A family of cockroaches separated by a creek. The ones staying home look sad. The other one is waving from across the creek, looking tired, but having to pursue work abroad nonetheless.

Bahaya Ketergantungan Filipina Mengeksploitasi Warganya Sendiri

Pemerintah Filipina memulai ekspor buruh sebagai langkah darurat demi mengentaskan kesenjangan sosial, namun mereka kini makin agresif mengekspor warga negaranya sendiri. Migrasi buruh memang menjadi solusi jangka pendek untuk masalah ekonomi bagi para keluarga pekerja migran, serta telah membawa manfaat bagi negara-negara pemberi kerja, elit lokal, dan pemerintah. Namun masalah jangka panjang terus mengintai para pekerja migran, warga Filipina, serta negeri tersebut.

Penafian Ilustrasi

Penggunaan konsep kecoak sebagai metafora untuk penelitian ini mengundang pertanyaan bagi sejumlah orang. Berikut adalah pernyataan dari ilustrator dan editor kami:

Pernyataan Ilustrator

Konsep ini datang dari seorang pengajar kesayangan saya dari UP College of Fine Arts yang berkata bahwa orang-orang Filipina seperti kecoak yang memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai daerah dan tabah didera tekanan dari luar. Ia mengatakan ini dengan segenap rasa hormat dan cinta kepada sesama rakyat tanah airnya. Dan, menimbang bobot dari artikel ini, amatlah penting untuk menyoroti masalah yang bisa muncul dari semangat yang berkobar-kobar ini (misalnya: bersedia menjadi martir) demi membuktikan bahwa kami memang pantas mendapatkan kesempatan yang telah kami terima, walau akhirnya kami terjebak dalam situasi eksploitatif dan tidak manusiawi.

—Townsunder

Catatan Editor

Saya meminta Town, seorang perupa nonbiner dari Filipina, untuk mengerjakan ilustrasi bagi artikel ini karena saya tahu bahwa tulisan tentang OFW harus diilustrasikan lewat suara dari seorang asli Filipina. Saya sedikit terkejut ketika ia mengajukan konsep untuk ilustrasi ini: kecoak! Namun ketika ia menjelaskan alasan di baliknya, rasanya sungguh masuk akal. Saya rasa inilah goresan tinta seorang jenius. Walau sedikit tidak biasa: dalam satu guratan, potret ini bicara tentang ketabahan OFW serta serangan rasisme yang kerap mereka alami di luar negeri, bahwa mereka dipandang sebelah mata oleh semuanya, namun tetap bertahan. Saya menyadari hinaan yang kerap dialami oleh pekerja domestik migran, tetapi Town mampu merebut kembali makna dari citra kecoak yang berbicara banyak tentang agensi orang-orang Filipina dalam fenomena rumit yang kami potret.

—Bonnibel Rambatan

“Ini janjiku padamu dan pada Tuhan dan pada semua yang bekerja di luar negeri. Ini akan jadi yang terakhir. Generasi Filipina selanjutnya akan bekerja di Filipina.”

Presiden Rodrigo Duterte

Presiden Rodrigo Duterte mengatakan hal tersebut dalam pidato di depan Pekerja Migran Filipina atau Overseas Filipino Worker (OFW) di Jepang pada 25 Oktober 2016. Ia menjanjikan berakhirnya fenomena orang-orang Filipina harus merantau keluar negeri untuk mencari kerja. Akan tetapi, pemerintahan Duterte tidak memperlihatkan upaya apapun untuk mencapai ini. Sebaliknya, amat mudah bagi para warga Filipina untuk keluar negeri menjadi pekerja: malahan, dalam 100 hari awal pemerintahannya, ia menciptakan “kios satu pintu” untuk pendaftaran calon OFW, mempercepat proses penerimaan tenaga kerja, mengupayakan pemanjangan masa berlaku paspor Filipina dari lima tahun menjadi sepuluh tahun, dan memperbolehkan pendaftaran awak kapal laut secara online (Hapal, 2016).

Lebih jauh lagi, ketika berkampanye untuk memenangkan pemilu presiden, Duterte berjanji akan membentuk departemen pemerintahan yang terpisah khusus untuk mengurus para OFW (Ranada, 2016). Belakangan, Dinas Pekerja Migran (DMW) yang baru dibuka itu mulai berjalan. Dinas itu dibentuk Duterte pada Desember 2021, dan kali ini diketuai oleh sekretaris baru yang ditunjuk oleh presiden baru Ferdinand Marcos Jr. DMW terus mempromosikan ekspor buruh, bukannya kepulangan para OFW ke tanah airnya (Tadios 2022a, 2022b, 2022c dan Antonio 2022). Di balik retorika para presiden yang mengakui bahwa ekspor warga negara Filipina adalah situasi yang harus diubah, pemerintahan Filipina malah lebih agresif dalam mengirim para pekerjanya keluar negeri untuk bekerja.

Singkatnya, walaupun ekspor buruh memberikan keuntungan instan kepada para keluarga pekerja migran, secara jangka panjang, skema ini membawa masalah serius kepada para pekerja, keluarganya, dan perkembangan negara. Namun tetap saja, pemerintah Filipina terus menerus mempromosikan ekspor buruh. Alasannya karena skema ini membawa keuntungan instan kepada ekonomi Filipina, dan lebih penting lagi, membawa keuntungan bagi kepentingan elit asing dan lokal. Bagaikan narkotika jalanan, ekspor buruh memberi Filipina kenikmatan jangka pendek dengan konsekuensi ketergantungan, yang perlahan menghancurkan negara ini.

Seperti di area-area ilmu sosial lainnya, ada perdebatan tentang kontribusi kehendak individu vs masalah struktural dalam studi migran. Walau ada banyak cara untuk menjelaskan faktor-faktor ini, artikel penjelasan ini akan berfokus pada masalah struktur, terutama kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan aturan hukum yang bertanggung jawab atas fenomena OFW. Dalam artikel penjelasan berikutnya, New Naratif akan berfokus pada kehendak individu dan pengalaman personal yang berkaitan dengan migrasi.

Siapakah Para OFW?

Fenomena Pekerja Migran Filipina (OFW) telah begitu terinstitusi sampai-sampai pemerintah memiliki nama formal untuknya. Untuk memahami masalahnya, kita pertama-tama harus memahami siapakah para OFW ini. Walau inisial “OFW” terkadang merujuk pada semua orang Filipina di luar Filipina, pemerintah membuat pembeda antara Orang Filipina di Luar Negeri atau Overseas Filipino (OF, didefinisikan sebagai seluruh orang-orang Filipina yang berada di luar negeri di saat apa pun) dan OFW. Secara teknis, OFW adalah orang Filipina yang selama 12 bulan belakangan melakukan kegiatan untuk mendapatkan upah di negara di mana mereka tidak tercatat sebagai penduduk. OFW juga termasuk orang-orang Filipina yang bekerja di atas kapal (kecuali kapal milik pemerintah yang berlayar untuk keperluan militer atau komersial), instalasi lepas pantai, atau di tengah laut.

Angka migrasi dari Filipina termasuk yang tertinggi di dunia dibandingkan dengan “diaspora” negara lainnya yang dihitung pada tahun 2020.

Cara lain untuk memahami OFW adalah dengan memahami siapa yang tidak dianggap sebagai OFW: “migran permanen” atau mereka yang tinggal di luar negeri dan tidak tergantung pada status ketenagakerjaan, termasuk imigran legal permanen, penduduk tetap, warga naturalisasi, dan warga dengan kewarganegaraan ganda. “Migran luar biasa” merujuk kepada orang-orang tanpa kelengkapan dokumen, tanpa izin tinggal atau kerja resmi, atau tinggal melewati jangka waktu yang diizinkan di negeri asing (CFO, 2014, p. 22).

OFW berada di kategori “migran temporer”, yakni mereka yang bergantung pada kepegawaian di luar negeri dan diharapkan untuk kembali ke negara mereka setelah kontrak berakhir. Kategori ini termasuk OFW, pelajar, pekerja magang, pengusaha, dan keluarganya.

Visualisasi data komposisi OFs dari seluruh dunia, termasuk kepegawaian OFW di Asia dan kiriman remitasi ke Filipina dari IFW dan OF
Lihat paragraf selanjutnya sebagai sumber data.

Menurut ketiga kategori ini, ada 10.2 juta OF di lebih dari 200 negara dan teritori di seluruh dunia, di mana 4.2 jutanya adalah migran temporer, berdasarkan catatan tahun 2020. Dari jumlah itu, 4.8 juta adalah migran permanen, dan 1.2 juta adalah migran luar biasa. (CFO, n.d.) Dari 4.2 juta itu, ada 1.77 juta orang berstatus OFW di bulan April-September 2020, yang merupakan puncak pandemi Covid-19. Angka ini adalah setengah juta lebih sedikit dari tahun sebelumnya. Hampir 60% dari jumlah itu adalah perempuan, 40% laki-laki (PSA 2022).

Kebanyakan OFW dipekerjakan dengan status “pekerja kasar” yang didefinisikan oleh Organisasi Buruh Internasional (2004) sebagai pegawai yang melakukan “tugas-tugas sederhana dan rutin yang utamanya menggunakan peralatan manual dan tenaga fisik.” Dengan kata lain, seperti pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja domestik dan konstruksi. Perawat tidak masuk ke kategori ini walau profesi ini kerap dianggap stereotip pekerjaan OFW.

Sebesar 83.6% dari para OFW dipekerjakan di Asia, 6.7% di Eropa, 5.2% di Amerika, dan 3.4% di Australia (PSA & UPPI, 2019). Angka ini tidak termasuk seperempat juta pelaut Filipina, yang kebetulan juga merupakan seperempat dari angka total pelaut dunia (Gonzalez, 2018).

Migrasi keluar dari Filipina termasuk yang tertinggi di dunia, dibandingkan dengan “diaspora” lain yang dihitung di tahun 2020: India (18 juta), Meksiko dan Rusia (masing-masing 11 juta), Tiongkok (10 juta), dan Siria (8 juta) (Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, 2020). Perbandingan angka-angka ini dengan populasi negara-negara tersebut di tahun 2020 bahkan akan menunjukkan data yang lebih mencengangkan: hanya Siria (45.7%), negeri yang dicabik-cabik perang, yang lebih tinggi angka migrannya dibandingkan Filipina (9.3%), diikuti Meksiko (8.5%), Rusia (7.5%), Tiongkok (6.9%), dan India (1.3%) (Worldometers, n.d.). 

Survei nasional pertama tentang migrasi di Filipina di tahun 2018 menunjukkan bahwa 6.5% dari populasi di atas 14 tahun memiliki pengalaman migrasi internasional selama lebih dari 3 bulan, lebih tinggi daripada rata-rata internasional yang adalah 3.5% (Tabuga, Baño & Vargas, 2020, p. 7). Kesenjangan ekonomi regional berbuntut terbaginya Asia Tenggara menjadi negara pengekspor buruh dan negara pengimpor buruh—dan angka migran Filipina melampaui para tetangga ASEAN-nya. Di tahun 2007, ada 2.7 juta pekerja migran Indonesia di Asia Tenggara, kedua tertinggi setelah Filipina dengan 4.8 juta pekerja migran di area itu di tahun 2006 (Çıngır, 2022), walau populasi total Indonesia berjumlah 2.6 kali lebih banyak daripada jumlah penduduk Filipina.

Telusuri Uangnya

Kita tidak bisa bicara tentang OFW dan jumlahnya yang amat besar tanpa membicarakan remitansi, atau kiriman uang dari pekerja di luar negeri ke keluarga di dalam negeri, yang amat penting dalam menjaga keberlangsungan ekonomi Filipina. Kita juga harus menggarisbawahi betapa signifikannya fenomena ini dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya sepanjang sejarah Filipina. 

Di tahun 2018, sebelum pandemi Covid-19, pengiriman remitansi ke Filipina meningkat 3.1% dari tahun sebelumnya, mencapai US$ 33.8 miliar. Angka ini membuat Filipina menjadi negara penerima remitansi terbesar keempat setelah India (US$ 78.6 miliar), Tiongkok (US$ 67.4 miliar), dan Meksiko (US$ 35.7 miliar). Upaya membandingkan angka-angka ini dengan populasi tiap negara di tahun 2018 akan menunjukkan tingkat kebergantungan mereka pada remitansi: Filipina (US$ 315.89), Meksiko (US$ 272.94), India (US$ 57.32) dan Tiongkok (US$48.36) (Population Reference Bureau, 2018). 

Remitansi menjadi 10.2% dari produk domestik bruto (GDP) Filipina (World Bank Group & KNOMAD, 2019, p. 15). Presentasi ini lebih tinggi dari rata-rata dunia saat itu, yakni 0.8% (Bank Dunia, n. d.) dan bahkan lebih tinggi dari penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) ke negara tersebut, dengan rata-rata 1.3% GDP di tahun 2000-2013 (Llanto, 2018).

Sumber remitansi terbesar adalah Asia (65%), Amerika Utara (21%) dan Eropa (8%) (PSA & UPPI, 2019, p. 137). Aliran remitansi ini biasanya dikirim melalui operator transfer dana serta bank dan kanal-kanal informal. Remitansi yang diterima biasanya digunakan keluarga migran di Filipina untuk membeli makanan serta memenuhi keperluan dasar.

Kebanyakan OFW melaporkan bahwa mereka telah menabung untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga ketika kelak mereka pulang secara permanen. Menurut survei migrasi nasional, 48% responden mengaku menerima remitansi, dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang dianggap berkekurangan: “lansia, janda, pengangguran, penduduk daerah terpencil, dan mereka yang tinggal di daerah miskin” (PSA & UPPI, 2019, p. 137). Dengan kata lain, hampir separuh dari total penduduk Filipina menerima remitansi. Kebanyakan penerima remitansi adalah yang termiskin dan yang paling membutuhkan—inilah gambaran wajah kesejahteraan sosial di negara tersebut.

Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ekspor utama Filipina adalah warganya sendiri. Migrasi keluar negeri telah membawa efek signifikan kepada negara tersebut. Di level makro, aliran remitansi berkontribusi pada pertumbuhan GDP di tahun-tahun belakangan dan memperkuat ekonomi. Migrasi keluar negeri telah mengubah struktur kelas di Filipina di mana keluarga-keluarga yang menerima aliran remitansi menjadi bagian dari kelas menengah (Aguilar, 2014). 

Banyak pengamat yang akan setuju dengan pendapat bahwa, “tidak ada fenomena lain yang mengubah wajah ekonomi dan sosial Filipina sedalam dan seluas ini” (Bello et al., 2014, p. 131). Walau demikian, dampak positif migrasi keluar negeri yang dinikmati oleh keluarga migran hanyalah untuk jangka pendek, sementara dampaknya bagi perkembangan negara masih dipertanyakan.

Dapat dikatakan bahwa ekspor utama yang dilakukan oleh Filipina adalah penduduknya.

Salah Urus Ekonomi dan Munculnya Fenomena OFW

Pertanyaan penting yang muncul: bagaimana fenomena penting ini dimulai? Sejak penjajahan Filipina oleh Spanyol (1521-1898), orang Filipina telah bermigrasi ke luar negeri untuk mencari kerja. Di bawah penjajahan Amerika (1898-1945) dan neo-kolonialisme Amerika yang berlangsung setelahnya, ribuan orang Filipina mulai pergi ke AS untuk bekerja di peternakan dan pabrik pengalengan makanan (Asis, 2017). Fenomena ini terjadi karena faktor pendorong (kemiskinan dan tiadanya lapangan pekerjaan di Filipina) dan faktor penarik (negara yang lebih berkembang membutuhkan lebih banyak buruh, sementara hukum hak-hak buruh membuat negara pemberi kerja sulit mengeksploitasi warga negaranya, sehingga mengurangi keuntungan kapitalis). 

Fenomena OFW hari ini berakar dari awal dekade 1970an ketika pemerintahan diktator Ferdinand Marcos Sr. dihadapkan dengan utang asing yang terus membengkak, angka pengangguran tinggi, serta masalah neraca pembayaran. Dengan itu, mereka membutuhkan banyak mata uang asing dalam bentuk uang tunai. Orang-orang Filipina pun mulai dikirim untuk bekerja di Timur Tengah.

Tunggakan utang asing adalah aspek paling signifikan dalam proses ini. Sepanjang periode pemerintahannya yang pertama, Marcos Sr. mendorong pertumbuhan lewat belanja publik besar-besaran yang didanai utang asing. Ia juga berusaha melemahkan kekuatan ekonomi dan pengaruh politik elit tradisional Filipina. Salah satu strategi, yang umum bagi para autokrat di mana pun, adalah memberikan “behest loan” kepada para pengusaha yang secara personal setia kepada Marcos, untuk mendanai proyek pembangunan nasional yang besar—hal ini menjadi awal dari “kapitalisme kroni” di Filipina, yang pada gilirannya mengakibatkan ketimpangan (Magno, 1998).

Di tahun 1969, dalam upaya untuk menjadi presiden Filipina pertama yang dipilih untuk dua periode, Marcos menginisiasi program percepatan modernisasi yang didanai defisit besar-besaran dan utang luar negeri (Balbosa, 1992). Dalam kampanye pemilu 1970, ia meluncurkan proyek infrastruktur senilai US$ 50 juta supaya terlihat di pemilu sebagai pemimpin yang mendukung kemajuan. Pengeluaran jor-joran untuk kampanye amat besar sampai-sampai mengakibatkan krisis neraca pembayaran dan memaksa pemerintah memohon bantuan ke International Monetary Fund (IMF).

Tidak pernah lalai dalam memanfaatkan krisis, IMF membuat rencana penjadwalan ulang utang yang akhirnya membuka ekonomi Filipina ke berbagai intervensi makroekonomi neoliberal dan neokolonial. Hal ini termasuk pergeseran dari strategi ekonomi Filipina yang tadinya berorientasi industrialisasi substitusi impor menjadi industrialisasi berorientasi ekspor, serta floating dan devaluasi Peso Filipina. 

Akibatnya, terjadi inflasi tinggi sekaligus meningkatnya angka pengangguran, korupsi publik, dan kecurangan dalam pemilu. Puncaknya, terjadi demonstrasi dan protes besar-besaran (Magno, 1998; Diola, 2017). Respons keras Marcos makin meradikalisasi masyarakat, memicu kemarahan publik, dan memaksanya untuk mengumumkan darurat militer tahun 1972 (Anastacio & Abinales, 2022).

Rombongan OFW yang pertama adalah pekerja konstruksi dan insinyur yang bekerja di negara-negara petrodolar yang kaya raya akibat minyak: Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang saat itu sedang menikmati demam pembangunan. Studi sejarah tentang fenomena OFW mengatakan bahwa pergerakan ini pertama-tama dilihat sebagai langkah darurat yang diambil oleh pemerintah diktator tersebut. Namun tidak lama kemudian pemerintah menyadari ampuhnya langkah ini dalam menyediakan remitansi dolar yang mereka amat butuhkan, juga untuk membuka keran lapangan pekerjaan dan meredakan ketegangan sosial (Asis, 2006; Tigno 2004; Aguilar 2004; Rodriguez 2010).

Undang-undang Perburuhan tahun 1974 mengamanatkan satu lembaga pemerintah, yang kemudian di tahun 1982 menjadi bagian dari Otoritas Ketenagakerjaan Luar Negeri Filipina (POEA), untuk “mempromosikan ketenagakerjaan Filipina di luar negeri lewat promosi pasar yang komprehensif serta berbagai program pengembangan.” 

Di saat yang sama, ternyata UU tersebut hanyalah siasat untuk melegalkan “ketenagakerjaan di luar negeri akibat berlebihnya kebutuhan akan kerja di dalam negeri”. Dengan kata lain, sejak awal, pemerintah mengakui bahwa lapangan pekerjaan harus diciptakan bagi para orang Filipina di dalam negeri dahulu.

Akan tetapi, daya tarik remitansi dari luar negeri yang begitu menggiurkan ditambah salah urus ekonomi di dalam negeri membuat pemerintah berikutnya terus melakukan ekspor buruh sebagai langkah mudah. Pemerintah menyingkirkan halangan bagi pemberi kerja asing dan menggelar karpet merah bagi mereka untuk mengakses tenaga buruh upah murah, dan ini hanyalah satu dari aturan-aturan neoliberal awal yang diimplementasikan oleh pemerintah Filipina (Africa, 2022).

Di tempat-tempat lain, jumlah remitansi migran baru melampaui jumlah penanaman modal di negara-negara miskin di dekade 1990an. Namun, dampak krisis ini sudah terjadi di Filipina di tahun 1970an (Ball, 1997). Marcos terus menumpuk utang luar negeri: utang eksternal Filipina mencapai US$4.1 miliar di tahun 1975, menjadi dua kali lipat hingga angka US$8.2 miliar di tahun 1977, dan membengkak ke angka US$24.4 miliar di tahun 1982.

Akhir dari kelimpahan petrodolar dan berputarnya ekonomi global mengakibatkan kredit yang diperketat. Peningkatan bunga memaksa pemerintah mengambil utang jangka pendek dengan bunga lebih tinggi untuk mengatasi utang dan membeli barang impor. Utang Filipina membengkak sampai lebih dari 200% angka ekspor dari 1978 ke 1991, sehingga lebih dari separuh nilai ekspor nasional dialihkan untuk mengatasi utang dibandingkan untuk impor (Guido and de los Reyes 2017). 

Kroni-kroni Marcos—yang dipilih hanya karena kesetiaannya kepada Marcos, bukan karena kemampuan bisnis yang telah dibuktikan—mengelola monopoli mereka dengan salah kaprah sampai-sampai pemerintah harus kembali merogoh kocek untuk menyelamatkan mereka dengan jaminan. Para pengusaha ini, termasuk keluarga dekat Marcos, juga menjarah kekayaan negara, menumpuk dana dari proyek-proyek pemerintah di rekening bank luar negeri, termasuk bank-bank di Swiss, AS, dan Antillen Belanda.

Di tahun 1982, ketika dihadapkan dengan krisis ekonomi lainnya, Marcos mewajibkan para OFW mengirim 50%-70% pemasukan mereka ke Filipina lewat dekrit presiden (Asia Pacific Mission for Migrants 2015). Singkatnya, untuk mengatasi semua utang luar negeri yang telah diambil Marcos, ia dengan putus asa menjual komoditas asli terakhir yang bisa ia kontrol—para warga Filipina–dan mengenakan pajak pada mereka setinggi-tingginya.

Revolusi EDSA atau Revolusi Kekuatan Rakyat di tahun 1986 melengserkan kediktatoran Marcos dan membawa angin baru di panggung politik Filipina. Sayangnya, revolusi ini tidak membawa perubahan ekonomi yang signifikan. Revolusi itu hanya membuka jalan bagi sebagian elit yang dikucilkan oleh Darurat Militer untuk kembali berkuasa (Anderson, 1988). 

Di saat yang sama, dengan utang luar negeri yang luar biasa besar dan harus dibayar, Filipina harus melanggengkan aturan-aturan neoliberal dan memperkuat implementasinya supaya para pemodal asing tetap betah. Aturan-aturan ekonomi dasar yang disahkan oleh rezim Marcos tetap dilanjutkan oleh pemerintah selanjutnya (Guido & de los Reyes, 2017).

Di dekade 1980an, 1990an, dan 2000an, Filipina mengalami pertumbuhan ekonomi paling lambat di Asia Tenggara, sementara negara-negara tetangganya berkembang dalam bidang manufaktur. Absennya perkembangan industri dan pertanian yang fundamental ini berlangsung hingga hari ini, sehingga ekonomi Filipina amat bergantung pada remitansi. 

Wajah ekonomi Filipina terdiri oleh sektor jasa yang besar, angka pengangguran dan ketidaksesuaian pekerjaan tinggi, serta angka kemiskinan tinggi dan kesenjangan yang amat timpang. Ekspor buruh dan sektor Business Process Outsourcing atau BPO (alias “industri call center”) adalah satu-satunya titik terang di ekonomi tersebut (Ofreneo, 2015).

Walau tadinya diterapkan sebagai langkah darurat, strategi ekspor buruh ternyata efektif menghasilkan solusi instan untuk perbaikan ekonomi yang diobrak-abrik krisis akibat kediktatoran Marcos, dan pemerintahan selanjutnya yang melanggengkan kesalah-kaprahan tersebut. Bukannya membuat aturan yang menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, Filipina malah jadi tergantung pada ekspor buruh untuk menciptakan pekerjaan, dan menjadikannya aturan jangka panjang—menjadi antitesis dari model pembangunan nasional yang dikejar oleh negara-negara lainnya.

Maka, Filipina hari ini berada pada posisi genting karena bergantung pada remitansi. Di akhir 1990an, remitansi migran global telah melebihi portofolio pemodal dan asistensi pengembangan resmi dan setara dengan level pemodal asing (Yang, 2011). Hal ini tidak hanya mendorong pemerintah untuk terus menggenjot ekspor buruh, namun juga mempersilakan “organisasi internasional yang mengendalikan aturan neoliberal”, seperti IMF, mengambil alih agenda pembangunan dengan “menganggap migrasi dapat menjadi alat pembangunan di negara dengan angka emigrasi tinggi” (Wise & Covarrubias, 2012, p. 99). 

Akhirnya, Filipina menjadi model, yang digunakan sebagai teladan bagi para organisasi internasional neoliberal, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk mendorong ekspor buruh dan eksploitasi dari negara-negara kurang berkembang lainnya. 

Di bagian selanjutnya, kita akan mendiskusikan bagaimana ekspor buruh menjadi berkelanjutan.

Bagaimana Fenomena OFW terus Berlangsung

Perubahan besar terlihat di angkatan OFW yang dikirim di awal 1990an: “feminisasi pekerja migran”. Jumlah perempuan yang bekerja di sektor jasa mulai melampaui jumlah laki-laki yang bekerja di sektor konstruksi. Dari jumlah OFW yang dikirim, direkrut, dan bekerja di daratan di tahun 1992, 50% adalah perempuan. Jumlah ini meningkat “ke 58% di 1995, 64% di 1999 dan 72% di 2001” (De Guzman, 2003). 

Hal ini bisa dilihat sebagai titik balik di mana pemerintah memutuskan untuk memilih beralih ke aturan migrasi tenaga kerja, terutama di tengah kasus-kasus penyiksaan yang dihadapi pada pekerja Filipina di luar negeri yang memantik kemarahan nasional: Maricris Sioson di Jepang (1991), Flor Contemplacion di Singapura (1995), dan Sarah Balabagan di Uni Emirat Arab (1995). Cerita-cerita yang mirip dengan mereka akan diliput di artikel penjelasan selanjutnya.

Semua presiden yang berkuasa setelah Marcos justru mengglorifikasi OFW. Cory Aquino menyebut OFW sebagai “bagong bayani” atau “pahlawan baru” dan mendeklarasikan bulan Desember sebagai bulan untuk memperingati orang Filipina di luar negeri.

Bisa dibilang, Undang-Undang Tenaga Kerja Migran dan Luar Negeri Filipina tahun 1995 adalah respon kepada titik balik ini di mana pemerintah mendeklarasikan bahwa, “Negara tidak mempromosikan kepegawaian di luar negeri sebagai upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan untuk mencapai pertumbuhan nasional.” 

Namun, sikap business-as-usual yang diperlihatkan oleh pemerintah memperlihatkan bagaimana aturan ekspor buruh terus dilanggengkan secara de-facto. Bukannya berubah, pemerintah Filipina malah meningkatkan ekspor pekerja. Mereka kecanduan dengan keuntungannya yang hanya bisa dinikmati dalam jangka pendek. Deklarasi tersebut tidak sesuai dengan aksi serta pernyataan pemerintah sebelumnya dan selanjutnya.

Maka, fenomena OFW terus berlanjut ditopang oleh Negara yang mengukuhkan, “mekanisme ekspor buruh tertua dan termapan di Asia”. Dengan kata lain, Filipina tidak lagi mengirim tenaga kerja keluar negeri atas dasar ad-hoc atau respon khusus terhadap kebutuhan di tempat lain. 

Pekerja diperlakukan sebagai komoditas sementara pemerintah secara aktif mempromosikan dan menjual tenaga kerja seperti ekspor lainnya, serta melembagakan dan meregulasi penjualannya. Pemerintah juga mengirim delegasi ke berbagai negara lain untuk mengajari mereka bagaimana mengembangkan kapasitas mereka dalam ekspor buruh (Ball, 1997, p. 1604). 

Pemerintah Filipina dengan aktif berkontribusi pada ekspor buruh oleh Global South. Filipina bahkan dipuji oleh berbagai institusi internasional sebagai, “teladan terbaik untuk ditiru”.

Pemerintah yang menggantikan rezim kediktatoran Marcos malah meningkatkan peran POEA yang telah hadir sejak 1982. POEA memainkan peran penting dalam memupuk rekrutmen tenaga kerja di sektor swasta, memasarkan pekerja Filipina di pasar internasional, meraup devisa lewat ekspor pekerja, dan mengarahkan pengembangan keterampilan domestik untuk pasar pekerja internasional. Orientasinya termasuk “melindungi kesejahteraan pekerja dan pemeliharaan standar praktik industri” (Ball, 1997, p. 1618). 

Skema ini sangat berorientasi usaha: mengirim rombongan misi ke negara-negara yang berpotensi menerima migran demi mengamankan kontrak OFW, mengirimkan materi promosi ke negara-negara target, dan memantau perkembangan ekonomi di negara-negara lain untuk menemukan pasar baru untuk tenaga kerja Filipina. POEA memiliki kantor cabang di Jeddah untuk melakukan fungsi-fungsi ini, terutama di Timur Tengah (Ball, 1997). POEA dan badan-badan pemerintah lainnya yang berurusan dengan OFW kini dipusatkan kepada DMW yang baru saja dibentuk.

Peneliti migrasi Robyn Rodriguez (2010) menyimpulkan bahwa Filipina sebagai Negara telah mempromosikan migrasi tenaga kerja: kantor kedutaan dan konsulat memantau permintaan tenaga kerja migran di negara-negara yang berbeda, pemerintah merancang program pendidikan dan pelatihan untuk memenuhi permintaan ini, dan pemerintah mengiklankan OFW kepada pemberi kerja asing serta bernegosiasi dengan pemerintah asing yang terkadang menggunakan stereotip gender dan ras dalam prosesnya. 

Lewat Hukum Retensi dan Perolehan Kembali Kewarganegaraan tahun 2003 beserta berbagai retorikanya, Filipina sebagai Negara juga telah mendefinisikan ulang warga negara yang baik sebagai mereka yang bekerja di luar negeri, namun tetap setia kepada negara (artinya tetap mengirim remitansi). 

An OFW cockroach receiving a heroes' welcome but looking tired and anxious nonetheless, carrying bags and a plushie for their child.
Ilustrasi oleh Townsunder.

Semua presiden yang berkuasa setelah Marcos justru mengglorifikasi OFW. Cory Aquino menyebut OFW sebagai “bagong bayani” atau “pahlawan baru” dan mendeklarasikan bulan Desember sebagai bulan untuk memperingati orang Filipina di luar negeri. Fidel Ramos dan Joseph Estrada mengadakan upacara “penyambutan para pahlawan” untuk para OFW yang pulang atau berkunjung ke rumah. Di tahun 2001, Gloria Macapagal-Arroyo menargetkan pengiriman 1 juta OFW di tahun berikutnya (de Guzman, 2003). 

Trend tersebut terus berlangsung walau publik, saat itu, sedang murka akibat kasus Angelo dela Cruz di Iraq (2004) dan Mary Jane Veloso di Indonesia (2015). Akibat begantungnya negara kepada OFW dan pengiriman remitansi, justru terjadi peningkatan pengiriman OFW selama krisis finansial dan ekonomi global di tahun 2007-2009 (Bello et al., 2014). 

Noynoy Aquino berjanji akan ada penambahan lapangan pekerjaan di dalam negeri dan menjadikan migrasi keluar menjadi pilihan bukannya keputusan yang dipaksakan kepada para OFW. Namun, angka OFW terus meningkat, bahkan di bawah pengawasannya.

Filipina kerap disebut-sebut sebagai “negara anti-pembangunan”, bahwa negara ini adalah “negara lemah yang terus-menerus diterkam oleh kepentingan kelas atas” dan berbeda dengan “negara berorientasi pembangunan” di Asia lainnya (Bello, Docena, de Guzman, Malig, 2004, p. 3). Dengan kata lain, negara di mana para elit secara aktif mencegah pembangunan dan mobilitas sosial untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. 

Mungkin lebih tepatnya, Filipina sekarang mungkin bisa disebut sebagai “negara makelar buruh”, menerapkan strategi neoliberal yang terdiri dari praktik-praktik insititusional dan diskursif untuk mengirim warganya secara sistematis keluar negeri demi “profit”, menegosiasikan akses kepada sumber daya ini kepada negara-negara yang menerima migran (Rodriguez 2010, p. x). Fenomena ini terlalu alot untuk dipecahkan. Pasalnya, tidak hanya didukung oleh kerangka hukum dan politik negara, fenomena ini juga telah merasuk begitu dalam di budaya masyarakatnya.

Apa Saja Dampak Ekspor Buruh?

Di balik promosi pemerintah Filipina atas ekspor buruh, fenomena ini telah mengakibatkan dampak yang mengubah wajah sosial dan ekonomi Filipina. Hal ini termasuk:

1. Hilangnya keterampilan individu serta “pembodohan” nasional. 

Migran Filipina internasional sebenarnya berpendidikan lebih tinggi dan memiliki prospek kepegawaian yang lebih tinggi sebelum meninggalkan negara tersebut jika dibandingkan dengan warga lainnya. Sekitar 81.2% dari OF yang bekerja telah menyelesaikan paling tidak pendidikan tingkat menengah. Di antara mereka yang berumur 15 tahun dan lebih tua, 56.3% telah menyelesaikan pendidikan menengah, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang adalah 30% (Tabuga, Baiño & Vargas, 2021). Berkaitan dengan fakta ini adalah bagaimana 51% OFW juga memiliki pekerjaan di Filipina, dan di antara mereka di luar negeri, 45% memiliki pekerjaan sebelum berpindah ke negara lain (Tabuga, Baiño & Vargas, 2021). 

Pencapaian pendidikan dan pekerjaan OFW amat berbeda dengan status “pekerja kasar” yang mereka sandang, terutama ketika pertama kali keluar negeri sebagai OFW. Para dokter menjadi perawat, guru menjadi pekerja rumah tangga, serta sarjana menjadi pekerja konstruksi. Dengan demikian, pekerjaan di luar negeri kerap kali berdampak pada hilangnya keterampilan (Pertierra, 1994). 

Di level nasional, keprihatinan telah mulai disuarakan bahwa “tangan tak terlihat tidak dapat memecahkan” masalah dalam hal “pasokan tenaga kerja [terampil dan teknis]” di dalam negeri (Gonzalez, 1992, p. 30). Dengan kata lain, keterampilan, pengetahuan, dan tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan demi pertumbuhan negara malah dijual keluar negeri.

2. Dampak pada pembangunan yang patut dipertanyakan. 

Di samping pembayaran utang, remitansi OFW biasanya dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, seperti membeli makanan, pendidikan, dan biaya kesehatan—singkatnya, hal-hal mendasar yang seharusnya dipenuhi oleh pekerjaan yang layak dan pelayanan pemerintah. Remitansi menjadi bahan bakar ekonomi yang “berorientasi-konsumsi” dengan konsumsi rumah tangga mencapai 70% dari GDP, dan “berorientasi-layanan” dengan sektor jasa berkontribusi pada mayoritas pekerjaan warga Filipina (Batalla, 2018, pp. 217-220). 

Namun, “[sektor] penjualan, real estate, dan konsumsi” telah “membatasi koneksi-koneksi yang bisa memicu pertumbuhan [yaitu pekerjaan] di sektor ekonomi lain” (Bello et al., 2014, p. 148). Selain itu, sektor jasa sering kali dianggap sebagai bidang pekerjaan dengan upah paling rendah, paling berbahaya, dengan kontrak pendek (Department of Labor and Employment, 2017).

Kembali berbicara tentang remitansi: Tingginya cadangan devisa dibutuhkan untuk memenuhi syarat impor menciptakan lahan pekerjaan untuk meningkatkan permintaan dan meningkatkan pengumpulan pajak pemerintah. Namun mengorbankan perkembangan produksi industri yang penting serta sektor agrikultur (International Organization for Migration and Scalabrini Migration Center 2013, pp. 118-119). 

Kurangnya kesempatan bekerja di dalam negeri masih tetap menjadi alasan utama bagi orang Filipina untuk bermigrasi, bahkan setelah setengah abad dicanangkannya aturan ekspor buruh. Mayoritas OFW menyebutkan bahwa mendapatkan pekerjaan, mengganti pekerjaan, atau berpindah demi pekerjaan, menjadi alasan untuk meninggalkan Filipina (PSA & UPPI, 2019). Aturan ekspor buruh mencengkeram rakyat Filipina dan ekonomi Filipina secara keseluruhan dalam neokolonialisme yang membuat mereka semakin kerdil dan tunduk.

Dalam jangka panjang, apa akibatnya kepada psikologi rakyat dan negara?

3. Terdistorsinya prioritas pendidikan. 

Ekspor buruh didorong dan, pada gilirannya, mendorong tren pendidikan dalam negeri ke dalam lingkaran setan, serta membentuk ulang wajah pendidikan di dalam negeri. Bahkan, sebelum fenomena ekspor buruh dimulai, pendidikan dalam negeri umumnya gagal dalam “membina atau mempromosikan keterlibatan, gagasan partisipatif kewarganegaraan yang mungkin mengarah pada pencarian kritik sosial atau politik”, dan dengan demikian harapan negara juga jadi “diminimalkan” (Maca, 2018, p. 13). 

Di saat yang sama, tingginya permintaan akan buruh global menjadikan pendidikan di dalam negeri dikhususkan demi mempersiapkan buruh terampil dan semi-terampil untuk memenuhi permintaan lapangan pekerjaan luar negeri (Aguilar, 2014, p. 3). Ilustrasi yang jelas terlihat dari pendidikan perawat (lihat di bawah). 

Demi memelihara “keuntungan komparatif yang kuat dalam aktivitas semi-terampil” dalam negeri, di mana banyak OFW terlibat (Clarete, Esguerra and Hill, 2018, p. 11), banyak mata pelajaran berbahasa Inggris dimasukkan ke dalam kurikulum. Berbeda dengan pernyataan pemerintah yang mempromosikan bahasa nasional, Bahasa Inggris malah digunakan sebagai medium instruksi. Pendidikan teknis-vokasi, kini ditawarkan kepada siswa SMP dan SMA, melatih siswa untuk pekerjaan di luar negeri, dan tentu saja, industri call center yang begitu penting (Villamil, 2018, p. 173).

Dalam konteks ini, kaum progresif dan nasionalis mendeskripsikan pendidikan Filipina sebagai “kolonial” yang mana melayani kepentingan kekuatan global dan majikan asing lainnya. Hal ini juga berarti pendidikan tingkat kuliah mengurangi mata kuliah sejarah, ilmu sosial, serta budaya, dan meningkatkan mata kuliah yang berhubungan dengan sains, teknologi, dan teknik mesin (Lumbera, 2007). 

Pendidikan juga mengurangi nilai-nilai pengetahuan lokal dan meningkatkan ketidakpuasan siswa akan kondisi lokal, sementara porsi pengetahuan di luar komunitasnya—semuanya berlabuh pada “akar kolonial, termasuk simbol-simbol penting demokrasi, pendidikan, dan modernisasi yang ditanamkan oleh Amerika” (Pertierra, 1994, pp. 61-63). Maka, “siswa secara sistematis dipersiapkan untuk berpartisipasi di arena global sebagai buruh berketerampilan tinggi, berbahasa Inggris, murah dan patuh, untuk memenuhi permintaan pasar internasional yang sesuai dengan proyek neoliberal” (del Rosario-Malonzo, 2007, p. 94).

Data dari Masselink dan Lee (2010).

4. Aspek Kultural

Studi migrasi juga mencatat peran budaya dalam mendukung migrasi keluar yang memperkuat berbagai aspek budaya Filipina. Salah satu aspek tersebut adalah hasrat untuk menjadi tulang punggung keluarga. Fenomena ini menyentuh definisi “saudara sekandung, ipar, paman, bibi, kakek-nenek, keponakan, dan cucu” (Gutierrez, 2013, p. 3; Gonzalez, 2018, p. 202), diperkuat oleh ikatan keluarga dan pertemanan yang menyediakan jaringan dan dukungan untuk migrasi (Pertierra, 1994, p. 75). 

Aspek lain adalah rasa religiusitas orang Filipina yang dalam, berakar dari penjajahan Spanyol yang juga berhubungan dengan hal-hal lain: “keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang penuh hormat, bertanggung jawab, pembawaan ceria, rajin bekerja, kemampuan untuk berbaur dan berkerja dalam tim, kemampuan kreatif, mudah dilatih dan diajari, serta sikap selalu bisa dan tidak pernah berkata tidak” (Gonzalez, 2018, pp. 203-204). 

Fakta bahwa upah lebih tinggi hanya bisa diberikan oleh pemberi kerja asing bagi pekerja kasar berstatus rendah, juga memainkan peran penting (Pertierra, 1994, p. 78). Dengan merasuknya migrasi buruh di budaya Filipina, cerita-cerita seputar migran bergulir di komunitas, berpusar di sekitar transformasi diri, “otonomi, kepercayaan diri, kematangan, tanggung jawab, warga dunia yang kosmopolitan, dan konsumerisme”—singkatnya, ciri-ciri ideal neoliberal!—didapat dengan bekerja di luar negeri (Aguilar 2014, pp. 153-159, 168).

Dua aspek terakhir amatlah berbahaya. Orang Filipina dilatih untuk selalu mencari jalan atau “pakikipagsapalaran (mengubah nasib atau berpetualang) dan pagbabakasakali (mengambil kesempatan)” (Tadiar, 2004, p. 244) dalam kerangka berpikir yang patuh dan inferior. Sistem pendidikan mengajarkan mereka bahwa negeri ini buruk, bahwa mereka hanya pantas bekerja di luar negeri, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan memperbaiki keadaan di dalam negeri adalah dengan mencari kerja di luar negeri serta dieksploitasi oleh orang asing. 

Secara sosial, ada beberapa dari antara mereka yang bergelut dengan trauma akibat dieksploitasi, menderita dalam narasi kemenangan dan kemandirian, serta mengglorifikasi kepatuhan dan eksploitasi mereka. Dalam jangka panjang, apa akibatnya kepada psikologi rakyat dan negara?

Siapa yang Untung dari Ekspor Buruh?

Bukan hanya perintah presiden yang menentukan keberlangsungan fenomena OFW. Presiden Filipina, seperti yang lain, dipengaruhi oleh sejumlah struktur, lembaga, dan kepentingan kelompok yang tidak menginginkan adanya perubahan aturan. Setelah 50 tahun ekspor buruh, ada banyak kelompok yang secara langsung meraup untung dari status quo.

Agen perekrutan. Pemerintah Filipina mendorong migrasi buruh dengan bantuan sektor-sektor swasta, terutama agen perekrutan sejak 1975. Namun kemudian makin kokoh sejak awal 1990an di mana pemerintah melakukan “privatisasi migrasi” dengan melibatkan agen-agen penyalur swasta yang mengenakan biaya kepada calon OFW. Bertambahnya OFW yang dikirim berarti bertambahnya keuntungan.

Di tahun 2014, ada 862 agen perekrutan berizin di seluruh negeri.  Masing-masing agen mengirimkan ratusan atau ribuan OFW tiap tahun (Tigno, 2014). Walau Undang-undang Pekerja Migran menyatakan bahwa agen perekrutan hanya boleh memungut biaya sebesar satu bulan gaji, aturan ini jarang dipatuhi. Satu laporan memperkirakan bahwa biaya perekrutan berkisar antara US$ 1,000 sampai US$ 5,000 dan mungkin lebih akibat berbagai faktor, sehingga membebani para OFW dan keluarganya (Santos, 2016). 

Dengan bentuk privatisasi ini, “masalah-masalah operasional perekrutan”, seperti “perekrutan ilegal, penyelundupan manusia, dan perdagangan manusia”, muncul dan menenggelamkan upaya pemerintah untuk melakukan migrasi buruh dengan pendekatan berdasarkan hak asasi. Migrasi buruh dilakukan demi kepentingan neoliberal, dengan pendekatan yang berdasarkan keuntungan dan disetir pasar di bawah kerangka pandangan Negara yang instrumentalis-paternalistik (Tigno, 2014, p. 25). Tidak mengejutkan jika eksploitasi dan penyiksaan akhirnya dinormalisasi ketika keuntungan lebih diprioritaskan dibandingkan hak asasi manusia.

Bank dan perusahaan transfer dana. Di tahun 2018, orang-orang Filipina di luar negeri mengirim rata-rata 26,000 peso dalam bentuk uang tunai, kebanyakan lewat operator transfer uang (72%) dan bank (26%) (PSA&UPPI, 2019, p. 142). Dana yang dikirimkan ini merupakan kumpulan remitansi yang dikirim ke dalam negeri—US$ 30.133 miliar di tahun 2019, US$ 29.903 miliar di 2020 (jumlah yang menurun karena pandemi), dan US$ 31.418 miliar di tahun 2021 (yang tertinggi sepanjang sejarah) (Noble, 2022). 

Berdasarkan data sebelum dan sesudah Covid-19, Bank Dunia dan KNOMAD mengamati bahwa biaya transfer remitansi ke Filipina biasanya di bawah 5% dan rata-rata di sekitar 2.7%—pungutan yang terendah di area Asia-Pasifik (Bank Dunia dan KNOMAD, 2019 dan 2021) Namun besarnya volume transaksi sama dengan profit perusahaan. Para peraup untung adalah operator transfer uang internasional terbesar di dunia (Western Union, Moneygram), bank-bank di Filipina (Banco de Oro dan Bank of the Philippine Islands, dimiliki oleh keluarga Sy dan Ayala, keduanya yang terkaya di dalam negeri), serta operator transfer uang lokal (Cebuana, Palawan), juga GCash (bagian dari Globe Telecommunications, juga dimiliki oleh keluarga Alaya) (Bello et al., 2014).

Negara penerima OFW Negara penerima migran meraup untung dari migrasi dengan mengakses buruh upah murah, baik yang tidak terampil maupun yang profesional. Bahkan di Asia Tenggara, ada jurang pemisah antara negara-negara yang mengekspor buruh dan negara yang menerima buruh.

Pekerja migran menerima upah lebih rendah dan mendapatkan hak tidak sebanyak warga negara di tempat mereka bekerja, sementara negara-negara pemberi kerja tidak berkontribusi apapun dalam “biaya formasi dan reproduksi sosial”, seperti pendidikan dan pelatihan para migran (Wise & Covarrubias, 2012, p. 106). Sebagai migran yang tidak menyandang status warga negara lokal, mereka tidak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang sama (Bello et al., 2014). 

Satu laporan terkini mengatakan bahwa sistem kesehatan Kanada berada “di ujung tanduk” setelah para perawat lokal tersingkirkan akibat “kondisi ruang kerja yang tidak aman, upah tidak layak, dan kelelahan” (Santos, 2022). Solusinya, merekrut perawat Filipina, yang akhirnya menjadi garda depan di puncak pandemi Covid-19 dan membuktikan pentingnya peran mereka di sistem kesehatan Barat.

Pekerja domestik, dukungan tak terlihat kepada “pekerjaan produktif—yakni kerja yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan angkatan kerja produktif”—dengan efektif direkrut lewat divisi internasional dari buruh reproduktif. Perempuan dengan privilese kelas dan ras dapat melimpahkan kewajiban mereka kepada perempuan-perempuan Filipina miskin—menikmati “hidup yang disangga oleh tenaga buruh dari kelas bawah”, kata chef terkenal Anthony Bourdain dalam video yang belakangan viral, di mana ia menyindir orang Singapura, tetapi juga bisa diaplikasikan ke berbagai negara yang menerima OFW. Di sini, “kapitalisme global, patriarki, dan ketimpangan ras merupakan kekuatan struktural yang bersama-sama menentukan posisi subjek migran Filipina yang menjadi pekerja rumah tangga dalam globalisasi (Parreñas, 2015, pp. 29-30).

Bisnis terbesar di Filipina. Remitansi OFW telah memperpanjang napas ekonomi Filipina lewat sektor jasa, sektor di mana keluarga-keluarga terkaya di Filipina menghisap keuntungan. Perusahaan-perusahaan terbesar di negara ini kini “bergerak di bidang konstruksi, energi dan daya, pendidikan dan kesehatan, retail, real estate, utilitas, BPO (terutama lewat penciptaan pusat IT), game dan pariwisata, serta sektor jasa finansial” (Tuaño & Cruz, 2019, p. 307). Bukan kebetulan bahwa kebanyakan mereka bekerja di sektor ekonomi termasuk maskapai dan pusat perbelanjaan yang dikatakan meraup untung secara langsung dari remitansi OFW (Aguilar, 2014; Bello et al., 2014). 

Remitansi juga “turut membiayai demam pembangunan perumahan” di negara ini beberapa tahun terakhir (Llanto, 2018, p. 366) dengan diskursus di seputar demam real estate. Hal tersebut menggambarkan OFW dan orang Filipina di luar negeri akhirnya berhasil mewujudkan apa yang disebut “Filipino dream” (Ortega, 2016). Berbagai “perusahaan rintisan berupa usaha mikro dan bisnis mikro di sektor informal” serta setiap bisnis di negara ini juga berusaha memenuhi permintaan demografi ini (Llanto, 2018, p. 366).

Tentu saja, pemerintah Filipina adalah peraup untung terbesar dari ekspor buruh. Marcos Sr. pernah berkata bahwa ekspor negaranya adalah “ketegangan politik dan ekonomi” (quoted in Ball 1997, p. 1616). 

Walau upaya OFW membantu komunitas mereka dengan cara mengirim dana untuk konstruksi dan berbagai program lain didasari oleh niat baik, ekspor buruh secara tidak langsung adalah kegiatan politis dan mengaburkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Hadirnya OFW didorong oleh kegagalan Marcos dan pemerintahan selanjutnya untuk mereformasi dan memperbaiki ekonomi domestik, menyediakan kebutuhan dasar untuk para keluarga, dan mengabaikan potensi kemarahan dan ketidakpuasan rakyat. Ekspor buruh membuat pemerintah mampu mengumpulkan pajak amat besar dan pamer tentang pertumbuhan ekonomi sambil meniadakan upaya untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. 

Jika ekspor buruh menyumbang keberlangsungan ekonomi dan politik pemerintah, pemerintah yang mana yang berani mereformasi praktik ini? Walau upaya OFW membantu komunitas mereka dengan cara mengirim dana untuk konstruksi dan berbagai program lain didasari oleh niat baik, ekspor buruh secara tidak langsung adalah kegiatan politis dan mengaburkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Profit dan keuntungan yang diraup agen perekrut, bank dan perusahaan transfer dana, negara penerima OFW, bisnis-bisnis terbesar di Filipina, dan pemerintah Filipina sendiri dari ekspor buruh tidak menghapus kerugian yang diderita migran Filipina, keluarganya, dan negeri tersebut.

A frustrated worker cockroach thinking of all the hardships endured as an OFW.
Ilustrasi oleh Townsunder.

Kesimpulan: Ekspor Buruh dan Pertumbuhan Nasional

Filipina hari ini berada dalam bahaya kecanduan eksploitasi warganya sendiri oleh pemodal asing dan lokal yang berujung pada distorsi masyarakat menjadi ekonomi yang patuh dan budaya yang bergantung pada negara lain. Survei migrasi nasional memperlihatkan: hampir seluruh rakyat Filipina sepakat bahwa migrasi keluar negeri untuk mendapatkan pekerjaan adalah hal yang baik. 

Hal tersebut menunjukkan bagaimana glorifikasi atas eksploitasi OFW telah bercokol dalam budaya Filipina di mana migrasi telah merasuk dalam tingkah laku masyarakat, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan migrasi menjadi bagian dari nilai-nilai yang dilanggengkan masyarakat (Massey et al., 1993, p. 452; Asis, 2006). Migrasi keluar negeri telah dianggap amat wajar sehingga para OFW tidak sempat lagi menuntut Filipina sebagai Negara—penjahat utama dan peraup keuntungan terbesar—karena mereka fokus pada beban kehidupan mereka ketika bekerja di luar negeri.

Dalam konteks ini, amatlah penting untuk mempertimbangkan kembali dua konsep dalam pemikiran populer mengenai migrasi. Yang pertama adalah migrasi karena terpaksa, “sebuah pergerakan yang dilakukan tanpa sukarela di mana orang-orang benar-benar dipindahkan dari tempat asalnya dalam upaya untuk mendapatkan penghidupan dan kesempatan di dalam atau luar negeri,” juga orang-orang yang “tidak bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan atau kapasitasnya di negara asal” (Wise & Covarrubias, 2012, p. 104). Hal ini berkaitan dengan alasan-alasan orang Filipina yang ingin pergi keluar negeri, sekaligus memantik diskusi tentang migrasi karena terpaksa.

Dapatkah kita mengatakan bahwa migrasi buruh Filipina berdasarkan kehendak bebas, dengan begitu banyak kekuatan yang dalam praktiknya menghalau mereka keluar dari negaranya?

Pemikiran kedua adalah rasa tanggungjawab. Pandangan populer, mungkin dipromosikan oleh Negara, adalah bahwa orang Filipina tidak dapat bergantung pada pemerintahnya. Logikanya seperti ini: masalah ekonomi amat menekan, Negara tidak kompeten, sedangkan orang Filipina kuat dan tabah, sehingga mereka harus memecahkan masalahnya sendiri, termasuk dengan cara pergi keluar negeri. Logika ini mengabaikan fakta bahwa ada masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan nasional dan kesejahteraan rakyat yang hanya bisa dipecahkan oleh Negara.

Fungsi Negara adalah untuk memecahkan isu-isu ini, dan jika Negara tidak dapat memecahkannya, orang-orang yang menjalankan pemerintahan harus bertanggungjawab bukannya mencuci tangan. Untuk memecahkan masalah ini, kita harus memberi tugas kepada pemerintah untuk menerima tanggung jawab dengan menerapkan aturan yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan layak di Filipina, serta mengakui masalah-masalah struktural dan sistemik yang lebih luas.

Kebutuhan akan remitansi yang makin tinggi di seluruh dunia menggarisbawahi betapa signifikannya migrasi buruh. Sementara Bangladesh, misalnya, terpantau mengikuti langkah Filipina, Meksiko malah mengurangi trend tersebut. Setelah 40 tahun peningkatan angka migrasi keluar negeri, sejak akhir 1990an, jumlah bersih migrasi telah menurun dengan stabil. Walau alasan-alasannya kompleks, menurunnya trend migrasi keluar negeri berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Lebih penting lagi, perubahan ini menunjukkan bahwa membalikkan keadaan bukanlah hal yang mustahil.

Pertumbuhan nasional dan global menunjukkan kebutuhan untuk menilik pengalaman migrasi buruh Filipina dengan lebih kritis—di balik suara-suara dominan dalam percakapan tentang migrasi dan pertumbuhan nasional yang menunjukkan pengalaman ini sebagai model. Filipina, dalam perspektif ini, lebih pantas dijadikan peringatan bukannya kisah sukses.

Dekolonisasi Ekonomi Filipina

Kita dapat mendukung langkah-langkah dan perjuangan untuk meningkatkan hak asasi OFW, pun jika kita menyadari bahwa ini hanya memecahkan gejala dari masalah utamanya. Kita juga bisa mendukung langkah-langkah dan perjuangan yang berupaya mengubah akar masalah yang menyebabkan migrasi buruh.

  1. Karena OFW ada di mana-mana, setiap desakan untuk meningkatkan kondisi kerja dan kehidupan mereka di mana pun mereka berada harus diupayakan. Langkah termudah dan paling minim adalah mendukung desakan untuk upah dan kehidupan layak, jumlah cuti minimum, dan penghapusan diskriminasi.
  2. Mendukung upaya pekerja migran untuk membentuk organisasi di tataran akar rumput untuk merebut haknya. Ingatlah, dalam beberapa konteks, warga negara setempat pun tidak memiliki kebebasan tersebut. Sementara, survei migrasi nasional menyatakan bahwa ada sejumlah kecil OFW tergabung dalam organisasi, ada upaya di antara para OFW di negara penerima migran yang condong ke arah ini.
  3. Mendukung desakan OFW kepada pemerintahan Filipina: menciptakan lapangan kerja kayak di dalam negeri, menyediakan dukungan langsung, meniadakan pungutan pemerintah, dan memperbanyak bentuk-bentuk layanan yang disediakan kedutaan dan konsulat.
  4. Orang-orang Filipina, bicaralah kepada teman-teman dan keluargamu. Tanyakan juga pada dirimu sendiri, apa yang disumbang oleh pekerjaan di luar negeri kepada negerimu dan rakyatmu? Negeri seperti apa yang kau inginkan? Dapatkah kalian mencapainya secara kolektif?
  5. Tuntut pemerintahmu untuk bertanggungjawab. Kirimkan artikel ini kepada para politisi. Katakan pada mereka kerusakan apa saja yang telah diakibatkan oleh aturan ekspor buruh kepada negeri ini dan rakyatnya. Dukung desakan untuk mengakhiri ekspor buruh demi pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan penciptaan lapangan pekerjaan di kampung halaman. Kita tahu bahwa ini adalah cita-cita yang berat untuk dicapai. Namun, solusinya hanyalah dengan menciptakan pertumbuhan pertanian dan industrial yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri dan memenuhi kebutuhan dasar bagi orang Filipina.
Daftar Pustaka

Africa, J. E., (2022). Neoliberal economic decline since the Marcos dictatorship. In: F. A. Gealogo, L. M. S. Castillo, F. J. P. A. Guiang, M. D. Pante, and R. S. Vallejos (Eds.), Martial Law@50: Alaala at kasaysayan ng pagbabalikwas (pp. 169-200) Quezon City: Ibon Foundation, Inc.

Agbola, F.W., and Acupan, A.B. (2010). An empirical analysis of international labour migration in the Philippines. Economic Systems, 34, 386-396.

Aguilar, F.V. Jr. (2014). Migration revolution: Philippine nationhood and class relations in a globalized age. Singapore: National University of Singapore Press.

Anastacio, Leia Castañeda and Abinales, Patricio N.,eds.(2022). The Marcos Era: A Reader. Manila: Ateneo University Press.

Anderson, B. (1988). Cacique democracy in the Philippines: origins and dreams. New Left Review, 1(159), May-June, 3-31.

Antonio, R. (2022 September 5). Germany hiring 600 Pinay nurses. Manila Bulletin. https://mb.com.ph/2022/09/05/germany-hiring-600-pinay-nurses/ 

Asia Pacific Mission for Migrants (2015). Global migration report 2015: On migration, movement and migrant movement. Hongkong: APMM.

Asis, M.M.B. (2006, January 1). The Philippines’ culture of migration. Migration Policy Institute. https://www.migrationpolicy.org/article/philippines-culture-migration 

Asis, M. M. B. (2017, July 12). The Philippines: Beyond labor migration, toward development and (possibly) return. Migration Policy Institute. https://www.migrationpolicy.org/article/philippines-beyond-labor-migration-toward-development-and-possibly-return   

Balbosa, Joven Zamoras (1992). “IMF Stabilization Program and Economic Growth: The Case of the Philippines”. Journal of Philippine Development. XIX (35).

Ball, R. (1997). The role of the state in the globalisation of labour markets: the case of the Philippines, Environment And Planning 29, 1603-1628.

Batalla, E. V. C. (2018). Bypassing industrial development. In M.R. Thompson and E. V. C. Batalla (Eds.), Routledge handbook of the contemporary Philippines (pp. 211-224). London and New York: Routledge.

Bello, W., Docena, H., de Guzman, M., Malig, M. (2004). The anti-development State: The political economy of permanent crisis in the Philippines. London & New York: Zed Books.

Bello, W., Cardenas, K., Cruz, J. P., Fabros, A. Manahan, M. A., Militante, C., Purugganan, J. and Chavez, J. J. (2014) State of fragmentation: The Philippines in transition. Quezon City: Focus on the Global South and Friedrich Ebert Stiftung.

Briones, L. (2009) Empowering migrant women: Why agency and rights are not enough. Farnham, Surrey: Ashgate Publishing Limited.

Çıngır, Ömer Faruk. (2022, forthcoming). Violations of the human rights of migrant workers in Southeast Asia. In Khanif, A., & Hooi, K.Y. (Eds.), Marginalisation and Human Rights in Southeast Asia (pp. 31–48). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003331858

Clarete, R. L., Esguerra, E. F., & Hill, H. (2018). The Philippine economy: An overview. In R. L. Clarete, E. F. Esguerra, and H. Hill (Eds.), The Philippine economy: No longer the East Asian exception? (pp. 1-52). Singapore: ISEAS Publishing.

Commission of Filipinos Overseas (2016). 2014 CFO compendium of statistics on international migration (4th edition). https://cfo.gov.ph/wp-content/uploads/pdf/pdf-migration/2014-CFO-Statistical-Compendium.pdf 

—. (n.d.). Statistics: Philippine migration data at a glance. https://cfo.gov.ph/statistics-2/

Constable, N. (2007). Maid to order in Hong Kong: Stories of migrant workers, 2nd edition. Ithaca and London: Cornell University Press.

De Guzman, O. (2003 October). Overseas Filipino Workers, labor circulation in Southeast Asia, and the (mis)management of overseas migration programs, Kyoto Review of Southeast Asia: Regional Economic Integration, 4. https://kyotoreview.org/issue-4/overseas-filipino-workers-labor-circulation-in-southeast-asia-and-the-mismanagement-of-overseas-migration-programs/  

Del Rosario-Malonzo, J. (2007). Economics of Philippine education: Serving the global market. In B. Lumbera, R. Guillermo, and A. Alamon (Eds.), Mula tore patungong palengke: Neoliberal education in the Philippines (pp. 81-94). Quezon City: Ibon Philippines.

Department of Labor and Employment (2017). Decent work country diagnostics: Philippines 2017. Manila, Philippines: ILO Country Office for the Philippines.

Diola, Camille (2017). “Debt, deprivation and spoils of dictatorship: 31 years of amnesia”. The Philippine Star. https://newslab.philstar.com/31-years-of-amnesia/golden-era

Encinas-Franco, J. (2013). The language of labor export in political discourse: “modern-day heroism” and constructions of overseas Filipino workers (OFWs). Philippine Political Science Journal, 34(1), 97-112.

Garcia, P. (2016, October 26). Duterte to Filipinos in Japan: One day you will not have to work overseas. CNN Philippines. https://www.cnnphilippines.com/news/2016/10/26/rodrigo-duterte-to-filipinos-in-japan-one-day-you-will-not-have-to-work-overseas.html   

Gonzales, V. B. (2016). #ingrata si Mary Jane Veloso: Mga bakas ng trolling sa spreadable media, Daluyan Journal ng Wikang Filipino, 22 (1-2), 181-204.

Gonzalez, A. (1992). Higher education, brain drain and overseas employment in the Philippines: Towards a differentiated set of solutions, Higher Education 23, 21-31.

Gonzalez, J.J. III (2018). Diaspora diplomacy. In M. R. Thompson and E. V. C. Batalla (Eds.), Routledge handbook of the contemporary Philippines (pp. 197-207). London and New York: Routledge.

Gutierrez, J. III (2013). Philippines, migration, 1948 to present. In I. Ness (Ed.) The encyclopedia of global human migration (pp. 1-5). New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.

Hapal, D. K. (2016, October 7). How Duterte gov’t cared for OFWs in first 100 days. Rappler. https://www.rappler.com/moveph/148387-president-duterte-100-days-ofws/  

Guido, Edson Joseph and de los Reyes, Che (2017, September 21). The best of times? Data debunk Marcos’s economic ‘golden years’. https://news.abs-cbn.com/business/09/21/17/the-best-of-times-data-debunk-marcoss-economic-golden-years

International Labor Organization (2004). International Standard Classification of Occupations. https://www.ilo.org/public/english/bureau/stat/isco/isco88/9.htm 

International Organization for Migration and Scalabrini Migration Center (2013). Country migration report: The Philippines 2013.  

Llanto, G.M. (2018). Development finance In R. L. Clarete, E. F. Esguerra, and H. Hill (Eds.) The Philippine economy: No longer the East Asian exception? (pp. 324-374). Singapore: ISEAS Publishing.

Lumbera, B. L. (2007). Edukasyong kolonyal: Sanhi at bunga ng mahabang pagkaalipin. In B. Lumbera, R. Guillermo, and A. Alamon (Eds.), Mula tore patungong palengke: Neoliberal education in the Philippines (pp. 1-8). Quezon City: Ibon Philippines.

Maca, M. (2018). Education in the “New Society” and the Philippine labour export policy (1972-1986). Journal of International and Comparative Education 7(1) 1-16.

Magno, Alexander R., ed. (1998). “Democracy at the Crossroads”. Kasaysayan, The Story of the Filipino People, Volume 9: A Nation Reborn. Hong Kong: Asia Publishing Company Limited.

Masselink, L. E. and Lee, S. D. (2010). Nurses, Inc.: Expansion and commercialization of nursing education in the Philippines. Social Science and Medicine 71, 166-172.

Massey, D. S., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A., & Taylor, J. E. (1993). Theories of international migration: a review and appraisal. Population and Development Review, 19(3), 431-466.

Noble, L. W. T. (2022 February 16). Cash remittances hit record high in 2021. BusinessWorld. https://www.bworldonline.com/top-stories/2022/02/16/430196/cash-remittances-hit-record-high-in-2021/ 

Ofreneo, R. E. (2015). Growth and employment in de-industrializing Philippines. Journal of the Asia Pacific Economy, 20(1), 111-129.

Ortega, A. A. (2016). Neoliberalizing spaces in the Philippines: Suburbanization, transnational migration, and dispossession. Lanham and London: Lexington Books.

Parreñas, R. S. (2015). Servants of globalization: Migration and domestic work, 2nd edition. Stanford: Stanford University Press.

Patinio, F. (2022 January 5). 675K OFWs deployed from Jan. to Nov. 2021: POEA. Philippine News Agency. https://www.pna.gov.ph/articles/1164621 

Pertierra, R. (1994). Lured abroad: The case of Ilocano overseas workers. SOJOURN, 9(1), 54-80.

Philippines Statistics Authority (PSA) and University of the Philippines Population Institute (UPPI). (2019). 2018 National Migration Survey. Quezon City, Philippines: PSA and UPPI.

Philippine Statistics Authority. (2021). 2020 Census of Population and Housing (2020 CPH) population counts declared official by the President. https://psa.gov.ph/content/2020-census-population-and-housing-2020-cph-population-counts-declared-official-president 

—. (2022). 2020 Overseas Filipino workers (final results). https://psa.gov.ph/statistics/survey/labor-and-employment/survey-overseas-filipinos 

Population Reference Bureau (2018). World population data set. https://www.prb.org/wp-content/uploads/2018/08/2018_World-Population-data-sheet.pdf 

Ranada, P. (2016, May 2). Duterte to make OFW concerns among his top labor priorities, Rappler.com. https://www.rappler.com/nation/elections/131531-duterte-labor-day-rally-ofws-contractualization/ 

Ranada, P. (2021, December 30). Duterte signs law creating OFW department, Rappler.com. https://www.rappler.com/nation/duterte-signs-law-creating-ofw-department/ 

Ranada, P. (2022, May 31). Toots Ople lays out plans for new migrant workers department, Rapper. https://www.rappler.com/nation/toots-ople-lays-out-plans-new-immigrant-workers-department/ 

Ratha, D. Kim, E.J., Plaza, S., & Seshan, G. (2021 May). Migration and Development Brief 34: Resilience: COVID-19 crisis through a migration lens. KNOMAD-World Bank, Washington, DC.

Rodriguez, R. (2005). Domestic insecurities: Female migration from the Philippines, development and national subject-status, The Center for Comparative Immigration Studies Working Paper No. 114. University of California, San Diego, March. https://escholarship.org/content/qt7q75k44h/qt7q75k44h.pdf    

Rodriguez, R. (2010). Migrants for export: How the Philippine state brokers labor to the world. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Santos A. P. (2016, August 22). The price of working abroad. Deutsche Welle. https://learngerman.dw.com/en/how-recruitment-agencies-deceive-philippine-workers/a-19492133 

Santos, T. G. (2022, October 8). PH inks deal on nurses with Canadian province. Inquirer.net. https://globalnation.inquirer.net/207639/ph-inks-deal-on-nurses-with-canadian-province 

Tabuga, A.D., Baiño, M.L.S., & Vargas, A.R.P. (2021). Analyzing the characteristics of international migration in the Philippines using the 2018 national migration survey. PIDS Discussion Paper Series, No. 2021-40. Quezon City: Philippine Institute for Development Studies.

Tadiar, N. X. M. (2004). Himala, ‘Miracle’: the heretical potential of Nora Aunor’s star power, in Fantasy-Production: Sexual economies and other Philippine consequences for the new world order. Hong Kong: Hong Kong University Press.

Tadios, J. M. (2022a August 13). DMW in talks with eastern Europe countries for OFW deployment. Manila Bulletin. https://mb.com.ph/2022/08/13/dmw-in-talks-with-eastern-europe-countries-for-ofw-deployment/

Tadios, J. M. (2022b August 19). Job alert: Cruise industry opens to Filipino seafarers after Covid-19 hiatus. Manila Bulletin. https://mb.com.ph/2022/08/19/job-alert-cruise-industry-opens-to-filipino-seafarers-after-covid-19-hiatus/

Tadios, J. M. (2022c September 9). DMW offers new bilateral labor deal with Saudi gov’t. Manila Bulletin. https://mb.com.ph/2022/09/09/dmw-offers-new-bilateral-labor-deal-with-saudi-govt/ 

Tuaño, P. A. and Cruz, J. (2019). Structural inequality in the Philippines: Oligarchy, (im)mobility and economic transformation. Journal of Southeast Asian Economies 36(3) 304-328.

Tigno, J.V. (2004). Governance and public policy making in the Philippines: RA 8042 and deregulating the overseas employment sector. Philippine Political Science Journal, 25 (48), 1-24.

Tigno, J.V. (2014). At the mercy of the market?: State-enabled, market-oriented labor migration and women migrants from the Philippines. Philippine Political Science Journal, 35(1), 19-36.

Tulloch, J. (2004). Angelo dela Cruz is one of millions, Bulatlat.com, August 1-7.  https://www.bulatlat.com/news/4-26/4-26-angelo.html 

United Nations Department of Economic and Social Affairs (Population Division). (2020). International Migration 2020 Highlights (ST/ESA/SER.A/452).

Villegas, E. M. (1988) The political economy of Philippine labor laws. Quezon City: Foundation for Nationalist Studies.

Vital Signs Partnership (2022). The deaths of migrants in the Gulf, report 1.

Wang, G. (1985). Migration patterns in history: Malaysia and the region. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 58(1), pp. 43-57.

Wise, R. D. and Covarrubias, H. M. (2012). Contemporary migration seen from the perspective of political economy: theoretical and methodological elements. In: Vargas-Silva, C., Ed. Handbook of research methods in migration (pp. 92-113). Edward Elgar.

World Bank Group and KNOMAD (2019 April). Migration and Development Brief 31: Migration and remittances: Recent developments and outlook. World Bank-KNOMAD.

World Bank Group and KNOMAD (2021 November). Migration and Development Brief 35: Recovery: COVID-19 crisis through a migration lens. World Bank-KNOMAD.

World Bank (n.d.). Personal remittances, received (% of GDP). The World Bank. https://data.worldbank.org/indicator/BX.TRF.PWKR.DT.GD.ZS 

Worldometers (n.d.). World population by country. https://www.worldometers.info/world-population/#pastfuture 

Yang, D. (2011). Migrant remittances, Journal of Economic Perspectives, 25(3), Summer, 129-152. 

Kredit

Judul Bahaya Ketergantungan Filipina Mengeksploitasi Warganya Sendiri

Judul Asli The Philippines’ Dangerous Dependence on the Exploitation of its People

Tahun terbit 2022

Penulis Teo S. Marasigan

Penerjemah Gisela Swaragita

Penyunting Wailiang Tham, dengan suntingan lebih lanjut oleh Alif Teh, Bonni Rambatan, dan Fadiyah Alaidrus

Ilustrator Townsunder

Desain Grafis Ellena Ekarahendy, Mufqi Hutomo

Pendanaan artikel ini didukung oleh Heinrich Böll Stiftung, Hibah C12.22_2021

Laporan penelitian ini, kecuali ilustrasinya, dilindungi lisensi CC BY-NC-SA 4.0. Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/. Semua ilustrasi adalah hak milik para ilustrator.

Gunakan artikel ini sebagai rujukan dengan sitasi Marasigan, Teo S. 2022. The Philippines’ Dangerous Dependence on the Exploitation of its People. New Naratif.

Related Articles

Responses