Artwork by Konijn Sate

Merebut Kembali Martabat, Mengumandangkan Kembali Agensi: Migrasi Pekerja Perempuan di Indonesia

Migrasi bisa dipandang sebagai pembebasan dari berbagai tekanan keluarga dan psikologis yang dihadapi oleh perempuan. Akan tetapi, pekerja migran perempuan tetap menghadapi berbagai tekanan selama proses migrasi akibat kurangnya perlindungan.

“Tidak ada yang mau meninggalkan rumah, kecuali jika rumahnya adalah mulut hiu”

Warsan Shire (penyair Somalia Inggris)

Sejak awal adanya studi migrasi—biasanya dikaitkan dengan karya E.G. Ravenstein (1885)—migrasi kerap dianggap sebagai fenomena lelaki. Asumsi berdasarkan gender yang membayangi migrasi biasanya diakibatkan oleh anggapan bahwa laki-laki terdorong untuk bermigrasi oleh tekanan ekonomi atau finansial. Ravenstein berasumsi bahwa beban ekonomi dan finansial tidak ditanggung oleh populasi perempuan, seakan-akan kelompok ini kebal dari kekuatiran tersebut! Anggapan ini memangkas motivasi-motivasi potensial migrasi hanya kepada pertimbangan ekonomi, dan gagal memahami adanya potensi faktor politis, sosial, dan budaya yang juga punya andil.

Kini, dalam diskursus populer dan akademis, orang-orang tidak lagi memandang migrasi sebagai fenomena laki-laki saja. Sepanjang dekade terakhir, diskursus telah diwarnai oleh berbagai studi dengan fokus pada aspek-aspek gender di migrasi buruh Indonesia (Chan, 2014; Lam & Yeoh, 2018; Lindquist, 2010; Ningrum, 2011; Subadi et al., 2013; Platt, 2018; Robinson, 2020). Peran gender sebagai aspek penting migrasi kini lebih diakui (Brettell, 2017). 

Sayangnya, cara pandang ini baru muncul setelah berbagai insiden penyiksaan pekerja domestik perempuan, seperti kasus Adelina Jerima Sau dan Tuti Tursilawati, yang memantik kemarahan publik. Akan tetapi, cara pandang yang melihat migrasi hanya didorong oleh semata-mata alasan ekonomi masih tetap langgeng di pemahaman populer. Sekali pun pertimbangan ekonomi dan aspek-aspek karir atau pekerjaan adalah motivator paling utama dan paling umum di Asia Tenggara (Hugo, 2016; Sugiyarto, 2014), pemikiran dangkal tersebut mengabaikan banyak dimensi yang membentuk motivasi manusia untuk bermigrasi.

Artikel ini menjelaskan satu faktor yang kerap diabaikan tentang mengapa perempuan Indonesia memilih untuk bermigrasi: bahwa berpindah adalah salah satu cara untuk merebut kembali martabat dan mengumandangkan kembali agensi atas hidup mereka. Artikel ini juga menyuarakan bahwa jika kita ingin mencegah orang mempertaruhkan hidup mereka bekerja di luar negeri dengan upah murah, kita tidak dapat melihat masalah ini hanya sebagai masalah ekonomi saja. Kita juga harus menilik akar masalah sosiokultural yang telah begitu bercokol di masyarakat.

Hampir setengah dari semua pekerja migran terdokumentasi di Asia adalah perempuan. Pekerja migran perempuan di Asia adalah 42.4%. Pekerja Indonesia di luar negeri antara tahun 2006-2012: 3,998,592. 76.2% atau 3,048,267 dari angka itu adalah perempuan.

Demi Sedikit Ganjaran

Alasan ekonomi, tentu saja, memainkan peran penting mengapa perempuan memilih untuk bermigrasi. Namun, tidak masuk akal jika kebutuhan ekonomi menjadi satu-satunya pendorong mereka melakukan migrasi keluar negeri. Perempuan hanya menikmati sedikit ganjaran dari upaya berpindah karena akses mereka ke kesempatan kerja yang lebih baik amat terbatas akibat diskriminasi sistemik dan seksis.

Pertama-tama, perempuan diterpa prasangka yang merundungi semua pekerja migran. Hal ini termasuk miskonsepsi yang menyangka semua pekerja migran hanya berkontribusi pada pekerjaan dengan keterampilan rendah dan bernilai rendah; bahwa mereka mencuri lahan pekerjaan dari orang lokal; dan bahwa mereka berbahaya bagi keamanan setempat (Tunon & Baruah, 2014). 

Pekerjaan yang tersedia bagi para migran biasanya menuntut kemampuan fisik untuk mengerjakan pekerjaan manual (misalnya tambang, peternakan, konstruksi), gerakan repetitif dalam periode lama (misalnya pekerjaan pabrik, pengemasan daging), dan pekerjaan-pekerjaan dengan stigma buruk atau yang dianggap rendah oleh masyarakat (misalnya petugas kebersihan, perawat pribadi)—yang bukan merupakan pekerjaan yang diminati.

Perempuan, selain menjadi korban patriarki dan seksisme (Koike, 2014; Ramsay & Pang, 2017), harus pula digelayuti mitos diskriminatif bahwa mereka tidak cukup kompeten (Piper, 2004), tidak punya semangat kerja, dan (dari perspektif pemberi kerja) menenteng beban tradisional sebagai kelompok gender yang lebih rentan daripada laki-laki (Fleury, 2016; Kawar, 2016; O’Neil et al., 2016). 

Akibat miskonsepsi ini, perempuan pekerja migran kerap kali dienyahkan ke pekerjaan-pekerjaan dengan keterampilan rendah dan bernilai rendah. Mereka dibatasi untuk bekerja hanya pada sektor informal dan sektor jasa, utamanya pekerjaan domestik. Mereka kerap kali mendapatkan upah lebih murah daripada rekan-rekan lelakinya dan dipaksa bekerja dengan kontrak temporer jangka pendek (Eckenwiler, 2014; McGregor, 2007). Karenanya, insentif yang mendorong perempuan untuk bermigrasi tidak sebesar laki-laki, namun tetap saja mereka keluar negeri untuk melakukan pekerjaan dengan upah rendah.

Artwork by Konijn Sate
Ilustrasi oleh Konijn Sate.

Terlebih lagi, mitos yang melihat perempuan sebagai kelompok yang tidak mandiri dan rentan memperparah narasi yang melihat perempuan sebagai korban migrasi, bukannya manusia yang punya otonomi. Perempuan menanggung diskriminasi ganda akibat identitas gendernya dan posisinya sebagai migran. 

Akses-akses mereka kepada migrasi yang aman dan adil pun terbatas. Kanal-kanal dan lokasi yang bebas dari kekerasan serta yang menghormati hak mereka untuk mendapatkan kerja layak dan kualitas hidup yang baik pun jarang bisa mereka akses. Terlebih, jika dibandingkan dengan laki-laki pekerja migran. Akhirnya, perempuan pekerja migran harus bekerja di lingkungan yang mengungkung dengan sedikit kebebasan untuk bergerak (UN Women, 2020).

Perempuan migran kerap berakhir di situasi naas di mana mereka menanggung risiko kekerasan tinggi dan hanya bisa mengambil profesi marginal lewat jalur-jalur tidak resmi. Pasalnya, mereka tidak memiliki akses ke kanal-kanal yang aman dan resmi. Akibat statusnya yang tidak resmi, mereka juga tidak bisa mengakses layanan untuk penyintas kekerasan—yang semakin membenamkan mereka pada risiko menjadi korban kekerasan.

Dampak dari miskonsepsi negatif yang umum dianut ini berbuntut jauh di luar pengalaman mereka pada level individu. Miskonsepsi-miskonsepsi ini juga secara langsung mencemari aturan migrasi buruh dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan serta menghambat akses kepada jalur migrasi yang aman dan adil.

Perempuan Indonesia yang tidak mampu bermigrasi menggunakan prosedur resmi biasanya terpaksa bermigrasi menggunakan kanal-kanal tidak resmi. Jalur-jalur ini kurang aman dan kurang diregulasi. Para migran tidak mendapatkan program pelatihan yang sah sebelum keberangkatan, tidak memiliki akses ke jalur-jalur migrasi yang diawasi secara resmi, dan tidak bisa mendapatkan bantuan dari negara (UN Women, 2017).

  • Jalur-jalur Migrasi:

Langkah 1: Pemerintah Indonesia mempersiapkan nota kesepakatan dengan agen-agen migrasi. Hal ini juga termasuk lembaga seperti kedutaan besar negara-negara penerima.
Langkah 2: Lembaga-lembaga resmi (Kementrian Ketenagakerjaan dan BP2MI) menjalankan proses rekrutmen dan dokumen-dokumen resmi.
Langkah 3: Kriteria kelayakan calon pekerja migran diperiksa. Hal ini termasuk kriteria umur (minimal 18 tahun untuk pekerjaan formal, dan minimal 21 tahun untuk pekerjaan informal, serta surat izin dari keluarga).
Langkah 4: Proses registrasi digulirkan di pemukiman dan komunitas.
  • Jalur-jalur Migrasi:

Langkah 5: Calon pekerja migran diantar ke kamp-kamp migran di mana mereka menjalani pemeriksaan kesehatan dan pelatihan.
Langkah 6: Penandatanganan nota kesepakatan oleh pekerja migran (kontrak harus dibaca dengan seksama).
Langkah 7: Dokumen-dokumen penting seperti paspor dan visa diproses.
Langkah 8: Keberangkatan ke negara penerima.
Diadaptasi dari: Serikat Pekerja Migran Indonesia

Akibatnya, pekerja migran perempuan lebih rentan terkena penyiksaan di negara tujuannya. Walau kasus-kasus penyiksaan fisik cukup jarang, pekerja perempuan lebih sering menjadi korban penyiksaan fisik dibandingkan lelaki (Rahayu, 2017). Migran Indonesia yang menjadi pekerja domestik juga menanggung resiko penyiksaan fisik, psikologi, dan seksual yang lebih tinggi, belum lagi risiko pengurungan oleh majikan. 

Merebut Kembali Agensi

Singkatnya, pekerja migran perempuan biasanya mengerjakan pekerjaan yang diupah lebih murah, dengan kondisi lebih buruk, serta menanggung resiko kekerasan, siksaan, dan eksploitasi lebih besar daripada laki-laki, baik secara individu dan secara struktur.

Meskipun diterpa tantangan-tantangan ini, jumlah perempuan Indonesia yang pergi keluar negeri lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak dua pertiga migran Indonesia adalah pekerja migran perempuan dari latar belakang sosio-ekonomi rendah (Badan Pusat Statistik, 2021; World Bank, 2017). Jumlah pekerja migran perempuan yang diekspor dari Indonesia jauh melampaui jumlah pekerja migran laki-laki. Contohnya, ada 6,394 pekerja migran perempuan di bulan Maret tahun ini dibanding pekerja migran laki-laki yang hanya 4,453 orang (BP2MI, 2022).  

Faktornya beragam dan kompleks. Namun, terdapat dua hal yang jarang dibahas, sekalipun sering dialami. Dua hal ini adalah (1) mendapatkan kembali agensi dan martabat serta (2) melepaskan diri dari tekanan psikologis/kekerasan rumah tangga.

Tekanan Psikologis dan Siksaan

Salah satu faktor pendorong migrasi paksa yang dialami oleh perempuan adalah kekerasan dalam rumah tangga. Langgengnya gagasan patriarki dalam sistem keluarga dan budaya Indonesia secara umum menjadi indikator potensi kekerasan dalam rumah tangga, serta mendorong normalisasi penyebaran kekerasan dalam rumah tangga yang berkelanjutan (Hayati et al., 2014; Putra et al., 2019).

Bahkan jika perempuan yang disiksa mencoba mencari bantuan, banyak pihak luar yang enggan mengintervensi karena takut mencampuri urusan pribadi orang lain, atau percaya bahwa laki-laki berhak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangganya (Danoekoesoemo, 2021). Akibatnya, jumlah kasus siksaan yang tidak dilaporkan jadi cukup banyak, makin merajalela, dan berakar kuat (Noer et al., 2021).

Walau demikian, jumlah kasus yang dilaporkan terus menanjak hingga mencapai 338,496 laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, di 2021 saja (NCVAW, 2021). Korban yang mencari bantuan gagal mendapatkannya, atau hanya mendapatkan bantuan yang tidak memadai, yang malah makin memperparah situasi tersebut. Maka, para perempuan ini biasanya memilih migrasi sebagai jalan keluar (Bowstead et al., 2015).

Agensi dan Martabat

Dengan banyaknya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, amatlah penting untuk memahami motivasi alternatif migrasi. Kita tidak boleh memandang perempuan hanya sebagai “korban” keadaan, dan merenggut agensi dari dirinya.

Penting untuk mengakui bahwa walau migrasi dipandang sebagai jalan keluar dari tekanan psikologis dan siksaan dalam rumah tangga, migrasi juga adalah pilihan personal. Para perempuan ini secara aktif mengambil keputusan yang mengubah hidup mereka demi merasakan kembali otonomi dan kemerdekaan. Mereka merebut kembali rasa individualitas dengan meninggalkan sistem yang gagal memberi mereka hidup layak. 

Dengan sudut pandang ini, migrasi adalah metode yang tepat untuk merebut kembali kendali atas hidup mereka setelah mengalami trauma personal. Pendekatan ini amat berbeda dengan asumsi bahwa pekerja migran adalah pribadi yang pasif.

Memutuskan untuk Berpindah

Dua perempuan migran Indonesia, Bu Idah dan Bu Murni (bukan nama sebenarnya), menggambarkan bagaimana pertimbangan untuk mengubah hidup mereka telah berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan bermigrasi.

Idah, 42, adalah pekerja migran dari Tulungagung, Jawa Timur. Salah satu motivasi terbesarnya untuk menjadi pekerja migran adalah keadaan rumah tangganya. Suaminya selingkuh dan meninggalkannya. Idah hanya memiliki pendapatan yang tidak tetap dari ternaknya.

“Jadi dia itu jalan dan selingkuh sama perempuan lain yang lebih muda dari saya, dan orang sekampung sampai tahu kalau suami saya selingkuh. Saya sempat stress karena digosipin sama orang sekampung. Saya dianggap gak becus jadi istri. Saya kerap dimaki-maki mertua saya sendiri. Padahal kan, anaknya yang salah toh, Mbak. Saya sempat stress banget, Mbak, karena malu sama keluarga besar, malu sama orang sekampung. Lah, yang selingkuh ya suami, tapi saya yang nanggung malunya,” kata Idah.

Ia ingin pergi, namun hanya ada sedikit kesempatan kerja di kampung halamannya. “Akhirnya pas ada tawaran dari teman saya untuk jadi pekerja di luar negeri,  ya saya mau,” kata Idah.

Idah kini bekerja di supermarket di Bandar Seri Begawan (BSB), Brunei.

“Setidaknya, sekarang saya bahagia […] walaupun kata orang kerja di luar negeri banyak masalahnya, tapi sampai sekarang saya bahagia sekali di Brunei. […] Jadi kalau dibilang betah, saya betah sekali,” lanjutnya.

Artwork by Konijn Sate
Ilustrasi oleh Konijn Sate.

Murni, 51, seorang pekerja migran dari Kediri, Jawa Timur, juga berhasil keluar dari sengkarut yang sama. Ia dikecewakan oleh pernikahannya, serta sering bertengkar dengan suami dan iparnya. 

“Karena saya sering berantem sama suami dan nggak dinafkahi, makanya saya pilih kerja saja daripada ribut terus terusan,” kata Murni.

Ia tadinya ingin bekerja sebagai guru tetapi terhambat karena bahasa Inggrisnya kurang mahir.

“Saya mijit ibu-ibu kaya di Brunei. Soalnya, kalau mijit ibu-ibu kaya itu, dulu, sering dikasih tips sama mereka. Udah gitu, sering disuruh bawa tapao alias dibungkusin makanan,” katanya, menambahkan bahwa bekerja sebagai pemijat di Brunei lebih memuaskan bayarannya, dan layanan kecantikan lebih dianggap terhormat di negara itu.

Idah dan Murni tadinya tergiur untuk bermigrasi karena adanya ketidakpuasan akibat tekanan keluarga dan merasa tidak punya tujuan hidup. Namun keputusan untuk melarikan diri dari tekanan tersebut tidak diambil seketika itu juga. Mereka dengan hati-hati menimbang berbagai risiko dan konsekuensi yang membayangi diri dan keluarga mereka.

Migrasi dilihat sebagai kesempatan untuk menyuntikkan rasa bermartabat, arah tujuan hidup, dan rasa percaya diri ke kehidupan sehari-hari mereka. Karenanya, keinginan untuk beranjak mengalahkan bayangan tentang hari-hari yang monoton dan tanpa aspirasi. 

Walau mengakui bahwa latar belakang pendidikan mereka dan pengalaman kerja mereka yang terbatas tidak mungkin cukup untuk mendapatkan pekerjaan layak ketika mereka berpindah, mereka tetap teguh dan merasa terkuatkan ketika mereka mengetahui bahwa mereka diterima untuk bekerja—tidak peduli gajinya berapa.

Maka, jika hanya diteropong lewat kacamata ekonomi, amatlah sulit untuk memahami motivasi Bu Idah dan Bu Murni. Alasan sosial dan personal lainnya juga harus dipertimbangkan, termasuk faktor positif, seperti keinginan untuk mengembalikan agensi dan martabat, serta faktor negatif, seperti melarikan diri dari kekerasan serta ketidakpuasan dalam rumah tangga. Lebih jauh lagi, kestabilan finansial, bukan hanya kesempatan finansial, lebih pantas dianggap prioritas ekonomi mereka. 

Tentu saja, pemahaman yang diperluas ini pun tidak lengkap. Studi kasus ini hanyalah dua contoh yang menunjukkan betapa kompleks dan dalamnya hidup serta motivasi para migran perempuan.

Kesimpulan

Migrasi dapat dilihat sebagai kesempatan yang membebaskan diri dari berbagai tekanan keluarga dan psikologis yang menerpa perempuan, ditambah lagi perasaan yang menyegarkan bahwa ada otonomi diri yang direbut kembali. Walau pertimbangan finansial tetap hadir sebagai faktor yang menonjol, melihat faktor ini sebagai satu-satunya motivasi pendorong dimentahkan oleh ketidakhadiran faktor-faktor sosial dan personal. 

Tentu saja ada banyak pertimbangan, seperti persekusi, degradasi lingkungan, bencana alam, dan situasi lain yang melemahkan keamanan, kondisi hidup, dan habitat, yang luput oleh artikel ini. Yang penting untuk diakui adalah apa pun keadaan yang mendorong perempuan memilih untuk berpindah, jangan sampai kita memandang tindakan migrasi dengan cara pandang dangkal yang terlalu menyederhanakan.

Lebih penting lagi, kita tidak dapat memisahkan migrasi atau solusi masalah orang-orang yang pergi ke luar negeri sebagai buruh migran upah rendah lewat faktor non-ekonomi. Jika pemerintah ingin mencegah rakyatnya mempertaruhkan hidupnya di luar negeri demi pekerjaan berupah murah, mereka harus menciptakan kesempatan ekonomi di dalam negeri serta mengatasi masalah-masalah sosiokultural, seperti seksime, yang berujung buruknya prospek karir bagi perempuan dan mewajarkan kekerasan dalam rumah tangga. 

Walau kegigihan dan ketabahan Bu Idah dan Bu Murni yang secara aktif memilih untuk berpindah adalah tindakan berdaya yang patut dipuji, tetapi berfokus hanya pada agensi para pekerja malah akan membebaskan negara dan masyarakat dari keharusan memangkas akar masalah sistemik dan struktural untuk mencegah migrasi buruh.

Apa Selanjutnya?

  1. Dukung dan promosikan gerakan, seperti Komnas Perempuan, Magdalene, SBMI, dan Migrant Care, yang menggaungkan suara pekerja migran perempuan, serta untuk memastikan bagaimana baiknya mengadvokasikan perlakuan yang adil dan setara pada level domestik dan sosial, lewat forum-forum advokasi, kelompok-kelompok gerakan, dan petisi, contohnya.
  2. Tandatangani petisi ini yang mendesak pemerintah dan DPR Indonesia untuk membuat upaya yang lebih signifikan dalam melindungi hak pekerja domestik (termasuk pekerja migran). Pekerja domestik di Indonesia telah memperjuangkan ini sejak 2004. Juga, tandatangani petisi mengenai kasus Merry Utami, pekerja migran perempuan yang saat ini menghadapi hukuman mati di Indonesia. Baca adaptasi komik kami tentang cerita Merry Utami di sini.
  3. Bergabung dalam komunitas New Naratif untuk mendukung kami terus membuat karya seputar pekerja migran, seperti  Tanda Bahaya dari Kalimantan, Bahaya Ketergantungan Filipina Mengeksploitasi Warganya Sendiri, dan Jangan Biarkan Mereka Membunuh Ibu Saya: Risau, adaptasi komik dari cerita Merry Utami.
  4. Untuk menyebarkan sentimen atas rasa hormat kepada sesama, agensi, dan perlakuan adil kepada perempuan migran baik sebagai pekerja juga sebagai individu yang cakap dan berdaya. Kami menulis artikel ini dengan harapan kami dapat berkontribusi dalam perubahan sikap dan cara pandang yang melingkupi perempuan pekerja migran dan mengembalikan agensi kepada mereka sehingga mereka dipandang lebih daripada sekedar aktor pasif. Dengan menyoroti keadaan dan motivasi yang mendorong migrasi, kita dapat berkontribusi ke proses transformasi narasi tentang perempuan pekerja migran: dari individu yang tidak mandiri dan rentan menjadi individu yang cakap, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, dan datang dari latar belakang beragam dan rumit, yang mau mengambil langkah drastis untuk masa depan yang lebih baik. 
Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2021).

BNP2TKI. (2011). Penempatan dan Kontrak Pekerja Indonesia.

BNP2TKI. (2013b). Penempatan Berdasarkan Jenis Kelamin (2006-2012) [Online]. Available at http://www.bnp2tki.go.id/statistikmainmenu-86/penempatan/6758-penempatan-berdasarkan-jeniskelamin-2006-2012.html [Accessed 21 November 2022].

Bowstead, J. C. (2015). Forced migration in the United Kingdom: Women’s journeys to escape domestic violence. Transactions of the Institute of British Geographers, 40(3), 307-320. https://doi.org/10.1111/tran.12085

BP2MI. (2022). Statistik Perlindungan dan Penempatan PMI. https://bp2mi.go.id/statistik-penempatan 

Brettell, C. B. (2017). Gender and Migration | Wiley. Wiley.Com. https://www.wiley.com/en-ca/Gender+and+Migration-p-9780745687926

Chan, C. (2014). Gendered Morality and Development Narratives: The Case of Female Labor Migration from Indonesia. Sustainability, 6(10), Article 10. https://doi.org/10.3390/su6106949

Danoekoesoemo, Y. (2021). Not All Houses are Homes: Domestic Violence in Indonesia during Covid19. International Business. Binus Knowledge Management. https://bbs.binus.ac.id/international-business/2021/01/not-all-houses-are-homes-domestic-violence-in-indonesia-during-covid-19/ 

Eckenwiler, L. (2014). Care worker migration, global health equity, and ethical place-making. Women’s Studies International Forum, 47, 213–222. https://doi.org/10.1016/j.wsif.2014.04.003

Fleury, A. (2016, February). Understanding Women and Migration: A Literature Review | Annex: Annotated Bibliography | KNOMAD. KNOMAD. https://www.knomad.org/publication/understanding-women-and-migration-literature-review-annex-annotated-bibliography

Hayati, E. N., Emmelin, M., & Eriksson, M. (2014). “We no longer live in the old days”: A qualitative study on the role of masculinity and religion for men’s views on violence within marriage in rural Java, Indonesia. BMC Women’s Health, 14, 58. https://doi.org/10.1186/1472-6874-14-58

Hugo, G. J. (2016). Internal and International Migration in East and Southeast Asia: Exploring the Linkages. Population, Space and Place, 22(7), 651–668. https://doi.org/10.1002/psp.1930

Kawar, L. (2016). Grappling with Global Migration: Judicial Predispositions, Regulatory Regimes, and International Law Systems. Tulsa Law Review, 51(2), 435. https://digitalcommons.law.utulsa.edu/tlr/vol51/iss2/18

Koike, S. (2014). Demographic factors influencing elderly population change by prefecture. Journal of Population Problems, 70(2), 97– 119. (J)

Lam, T., & Yeoh, B. S. (2018). Migrant mothers, left-behind fathers: the negotiation of gender subjectivities in Indonesia and the Philippines. Gender, Place & Culture, 25(1), 104-117. https://doi.org/10.1080/0966369X.2016.1249349 

Lindquist, J. (2010). Labour Recruitment, Circuits of Capital and Gendered Mobility: Reconceptualizing the Indonesian Migration Industry. Pacific Affairs, 83(1), 115–132. https://www.jstor.org/stable/25698399

McGregor, J. (2007). ‘Joining the BBC (British Bottom Cleaners)’: Zimbabwean migrants and the UK care industry. Journal of ethnic and migration studies, 33(5), 801-824. https://doi.org/10.1080/13691830701359249

NCVAW. Komnas Perempuan’s (The National Commission on Violence against Women) End Year Notes 2021

Noer, K. U., Chadijah, S., & Rudiatin, E. (2021). There is no trustable data: The state and data accuracy of violence against women in Indonesia. Heliyon, 7(12), e08552. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e08552

Ningrum, W. O. N. (2011). Problems Faced by Indonesian Female Migrant Workers and the Empowerment Through Writings (Organisations): A Case Study of Indonesian Female Migrant Workers in Hong Kong. International Journal of Arts & Sciences, 4(13), 225.

O’Neil, T., Fleury, A., & Foresti, M. (2016). Women on the move: Migration, gender equality and the 2030 Agenda for Sustainable Development. ODI: Think Change. https://odi.org/en/publications/women-on-the-move-migration-gender-equality-and-the-2030-agenda-for-sustainable-development/

Piper, N. (2004). Rights of Foreign Workers and the Politics of Migration in South-East and East Asia. International Migration, 42(5), 71–97. https://doi.org/10.1111/j.0020-7985.2004.00302.x

Platt, M. (2018). Migration, moralities and moratoriums: Female labour migrants and the tensions of protectionism in Indonesia. Asian Studies Review, 42(1), 89-106. https://doi.org/10.1080/10357823.2017.1408571

Putra, I. G. N. E., Pradnyani, P. E., & Parwangsa, N. W. P. L. (2019). Vulnerability to domestic physical violence among married women in Indonesia. Journal of Health Research, 33(2), 90–105. https://doi.org/10.1108/JHR-06-2018-0018

Rahayu, N. (2017). Indonesian Migrant Worker Policies and the Vulnerability of Women Migrant Workers to Becoming Trafficking Victims: An Overview of Recent Legislation. https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/862813

Ramsay, J. E., & Pang, J. S. (2017). Anti‐immigrant prejudice in rising East Asia: A stereotype content and integrated threat analysis. Political Psychology, 38(2), 227-244. https://www.jstor.org/stable/45095162

Robinson, K. (2020). Housemaids: The effects of gender and culture on the internal and international labour migration of Indonesian women. In Intersexions (pp. 33-51). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003116165-3

Ravenstein, E.G. (1885) The Laws of Migration. Journal of the Statistical Society of London, 48, 167-235.

Subadi, T., Ismail, R., Pos, S. J. A. Y. T., & Indonesia, P. S. (2013). Indonesian Female Migrants and Employers’ Mistreatment in Malaysia: a Case of Domestic Servants From Central Java. International Journal (Research Humanities and social science Internasional. 3(6): 1–9. https://www.iiste.org/Journals/index.php/RHSS/article/view/5555

Sugiyarto, G. (2014). Internal and international migration in Southeast Asia. In Routledge handbook of Southeast Asian economics (pp. 292-322). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315742410-17

Tunon, M., & Baruah, N. (2012). Public attitudes towards migrant workers in Asia. Migration and Development, 1(1), 149–162. https://doi.org/10.1080/21632324.2012.718524

UN Women (2017). Women migrant workers’ journey through the margins: Labour, migration and trafficking. New York

UN Women (2020). Leaving no one behind: Access to social protection for all migrant women: New York

World Bank. (2017). Indonesia’s Global Workers: Juggling opportunities and risk. Indonesia: World Bank.

Credits

Merebut Kembali Martabat, Mengumandangkan Kembali Agensi: Migrasi Pekerja Perempuan di Indonesia

Tahun Publikasi: 2022

Penulis Lengga Pradipta

Penerjemah Gisela Swaragita

Penyunting Wailiang Tham, Alif Teh, PJ Thum, Bonni Rambatan, and Fadiyah Alaidrus

Ilustrator Konijn Sate

Desain Grafis Ellena Ekarahendy, Mufqi Hutomo

Pendanaan Artikel ini didukung oleh Heinrich Böll Stiftung, Grant C12.22_2021

Laporan riset ini, kecuali ilustrasinya, dilisensikan di bawah CC BY-NC-SA 4.0. Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/. Seluruh ilustrasi adalah hak milik ilustrator yang disebutkan.

Kutip laporan ini seperti Pradipta, Lengga. 2022. Merebut Kembali Martabat, Mengumandangkan Kembali Agensi: Migrasi Pekerja Perempuan di Indonesia. New Naratif.

Related Articles

Responses