk di Bukit Penyabung, walau wilayah itu telah amat berubah.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Bangka Barat, Dato Sardi (49), menyampaikan bahwa perubahan fungsi lahan di ruang hidup Suku Jerieng mulai terjadi sejak Orde Baru, khususnya sekitar tahun 1993-1995. Saat itu, perusahaan sawit mulai masuk ke sana dengan cara yang otoriter.

Ekspansi perkebunan sawit di wilayah adat Suku Jerieng menjadi salah satu faktor terancamnya hutan dan lahan berkebun Suku Jerieng.
Ekspansi perkebunan sawit di wilayah adat Suku Jerieng menjadi salah satu faktor terancamnya hutan dan lahan berkebun Suku Jerieng. Foto oleh Nopri Ismi.

Perubahan fungsi lahan tersebut tak hanya mengubah ruang hidup Suku Jerieng, melainkan juga menggeser dan menghapus beberapa tradisi yang telah berjalan selama ratusan tahun. Salah satu tradisi yang hilang tersebut adalah behume, tradisi pembukaan lahan kecil dengan luas tak sampai satu hektar yang untuk berkebun. Memang, dulu, mayoritas Suku Jerieng hidup dengan bertani dan berkebun. Namun, seiring penyempitan lahan dan himpitan ekonomi, tradisi sekaligus profesi tersebut mulai bergeser.

“Seiring waktu, masyarakat yang tadinya behume akhirnya terpaksa menjadi buruh harian atau mencari hasil dari tambang yang dikelola secara swasta, atau lebih dikenal di masyarakat dengan Tambang Inkonvensional (TI)” kata Dato Sardi.

Profesi lain yang juga mengalami kesulitan adalah dukun obat karena semakin sulit untuk mendapatkan tanaman obat. Miya (58), yang dikenal sebagai dukun obat di Suku Jerieng,  biasanya membuat obat-obatan dari sejumlah tanaman, baik dari daun, kulit, maupun akar pohon di Bukit Penyabung. Miya biasa menangani dirinya maupun kerabatnya yang mengalami sakit sehingga mereka tak perlu untuk berobat ke dokter atau pusat kesehatan modern.

Miya memaparkan beberapa jenis tanaman yang bisa digunakan sebagai obat, mulai dari medang sang (obat sakit perut), akar cepenak (obat malaria), hingga buah jenitri (obat untuk memperlancar peredaran darah). “Selepas dikumpulkan, biasanya saya bawa dulu ke rumah untuk diproses, ada juga yang bisa langsung dikonsumsi,” jelasnya.

Arman Moehammad, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan bahwa perubahan profesi masyarakat adat bukan hanya terjadi di Pulau Bangka saja, melainkan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga dan Jawa.

“Pekerjaan tradisional ini tergeser akibat banyaknya perubahan wilayah adat, seperti dampak adanya konversi lahan oleh masuknya korporasi besar. Bagi mereka, kehilangan tanah berarti kehilangan semuanya.” jelas Arman.

Arman Moehammad menilai salah satu faktor mendasar terjadinya masalah tersebut adalah adanya absennya pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas lahan mereka. Indonesia memang belum kunjung mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat hingga hari ini, sekalipun sudah terdapat banyak desakan dari masyarakat.

New Naratif telah mencoba untuk menghubungi perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Bangka Belitung, Adet Mansur, terkait masalah ini. Namun, ia tidak memberikan respon.

Mengikuti Ritual Suku Jerieng

Saya dan rekan fotografer saya berjalan kaki menuju rumah ketua adat diantar Masliadi (38) untuk melihat rangkaian ritual dari Suku Jerieng. Ritual pertama adalah Mandi Gong. Ritual tersebut merupakan perantara untuk berkomunikasi dengan seluruh makhluk hidup, baik yang terlihat maupun tidak, dan alam semesta. 

Kalian beruntung, ritual ini sempat berhenti tiga tahun. Baru tahun ini dilaksanakan lagi”, ujar Masliadi.

Sesampainya saya di rumah Ketua Adat Suku Jerieng, Atuk Janum, saya melihat sudah banyak orang yang berkumpul di sekitar pekarangan rumah. Tamu hadir dari berbagai daerah, sekalipun mayoritas dari mereka memang masih memiliki satu garis keturunan dengan Suku Jerieng. 

Kami pun dipersilakan untuk masuk dan makan makan. Berbagai kebutuhan ritual, termasuk makanan, merupakan hasil dari urunan kolektif Suku Jerieng. Malam itu, menu utama terdiri dari  nasi merah, ikan asin (kepitek), tempe goreng, tumis rebung, sambal belacan (terasi), dan jengkol (jerieng). Jengkol atau jerieng menjadi aspek penting karena ia juga merupakan asal-muasal nama dari Suku Jerieng.

Acara tersebut dilanjutkan dengan serangkaian pertunjukan, termasuk tarian dan nyanyian lagu dengan bahasa Suku Jerieng, mulai dari tentang asmara hingga leluhur mereka. Selepas itu, Atuk Janum mengambil alih acara, serta memimpin do’a dan membacakan sebuah nasihat dari leluhur. Di hadapan massa, Atuk Janum pun menyampaikan tentang kepercayaan para leluhur terhadap alam di mana alam harus diperlakukan dengan sebagaimana mestinya. 

Atuk Janum menyampaikan bahwa gong tersebut merupakan warisan dari nenek-moyang yang harus dijaga dan dipelihara hingga generasi selanjutnya. Cara merawatnya adalah memandikannya dengan air kembang tujuh rupa dan minyak wangi. 

Memasuki tengah malam, pemandian gong dimulai. Selepas itu, gong dengan diameter 90 cm tersebut dipukul dengan keras untuk memanggil seluruh Suku Jerieng, termasuk para makhluk gaib, serta sebagai penanda bahwa ritual tersebut tengah dilaksanakan.

Air yang digunakan untuk memandikan gong dibagikan kepada masyarakat. Mereka mempercayai bahwa air tersebut bisa mengobati, menolak bala, hingga memikat pasangan. Melalui ritual tersebut, masyarakat juga berharap agar mereka bisa dijauhkan dari berbagai musibah, termasuk gagal panen.

Janum bin Lamat, Ketua Adat Suku Jerieng memimpin perjalanan menuju Bukit Penyabung di Desa Pelangas.
Janum bin Lamat, Ketua Adat Suku Jerieng memimpin perjalanan menuju Bukit Penyabung di Desa Pelangas. Foto oleh Nopri Ismi.

Keesokan harinya, kami berjalan kaki menuju Bukit Penyabung untuk melaksanakan ritual Taber Gunung. ‘taber’ atau ‘sedekah’ sebagai bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa, para leluhur, dan semesta alam yang telah memberi hasil bumi selama setahun penuh.

“Selama ritual berjalan, rakyat Suku Jerieng dilarang mengeluarkan darah binatang. Artinya, tidak boleh berburu bahkan sampai membunuh binatang, dan dianjurkan juga untuk tidak melakukan aktivitas berkebun (behume) atau pergi kerja (begawe),” terang Atuk Janum.

Atuk Janum menceritakan bahwa pernah ada orang yang melanggar aturan tersebut dengan tetap melakukan penyembelihan hewan yang mengeluarkan darah. “Orang itu meninggal di tempat,” lanjut Atuk Janum.

Di Bukit Penyabung, semua orang harus melepas alas kaki untuk menghormati wilayah nenek moyang mereka. Mereka juga menyiapkan sesajen. Memasuki pukul 12 siang, Atuk Janum meminta dua orang untuk maju dan memulai ritual dengan membaca doa. 

Sesajen berupa makanan berbahan ketan mengandung makna betapa pentingnya hutan dan kebun yang telah memberi beragam manfaat bagi Suku Jerieng.
Sesajen berupa makanan berbahan ketan mengandung makna betapa pentingnya hutan dan kebun yang telah memberi beragam manfaat bagi Suku Jerieng. Foto oleh Nopri Ismi.

Doa dipanjatkan, suasana hening mengikuti jalannya ritual. Madu, kembang melati, serta beras ditabur ke seluruh sudut di atas bukit. Seusai itu, ada satu tradisi sebelum turun bukit dan kembali ke Desa Pelangas yakni pertunjukan pencak silat yang diiringi musik gong dan gendang panjang bertaut nyanyian bahasa jerieng menjadi penutup dari seluruh ritual.

“Maksud dari semua rangkaian ritual mandi gong dan taber gunung ini [adalah] sebagai cara kami meminta ke yang Maha Kuasa supaya orang kite (Suku Jerieng) dilindungi dari segala macam penyakit, dan supaya usaha kita terlaksana dengan baik,” tutur Atuk Janum selepas ritual usai.

Atuk Janum menyampaikan Suku Jerieng memang mengajarkan banyak hal tentang bagaimana cara mereka memperlakukan alam dengan baik, serta bagaimana agar mereka bisa dijauhkan dari keserakahan. Usaha untuk menjaga alam pun terus dilakukan seiring dengan Suku Jerieng berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai dan tradisinya.

Dato Sardi turut mengatakan bahwa kemampuan Suku Jerieng untuk mempertahankan nilai-nilai adatnya merupakan hal yang sangat penting.

Sejumlah tradisi dari Suku Jerieng yang masih bertahan antara lain adalah Ritual Taber Gunung, Mandi Gong, Ngerabun Pusaka, serta Sedekah Kampong yang dilaksanakan di titik-titik wilayah Suku Jerieng yang ada di Desa Kundi, Rajek Belar, Simpang Tige, dan Pelangas.

“Walaupun sekarang sudah beranjak ke Islamisasi, adat istiadat yang terkandung dari nenek moyang kami dahulu akan tetap kami jaga dan pertahankan,” jelasnya.

Apa Selanjutnya?

  • Dukung pekerjaan organisasi-organisasi non pemerintah (LSM) yang fokus untuk memitigasi kerusakan lingkungan, seperti Walhi Kepulauan Bangka Belitung, PPS (Pusat Penangkaran Satwa) Alobi Foundation Bangka Belitung, dan Yayasan Ikan Endemik Bangka Belitung “The Tanggokers”.
  • Turut andil dalam menguatkan atau mendukung sejumlah lembaga adat di Bangka Belitung, seperti Lembaga Adat Melayu Suku Jerieng dan Lembaga Adat Mapur.
  • Bantu masyarakat adat Indonesia agar mendapatkan perlindungan secara hukum lewat petisi yang mendorong agar Undang-Undang Masyarakat Adat segera disahkan.
  • Bagikan artikel ini dengan teman dan keluargamu, lalu diskusikan kekuatiranmu dengan mereka.
  • Bergabung menjadi anggota New Naratif untuk mengetahui permasalahan krisis lingkungan bersama kami, baik dalam bentuk tulisan, podcast, komik, maupun video.

Related Articles

Responses