Halaman 1: Halaman berisi 6 panel berwarna dan dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Siti, seorang pekerja migran menerima panggilan telepon dari ponselnya. Dia menutup mulut dengan tangannya karena terkejut. “Siti, bapak meninggal,” kata suara di telepon.
Panel 2: Siti berlutut, lemas karena terkejut.
Panel 3: Potret jarak dekat dari layar ponsel Siti yang tergeletak di lantai. Penelepon tadi adalah ibunya.
Panel 4: Majikan Siti, seorang perempuan paruh baya dan anaknya ikut duduk di lantai untuk menenangkan Siti. “Situasi di negaramu sedang kacau. Kalau kamu pulang ke Indonesia, kamu tidak bisa kembali ke Singapura,” kata majikan Siti.
Panel 5: Gambar foto suami dari majikan Siti yang telah meninggal. “Aku tahu rasanya kehilangan. Tapi kamu harus bijak, Siti,” ujar majikan Siti.
Panel 6: Siti dan majikannya saling berpelukan. “Ini penghormatan terakhir untuk bapak. Aku harus pulang. Pemakaman orang Muslim tak bisa ditunda,” ujar Siti.
Halaman 2: Halaman berisi 5 panel berwarna dan dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Siti dan majikannya berada di bandara. “Kudengar TKI yang pulang harus dikarantina dahulu,” kata majikan Siti. “Mereka mungkin bisa mengerti. Hasil tesku negatif, dan aku pulang karena orangtuaku meninggal,” jawab Siti.
Panel 2: Di bandara, sang majikan dan anaknya mengantar kepulangan Siti. “Di situasi sulit, harga tiket pesawat kenapa malah naik...” keluh sang majikan. Siti pun menjawab, “tak usah khawatir, aku masih ada uang kok.”
Panel 3: Sang majikan menyodorkan sebuah amplop kepada Siti. “ Tolong diterima, meskipun jumlahnya tak banyak, katanya. “Tapi kau sudah banyak memberiku, selama aku bekerja padamu,” Siti Menjawab.
Panel 4: “Kamu rajin kirim uang. Tabunganmu pasti habis. Simpan sisa tabunganmu untuk keluarga. Gunakan ini jika ada keadaan darurat,” ujar sang majikan kepada Siti, meyakinkan agar Siti mau menerima amplop pemberian majikannya.
Panel 5: Pesawat terbang dari bandara. Siti yang berada di dalamnya berkata dalam hatinya sendiri, “terima kasih dan selamat tinggal. Mungkin kita tak akan bertemu lagi setelah ini. Maaf aku tak menurut. Aku harus pulang.”
Halaman 3: Halaman berisi 6 panel berwarna dan dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Siti berada di wisma karantina Covid-19 di negaranya, Indonesia. Siti berdialog dengan seorang petugas di sana. “Menurut Perpu tidak ada biaya untuk TKI,” kata Siti. Petugas menjawab, “tetap saja harus ikuti prosedur di sini.”
“Tolong, Pak. Bapak saya meninggal.” Siti Memohon.
“Biaya karantinanya segini. Tolong segera dilunasi.” Ujar petugas, tak peduli.
Panel 2: Siti berada di ruang isolasi. Ia menelepon majikannya untuk memberi kabar. “Kau benar, mereka bilang aku harus isolasi selama 8 hari di sini,” ujar Siti.
Panel 3: Dari ruang isolasi, tiba-tiba Siti melihat seorang perempuan berkacamata hitam berpakaian necis berjalan melewati pintu kamarnya.
Panel 4: Siti mengikuti perempuan tersebut dan menguping pembicaraan si perempuan dengan seorang petugas. “Saya harus segera keluar dari sini,” kata si perempuan sambil menyerahkan sebuah amplop kepada petugas.
Panel 5: Amplop diterima oleh petugas. “Tolong dibantu, ya,” kata si perempuan. “Aman,” jawab petugas itu.
Panel 6: Siti terkejut melihat transaksi itu.
Halaman 4:Halaman berisi 5 panel berwarna dan dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Petugas melambaikan tangannya pada mobil milik pasien perempuan yang kabur setelah membayar si petugas. “Selamat liburan. Hati-hati di jalan,” kata petugas.
Panel 2: Sebuah tangan menarik kerah baju milik petugas tersebut dari belakang.
Panel 3: Tiba-tiba Siti muncul dari belakang dan menghajar petugas itu karena kesal. “Prosedur apaan?!” kata Siti penuh emosi.
Panel 4: Beberapa petugas lainnya datang dan menahan Siti untuk tidak main hakim sendiri. “Memang gitu prosedurnya. Mau keluar? Bayar uang tambahan,” kata petugas yang tadi dihajar Siti.
Panel 5: Siti menyerahkan beberapa lembar uang kepada petugas tersebut. Sambil kesal Siti berujar, “harusnya kalian malu pakai seragam dan pangkat itu.”
Halaman 5: Halaman berisi 3 panel berwarna yang dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Di kampung halaman, orang-orang kampung menggotong keranda sambil menyusuri jalanan kampung.
Panel 2: Seorang perempuan tua yang tak lain adalah ibu Siti sedang menangis di makam bapak Siti. “Kamu di mana, Siti? Ini sudah tiga hari. Bapak sudah dikubur,” ujar ibu Siti.
Panel 3: Ibu Siti bersimpuh di makam suaminya. Di antara makam itu, ada banyak makam yang juga baru selesai dikerjakan. Sementara para pelayat tampak sudah berhambur untuk pulang.
Halaman 6: Halaman berisi 4 panel berwarna yang dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Gambaran Siti tengah tenggelam dalam lamunannya, meratapi betapa perjalanannya sungguh berat dan panjang. Uangnya habis untuk membayar tiket pesawat yang harganya naik, bayar pungutan liar dari petugas di tempat karantina, bayar tes swab, bayar imigrasi, bayar pemakaman, dan bayar tiket bus.
Panel 2: Tangan Siti merogoh dompet yang dibawanya. Dompet itu kosong. 
Panel 3: Masih di dalam bus yang ditumpanginya menuju kampung halaman, Siti berujar, “untung tadi masih cukup untuk beli tiket bus.”
Panel 4: Gambar bus berjalan melewati bukit menuju kampung halaman.
Halaman 7: Halaman berisi 3 panel berwarna dibatasi bingkai hitam.
Panel 1: Sehari setelah pemakaman bapaknya, Siti sampai di kampung halaman.  Siti memeluk ibunya di halaman depan rumah mereka. Bendera kuning tanda dukacita belum dilepas sejak kemarin. “Maafkan Siti, Buk...” kata Siti pasrah, tak mampu mengucapkan apa-apa lagi.
Panel 2: Gambar tanah makam yang masih basah. Sebuah payung tertancap di sana, tanda makam itu makam baru.
Panel 3: Sekelopak bunga kamboja tergeletak di atas tanah kuburan.

Okky Madasari is a novelist and columnist for several media outlets in Indonesia. She has published 11 books and is now doing her PhD at the National University of Singapore, with a thesis on censorship and silencing in Indonesia.