Indonesia, 1965: Percakapan dengan Orang Tuaku

HAL 1. Sebuah halaman komik berisi lima panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Tampak dekat sebuah meja, menunjukkan sebuah tanaman di dalam gelas kimia kaca di sebelah sebuah laptop. Chitarum: “Ibu, Ayah, sudah siap belum?”
Panel 2 dan 3. Seorang pria yang memakai baju lengan panjang dan sarung bersimpuh di atas sajadah bermotif bunga-bunga. Ibu: “Sebentar, Ayah masih salat.”
Panel 4. Tampak dekat meja makan, menampilkan berbagai macam makanan di atasnya: ayam goreng, nasi, sambal, tahu goreng, tomat dan timun potong, telur dadar yang diiris tipis. Ibu: “Kamu gimana kabarnya? Ibu masak makanan kesukaanmu, lho!” Chitarum: “Aww! Kirimin fotonya, ya, nanti!” Ayah: “Baru beres, nih. Halo, sayang!” Chitarum: “Nah, Ayah sudah di sini. Oke, kita mulai, ya?” Ibu: “Silakan!”
Panel 5. Sebuah foto keluarga yang menunjukkan-dari sebelah kiri-seorang pria, satu anak laki-laki, dua anak perempuan, dan seorang perempuan yang menggendong satu anak balita. Sang pria mengenakan setelan jas dalam warna gelap. Sang anak laki-laki memakai kemeja dan celana; dua anak perempuan memakai gaun; sang perempuan memakai kebaya dan sarung batik. Mereka semua dan orang-orang di panel selanjutnya, semuanya digambar tanpa raut muka. Chitarum: “Jadi… Ibu, Ayah, kalian berdua lahir di awal tahun 1960-an. Kalian berdua masih bayi saat tragedi 1965 terjadi. Apa yang kalian ingat dari masa-masa itu?”
HAL 2. Sebuah halaman komik berisi lima panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Tampak dekat torso seorang anak laki-laki. Ayah: “Ayah boleh mulai duluan?” Chitarum: “Boleh, dong.” Ayah: “Meski waktu itu Ayah masih kecil, tapi Ayah tahu bahwa suasananya sangat mencekam.”
Panel 2. Sebuah mobil Fiat diparkir di garasi. Ayah: “Keluarga Ayah punya mobil Fiat. Mobilnya dicuri di malam itu.”
Panel 3 dan 4.Tampak dekat tentara berseragam berbaris. Ayah: “Ayahnya Ayah ‘kan tentara, jadi beliau bisa menelusuri siapa pelakunya. Ternyata, mobilnya dicuri oleh tentara juga, yaitu tentara Tjakrabirawa, satuan Tentara penjaga Presiden Sukarno.”
Panel 5. Empat perwira berdiri di sebuah kamar tidur, menargetkan senapan pada seorang pria yang menghadap ke belakang, dengan tangan diangkat ke atas. Darah menetes dari lubang peluru pada punggungnya. Chitarum: “Ini pertama kali aku  mendengar cerita ini. Kenapa mereka mencurinya?” Ayah: “Enggak ada yang tahu. Mobilnya enggak pernah balik. ‘Kan mereka yang membunuh enam jenderal di malam itu.”
HAL 3. Sebuah halaman komik berisi lima panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Empat baris perwira militer, berdiri dan duduk, di depan sebuah bangunan dengan papan bertuliskan ‘Rapat Kerdja Zeni Ad 1965’. Chitarum: “Posisi Kakek waktu itu apa?” Ayah: Beliau itu dulu Letnan Kolonel. Beliau baru akan naik pangkat menjadi Kepala…Tapi posisinya diberikan pada orang lain…” Chitarum: “Karena apa?”
Panel 2. Dua pria yang mengenakan setelan jas dan topi berdiri di depan sebuah stasiun kereta di USSR. Salah satunya memegang koper dan sebuah mantel yang digantung di tangan kirinya. Ayah: “Ya…Kamu tahu, ‘kan, kalau Kakek pernah dikirim ke Rusia (dulunya USSR) untuk pelatihan? Sementara, beberapa perwira lainnya dikirim ke Amerika.”
Panel 3. Tujuh tentara berpose di depan sebuah tank. Ayah: “Rusia, ‘kan, negara komunis, jadi Kakek dituduh berhaluan komunis.”
Panel 4. Tentara berseragam berpose untuk sebuah foto. Ayah: “Semua perwira yang dikirim ke Rusia dicurigai. Sementara, yang dikirim ke Amerika diberi jabatan tinggi. Kakek harus menjalani sidang. Alhamdulillah, akhirnya beliau dinyatakan bukan komunis. Kakek tidak pernah cerita soal ini kepada anak-anaknya.”
Panel 5. Seorang perempuan yang mengenakan kebaya dan sarung memberi makan seorang laki-laki muda. Ayah: “Ayah tahu semua ini dari ibunya Ayah.”
HAL 4. Sebuah halaman komik berisi lima panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Seorang laki-laki dan perempuan duduk bersama; laki-laki itu melingkarkan tangannya pada bahu sang perempuan. Ibu: “Oke, sekarang giliran Ibu! Saat Ayah dan Ibu mau menikah, ayah menceritakan sejarah keluarganya kepada Ibu. Saat itu, Ibu sedang bekerja di sebuah BUMN.”
Panel 2. Seorang perempuan duduk di sebuah meja yang dipenuhi tumpukan dokumen. Ibu: “Setiap pegawai negeri harus melewati pengecekan latar belakang yang sangat ketat. Mereka menanyakan siapa orang tuaku, apa pekerjaannya, hingga apakah keluargaku bebas komunis!”
Panel 3. Pria-pria bersetelan jas duduk di meja berbaris, mengerjakan dokumen-dokumen. Ibu: “Kami berdua khawatir akan hal ini. Apalagi, ayahnya Ibu, ‘kan, saat itu bekerja di Kementerian. Beliau juga mentor P4, program wajib Pendidikan Pancasila untuk pegawai negeri.”
Panel 4. Seorang perempuan tua di sebuah dapur dengan kabinet dinding. Dua sepatu clog Belanda tergantung pada di dinding di belakangnya. Ibu: Akhirnya, Ibu meminta saran pada ibuku… Tapi beliau enggak bilang apa-apa. Ia cuma menyuruhku untuk tanya ayahku…”
Panel 5. Prosesi akad nikah ayah dan ibu, mengenakan baju adat. Ibu: “Dan ayahku menjawab: “Enggak apa-apa. Itu bukan masalah” “Jangan khawatir.”
HAL 5. Sebuah halaman komik berisi empat panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Sebelas anak muda duduk-duduk di sebuah taman. Chitarum: “Jadi, selama 32 tahun – bisa dikatakan setengah hidup kalian – Kalian berdua hidup di bawah Pemerintahan Orde Baru. Menurut Ayah-Ibu, seperti apakah masa Orde Baru itu?” Ayah: “Sebenarnya, lebih menyenangkan, sih…” Chitarum: “Kok bisa?” 
Panel 2. Seorang pria menggunakan topi kerucut petani memegang seikat padi yang baru dipanen. Ayah: “Pemerintahannya rapi dan tertata. Yang paling penting adalah Swasembada Beras! Menteri Penerangan juga bekerja dengan sangat baik waktu itu.”
Panel 3. Sebuah demonstrasi melawan pembredelan Majalah TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Menteri Pendidikan, Jakarta. Orang-orang mengangkat spanduk dan plakat bertuliskan ‘Anarki kekuasaan merusak negara’. Ayah: “Informasi dan data semuanya terpusat. Jelas, tidak simpang-siur.”
Panel 4. Aksi protes 5 Agustus 1989 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahasiswa menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini. Chitarum: “Pada tahun 1980-an, kalian berdua sedang kuliah. Saat itu banyak terjadi demonstrasi mahasiswa. Bagaimana dengan kehidupan kampus kalian? Aku dengar banyak intel, bahkan di kampus-kampus. Iya, kami memang harus hati-hati, tapi situasinya tidak se-intens itu. Satu atau dua teman kami terlibat dalam aksi demo, tapi mereka baik-baik saja.”
HAL 6. Sebuah halaman komik berisi enam panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Tampak mayat yang tergeletak di atas tanah, diduga korban PETRUS (‘penembak misterius’) di Pondok Kelapa, East Jakarta, 1984. Chitarum: “Apakah kalian pernah mendengar tentang pembunuhan massal yang terjadi selama rezim ini?
Panel 2. Di sebuah Kamar Mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, seorang pria menyibak kain penutup sebuah tubuh yang terbungkus plastik hitam: korban PETRUS, 1983. Ibu: “Petrus? Preman-preman pada masa itu ditembak mati, mayat-mayat mereka ditemukan di selokan! Tapi masyarakat merasa aman. Mereka, ‘kan, penjahat semua..”
Panel 3. Foto anggota Pemuda Rakyat, organisasi pemuda berhaluan kiri yang merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), ditangkap oleh militer, 30 Oktober, 1965. Chitarum: “Bukankah banyak juga warga sipil tak bersalah yang ditangkap dan dibunuh?”
Panel 4. Sejumlah perempuan duduk pada bangku di dalam sebuah ruang tahanan di Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah,  yang menampung 45 perempuan tahanan politik pada 1977. Sebuah meja menampung wadah air dan piring-piring. Ayah: “Semua itu demi keamanan negara. Waktu itu sedang kondisi perang, jadi sah-sah saja.” 
Panel 5. Aktivis HAM Maria Catarina Sumarsih pada aksi kamisan ke-536 pada hari Kamis, 26 April, 2018. Ia memegang sebuah payung hitam dan berdiri di belakang barisan foto-foto korban penyelewengan HAM. Ayah: “...dan rakyat senang.”
Panel 6. Bendera-bendera bergambarkan wajah Marsinah, aktivis buruh dari Jawa Timur yang ditemukan meninggal setelah disiksa dan diperkosa pada 5 Mei 1993, dikibarkan oleh para buruh perempuan anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik di sebuah demonstrasi buruh di Bundaran HI, Jakarta Pusat, 9 Maret, 2014.
HAL 7. Sebuah halaman komik berisi dua panel yang digambar menggunakan tinta hitam pada latar belakang putih.
Panel 1. Seseorang menggendong bayi sambil duduk. Chitarum: “Oke… Sudah larut, nih. Mungkin begitu dulu pertanyaan dariku.” Ibu: “Wah, enggak kerasa, ya!”
Panel 2. Dua orang duduk di atas sofa kayu, salah satunya memangku anak balita. Di lantai, dekat kaki mereka, terdapat banyak buku. Ibu: “Senang bisa mengobrol dengan kamu, Sayang. Ayah dan Ibu senang sekali.”

Catatan editor: Tiap panel di komik ini digambar berdasarkan foto-foto dari arsip publik dan pribadi.

Sumber gambar dan nota:

Halaman 1, semua panel: Arsip pribadi.

Halaman 2, panel 1-4: Arsip pribadi.

Halaman 2, panel 5: Salah satu diorama yang menggambarkan pembunuhan enam jenderal dan satu letnan militer pada kudeta 1965 di Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Kompleks Museum Lubang Buaya, Jakarta, Indonesia. 

Halaman 3, semua panel: Arsip pribadi.

Halaman 4, semua panel: Arsip pribadi.

Halaman 5, panel 1: Arsip pribadi.

Halaman 5, panel 2: Foto Pak Soeharto dan Bu Tien di acara panen beras. Dimuat dalam Jurnal Diplomasi, Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI, Vol. 3 No. 3 September 2011. Diakses melalui Rumah Sidqi. Swasembada Beras kerap disebut-sebut sebagai salah satu pencapaian Orde Baru, walaupun program ini hanya bertahan selama 5 tahun (1969-1974) dari 32 tahun lamanya rezim Soeharto, dan mengakibatkan punahnya keanekaragaman sumber karbohidrat di seluruh Nusantara.

Halaman 5, panel 3: Foto penyair WS Rendra di tengah-tengah protes melawan pembredelan Majalah TEMPO, EDITOR dan DETIK di depan Departemen Pendidikan, Jakarta, 1994. Majalah Tempo dibredel pertama kali pada 12 April 1982. Robin Ong/ TEMPO. Diakses melalui TEMPO.CO

Halaman 5, panel 4: Foto Aksi 5 Agustus 1989 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahasiswa menolak kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini. KPM ITB. Diakses melalui FaktaNews.

Halaman 6, panel 1: Foto mayat yang diduga korban Petrus (penembak misterius) di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, 1984. PETRUS terjadi pada 1982-1985. Operasi ini menargetkan semua orang yang dianggap sebagai kriminal: residivis, gerombolan remaja lokal, pengangguran, dan bahkan orang yang bertato. Anizar M Jasmine/ TEMPO. Diakses melalui DataTempo.

Halaman 6, panel 2: Foto korban Petrus pada 20 Mei 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Ali Said/ TEMPO. Diakses melalui DataTempo.

Halaman 6, panel 3: Foto anggota Pemuda Rakyat, organisasi pemuda berhaluan kiri yang merupakan bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), ditangkap oleh militer, 30 Oktober, 1965. AP. Diakses melalui Tirto.id

Halaman 6, panel 4: Foto sebuah kamar di Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah, yang menampung 45 perempuan tahanan politik pada 1977. Dimuat di buku Mia Bustam, Dari Kamp ke Kamp, 2008, hal. 263.

Halaman 6, panel 5: Foto aktivis HAM Maria Catarina Sumarsih pada aksi kamisan ke-536, protes bisu mingguan di depan Istana Negara di Jakarta, pada hari Kamis, 26 April, 2018. Protes ini telah dilaksanakan sejak 2007 untuk mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk penembakan Semanggi tahun 1998, yang mengakibatkan kematian putra Maria, Bernardus Realino Norma Irawan. Artikel ditulis oleh Marguerite Afra Sapiie. Aditya Bhagas/ Jakarta Post

Halaman 6, panel 6: Foto bendera bergambarkan wajah Marsinah, aktivis buruh dari Jawa Timur yang ditemukan meninggal setelah disiksa dan diperkosa pada 5 Mei 1993, dikibarkan oleh para buruh perempuan anggota Federasi Buruh Lintas Pabrik di sebuah demonstrasi buruh di Bundaran HI, Jakarta Pusat, 9 Maret, 2014. Artikel ditulis oleh Jawahir Gustav Rizal dan editor Virdita Rizki Ratriani, 2020. Priyombodo/ Kompas

Halaman 7, semua panel: Arsip pribadi.

Bacaan lebih lanjut:

Enin Supriyanto, Menolak Menunduk: Menentang Budaya Represif, 1999. 

Mia Bustam, Dari Kamp ke Kamp, 2008. 

Pameran arsip berjudul Visualization of the national history: From, by and for whom? Dikurasi oleh Hyphen —, di Gudskul, Jakarta, Indonesia, 2019.


Baca komik lainnya:

Related Articles