Aku Tidak Pernah Sendiri

Page 1.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 6 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Seorang komedian yang terlihat sebagai genderqueer, sedang tampil di TV. Ia mengenakan wig keriting berwarna merah muda dengan setelan yang juga berwarna merah muda, dan ia sedang duduk di kursi. Ia mengatakan: Hai! Aku Pinky Boy, cita-citaku jadi penyanyi terkenal! Narrator: Waktu kecil, aku tidak punya kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan orang-orang queer tanpa stigma.
Panel 2. Close-up pada wajah Pinky Boy, memperlihatkan tekad dari wajahnya. Ia berkata: Orang-orang bilang, aku tuh berbakat lho! Nenek, kakak-adik, sepupu, bahkan orang asing yang muncul dalam mimpiku!
Panel 3. Pinky Boy meniupkan ciuman kepada para penonton. Pokoknya, aku yakin kalau aku bakal sukses. Doakan aku ya, semuanya!
Panel 4. Seorang pria yang memakai sarung dengan marah menunjuk ke arah TV sambil berteriak: “Apa-apaan pelawak ******* ini! Dasar seniman!” Karakter utama, yang adalah seorang gadis kecil, sedang menggambar sesuatu di lantai sambil menonton TV.
Panel 5. Kita melihat apa yang ia gambar—sang Pinky Boy. Narator: Yang aku tahu, keluargaku menyebut mereka dengan kata “seniman”.
Panel 6. Close-up pada gambar. Narator: Aku bertanya-tanya jika ada ruang aman bagi mereka di tempat lain—di dunia seni. Jika aku pindah dari kota ini dan pergi ke sekolah seni, apakah aku bisa menemukan orang-orang sepertiku?
Page 2.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 6 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Karakter utama sekarang menjadi mahasiswa seni. Dia menampilkan dirinya sebagai seorang transmaskulin. Dia memiliki tabung gambar di kamarnya dan beberapa alat gambar berserakan di lantai. Dia duduk di lantai, memegang beberapa DVD bajakan. Narator: Ketika akhirnya pindah ke kota besar, aku memulai perjalananku dengan sebuah pertanyaan: “Aku ini apa?”
Panel 2. Close-up pada DVD bajakan. Sampulnya menampilkan gambar DVD "Boys Don't Cry", "The Danish Girl", dan "The Crying Game". Ia memasukkan "Boys Don't Cry" ke dalam DVD drive laptopnya. Narator: Jawaban pertamaku datang dari sebuah film tentang seorang pemuda bernama Brandon Teena dari pedesaan Nebraska.
Panel 3. Ia menangis ketika menonton film tersebut. Narator: Menyaksikan kisah Brandon, aku menyadari bahwa mungkin aku adalah seorang transpria.
Panel 4. Halaman utama surat kabar dengan headline: “Brandon Teena adalah seorang perempuan yang hidup dan berpacaran sebagai seorang lelaki. Dia dibunuh karena ketahuan menyamarkan diri”. Tak semua orang menyambut kebenarannya. Satu artikel mengerikan menyebutnya sebagai perempuan yang menyamar.
Panel 5. Close-up pada sampul DVD, memperlihatkan nama-nama pemeran. Narator: Dalam film-film yang kutonton, semua karakter transgender diperankan oleh aktor cisgender.
Panel 6. Potret Brandon Teena dan Lili Elbe. Narator: Di manakah orang-orang trans ini dalam kehidupan nyata? Apakah mereka bersembunyi? Dirahasiakan?
Page 3.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 7 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Karakter utama sedang memangku dagu pada mejanya di ruang kelas.
Panel 2. Seorang dosen yang memakai hijab warna hijau dan blus warna merah muda sedang berdiri di depan papan tulis dengan gambar seorang bissu. Ia mengatakan: Dalam budaya Bugis, gender kelima—disebut Bissu—bukan lelaki atau perempuan; namun keduanya sekaligus. Mereka dianggap sebagai pemimpin spiritual di komunitas Bugis. Ada catatan dalam papan tulis: Gender dalam masyarakat Bugis: oroane, makkunrai, calalai, calabai, bissu. Persekusi dan penghapusan bissu:
- Kolonialisme abad ke-16: Masuknya budaya & agama asing
- 1959: Pergeseran kekuasaan dari kerajaan Bugis ke pemerintahan terpusat
- 1950-1965: Operasi Toba oleh kelompok Kahar Muzakkar & Orde Baru
Panel 3. Dua mahasiswa sedang duduk di depan karakter utama. Satu diantaranya berbisik pada yang lain: Bukan cowok, bukan cewek... kayak lo!
Panel 4. Yang berbicara berpenampilan maskulin, mengenakan hoodie biru. Temannya, seorang pria feminin dengan rambut cepak dan banyak anting-anting, resah dan menjawab: Gaklah! Gue cowok tulen. Ini ‘kan gaya gue aja! Mahasiswa yang mengenakan hoodie menjawab: Janji ya, kalau elo jadi gay, jangan duduk dekat gue.
Panel 5. Seorang gadis di samping MC menyentuh bahunya, berkata: Eh, Sarah…
Panel 6. Gadis itu menunjuk padanya dan terkikik dengan nada menggoda: Kamu ‘kan bukan perempuan, bukan juga laki-laki!
Panel 7. Pemeran utama mengangkat tangannya dengan panik, ia buru-buru menjawab: Enggak! Aku cuma tomboy aja. Itu ‘kan, hal yang sudah biasa! Narator: Tiba-tiba aku mengerti mengapa kami bersembunyi.
Page 4.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 7 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Karakter utama terlihat berdiri bersandar pada dinding dengan transpria lainnya, mereka sedang minum soda dari kaleng. Ia berkata: Kayaknya aku sama kayak kamu, deh. Aku trans juga.
Panel 2. Temannya mengangguk, membalas: Wah! Kapan mau mulai terapi testoteron?
Panel 3. Terkaget, karakter utama melihat ke bawah ke lantai. Ia menjawab dengan gugup: Tapi kayaknya… Aku enggak ingin terapi hormon. Aku masih bisa dibilang trans, enggak, ya?
Panel 4. Pria trans itu menepuk bahunya dan berkata secara sembrono: Oh, kamu lagi bingung aja kali!
Panel 5. Saat orang itu berjalan menjauh, karakter utama menetap, tidak bergerak.
Panel 6. Adegan berubah menjadi bar. Karakter utama memegang gelas sekarang.
Panel 7. Saat musik diputar dengan keras, dia memperhatikan sekelompok orang dan ekspresi wajahnya berubah menjadi kagum.
Page 5.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 9 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Tiga orang sedang menari dengan gembira mengikuti musik. Orang pertama adalah orang berpenampilan maskulin dengan tubuh yang maskulin, rambut pendek, ia berkumis dan memakai lipstik. Orang kedua adalah orang yang berpenampilan androgini dengan rambut mullet dengan highlight berwarna ungu, ia mengenakan turtleneck putih tanpa lengan. Orang ketiga adalah orang yang berpenampilan feminin dengan tubuh maskulin, mengenakan wig panjang dan blazer bermotif macan. Narasi: Mereka kelihatan keren banget! Mereka trans juga bukan ya?
Panel 2. Karakter utama mendekati grup tersebut, sedikit mabuk. Ia menyapa mereka: Halo! Kalian kelihatan keren banget! A-apa gender kalian? Apakah kalian transgender? Aku juga trans!
Panel 3. Orang androgini merespon: Kami non-biner!
Panel 4: Karakter utama bingung.
Panel 4. The main character is confused. Hah? Aku enggak ngerti. Apa itu non-biner? Ia bertanya
Panel 5. Orang androgini menjawab: Kami orang-orang di luar konsep biner perempuan atau laki-laki!
Panel 6. Orang yang berpenampilan maskulin menjelaskan: Saat lahir, aku dinyatakan sebagai laki-laki dan aku terlihat maskulin. Tapi aku ini non-biner!
Panel 7. Temannya menambahkan: Aku terlihat androgini, tapi orang-orang non-biner tidak perlu terlihat androgini. 
Panel 8. Orang ketiga memberi catatan: Aku seorang transpuan, tapi aku juga nonbiner!
Panel 9. Karakter utama tercengang. Dia tergagap: B-bisa jadi dua-duanya? Jawabannya datang: Ya bisa, dong!
Page 6.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 7 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Tiga orang tersebut menyatakan: Gender adalah sebuah taman bermain, bukan medan perang!
Panel 2. Tampilan jarak dekat dari mata karakter utama, terbelalak lebar karena menyadari sesuatu. Narator: Ternyata, aku tidak sendiri.
Panel 3. Keempatnya ditampilkan mengambang di luar angkasa, masing-masing dalam gelembungnya sendiri. Narator: Kami selalu bersama, namun dipisahkan oleh rasa takut. Rasa takut bahwa orang-orang akan menyakiti kami…jika mereka sadar bahwa keunikan kami melampaui estetika, melampaui penampilan belaka.
Panel 4. Sebuah tangan meraihnya. Narator: Rasa kesepian yang timbul dari merasa berbeda dalam kesendirian...
Panel 5. Tangan yang lain meraihnya. Narator Narrator: ..hanyalah sebuah kebohongan terencana
Panel 6. Panel horizontal lebar, berfokus pada mata karakter utama yang tertutup.
Panel 7. Dia membuka matanya dan cahaya membanjiri ruang.
Page 7.
Sebuah halaman komik yang terdiri dari 5 panel dalam garis hitam dan penuh warna. Narasi disediakan dalam boks keterangan.
Panel 1. Mereka berempat berada di kamar yang nyaman, bermain kartu. Mereka memakai t-shirt dan piyama. Mereka terlihat bahagia. Pemeran utama tertawa. Narator: Lalu, kami menjadi teman. Mereka nyata, bukan hanya mitos. Bukan orang-orang yang hanya dapat kudengar dalam sebuah kuliah, atau kulihat dalam film.
Panel 2. Orang yang berpenampilan maskulin mengangkat sebuah kartu.
Panel 3. Orang androgini terlihat tercengang.
Panel 4. Orang yang berpenampilan feminin terkekeh. Narator: Setelah menemukan komunitas, aku mendapatkan jawaban.
Panel 5. Foto berbingkai dari sang karakter utama, memegang bendera trans pride, berdiri di depan bendera non-biner pride. Foto itu berada di atas lemari TV, dikelilingi oleh DVD yang biasa dia tonton. Narator: Aku ini apa? Aku trans dan non-biner, dan aku yakin bahwa diri ini nyata.

Referensi

[1] Ais Nurbiyah Al-Jum’ah (2018). Resistensi Bissu Terhadap Pembantaian DI/TII Di Sulawesi Selatan Periode 1950‒1965 Dalam Dua Cerpen Faisal Oddang. Dalam Prosiding Seminar Sejarah Sastra: Memutakhirkan Kajian dan Penulisan Sejarah Sastra. Universitas Indonesia, Depok. Dapat diakses di https://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2019/02/03.pdf

[2] Bornstein, K., & Drucker, Z. (2017). Gender Is a Playground. Aperture, (229), 24-31. Dapat diakses di https://aperture.org/editorial/gender-playground/

[3] Eli, A. (2020). The New Queer Conscience. Penguin Workshop.

Ucapan Terima Kasih

Komik ini merupakan bagian dari proyek bertajuk “Being Nonbinary in Indonesia – An Advocacy Project Through Comics” yang dipimpin oleh Erik Nadir untuk APTN Amplifying Trans Advocacy Fellowship 2020.

Informasi Lebih Lanjut

Berikut ini adalah individu trans dan/atau non-biner yang bekerja tanpa lelah untuk menciptakan ruang inklusif bagi komunitas trans dan/atau non-biner di Indonesia:

  • Bonni Rambatan dan Reymigius, seniman dan penulis non-biner yang menciptakan “Kami Senantiasa Ada Disini”, sebuah komik explainer untuk New Naratif.
  • Mario Pratama, seorang aktivis trans yang memproduksi prostetik afirmatif gender untuk individu transmaskulin dan/atau non-biner lewat toko online miliknya, Pride Store Indonesia
  • Kanzha Vinaa, yang bekerja di bidang pendidikan alternatif dan peningkatan kapasitas bagi transpuan muda melalui Sanggar Swara.
  • Athallah Rafardhanu, Ardhana Rishvara, Alexander Danardanu, dan Raham Abyasa yang mendirikan Transmen Talk Indonesia, ruang aman bagi transpria muda untuk berbicara tentang isu-isu mendesak di komunitas transpria dan bagi allies untuk belajar lebih banyak tentang transpria.
  • Marian Kevin dan Ardhana Rishvara yang bekerja lewat Pride Care Indonesia, sebuah organisasi yang memberikan informasi seputar transisi medis dan bercita-cita untuk memberikan bantuan finansial untuk transisi medis bagi para transmaskulin di Indonesia.
  • Amar Alfikar, seorang teolog queer yang mempelajari teologi inklusif untuk komunitas LGBTQIA+. Dengarkan podcast “Ngaji Diri”-nya di sini.
  • Rully Mallay, koordinator Waria Crisis Center (WCC). WCC saat ini sedang melakukan penggalangan dana untuk membantu waria dan minoritas lainnya di Indonesia yang menjalani isolasi diri selama pandemi. Hubungi Rully di sini untuk berdonasi.
  • Jika kamu adalah orang Indonesia yang mengidentifikasikan diri sebagai non-biner, kamu dapat mengirimkan email pada Erik Nadir di [email protected] untuk bergabung dengan grup Non-binary Peer Support Indonesia.

Related Articles