Lebih Berbahaya daripada Perang Nuklir

Pada tahun 2015, orang lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ) tiba-tiba menjadi komunitas yang paling dibenci di Indonesia. Entah muncul dari mana – bahkan orang-orang queer pun terkejut. Para menteri pemerintah mulai membuat pernyataan yang mengatakan bahwa orang-orang LGBTQ bertentangan dengan Pancasila, ideologi negara; universitas mulai melarang siswa LGBTQ dari kampus; pemimpin Muslim risau dengan pikiran bahwa orang-orang LGBTQ akan merusak anak-anak; satu menteri bahkan menggambarkan orang-orang queer sebagai lebih berbahaya daripada perang nuklir.

“Ini adalah semacam perang modern,” kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada Februari 2016. “Ini berbahaya karena kita tidak bisa melihat siapa musuh kita, tapi tiba-tiba semua orang dicuci otak. Kini komunitas [LGBTQ] menuntut lebih banyak kebebasan. Itu benar-benar ancaman.”

Menteri Ryamizard menggambarkan “perang melawan orang-orang LGBTQ” sebagai “perang proxy”, dimana “negara lain mungkin telah menguasai pikiran bangsa tanpa [kita] sadari. Dalam perang nuklir, jika sebuah bom dijatuhkan di atas Jakarta, Semarang tidak akan terpengaruh. Tapi dalam perang proxy, semua yang kita tahu bisa hilang dalam sekejap. Itu berbahaya.”

“Penularan” Queer

Pemicu untuk komentar menteri adalah debat media sosial yang dihangatkan oleh sebuah poster dari Sexuality and Gender Resource Centre (SGRC), sebuah kelompok mahasiswa yang dulunya terkait dengan Universitas Indonesia. Poster itu adalah sebuah draf yang dirilis terlalu dini, dan mengiklankan penasihat sebaya untuk orang-orang yang memiliki pertanyaan tentang seksualitas dan isu LGBTQ. Poster tersebut beredar di media sosial, disertai peringatan bahwa orang LGBTQ telah menyusup ke kampus-kampus universitas dan “mengubah” siswa menjadi homoseksualitas.

“SGRC berkolaborasi dengan Melela [sebuah LSM] agar konselor sebaya LGBTQ dapat hadir untuk menjawab pertanyaan, memberi informasi kepada orang-orang dan membangun pengertian umum,” jelas Ferena Debineva, pendiri dan Ketua SGRC. “Orang-orang yang terlibat pada dasarnya adalah pembela [untuk isu LGBTQ]. Mereka sudah keluar dan ingin berbicara terbuka tentang apa saja – tantangan, depresi, atau bahkan saat-saat bahagia. Mereka seperti teman yang memiliki kompetensi untuk mengatakan bahwa ‘Anda tidak sendirian dan Anda juga bisa menjadi seseorang’.”

Kesalahpahaman, bahwa orang dapat dikonversi dan “diserang” oleh queer seolah-olah itu sebuah penyakit, meluas di seluruh Indonesia.

Ferena mendesah. “Kami belum menyelesaikan poster tersebut… Dan tiba-tiba itu di luar sana, beredar dalam satu malam, dan menciptakan sebuah reaksi negatif. Semua karena stigma terhadap orang LGBTQ, [kepercayaan] bahwa memberikan informasi berarti mengajar orang tentang LGBTQ, yang menyebabkan LGBTQ diterima dan normal, yang menyebabkan orang-orang beralih ke LGBTQ.”

Kesalahpahaman, bahwa orang dapat dikonversi dan “diserang” oleh queer seolah-olah itu sebuah penyakit, meluas di seluruh Indonesia.

“Gagasan bahwa LGBTQ adalah ‘infeksi’ didasarkan pada ketidaktahuan masyarakat,” kata Ferena. “[Orang] percaya bahwa LGBTQ adalah cacat mental atau kondisi patologis. Kurangnya pemahaman agama [juga berkontribusi], jadi pendekatannya adalah ‘pencegahan atau penyembuhan’, yang sayangnya didukung oleh profesional medis Indonesia.”

Namun, tidak selalu seperti ini

Bagian yang paling aneh dari kontroversi tersebut adalah bahwa secara historis, Indonesia telah relatif menerima orang LGBTQ. Kekerasan terhadap orang-orang queer jarang terjadi, dan sementara banyak orang mengakui bahwa mereka tidak ingin anak mereka menjadi gay atau transgender, orientasi seksual dan identitas kelamin yang berbeda telah ditolerir secara tradisional selama orang-orang melakukan kegiatan mereka secara pribadi.

LGBTQ issues represented at the Women’s March in Jakarta in March 2017. Credit: Kate Walton

Wanita transgender dan pria berpakaian silang (keduanya disebut waria dalam Bahasa Indonesia, sebuah gabungan dari kata-kata wanita dan pria) sering tampil di televisi dan di pesta pernikahan sebagai pelawak, penyanyi dan penari, dan selalu disambut dengan tepuk tangan yang gempar. Beberapa penghibur Indonesia yang paling terkenal adalah transgender atau tampil sebagai lawan jenis, seperti penyanyi dangdut Dorce Gamalama dan penari Jawa Ninik Didik Thowok. Banyak bentuk kesenian tradisional juga melibatkan berpakaian silang, seperti ludruk, pertunjukan komedi Jawa Timur dimana semua peran, termasuk peran perempuan, dimainkan oleh laki-laki.

Menurut Dede Oetoemo, aktivis senior LGBTQ, akademikus, dan pendiri GAYa NUSANTARA, secara historis, waria telah diterima di Indonesia karena mereka “menempati ceruk sosial yang diketahui” dan tidak menimbulkan risiko bagi masyarakat yang lebih luas; banyak orang bahkan lebih senang pergi ke salon waria atau gay untuk memotong rambut dan untuk perawatan kecantikan. Bahasa queer juga memiliki dampak besar pada bahasa gaul, dengan ratusan istilah yang sebelumnya hanya digunakan di komunitas queer – seperti “alay” untuk menggambarkan sesuatu yang berlebihan atau “jijay”, yang berarti “menjijikkan” – yang umum digunakan di seluruh nusantara.

Bahkan ada salah satu budaya Indonesia yang memiliki lima jenis kelamin berbeda. Orang Bugis di Sulawesi Selatan mengenali pria cisgender (oroane); perempuan cisgender (makkunrai); pria transgender (calalai); wanita transgender (calabai); dan berkelamin dua yang diperuntukkan bagi tokoh agama (bissu). Calalai ditetapkan kepada wanita saat lahir, yang kemudian menjalani hidup sebagai pria heteroseksual, berpakaian maskulin, bekerja dalam bidang pekerjaan laki-laki seperti mekanik dan insinyur, dan tinggal dengan seorang pasangan wanita. Calabai ditetapkan kepada laki-laki saat lahir yang kemudian menjalani hidup sebagai wanita heteroseksual, dan sangat terlibat dalam kegiatan yang cenderung feminin seperti perencanaan pernikahan. Bissu, di sisi lain, dianggap memiliki aspek dari semua jenis kelamin, dan menjalankan tugas keagamaan di masyarakat Bugis. Calalai, calabai, dan bissu hidup sesuka mereka: mereka dapat bergerak dengan bebas, memasuki sebagian besar ruang pria dan wanita, dan dapat menikahi dan mengadopsi anak-anak di dalam komunitas mereka, meskipun hal ini tidak secara resmi diabadikan dalam hukum Indonesia. Kelima jenis kelamin itu hidup dengan damai dan masing-masing memiliki peran sosial yang penting untuk dipenuhi.

Sebuah sepak bola politik yang nyaman

Meski begitu, para aktivis menunjukkan bahwa selalu ada diskriminasi terhadap orang-orang LGBTQ di Indonesia, bahkan sebelum reformasi, periode “pembaruan” pasca 1998 dimana politik dan masyarakat menjadi lebih demokratis, liberal dan terbuka. “Perbedaannya adalah, sejak reformasi, organisasi LGBTQ yang sebelumnya disembunyikan menjadi lebih berani dan mulai terorganisir secara publik,” kata Agustine, pendiri Ardhanary Institute, sebuah organisasi penelitian dan advokasi untuk orang-orang lesbian, biseksual, dan transgender (LBT). “Gerakan tersebut menjadi lebih terkoordinasi dengan baik dan mulai berfokus pada hak asasi manusia [LGBTQ]. Teknologi juga membuat gerakan ini lebih terlihat.”

“[Reaksi terhadap pandangan ini] membuka mata kita [dan menunjukkan kepada kita] bahwa kebencian dan diskriminasi terhadap orang LGBTQ … sebenarnya telah ada, dan telah tertanam dalam masyarakat,” lanjut Agustine. “Ini terjadi bilamana sebuah isu sosial atau politik meningkat di Indonesia: kelompok yang sedang mencoba mendapatkan kekuasaan menggunakan isu-isu sensitif, seperti masalah etnik, agama atau LGBTQ, sebagai komoditas untuk kepentingan politik mereka sendiri. Ini membuka kesempatan bagi kelompok yang menolak kemajemukan dan keragaman untuk bertindak melawan minoritas, menganiaya mereka, mendorong mereka keluar dari komunitas, dan bertindak kasar terhadap mereka.”

Yuli Rustinawati, ketua organisasi LGBTQ Arus Pelangi, sependapat, dan mengatakan bahwa isu tersebut telah menjadi sepak bola politik. “Ini menguntungkan [untuk menjadikan ini sebagai isu politik],” katanya. “Ini akan digunakan untuk mendapatkan keuntungan, untuk mendapatkan suara rakyat dalam pemilihan. [Politisi] akan dipandang sebagai pahlawan, seolah-olah mereka menciptakan ketertiban umum serta masyarakat yang sehat dan aman.”

Baik secara langsung maupun tidak langsung… semua elemen – partai politik, ormas, bahkan Majelis Ulama Indonesia [badan ulama Muslim terkemuka] – telah mendorong orang LGBTQ ke sebuah sudut

Beberapa politisi bahkan mendukung kebencian terhadap komunitas LGBTQ dengan menyamakannya dengan Islam radikal. Salah satu contoh terakhir datang dari Ketua Komisi VIII Parlementer, Ali Taher Parasong. Mengomentari pelarangan kelompok Islam ekstremis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Juli setelah sebuah undang-undang ormas baru, Ali dikutip oleh Merdeka.com mengatakan bahwa pelarangan itu tidak tepat, karena “radikalisme tidak hanya muncul dari radikalisme agama, tapi juga sekularisme “. Ia berpendapat bahwa jika HTI dilarang, organisasi LGBTQ pun harus dilarang, dengan penjelasan bahwa “masalah LGBT itu sangat besar, begitu pula obat-obatan terlarang, jadi mengapa organisasi massa lainnya [dilarang]?”

Bukan hanya politisi yang melakukan ini. “Baik secara langsung maupun tidak langsung … semua elemen – partai politik, ormas, bahkan Majelis Ulama Indonesia [badan ulama Muslim terkemuka] – telah mendorong orang LGBTQ ke sebuah sudut,” jelas Yuli. “Mereka melakukan ini dengan [menyerang kita] secara pribadi, dengan membatasi kebebasan berserikat kita dan dengan mengeluarkan fatwa dan undang-undang yang mengancam untuk mengkriminalkan kita.”

“Mereka mengatakan bahwa [orang] LGBTQ adalah ancaman bagi bangsa, bahwa kita adalah perusak moral masyarakat,” tambah Yuli.”Dan pernyataan-pernyataan yang dibuat telah menjadi senjata kelompok intoleran, organisasi massa yang seharusnya bertindak atas nama agama, untuk melakukan kekerasan terhadap kita. Kami khawatir dengan keamanan kita. ”

Bukti perubahan sikap ini dapat ditemukan di seluruh nusantara. Sebuah sekolah Islam khusus waria untuk orang dewasa di Yogyakarta terpaksa ditutup pada bulan Februari 2016 setelah ancaman berulang kali dari kelompok penganut fundamentalis lokal, meskipun polisi berjanji untuk melindungi para siswa. Sekolah tersebut beroperasi tanpa masalah sejak 2008. Baru-baru ini, pada bulan Januari 2017, sebuah acara empat hari yang merayakan waria dan bissu di Soppeng, Sulawesi Selatan, dibubarkan oleh polisi, seolah-olah karena penyelenggara tidak memiliki izin. Kepala kelompok tersebut mengatakan kepada BBC Indonesia bahwa mereka telah mencoba untuk mendapatkan izin, namun telah “pingpong” selama dua minggu: “Mereka sengaja menyulitkan kita.”

Larangan berlanjut – tapi tidak semua harapan hilang

Perkembangan terbaru yang mengkhawatirkan adalah undang-undang dari Badan Legislatif Parlemen, yang pada tanggal 28 September setuju untuk melarang semua konten LGBTQ di televisi, termasuk berpakaian silang dan pria yang menampilkan “ciri feminin”.

Andreas Harsono, Peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch (HRW), mengatakan RUU tersebut berhasil karena prasangka, ketidaktahuan dan kepercayaan terhadap propaganda yang merajalela. Pembuat undang-undang “tidak cukup belajar tentang hak asasi manusia, sains dan lainnya,” bantahnya. “Mereka percaya omong kosong ini [bahwa homoseksualitas menular], namun beberapa juga melakukan ini untuk menenangkan masyarakat yang semakin konservatif.”

Revisi KUHP juga membuat khawatir. Draf rancangan saat ini berencana untuk melarang seks di luar perkawinan dan juga praktik kumpul kebo, di mana pasangan yang tidak menikah (dari jenis kelamin apapun) tinggal bersama di bawah atap yang sama. Sebuah denda dan hukuman penjara sampai satu tahun sedang dibahas, dan bisa menjadi undang-undang pada awal tahun 2017.

Meskipun demikian, untuk sementara para aktivis merasa positif tentang masa depan, walau agak lemah. Pada akhir September, setelah banyak keluhan, pemerintah Indonesia menerima sebagian besar rekomendasi yang dibuat selama Tinjauan Periodik Universal PBB pada bulan Mei 2017, di antaranya dua rekomendasi yang berkaitan dengan perlindungan orang LGBTQ.

Ketika ditanya apakah menurutnya mereka bisa mengubah pikiran orang-orang tentang LGBT, Ferena merespons dengan ragu: “Setidaknya kita bisa mengubah bagaimana [debat] mempengaruhi orang, dengan pengikutsertaaan inklusif.”

“Mungkin yang orang takut bukan orang LGBTQ itu sendiri, tapi gagasan imajiner,” katanya.” Karena mereka tidak berpikir mereka harus berinteraksi dengan mereka, jadi mereka tidak merasa bahwa orang LGBTQ adalah manusia juga, seperti mereka sendiri. Kita harus mengubahnya sehingga orang-orang LGBTQ tidak dipandang sebagai ide khayalan, yang berbayang di sekitar kita seperti hantu.”

Related Articles